Alhamdulillah! Akhirnya, setelah perjalanan panjang, aku bisa ngucapin terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena novel keduaku, ONCE IN A MOON lahir juga! Rasanya campur aduk banget, antara syukur dan nggak sabar nunggu reaksi kalian.
Sekarang, aku nggak bakal cerita terlalu banyak soal isinya dulu, biar kamu semua makin penasaran. Hehe, maklum deh, baru aja kemarin “lahiran” nih novelnya, jadi masih ada rasa kaget dan bahagia yang luar biasa. 😄
Sebelum buku ini terbit, aku sempat banyak diskusi dan brainstorming bareng teman-teman di beberapa grup penulis, termasuk grup Kaizen Writing Alumni. Ini adalah kumpulan penulis hebat yang pernah belajar bareng di “kampusnya” Mbak Dee, alias Dee Lestari.
Diskusi-diskusi itu bener-bener jadi momen yang nggak terlupakan buatku, karena banyak banget insight dan ide-ide brilian yang muncul.
Pertanyaan pertama yang muncul saat aku share cover novelnya hampir selalu sama: kenapa sih judulnya ONCE IN A MOON?
Salah satu yang bertanya adalah Bang Henry Manampiring, penulis FILOSOFI TERAS. Beliau penasaran bertanya, “Judulnya bener nih? Soalnya yang umum kan ‘Once in a Blue Moon’?” Ternyata bukan cuma Bang Henry yang heran, beberapa teman lain juga ikut mempertanyakan hal yang sama.
Nah, jadi cerita sedikit ya. Novel ini memang sempat melalui beberapa kali perubahan judul. Awalnya, aku kasih nama “Kaluna,” yang diambil dari nama karakter utama.
Tapi, kok rasanya kayak judul telenovela 90-an ya? Hahaha, jadi inget Marimar, Esmeralda, sama Betty La Fea, deh. 😆
Akhirnya aku merasa kayaknya judul itu nggak pas banget buat menggambarkan keseluruhan cerita, jadi aku mulai berpikir untuk mengganti.
Lalu, aku mencoba “Sephilove.” Ini adalah istilah yang aku buat sendiri, terinspirasi dari kata “selenophile” yang berarti orang yang mencintai bulan.
Kebetulan banget, karakter utamanya, Kaluna, itu memang seorang yang sangat mencintai bulan. Kaluna itu anak malam, tipe yang betah banget menikmati kesunyian malam dan setiap fase bulan, dari bulan sabit hingga bulan purnama.
Tapi setelah dipikir-pikir lagi, Sephilove terasa terlalu rumit, dan aku khawatir pembaca malah bingung. Jadi, aku memutuskan untuk ganti judul lagi.
Sampai akhirnya, muncullah ide ONCE IN A MOON. Kenapa bukan Once in a Blue Moon? Karena, cerita cinta Kaluna ini nggak hanya terjadi sekali seumur hidup, dan dia nggak cuma mencintai purnama.
Kaluna mencintai semua fase bulan. Bulan sabit, bulan yang tertutup awan, bulan separuh, semuanya punya keindahan tersendiri menurutnya. Jadi, aku merasa judul ini lebih cocok menggambarkan kisah Kaluna.
“Once in a Moon” bagi aku punya makna yang lebih personal. Kalau Once in a Blue Moon itu mengacu pada sesuatu yang sangat langka, Once in a Moon justru menggambarkan momen spesial yang bisa terjadi kapan saja, seperti bulan yang selalu ada setiap malam, dengan segala fasenya.
Pesannya simpel, tapi dalam banget: momen luar biasa dalam hidup nggak perlu menunggu yang langka, tapi bisa hadir kapan saja, bahkan di saat-saat yang biasa.
Jadi, setiap fase kehidupan kita, apapun itu, bisa punya keindahan dan makna yang luar biasa. Yang penting, kita bisa menghargainya, seperti Kaluna yang melihat keindahan bulan dari berbagai sisi.
