Seekor burung cendrawasih jantan menari membusungkan dada, melompat, dan mengibas-ngibaskan ekornya serupa kipas. Bulunya gagah coklat berkilauan. Ekornya berjuntai putih dan kuning. Maskot Papua itu tiada maksud berlagak untuk memikat manusia. Dia hanya menari untuk memancing perhatian betina yang dicintainya.
Tapi siapa sangka kehidupan damai burung ini di hutan berakhir sebagai tanda mata berupa topi yang dihadiahi untuk orang-orang penting yang berkunjung ke Papua, mulai dari aparat polisi, TNI, pejabat lokal dan pusat, anggota DPR, menteri, hingga artis. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Presiden Joko Widodo juga pernah dimahkotai topi berhiaskan bulu burung eksotis ini.
Dari beberapa teman asal Papua di Bogor akhir pekan lalu, aku baru mengetahui betapa mengenaskannya nasib Si Cendrawasih di habitatnya. Hermalina Adolvina, temanku membagi ceritanya pada kami.
“Jumlah pejabat yang datang ke Papua sangat banyak. Satu orang pejabat mendapatkan satu topi mahkota. Artinya, satu pejabat datang, satu ekor burung cendrawasih ditangkap,” kata Hermalina.
Siapa yang tak naksir dengan unggas cantik ini? Keindahan bulunya memancing daya tarik beberapa manusia dungu yang memburu dan memperjualbelikannya secara ilegal.
Jual beli burung cenderawasih bukan hanya mainan hari ini atau kemarin saja, melainkan sudah terjadi sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Saat itu, bulu cendrawasih menjadi tren sebagai penghias topi wanita di Eropa, sehingga banyak yang memasarkannya ke sana.
Di sisi lain, bulu cendrawasih biasa digunakan sebagai hiasan pakaian adat masyarakat pribumi Papua. Mereka menjadikan itu sebagai bagian dari kearifan lokal. Masyarakat adat menangkapi cendrawasih dengan menggunakan perangkap atau panah tradisional, sehingga tak terlalu mengganggu populasi burung tersebut. Ini masih diperbolehkan selama tak berlebihan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 5/ 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 7/1999.
Aku juga tahu bahwa penyematan mahkota cendrawasih ke kepala para pejabat itu adalah satu bentuk penghormatan dari masyarakat Papua kepada mereka. Namun, sampai kapan hal ini terus dibiarkan di tengah nasib cendrawasih yang semakin langka dan terancam punah?
Peneliti Burung dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mohammad Irham dalam sebuah diskusi mengatakan pada kami bahwa lebih dari separuh jenis cendrawasih yang ada di dunia ada di Papua. Setidaknya 35 spesies cendrawasih ditemukan di Indonesia, khususnya Papua. Jenis paling terkenal adalah Paradisaea apoda, Paradisaea minor, Cicinnurus regius, dan Seleucidis melanoleuca.
Konservasi cendrawasih menghadapi tantangan terbesar dari perburuan, perdagangan, dan perubahan habitat. Perburuan dilakukan secara masif dengan senjata api, bukan lagi panah atau perangkap tradisional.
“Cendrawasih adalah satwa dilindungi, sehingga segala bentuk pemanfaatannya harus ada izin khusus dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” katanya.
Pemanfaatan burung dari famili Paradisaeidae ini, kata Irham harus mengikuti ketentuan yang berlaku. Terkait dengan penangkapan cendrawasih untuk diambil bulunya sebagai hiasan topi pejabat, Irham menyoroti komitmen yang sama harus diberlakukan untuk mereka.
“Jika aparat atau menteri bisa mendapatkannya sebagai hadiah, berarti sumber penyedia bulu cendrawasih, termasuk pedagangnya harus mengantongi izin khusus. Jika tidak, maka aspek penegakan hukum untuk kedua belah pihak harus diberlakukan,” ujar Irham.
Sewaktu masih berstatus mahasiswa dulu, aku dan beberapa temanku yang juga pengamat burung (birdwatcher) pernah mendatangi sejumlah pasar burung di Bogor dan Jakarta. Tak hanya cendrawasih, burung-burung dilindungi lainnya juga bernasib sama, ditangkapi dan diperjualbelikan secara ilegal.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, seekor burung cendrawasih hidup bisa dijual dengan kisaran harga Rp 1-3 juta. Cendrawasih yang sudah mati dan diawetkan juga memiliki banyak peminat. Mereka berani membeli dengan kisaran harga Rp 700 ribu hingga satu juta rupiah.
Burung ini ditangkap dengan cara diburu, dijerat, ditembak, atau dipanah demi menjadikan bulunya sebagai hiasan kepala manusia. Cendrawasih tak ayal menjadi burung surga yang bernasib bak di neraka. Sungguh kasihan!
Leave a Comment