Perubahan iklim salah satu masalah terbesar abad ini. Namun, ketika orang-orang mengakses berita terkait topik ini, media-media di Indonesia seperti kesulitan menarik perhatian pembaca.
Berita-berita tentang perubahan iklim kesannya sulit, menakutkan, dan disajikan lewat bahasa berat dengan istilah-istilah ilmiah yang njelimet.
Sebut saja ketika jurnalis harus menjelaskan apa itu dekarbonisasi, ekonomi hijau, blue carbon, emisi gas rumah kaca, gambut, dan sebagainya. Jangankan menerangkan istilah seasing itu, membedakan mana tumbuhan yang layak disebut pohon dan bukan pohon saja bisa membuat jurnalis berpikir lebih lama.
Tidak semua jurnalis atau content creator berlatar belakang pendidikan bidang lingkungan. Wajar saja apabila mereka tidak akrab dengan berita-berita sains, teknologi, dan lingkungan.
Akan tetapi, bukan berarti kita tidak bisa atau tidak boleh membahas topik tersebut. Tidak ada hal di dunia ini yang tak bisa dipelajari. Hanya saja, beberapa orang butuh waktu melakukannya.
Jurnalisme lingkungan di Indonesia
Sejak 2015, sewaktu masih berkarier sebagai jurnalis ekonomi salah satu media nasional, saya bergabung dengan Society of Indonesian Science Journalist (SISJ). Sejak itu pula, saya aktif menulis berbagai artikel seputar ekonomi lingkungan.
Istilah jurnalisme lingkungan sebetulnya mulai populer di Indonesia pada 1992, sejak LKBN ANTARA bekerja sama dengan UNESCO mengadakan Lokakarya Jurnalisme Lingkungan di Jakarta, 27 April-3 Mei 1992. Majalah TEMPO bahkan jauh lebih dahulu memiliki rubrik lingkungan yang menjadi salah satu indikator penting kemajuan jurnalisme lingkungan di Indonesia.
Sayangnya, popularitas TEMPO menyajikan tulisan-tulisan investigatif tentang lingkungan tidak didukung dengan keterbukaan sejumlah instansi pemerintah era 90-an. Reporter sulit mendapatkan data dan informasi akurat tentang realitas lingkungan yang ada dari pemerintah sebagai salah satu narasumber.
Akibatnya apa? Reporter harus belajar mandiri melaporkan dan menulis berita-berita seputar lingkungan yang tak jarang membuat mereka nyaris putus asa, bahkan menurut saya stres.
Kok stres? Ya bayangkan saja. Pemerintah pelit kasih data sehingga reporter harus mencari data sendiri diam-diam sana-sini, bahasanya berat, diperparah dengan deadline singkat.
Produktivitas reporter yang menulis berita-berita lingkungan harus dikorbankan lantaran mempelajari topik lingkungan sebelum menuangkannya ke dalam artikel yang bisa dipahami pembaca sungguh lah berat. Reporter yang tadinya bisa menulis tiga berita untuk koran dalam sehari, ujung-ujungnya hanya berhasil menulis satu berita lantaran topiknya adalah lingkungan.
Saya bersyukur tidak mengalaminya lantaran saya memang lulusan kampus kehutanan dan lingkungan. Namun, saya mengakui pekerjaan seorang jurnalis lingkungan itu sulit mengingat dahulu pun redaktur lebih sering menyerahkan topik-topik tersebut kepada saya karena katanya saya mungkin lebih paham.
Guru saya, Mas Harry Suryadi, mantan reporter Kompas yang turut membangun jurnalisme lingkungan di Indonesia bahkan mengakui masih banyak pers Indonesia tidak menganggap isu lingkungan sebagai isu penting yang memengaruhi kehidupan masyarakat. Akibatnya, proses jurnalisme lingkungan tidak menjadi prioritas utama.
Sejauh ini, belum ada satu pun surat kabar di Indonesia yang mempunyai desk lingkungan hidup tersendiri. Kompas dan Suara Pembaruan misalnya, memasukkan berita-berita lingkungan ke dalam kanal IPTEK. Beberapa tahun belakang Kompas akhirnya memiliki kanal LINGKUNGAN di laman berita online-nya, yaitu kompas.com.
REPUBLIKA, media tempat saya dahulu bekerja juga melakukan hal sama. Berita-berita lingkungan ditampilkan di halaman ekonomi.
Salah satu alasannya lantaran Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perikanan dan Kelautan kala itu berada di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian. Kondisinya masih sama sampai hari tulisan ini diterbitkan.
#BersamaBergerakBerdaya jadi ecoblogger dan jurnalis lingkungan
Survei Reuters Institute bekerja sama dengan University of Oxford (2020) menyasar sejumlah responden di berbagai negara tentang minat mereka terhadap berita-berita seputar perubahan iklim. Cakupannya adalah negara-negara Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Asia Pasifik.
Lebih dari separuh responden di Yunani (53 persen), Portugal (53 persen), Cile (52 persen), dan Filipina (52 persen) mengatakan mereka tertarik dengan berita seputar perubahan iklim dan lingkungan.
Di kawasan Asia Pasifik, minat responden dari Indonesia hanya 39 persen, lebih rendah dari Jepang (42 persen), Korea Selatan (43 persen), India (47 persen), Malaysia (48 persen), Thailand (51 persen), dan Filipina (52 persen).
Kok cuma 39 persen sih responden Indonesia yang minat sama berita-berita seputar perubahan iklim dan lingkungan?
