Enam ekor burung cenderawasih kuning kecil (Paradiseae minor) jantan dan betina tengah berkumpul di pucuk pohon lolang hutan Sawendui, Papua. Burung-burung surga itu sama sekali tak terganggu dengan kehadiran manusia di sekitarnya.
Dua pejantan memasuki ‘panggung’ tak lama kemudian. Mereka mulai bernyanyi dan menari mengitari pohon-pohon kawin. Bagian ekor burung cenderawasih jantan itu berjuntai putih dan kuning. Tubuhnya diselimuti warna cokelat dengan paruh abu-abu kebiruan. Iris matanya juga berwarna kuning.
Cenderawasih jantan memiliki bulu hijau zamrud mengilap di sekitar leher. Sungguh gagah dipandang mata.
Pagi itu, para cenderawasih jantan tiada maksud menari untuk memikat manusia. Mereka hanya menari untuk menarik perhatian betina yang dicintainya, berharap ada yang tertarik dan menjadi pasangan kawin.
Akmal Firdaus, seorang pelestari cenderawasih di Sawendui mengatakan burung cenderawasih memiliki perilaku kawin yang unik, yaitu lek mating system. Beberapa individu jantan dan betina berkumpul di suatu tempat, disebut lek area untuk melakukan aktivitas kawin.
Para pejantan saling berlomba menunjukkan kegagahan dan keindahan tarian mereka di depan para betina supaya si betina memilihnya sebagai pasangan kawin. “Panggung” atau tempat berlangsungnya tarian tadi disebut pohon menari.
Pasangan burung cenderawasih, sebut Akmal akan kawin di tempat sama pada pagi, siang, dan sore hari. Perilaku ini di satu sisi mempermudah aktivitas ekowisata karena meningkatkan peluang perjumpaan wisatawan untuk menyaksikan langsung tarian cenderawasih di habitat alami.
Di sisi lain, perilaku kawin cenderawasih ini berdampak negatif karena memudahkan pemburu melacak keberadaannya. Kondisi inilah yang selama ini membuat populasi cenderawasih di Papua menurun drastis akibat perburuan liar. Begitu pemburu berhasil mengetahui lek area cenderawasih, mereka dengan mudah menangkapnya.
Secara ekologi, hilangnya burung cenderawasih dari habitat aslinya berdampak negatif pada regenerasi hutan. Burung secara umum dikenal sebagai agen penyebar biji yang akan tumbuh menjadi bibit-bibit pohon baru di hutan.
Beberapa jenis cenderawasih memakan buah jabon dan sengon. Burung tersebut akan membuang kotoran yang mengandung biji-biji jabon dan sengon di lantai hutan.
Pohon jabon dan sengon merupakan dua jenis pohon dengan kualitas kayu unggulan. Masyarakat Sawendui dan desa-desa lain di Kepulauan Yapen, Papua bahkan membuat perahu-perahu motor untuk transportasi umum dari kayu-kayu ini.
Cenderawasih merupakan spesies endemik Papua. Secara tidak langsung, berkurangnya populasi cenderawasih di Sawendui akan memengaruhi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.
Menjaga hutan dan burung surga bersama masyarakat adat
Kawasan hutan Sawendui adalah sumber sandang, pangan, dan papan bagi masyarakat. Hutan ini juga habitat dari empat jenis burung surga, yaitu cenderawasih kuning kecil, kepeng-kepeng atau cenderawasih raja (Cicinnurus regius), cenderawasih belah rotan (Cicinnurus magnificus), dan cenderawasih yobi (Manucodia jobiensis).
Dua belas tahun bukan waktu singkat bagi Akmal beradaptasi dengan kehidupan masyarakat Papua. Sejak 2011, begitu lulus sebagai sarjana kehutanan dari sebuah kampus negeri di Bogor, Akmal memutuskan menjadi pelestari cenderawasih di bawah sebuah yayasan konservasi lokal dan menetap di Sawendui.
Sawendui adalah desa terpencil di Distrik Raimbawi, Kepulauan Yapen, Papua yang hanya dihuni 54 jiwa atau 14 kepala keluarga. Desa ini diapit birunya laut dan hijaunya belantara.
Kondisi remote inilah yang menjadikan Sawendui paling cocok untuk konservasi cenderawasih secara insitu. Akmal berkisah bagaimana merangkul berbagai stakeholders tentang strategi pelestarian burung surga tersebut.