Judul ONCE IN A MOON bukan hanya sekadar frasa yang aku pilih tanpa alasan, lho. Judul ini punya peran yang sangat penting di akhir cerita, dan kalau kamu baca bukunya sampai tuntas, baru deh kamu bakal paham kenapa aku memilihnya. 😉
Untuk karya keduaku ini, aku memilih untuk menerbitkannya melalui penerbit mandiri, ONE PEACH MEDIA, yang berlokasi di Jakarta. Kalian bisa cek Instagram mereka di @onepeach.media untuk informasi lebih lanjut. Dan tentunya, aku nggak bisa lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya buat editorku yang luar biasa, Mas Fernando Simandalahi.
Sebenarnya, aku baru kenal Mas Fernando secara nggak langsung selama proses editing ini, dan jujur aja, aku bener-bener terkejut dengan hasil editingnya. Masya Allah, rasanya beruntung banget bisa kerja bareng beliau. Editing-nya juara, benar-benar mengubah cerita ini jadi lebih hidup dan kuat! 🔥
Mungkin ada beberapa dari kalian yang bertanya, “Kenapa pilih penerbit mandiri, Muthe? Kan bisa aja coba ke penerbit mayor yang udah punya jaringan toko buku di seluruh Indonesia.”
Jadi, gini. Bagi aku, ini lebih soal pilihan pribadi. Aku termasuk tipe yang agak nggak sabaran kalau harus menunggu proses panjang di penerbit mayor. Proses yang bisa makan waktu berbulan-bulan, bahkan lebih.
Belum lagi kalau sudah sampai tahap editing, kita harus kerjasama lagi dengan editor baru dan bisa aja harus revisi berkali-kali.
Nah, untuk novel kedua ini, aku emang pengen banget ONCE IN A MOON bisa cepat-cepat terbit. Hehehe, siapa sih yang nggak pengen karya mereka cepat dinikmati pembaca?
Tapi intinya, aku percaya bahwa semua penerbit itu punya kelebihan masing-masing, yang terpenting adalah bagaimana karya kita bisa sampai pada pembaca sesuai dengan visi kita. Proses itu harus dilalui, dan setiap langkahnya punya tantangan tersendiri.
Siapa tahu, mungkin di masa depan, salah satu karyaku yang lain bisa diterbitkan oleh penerbit mayor. Siapa yang tahu kan, impian itu pasti bisa terwujud kalau kita terus berusaha.
Kali ini, aku pengen bahas soal pengalaman seru menerbitkan buku di penerbit mandiri, yang ternyata punya banyak kelebihan yang bikin prosesnya nggak cuma lebih bebas, tapi juga lebih menyenangkan.
Salah satu alasan utamanya adalah kebebasan kreatif. Kalau kamu penulis yang ingin karya kamu tetap orisinal dan tanpa kompromi, penerbit mandiri ini jawabannya.
Aku bukan berarti nggak peduli soal penjualan buku, tapi lebih kepada aku pengen pembaca merasakan langsung gaya penulisanku yang apa adanya, dengan alur cerita yang memang aku inginkan.
Di penerbit mandiri, aku merasa bebas mengeksplorasi ide dan konsep tanpa harus mengikuti aturan ketat yang kadang bikin kreativitas terhambat.
Apalagi, setelah lebih dari 10 tahun di dunia media, aku semakin yakin bahwa penerbit mandiri memberikan pengalaman yang lebih sesuai dengan visi dan keinginanku. Aku bisa terlibat langsung dalam setiap detail buku yang aku terbitkan, dari awal hingga akhir.
Nggak ada perasaan dibatasi atau diubah-ubah oleh editor seperti di penerbit besar. Jadi, karya aku benar-benar jadi refleksi dari diriku sebagai penulis.
Yang paling menarik adalah kontrol penuh atas proses produksi. Mulai dari desain sampul, layout, hingga strategi pemasaran ONCE IN A MOON, semuanya bisa aku kendalikan.
Gak cuma itu, aku bisa pilih konsep desain yang sesuai dengan karakter bukuku. Misalnya, kalau aku pengen desain sampul yang beda dari yang lain, aku bisa langsung diskusi dan nentuin bersama tim. Prosesnya lebih personal dan lebih “aku banget.”
