Cinta tak selalu bersama jodoh, tetapi jodoh selalu bersama cinta. Ungkapan inilah yang menggambarkan hubungan beberapa tokoh cerita dalam novel perdana saya berjudul Sialang dan Tualang.
Saat menulis di blog ini pun, saya kembali haru. Kenapa? Toh kisah cinta yang saya sajikan di sini tak setragis Romeo & Juliet karya William Shakespeare, pun tak sepilu Zainuddin dan Hayati di buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka.
Sudut pandang yang saya ambil sederhana, dua anak manusia bernama Cassia dan Galang. Keduanya harus melalui perjalanan panjang, menghabiskan ribuan hari hanya untuk menunggu satu sama lain.
Waktu mendewasakan mereka dengan jejak langkah masing-masing. Waktu pula yang mempertemukan mereka kembali setelah berjarak cukup lama. Kadang, dua orang harus berpisah untuk menyadari betapa mereka harus kembali bersama.
Blurb dan identitas buku
Galang terpaku di bawah cabang-cabang pohon yang terkesan mengantuk. Cahaya bulan bersinar menembus rindang hutan seolah ingin tahu alasannya melamun dari tadi.
Laki-laki itu tak pernah lupa tanggal dan hari ulang tahun Cassia. Tiga tahun sudah mereka tak merayakannya bersama.
***
Cinta itu butuh waktu. Waktu untuk merasakan, waktu untuk melepaskan, dan waktu untuk menghidupkannya kembali.
Cassia berharap Rangga adalah orang yang bisa membebaskannya dari masa lalu. Rangga mengajarkan Cassia bahwa cinta tak sebatas kata benda, melainkan kata kerja. Cinta tak sekadar perasaan, melainkan peduli, berbagi, berkorban, dan bersabar.
Beberapa orang hanya ditakdirkan untuk singgah, bukan menetap di hati selamanya. Beberapa orang ditakdirkan bertemu dan bersatu tanpa perlu banyak waktu.
- Judul Buku: Sialang dan Tualang
- Penulis: Mutia Ramadhani
- Editor: Gustidha Budiartie
- Genre: Romance & adventure
- Penerbit: Dandelion Publisher
- ISBN: 978-623-373-401-1
- Cetakan Pertama: Februari 2023
- Ukuran Buku: 13 x 19 cm
- Jumlah Halaman: viii + 355
- Harga Buku: Rp 96.000
- Pemesanan: 0852-1406-7133
Saya ingin memperkenalkan tiga tokoh sentral dalam novel romantis, Sialang dan Tualang ini. Mereka adalah Cassia, Galang, dan Rangga.
1. Cassia Senna Nurulia
Gadis berlatar belakang rimbawan lulusan Fakultas Kehutanan IPB. Saat masih berstatus mahasiswa aktif, Cassia dikenal sebagai aktivis kampus yang gemar bertualang. Hobinya birdwatching atau pengamatan burung.
Lulus sebagai sarjana kehutanan, nasib tak membawa Cassia menjadi ornitologis, yaitu peneliti lapang dan laboratorium yang memelajari keanekaragaman jenis, perilaku, habitat, dan pola migrasi burung secara spesifik sebagaimana bidang keahliannya di kampus. Dia malah beralih ke dunia jurnalistik dengan menjadi wartawan ekonomi sebuah koran nasional berbahasa asing.
Rimbawan dan wartawan di mata Cassia memiliki kemiripan. Dua profesi ini memiliki jiwa bebas.
Bagi Cassia, jurnalis memastikan dunia terus mendapat informasi, bahkan sebagian besarnya terukir dalam sejarah.
Jurnalis di matanya pekerjaan hebat dan berdedikasi. Tanpa jurnalisme, dunia menjadi gelap.
Cassia suka menulis. Ini juga yang membuatnya jatuh cinta pada profesi ini.
Gemilang karier Cassia tak seindah kisah cintanya. Pengalaman sebagai anak tunggal yang kekurangan figur seorang ayah membuatnya sangat menutup hati. Akibatnya, begitu jatuh cinta, dia ketergantungan.