“Meski hanya 14 KK, pada tataran penduduk sedikit pun, tetap saja rumit. Apalagi, masyarakat Papua memiliki tanah ulayat adat, kepala suku, dan sebagainya,” katanya suatu hari saat bercerita pada saya dan teman-teman yang tergabung dalam Komunitas Rimbawan Menulis.
Kendati demikian, Akmal percaya selama dia bisa meyakinkan kepala suku untuk memiliki pemahaman baik tentang pelestarian cenderawasih, perlahan tetapi pasti tujuan mulia itu akan tercapai.
Bagaimana masyarakat adat di Sawendui menjaga hutan dan isinya?
1. Burung adalah satwa yang disakralkan
Suku Nunsuari yang mendiami Sawendui memiliki keyakinan yang sangat erat dengan alam sekitar, terutama dalam hubungannya dengan burung.
Mereka percaya bahwa nenek moyang mereka adalah burung, yang menjadikan makhluk ini sangat dihormati dalam budaya mereka.
Akan tetapi, menurut Akmal, burung yang mereka anggap sakral bukanlah burung cenderawasih yang sering dikaitkan dengan kemewahan dan keindahan Papua.
Sebaliknya, burung yang mereka sebut akaku sewari atau burung siang, memiliki peran yang jauh lebih penting dalam kepercayaan mereka. Burung ini dikenal dalam masyarakat luas sebagai jagal Papua (Cracticus cassicus), yang tubuhnya didominasi warna hitam dan putih.
Burung siang ini mendapatkan namanya karena kicauannya yang khas di pagi hari, tepat saat fajar menyingsing. Kicauannya bukan sekadar suara biasa, melainkan sebuah pertanda bahwa pagi telah tiba.
Hal ini membuat burung tersebut sangat dihormati di Sawendui, hingga tidak satu pun dari masyarakat yang berani mengganggu atau menangkapnya.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, jika ada yang melukai atau membunuh burung ini, nenek moyang mereka akan marah dan memberikan murka.
Sementara itu, cenderawasih memang memiliki posisi yang sangat tinggi dalam budaya masyarakat Sawendui, namun tidak sesakral akaku sewari.
enderawasih, dengan keindahan bulunya yang luar biasa, memang dihormati, tapi posisinya tak setinggi burung siang dalam kepercayaan mereka.
Ini terbukti dari cara masyarakat Sawendui memperlakukan bulu-bulu burung ini.
Tidak seperti suku-suku lainnya di Papua yang menggunakan tubuh burung cenderawasih utuh sebagai bagian dari mahkota, masyarakat Sawendui hanya mengumpulkan bulu-bulu cenderawasih yang jatuh secara alami di sekitar area mereka, terutama pada musim kawin.
Bulunya yang jatuh inilah yang kemudian mereka gunakan untuk membuat hiasan kepala atau mahkota, sebagai simbol kehormatan dan status.
Masyarakat Sawendui menunjukkan kedekatan mereka dengan alam dan tradisi yang telah mereka jaga selama berabad-abad.
Walaupun cenderawasih sangat dihormati, akaku sewari atau burung siang tetap menjadi simbol yang lebih sakral bagi mereka, mengingat burung ini bukan hanya sebagai makhluk alam, tapi juga sebagai penghubung spiritual dengan nenek moyang mereka.
2. Membentuk kelompok masyarakat pelestari cenderawasih
Kelompok Masyarakat Pelestari Cendrawasih “Botenang” Sawendui, yang terbentuk pada tahun 2012, adalah contoh inspiratif dari upaya masyarakat lokal untuk menjaga keberlanjutan spesies langka dan terancam punah.
Kelompok ini berfokus pada tiga kegiatan utama yang saling mendukung: pengelolaan habitat, pemantauan populasi, dan pemberdayaan masyarakat setempat.
Mereka bekerja dengan penuh dedikasi untuk memastikan bahwa burung cenderawasih, simbol keindahan alam Papua, dapat terus berkembang biak di habitat alami mereka.
Kegiatan pengelolaan habitat mencakup upaya untuk menjaga dan merestorasi area hutan yang menjadi tempat hidup cenderawasih.
Tak hanya itu, kelompok ini juga memiliki pos-pos pemantauan perburuan yang tersebar di beberapa titik di sekitar Sawendui, untuk meminimalkan ancaman perburuan liar yang dapat merusak populasi cenderawasih.
Rutin berkeliling hutan untuk melakukan patroli, mereka berusaha menjaga keseimbangan ekosistem dan memastikan bahwa habitat burung-burung cantik ini tetap terlindungi.