Miris ya. Padahal, Indonesia itu negara kepulauan yang paling berisiko terdampak perubahan iklim akibat naiknya permukaan air laut. Masyarakat semestinya memperkaya diri dengan kesadaran membaca topik-topik seputar ini sehingga berpengaruh positif terhadap gaya hidup.
Apa orang Indonesia secuek itu sama lingkungan? Pengen nangis. Pantas saja berita-berita seputar lingkungan di negara ini masih dianggap ‘kurang seksi’ untuk diberitakan.
Semaju apa pun negara di dunia, nyatanya masih ada yang skeptis dan masabodoh soal perubahan iklim. Survei Reuters Institute juga menunjukkan ketidakpedulian sangat tinggi di Amerika Serikat (12 persen), bahkan Swedia (9 persen) yang tak lain adalah negara asal Greta Thuhrnbeg, influencer dan aktivis lingkungan dunia.
Bicara soal isu perubahan iklim dan lingkungan, orang-orang rupanya lebih tertarik mengakses informasinya melalui televisi. Mungkin karena video lebih bisa bicara dan membangkit emosi.
Orang-orang bisa langsung melihat proses gletser mencair atau melihat penyu dan hiu di laut memakan sobekan-sobekan plastik.
Team up for impact everyday challenge
Setelah henti berkarier sebagai jurnalis media nasional pada 2019, saya hijrah menjadi blogger. Pada 2021, saya bergabung dengan Ecoblogger Squad yang diinisasi Blogger Perempuan Network dan HIIP Indonesia.
Rasanya saya seperti menemukan lagi semangat lama. Saya kembali rajin memproduksi tulisan dan ulasan seputar lingkungan hidup bersama teman-teman yang tergabung dalam Ecoblogger Squad.
Selain itu, saya berinisiatif membentuk kanal khusus dengan nama LINGKUNGAN sebagai bagian dari REPUBLIKA Network dan kanal BUMI di laman online yang saya inisiasi bersama teman-teman, www.cariaku.com.
Jaringan internet di Indonesia yang kian berkembang merevolusi hampir seluruh praktik jurnalis lingkungan yang dahulu masih tradisional. Media sosial telah menciptakan era berita tanpa batas yang dapat disesuaikan dengan pembaca.
Siapa saja sekarang bisa menerbitkan dan mendistribusikan berita-berita lingkungan sehingga informasi terkait lingkungan hidup pun lebih intuitif dan berlimpah.
Kali ini, saya mau ajakin teman-teman semua untuk #BersamaBergerakBerdaya membangun jurnalisme lingkungan di Indonesia. Nah, melalui Team Up for Impact (TUFI) everyday challenge, teman-teman bisa memosting video aksi kecilmu di Reels Instagram untuk mencegah dampak perubahan iklim agar tidak makin buruk.
Caranya bagaimana?
Teman-teman tinggal masuk ke laman web https://teamupforimpact.org/team-up-everyday/play dan klik Team Up Now pada challenge yang teman-teman ikuti. Selanjutnya, kombinasikan dengan video di Reels Instagram.
Sekarang, izinkan saya berbagi aksi kecil yang bisa kita lakukan untuk membangun jurnalisme lingkungan lebih baik di Indonesia.
1. Share berita tentang lingkungan
Indonesia ini begitu luas. Banyak berita soal dampak krisis iklim terhadap masyarakat laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil lainnya yang belum diketahui publik.
Indonesia begitu laus, dari Sabang sampai Merauke. Di mana pun kamu berada, kamu bisa membantu menyebarkan berita-berita ini dalam lingkungan pertemanan.
Tujuannya supaya makin banyak pembaca peduli dengan lingkungan dalam artian luas.
2. Share konten tentang lingkungan
Konten lebih luas dari berita. Penyampaiannya pun lebih kreatif, bukan sebatas video, artikel, atau foto, melainkan bisa kombinasi ketiganya, dalam bentuk video kreatif di media sosial, serupa Reels Instagram atau TikTok.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah menyebutkan 82 persen anak muda Indonesia khawatir tentang kerusakan lingkungan. Nah, apa yang bisa kita lakukan?
Kita bisa membantu isu perubahan iklim ini makin diangkat sampai terjadi perubahan nyata di tatanan pembuat kebijakan hingga akar rumput.
3. Follow akun influencer lingkungan
Selain influencer berskala dunia, seperti Gretha Thunberg, Indonesia juga punya banyak influencer yang mendukung penuh beragam aksi dan gaya hidup ramah lingkungan loh.
Kita bisa memperkaya diri lewat konten-konten edukatif mereka. Tinggal follow dan share konten-konten mereka sekiranya bermanfaat.
Jika buat kamu saja bermanfaat, apalagi buat orang lain, ya kan?
Saya kasih contoh beberapa nama, seperti Nadine Chandrawinata, Hamish Daud, Nugie, Andien, Nicholas Saputra, dan Bryan Bryan Masterchef Indonesia Season 5. Yuk, #BersamaBergerakBerdaya membangun jurnalisme lingkungan di Indonesia.
Ada banyak nama lagi yang belum saya sebutkan. Teman-teman punya rekomendasi? Bagikan di kolom komentar ya. Terima kasih.
Mari #BersamaBergerakBerdaya membangun jurnalisme lingkungan di Indonesia. Jangan lupa ikutan challenge-nya ya.
Leave a Comment