Begitulah perasaan Cassia ketika bersahabat dengan Galang. Sejak tingkat satu kuliah, Galang perlahan menjadi dunianya. Galang serupa magnet yang membuat Cassia senantiasa ingin berada di dekat laki-laki itu.
Suatu hari, Galang pamit mengejar mimpi sebagai peneliti ke Makassar. Hal yang Cassia takuti terjadi. Dia marah dan menganggap Galang berucap selamat tinggal.
Sejak itu, Galang tak lebih dari sekadar bayangan tak berwujud. Secepat apa pun dia mengejar bayangan itu, bayangan itu tetap lari menjauh.
Tiga tahun bahkan tak cukup untuk Cassia menyembuhkan luka hingga Rangga datang. Pria yang lima tahun lebih tua darinya itu berhasil membuatnya percaya cinta sekali lagi.
2. Galang Pinnata Putra
Putra tunggal keluarga berada yang dalam waktu singkat harus kehilangan sosok ayah dan ibu sekaligus. Tragedi, satu kata untuk menggambarkan kehidupan Galang.
Ayahnya korban kecelakaan pesawat. Ibunya depresi, menjadi pasien rumah sakit jiwa, kemudian meninggal dunia.
Galang hidup sebatang kara di usia muda. Dia berubah menjadi sosok penuh rahasia. Trauma masa lalu keluarga membuat Galang menutup diri sedemikian rupa. Tak satu pun teman-teman kuliah mengetahui cerita hidupnya, termasuk Cassia.
Kehadiran Cassia memberi warna baru kehidupan Galang. Mereka bersahabat baik sejak masuk kuliah hingga wisuda. Kendati hubungan mereka tak terdefenisikan, situationship, Galang nyaman dengan itu.
Demi mewujudkan janji pada almarhum ayahnya, Galang terpaksa meninggalkan Cassia ke Makassar. Dia menerima tawaran kerja sebagai peneliti di World Nature Foundation, organisasi lingkungan hidup yang beroperasi di berbagai negara di dunia, salah satunya Indonesia.
Galang bertekad mengejar impian sebelum menegaskan hubungan dengan Cassia. Mewujudkan mimpi terlebih dahulu berarti dia berusaha membahagiakan diri sendiri, barulah bisa membahagiakan perempuan yang dia cintai.
Sayangnya, Galang membawa pergi rahasia, termasuk cintanya pada Cassia. Dia tak kunjung menemukan waktu tepat untuk bercerita hingga sampai pada satu titik di mana semua sudah terlambat. Galang harus ikhlas ketika Cassia memilih bersama orang lain.
3. Rangga Buana Sato
Pria blasteran Jepang – Indonesia. Rangga juga direktur eksekutif Aliansi Masyarakat Hijau Indonesia (AMHI), sebuah lembaga sekaligus yayasan nirlaba yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan hidup, terutama praktik kehutanan dan pertanian berkelanjutan.
Perkenalannya dengan Cassia di tengah suasana tak mengenakkan. Suatu hari, mereka kembali bertemu tak sengaja sebagai wartawan dan narasumber di sebuah agenda liputan. Sejak itu, semesta seakan bekerja sama menyatukan keduanya.
Rangga mengetahui semua tentang Cassia, termasuk Galang. Pengalaman masa lalu yang juga kelam membuat Rangga mengerti bahwa melupakan seseorang tak semudah mencintai.
Rangga pernah menikah dan kehilangan istri tercinta. Oleh sebabnya, dia memberikan waktu sebanyak Cassia mau sampai gadis itu membuka hati dan menerima cintanya.
Membaca sambil mendengarkan suara alam
Sejak awal menulis novel Sialang dan Tualang tiga tahun lalu, saya ingin menyajikan cerita dengan cara berbeda. Benang merahnya mungkin terlihat umum, love story, tetapi yang bagaimana?
Saya berpikir keras hingga teringat perkataan saya sendiri saat memutuskan hijrah sebagai blogger 2017 lalu, yaitu tulislah hal-hal yang dekat dengan kita. Itulah kenapa saya pertama memutuskan menjadi parenting blogger.