Penting untuk dicatat bahwa aktivitas kelompok ini diawasi langsung oleh kepala marga, termasuk tetua adat Marga Korano dari Suku Nunsiari, yang turut menjaga kearifan lokal dan tradisi adat dalam setiap keputusan yang diambil.
Kolaborasi antara kelompok pelestari dan para tetua adat sangatlah penting, mengingat peran besar mereka dalam menjaga keseimbangan alam dan warisan budaya Papua.
Upaya keras ini akhirnya membuahkan hasil yang membanggakan. Pada Juni 2017, Gubernur Papua secara resmi menetapkan Sawendui sebagai salah satu dari lima area pengamatan cenderawasih di Papua.
Ini merupakan pengakuan atas kerja keras dan komitmen kelompok “Botenang” Sawendui dalam melestarikan salah satu spesies paling ikonik di bumi Cendrawasih ini.
Sebuah prestasi yang tak hanya penting bagi lingkungan, tetapi juga bagi masa depan generasi penerus yang akan terus menikmati keindahan alam Papua.
3. Melarang keras penebangan pohon pakan dan pohon kawin cenderawasih
Dalam upaya pengelolaan habitat yang berkelanjutan, Kelompok Masyarakat Pelestari Cendrawasih “Botenang” Sawendui telah melakukan identifikasi terhadap pohon-pohon yang memiliki peran penting bagi kehidupan satwa cenderawasih, terutama pohon pakan dan pohon kawin.
Aktivitas ini bukan hanya sekadar penelitian, tetapi merupakan bagian dari komitmen masyarakat untuk menjaga kelestarian cenderawasih dan ekosistem yang mendukung keberadaan mereka.
Sejauh ini, masyarakat telah berhasil mengidentifikasi lima jenis pohon pakan utama bagi cenderawasih, yang sangat bergantung pada buah-buahan dari pohon-pohon tersebut untuk bertahan hidup. Jenis-jenis pohon pakan ini antara lain ado (Ficus adenosperma), aria (Cananga odorata), mansamuna kuaya (Drypetes neglecta), kamo (Gymnacranthera paniculata), dan oswarareng (Podocarpus neriifolius).
Pohon-pohon ini tidak hanya menyediakan makanan, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial dan reproduksi cenderawasih.
Selain pohon pakan, masyarakat juga berhasil mengidentifikasi sembilan jenis pohon kawin, atau pohon menari, yang digunakan oleh cenderawasih sebagai lokasi untuk menari sebelum perkawinan.
Tarian ini adalah bagian dari ritual hidup mereka, yang sangat penting dalam proses perkembangbiakan. Pohon-pohon ini tidak hanya menjadi tempat berteduh, tetapi juga menjadi panggung bagi keindahan alam yang memukau.
Komitmen masyarakat adat Sawendui dalam menjaga kelestarian pohon-pohon ini sangat tinggi. Mereka dengan tegas melarang segala bentuk aktivitas yang berpotensi merusak atau mengancam keberadaan pohon-pohon pakan dan kawin tersebut.
Dengan pendekatan berbasis pengetahuan lokal dan tradisi, mereka berusaha untuk menjaga keseimbangan alam dan memastikan cenderawasih tetap berkembang biak di habitat aslinya.
Keterlibatan aktif masyarakat dalam pengelolaan habitat ini adalah contoh nyata dari bagaimana masyarakat lokal bisa menjadi garda terdepan dalam upaya pelestarian alam.
4. Mendidik generasi penerus Sawendui
Akmal dan rekan-rekannya berinisiatif membuka layanan pendidikan jenjang sekolah dasar pada 2012 di Sawendui. Mereka memanfaatkan bangunan serbaguna di kampung, kemudian merekrut seorang guru dari kampung terdekat.
Sayang sekali, sang guru tiba-tiba mengundurkan diri dengan alasan keluarga dan tak pernah kembali. Kejadian seperti ini tak hanya terjadi di Papua, melainkan wilayah terpencil lainnya di Indonesia.
Akmal tetap berbesar hati. Dia tahu bahwa tidak banyak guru betah mengabdi untuk waktu lama di lingkungan remote dengan segala keterbatasan.
Akmal pun memberanikan diri menjadi guru sementara sampai anak-anak Sawendui mendapat guru baru. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya 2022, Akmal menerima kabar gembira dari murid-murid angkatan pertamanya dahulu yang telah tumbuh menjadi anak-anak berpendidikan.