Yang nggak kalah seru adalah soal royalti yang lebih besar. Mungkin ini bukan alasan utama, tapi siapa yang nggak senang dengan royalti yang lebih besar, kan?
Penerbit mandiri memang memberikan royalti yang lebih tinggi dibandingkan penerbit mayor, yang kadang hanya memberikan sebagian kecil dari keuntungan.
Memang, kamu harus kerja keras untuk mempromosikan buku dan menjangkau pembaca, tapi rasanya semua perjuangan itu terbayar dengan hasil yang lebih memuaskan.
Dan yang paling keren? Kamu bisa lebih dekat dengan pembaca. Penerbit mandiri sering kali memanfaatkan platform online dan komunitas niche, yang memungkinkan kamu menjangkau pembaca yang benar-benar cocok dengan gaya tulisanmu.
Dengan cara ini, hubungan dengan pembaca bisa lebih intim dan personal, karena kamu bisa berinteraksi langsung dengan mereka, mendengar pendapat mereka, dan bahkan mendapatkan feedback yang berguna untuk karya selanjutnya.
Intinya, penerbit mandiri memberikan kebebasan dan kontrol penuh untuk menciptakan buku sesuai dengan keinginan kamu, sekaligus membangun hubungan yang lebih erat dengan pembaca yang mengapresiasi karya kamu.
Jadi, buat kamu yang pengen jadi penulis dengan lebih banyak kebebasan dan keseruan dalam prosesnya, penerbit mandiri ini pasti pilihan yang asyik banget, deh!
Tapi, perlu digarisbawahi, meskipun sekarang banyak banget penerbit mandiri bermunculan, nggak semuanya bisa jadi pilihan yang tepat. Ya, kayak cari pasangan hidup aja, kita perlu selektif.
Penerbit juga harus punya track record yang baik supaya kita nggak kecewa di tengah jalan. Cek dulu medsos mereka, lihat ulasan tentang buku-buku yang sudah mereka terbitkan, dan gimana mereka menangani produk. Jangan sampai kamu merasa jadi korban promosi palsu, ya!
Nah, itulah kenapa aku memilih One Peach Media untuk menerbitkan novel ONCE IN A MOON. Bagi aku yang tinggal di Jabodetabek, One Peach Media benar-benar pilihan terbaik. Mereka nggak cuma peduli sama kualitas buku, tapi juga cara mereka berkomunikasi dengan penulis dan pembaca.
Mereka selalu berusaha memberikan yang terbaik, mulai dari desain cover yang catchy, editing yang detail, hingga strategi pemasaran yang oke. Semua itu penting banget buat aku sebagai penulis yang ingin bukunya sampai ke pembaca dengan cara yang profesional.
Buat kamu yang belum tahu, ONCE IN A MOON bercerita tentang perjalanan hidup Kaluna yang penuh kejutan, terutama dalam urusan cinta. Bukan cuma soal kisah cinta yang manis dan romantis, tapi lebih dalam dari itu.
Novel ini mengajak pembaca untuk melihat bagaimana setiap fase dalam hidup Kaluna, yang kadang mirip dengan perjalanan hidup kita sendiri, bisa menciptakan momen-momen spesial yang tak terduga.
Jadi, kalau kamu suka cerita yang bisa bikin kamu mikir sambil merasa terhubung, ONCE IN A MOON wajib banget ada di wishlist kamu. Kita semua pasti punya momen-momen yang mengubah hidup, kan? Nah, mungkin kisah Kaluna bisa jadi refleksi dari perjalanan kamu juga.
Kamu bisa langsung cari “Once in a Moon” di Tokopedia atau Shopee, atau cek Instagram One Peach Media untuk info lebih lanjut. Kalau mau lebih cepat, DM aja aku! Aku siap banget buat pesanan khusus buat kamu yang nggak sabar membaca kisah ini. 😉 Terima kasih banyak sudah mendukung, dan semoga kamu selalu bahagia.
Leave a Comment