Demikian juga latar belakang cerita di buku ini. Saya mencoba mencari inspirasi dari diri sendiri terlebih dahulu.
Teringat profesi lawas saya sebagai jurnalis ekonomi selama sembilan tahun di sebuah media cetak nasional. Saya juga berlatar belakang rimbawan dari sebuah institut di Bogor. Lahirlah karakter Cassia dan Galang dari sana, kemudian Rangga.
Saya ingin karya saya bermanfaat bagi pembaca. Akan tetapi, kemampuan menulis novel-novel romantis saya bahkan belum secuil Ika Natassa, Dewi Lestari, Tere Liye, atau Ilana Tan. Dari sisi mana saya bisa memberikan nilai lebih untuk Sialang dan Tualang ini?
Background saya sebagai rimbawan dan eco-blogger kembali memantik keinginan luhur untuk bisa berkampanye pelestarian lingkungan dengan cara elegan, yaitu melalui tulisan. Saya ingin mengajak pembaca mendengarkan suara alam melalui novel Sialang dan Tualang. Inilah awal mula saya menyisipkan dunia avifauna ke dalam buku ini.
Bagi saya, burung adalah satu dari sekian banyak keajaiban ciptaan Tuhan yang berperan luar biasa di bumi ini. Seorang Napoleon Bonaparte saja bisa terinspirasi dari burung. Salah satu quotes-nya yang paling saya suka, “Until you spread your wings, you’ll have no idea how far you can fly.”
Saat masih rajin keluar masuk hutan selama berkuliah dahulu, ada kalanya saya overproud menjadi seorang birdwatcher atau pengamat burung. Saya merasa paling rajin bangun pagi dibanding teman-teman saya yang memilih spesialisasi satwa lain, seperti mamalia, kupu-kupu, atau amfibi dan reptil.
Sedikit sombong. Padahal, bukan saya, bukan manusia mana pun juga yang menyaksikan pagi paling cantik di muka bumi, melainkan burung. Ya, burunglah yang pertama kali melihat fajar terindah.
Dialah yang berucap “selamat pagi dunia” lebih dulu. Hewan bersayap ini selalu bangun tepat waktu dan pada waktu yang tepat. Tak ada tandingannya.
Saya cukup percaya diri dengan ini hingga termotivasi menyajikan kecantikan burung-burung eksotis, seperti rangkong badak, seriwang asia, serak jawa, walik kembang, kadalan sulawesi, atau sesederhana burung kutilang dalam cerita.
Tantangan menarasikan keindahan burung-burung Indonesia lewat kata buat saya cukup berat karena selama menjadi birdwatcher saya terbiasa mengidentifikasi jenis lewat buku panduan bergambar. Kendati sudah ditulis, saya tetap saja kurang percaya diri.
Saya waswas pembaca hanya bisa membayangkan, menerka, bahkan mungkin berimajinasi sendiri tentang bentuk seekor burung yang saya tuliskan. Dari sinilah tercetus ide saya menghadirkan langsung foto beberapa jenis burung dalam cerita sebagai lampiran berikut dengan nama ilmiahnya.
So, setelah membaca novel ini, pembaca yang masih penasaran dengan bentuk jenis-jenis tertentu bisa langsung cek spesiesnya di halaman akhir. Semacam mini field guide, begitu.
Ada sisipan pendidikan konservasi dalam novel ini. Saya senang bisa memperkenalkan dunia birdwatching melalui Sialang dan Tualang. Belum banyak yang tahu betapa menarik hobi satu ini. Semoga ke depan makin banyak yang berminat menjajal hobi pengamatan burung, bukannya membeli burung dalam sangkar.
Sialang dan Tualang juga menghadirkan sejumput keindahan hutan tropis Indonesia lewat petualangan Cassia dan Galang di masa muda. Saat mereka berada di rimba Kalimantan, Heart of Borneo. Ketika mereka ekspedisi ke Gunung Salak, pendakian Galang ke Semeru, eksplorasi di kawasan karst Maros, saat Cassia curhat ke teman-temannya di Cagar Alam dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut, banyak lagi.