Ada yang meneruskan kuliah ke sekolah pendeta. Ada yang melanjutkan pendidikan sarjana ke Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP). Meski tak dipungkiri, ada juga yang hanya sanggup bersekolah hingga SMA kemudian memutuskan menikah.
Berdasarkan kisah ini, bisa kita simpulkan bahwa pendidikan adalah ujung tombak sebuah bangsa dalam membangun peradaban generasi yang berwawasan lingkungan.
Emisi karbon mengubah bumi menjadi neraka
Perubahan iklim telah mengubah wajah planet kita dalam berbagai cara yang tak bisa diabaikan lagi. Cuaca ekstrem kini menjadi hal yang semakin sering kita hadapi, mulai dari badai tropis yang merusak, kebakaran hutan yang meluas, kekeringan yang mengancam sumber daya air, hingga gelombang panas yang memengaruhi kesehatan dan kehidupan sehari-hari.
Semua perubahan ini, meskipun tampak sebagai fenomena alam, sejatinya berdampak langsung pada kehidupan kita.
Perubahan iklim mengganggu produksi pangan, mengancam tanaman yang kita andalkan, serta merusak habitat alami satwa-satwa di hutan yang semakin terdesak. Dampak negatifnya begitu luas dan memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan kita.
Tentu saja, salah satu faktor utama yang menyebabkan perubahan iklim adalah emisi gas rumah kaca.
Emisi gas rumah kaca ini menjadi pelaku utama dalam memicu pemanasan global, yang menyebabkan suhu bumi terus meningkat. Salah satu jenis emisi yang sangat berperan dalam hal ini adalah emisi karbon.
Emisi karbon terjadi ketika karbon dioksida (CO2) berkumpul berlebihan dan terperangkap di atmosfer dalam jangka waktu yang lama. Peningkatan kadar CO2 ini dipicu oleh berbagai aktivitas, baik alami maupun yang dilakukan manusia.
Aktivitas manusia, seperti proses deforestasi, pembakaran bahan bakar fosil, pembuangan limbah padat, dan lain sebagainya, telah memperburuk keadaan.
Memahami emisi karbon dan jejaknya sangat penting agar kita bisa melakukan upaya pengurangan yang efektif. Semakin banyak karbon yang dilepaskan ke atmosfer, semakin besar dampaknya pada perubahan iklim.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mulai memperhatikan jejak karbon kita dan berusaha untuk menguranginya, baik dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, memperbanyak penghijauan, hingga mengelola limbah dengan lebih baik.
Karbon dioksida berada di atmosfer selama ribuan tahun dan akhirnya memengaruhi planet ini lewat perubahan iklim. Apa saja yang terjadi setelah itu?
1. Peningkatan suhu global
Suhu bumi semakin panas, dan kita benar-benar merasakannya. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) sudah memperingatkan kita bahwa dalam lima tahun ke depan, suhu global bisa meningkat hingga 1,5 derajat Celsius.
Ini bukan angka yang sepele, karena 1,5 derajat Celsius adalah ambang batas yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015 untuk membatasi pemanasan global. Adam Scaife, ilmuwan dari Met Office Hadley Centre di Inggris, bahkan memperkirakan ada kemungkinan suhu naik lebih dari 1,5 derajat dalam waktu dekat.
Dan yang lebih mengkhawatirkan, 66 persen dari kenaikan itu bisa terjadi sebelum 2027! Bayangkan, jika kita terus seperti ini, bumi bisa jadi seperti neraka yang panas.
2. Risiko kesehatan meningkat
Emisi karbon secara langsung memengaruhi kesehatan manusia, salah satunya menimbulkan lebih banyak penyakit terutama penyakit saluran pernapasan akibat peningkatan kabut asap dan polusi udara.
Pada 2017, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah memproyeksikan sebanyak 250 ribu jiwa per tahun akan meninggal dunia sepanjang 2030-2050.
Ratusan ribu jiwa meregang nyawa akibat gizi buruk, malaria, diare, dan panas ekstrem. Semua itu adalah jenis-jenis penyakit yang terkait dengan perubahan iklim.
3. Ancaman terhadap ekosistem dan makhluk hidup di dalamnya
Kalau kenaikan suhu bumi melewati angka dua derajat celsius, 99 persen terumbu karang akan hilang. Lapisan es di kutub utara bisa runtuh dan akibatnya permukaan laut naik 10 meter.