Tidak banyak novel romance karya penulis-penulis Indonesia yang menyajikan detail cerita seperti ini. Sekiranya kamu penasaran, bisa kok langsung pesan bukunya. Tinggalkan saja pesan di kolom komentar. Promosi, check! Hehehe.
Novel Sialang dan Tualang dikemas dalam 29 bab atau part cerita. Alur kisahnya maju mundur, bikin emosi pembaca naik turun. Pada akhirnya, pada siapa Cassia melabuhkan hatinya?
Jawabannya saya yakin bisa ditebak, seperti kebanyakan novel romance lainnya. Namun, selama menulis bab demi bab ini, saya berusaha ‘tidak membiarkan’ pembaca untuk skip satu part pun.
Clue-clue kecil saya sisipkan di setiap bab baru. Apabila pembaca melompati satu part, jangan bingung ketika pada bab berikutnya ada pertanyaan yang tak terjawab. Baca semuanya, please!
Mengenal lebih dekat profesi jurnalis
Novel Sialang dan Tualang mengajak pembaca mengenal lebih dekat profesi jurnalis, terutama jurnalis ekonomi. Jika pembaca bertanya, bagian mana lagi dari buku ini yang terinspirasi dari kisah nyata? Saya akan menjawab profesi Cassia sebagai jurnalis ekonomi.
Cassia bukanlah saya. Akan tetapi, benar bahwa sebagian kecil karakter Cassia terinspirasi dari saya.
Beberapa sahabat saya yang membaca buku ini, salah satunya meninggalkan testimoni. Dia merasa tengah menyusun puzzle 13 tahun silam sambil melihat album foto saya. Sulit melewatkan satu halaman pun, meski totalnya lebih dari 300 halaman. Terima kasih.
Februari 2011, saya memulai perjalanan karier sebagai wartawan media cetak setelah setahun sebelumnya menjadi pegawai di Rektorat IPB. Empat tahun kuliah kehutanan dengan praktikum lapang intensif (baca: biasa kuliah sambil jalan-jalan) hampir tiap pekan, kaki saya bagai dirantai saat bekerja kantoran.
Pernah saya coba melamar (baca: ikut tes CPNS) sebagai pengendali ekosistem hutan di kementerian yang mengampu mayor keilmuwan saya, tetapi belum rezeki. Pengumuman diterima bekerja di International Animal Rescue (IAR) baru datang setelah saya mengiyakan tawaran bergabung dengan perusahaan media di Jakarta Selatan. Saya simpulkan, Allah pengen saya banting setir ke dunia baru ini.
Buat saya, profesi jurnalis tak terikat ruang dan waktu. Kerjanya emang hectic, tetapi ilmu pengetahuan dan hidup saya upgrade terus. Mungkin upgrade penghasilannya tak seberapa, akan tetapi otak saya tidak stagnan. Tak salah saya menyebut tempat saya bekerja selayak kampus yang mengajarkan banyak hal.
Kerja wartawan itu fleksibel dan bisa keliling Indonesia. Kewajiban ngantor hanya sesekali, kalau ada rapat redaksi, mentoring sama redaktur-redaktur dewa di lantai atas, atau ngumpul plus curhat sambil karaoke sama teman-teman seprofesi di mal depan kantor.
Sekarang, setelah menjadi full-time mom, tak ada tersirat rasa sesal di hati. Masa muda sudah saya habiskan dengan melanglang buana ke mana suka, di dalam dan luar negeri. Saya sudah puas dan ketika rasanya sudah puas, dengan cara ini saya bisa menghibur diri untuk menekan stres yang sesekali muncul.
Desk liputan saya beragam, tetapi mostly seputar ekonomi mikro dan makro. Tak sampai setahun bergelut berita kabar kota dengan wilayah liputan Tangerang Selatan, saya ditarik ke pusat untuk rolling ke Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Bulog.
Selanjutnya, saya digeser ke Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM. Rolling ketiga, saya ditempatkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan pasar modal, kemudian berakhir di Bank Indonesia (BI).