Perubahan iklim membuat beberapa jenis satwa dan tumbuhan terancam punah. Sebagaimana kita ketahui, hutan adalah shelter bagi satwa liar. Artinya, hutan berperan sebagai sumber makanan sekaligus habitat alami satwa.
Contoh kasus ancaman kepunahan badak jawa (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon. Salah satu sebabnya adalah pertumbuhan tanaman invasif yang mendominasi sebagian besar wilayah hidup badak dan mengurangi ketersediaan pakan asli badak jawa.
Beberapa jenis pakan badak jawa dihasilkan pohon putat, kijahe, kitanjung, kililin, burung dahu, kadongdong, salam, dan sigeung. Apa jadinya ketika hutan musnah dan pohon-pohon di dalamnya tidak ada lagi? Sudahlah pasti badak jawa ikut tiada.
4. Menurunkan produktivitas lahan
Sebagian dari kita saat ini mungkin mengeluh, kenapa tanah kita sekarang susah sekali ditanami? Seolah-olah tanaman sekarang tidak mungkin bisa dipanen kalau tidak diberi pupuk.
Pohon adalah mitra terbaik untuk meningkatkan produktivitas lahan. Ketika masih banyak kawasan berhutan, percayalah, lahan-lahan di sekitarnya pasti subur makmur.
Hutan dalam berbagai cara berperan positif meningkatkan kesuburan tanah dan mengurangi erosi. Hutan memastikan tanah-tanah sekitarnya terus mendapat kelembaban.
Daun, cabang, ranting, dan batang pohon yang berguguran atau lapuk di hutan menjadi pupuk alami, memberi nutrisi untuk pertumbuhan anakan pohon sekitarnya, dan mendorong perkembangan mikroorganisme tanah.
Demikian keberadaan hutan meningkatkan produktivitas lahan. Sebaliknya, pengurangan kawasan berhutan akan menurunkan produktivitas lahan.
#BersamaBergerakBerdaya kembali menyurgai bumi
Saya tidak ingat kapan pertama kalinya saya jatuh cinta dengan keindahan alam. Sejak kecil, saya sudah merasa terikat dengan alam dan seisinya, mulai dari tumbuhan, hewan, pohon, hutan hingga sungai-sungai yang mengalir di dalamnya.
Saya rasa kita semua sepakat bahwa bumi sejatinya adalah surga yang menakjubkan, dipenuhi dengan ekosistem luar biasa dengan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Akan tetapi, bumi kita kini sedang tidak baik-baik saja. Permukaan air laut terus naik, kebakaran hutan masih sering terjadi, banyak spesies hewan dan tumbuhan menuju kepunahan, penggundulan hutan, konversi lahan, polusi plastik, dan sebagainya.
#UntukmuBumiku, seandainya saya memiliki kuasa membuat kebijakan terkait mitigasi perubahan iklim di negara ini, saya pasti akan menyelesaikan semua masalah yang terjadi di sektor hulu terlebih dahulu.
Percuma saja kita sibuk membahas hilirisasi dan transisi energi ketika kondisi di sektor hulu masih bobrok dan amburadul. Tidak ada lagi kondisi yang lebih mendesak dari pada sekarang bagi kita, umat manusia untuk #BersamaBergerakBerdaya melangkah dan membuat perubahan.
Sebagaimana sahabat saya, Akmal dengan langkah kecilnya menyurgai bumi bersama masyarakat adat di Sawendui, demikian juga hendaknya kita dengan cara apa pun yang kita bisa.
Kembali menyurgai bumi berarti kita menjadikan planet ini tempat lebih baik. Kembali menyurgai bumi berarti kembali ke dasar, memilih menyederhanakan hidup kita, membuat pilihan-pilihan baru yang lebih sehat untuk kita dan planet tempat tinggal kita.
Kalau #BersamaBergerakBerdaya versi kalian apa nih? Boleh dong tulis di kolom komentar ya!
Sumber referensi tambahan
https://www.bbc.com/news/science-environment-65602293
https://www.nasa.gov/press-release/2020-tied-for-warmest-year-on-record-nasa-analysis-shows/
https://www.mongabay.co.id/2017/04/25/harapan-baru-tumbuhan-pakan-badak-jawa-di-ujung-kulon-seperti-apa/
https://www.fao.org/fileadmin/user_upload/emergencies/docs/GRFC2020_September%20Update_0.pdf
Leave a Comment