Setelah itu, saya ditarik ke kantor untuk mengisi media online. Menikah 2014, ikut suami dan pindah kerja ke Biro Bali dan Nusa Tenggara. Terakhir, saya resign setelah melahirkan putra kembar saat penempatan di Pulau Dewata.
Balik lagi ke Cassia…
Sebagai jurnalis ekonomi, Cassia terbiasa memulai hari lebih pagi. Tak ada yang berubah, sebagaimana hari-harinya sebagai birdwatcher yang juga rajin bangun pagi.
Hal pertama yang dia lakukan adalah riset media sosial yang membahas topik-topik ekonomi. Biasanya Cassia akan cek Twitter, kemudian buka jaringan berita Associated Press, Reuters, Bloomberg, minimal Kantor Berita ANTARA.
Begitu mendapat ide liputan, Cassia lanjut berkoordinasi dengan redaktur terkait rencana liputan pada hari sama. Tugas liputan luar kota tak jarang dikabari mendadak. Cassia harus siap dengan itu.
Kenyataan ini menampik sebagian anggapan bahwa jurnalis itu cuma kerja di depan laptop. TIDAK. Mereka itu seperti bianglala yang terus berputar.
Jam liputannya tak tentu. Kadang pagi banget, kadang siang, kadang malam. Cassia menunjukkan pembaca bahwa jurnalis yang baik memiliki kreativitas, keterampilan sosial yang hebat, integritas, keberanian, dan kekuatan pikiran untuk membedakan antara fakta dan emosi.
Cassia perlu menjaga perasaan pribadi dan tetap berpedoman pada kode etik jurnalistik supaya tidak memengaruhi artikel yang ditulis. Dalam novel ini, pembaca bisa melihat pergolakan emosi Cassia selama menjalani profesi ini. Sangat menarik untuk dibaca.
Tak lupa, kehadiran sahabat-sahabat seprofesinya yang bergabung dalam Geng Kepompong, yaitu Daniel, Tria, dan Ocha. Bagaimana kompak dan lucunya mereka menjadi sisi manis lain dari cerita.
Terima kasih untuk kalian
Seorang penulis hanyalah menulis sebuah buku dan pembacalah yang sebetulnya menyelesaikannya. Apalah arti novel Sialang dan Tualang ini tanpa kalian. Oleh sebabnya, saya sangat berterima kasih.
Sialang dan Tualang bagi saya bukan sekadar novel fiksi. Sebagian besar kisah terinspirasi dari perjalanan hati saya mengarungi kehidupan masa muda, tentang mimpi, tentang cita-cita, tentang harapan, dan tentang penguatan diri.
Terima kasih untuk semua yang menginspirasi saya melahirkan karya ini. Mereka adalah sahabat-sahabat saya, Angkatan Tarsius 42 di Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata (KSHE) Fakultas Kehutanan IPB; teman-teman di Komunitas Rimbawan Menulis; keluarga besar REPUBLIKA; rekan-rekan jurnalis ekonomi seluruh media cetak, online, televisi, dan radio; serta kawan-kawan bloger, khususnya grup Blogwalking Asyik dan Eco-blogger Squad.
Tiga sahabat saya yang tergabung dalam Geng Kepompong: Daniel, Tria, dan Ocha (Almh). The Niners REPUBLIKA: Ipenk, Ribiy, dan Ochita. It’s not what we have in life, but who we have in our life that matters. Terima kasih untuk 13 tahun persahabatan ini.
A special thank you goes to Gustidha Budiarti, sahabat dan mantan rekan seprofesi sekaligus editor yang menyempurnakan buku ini. “Makasih ide-idenya Goes, karakter-karakter gue jadi lebih hidup.”
Cinta berlimpah saya untuk ayah dan ibu, Bapak Ade Syaifudin dan Ibu Suriana; papa dan mama mertua, Bapak Indra Arinal dan Ibu Yarmeli; suami tercinta, Rifki Muhamad Bogara; juga tiga buah hati kami, Rayna Maetami Bogara, Rashif Mainaka Bogara, dan Rangin Mainaka Bogara.
Sekali lagi, terima kasih ya, semuanya. Semoga buku ini dapat menebar manfaat. Tabik.
Leave a Comment