Anak kembar, hanya karena mereka berbagi rahim yang sama, bukan berarti mereka berbagi segalanya. Mau itu kembar identik atau kembar tidak identik. Tampilan fisik, kesukaan, hobi, temperamen, bahkan tumbuh kembang anak kembar bisa berbeda satu sama lain.
Saya masih ingat betapa jauhnya Rangin tertinggal dari Rashif terkait perkembangan motorik. Rashif sudah bisa tengkurap sejak berusia 3 bulan, sementara Rangin 4 bulan. Rashif sudah bisa berjalan sejak usia 10 bulan, sementara Rangin baru bisa melakukannya ketika 13 bulan.
Belakangan saya terkejut betapa jauhnya Rashif tertinggal secara kognitif dari Rangin. Qadarullah, salah satu anak kembar saya, Rashif didiagnosis Autism Spectrum Disorder (ASD) sejak berumur 18 bulan.
Orang tua seharusnya tidak membandingkan anak kembarnya, tapi bagi saya gak mungkin tidak membandingkan Rashif dan Rangin. Ketika mereka berdua lahir 29 Januari 2019, gak ada sama sekali saya kepikiran anak saya autis.
Kami beruntung bisa mendeteksi dini autisme pada Rashif karena melihat perbedaan mencolok antara Rashif dan saudara kembarnya.
Rangin anak yang riang, merespons ketika dipanggil namanya, mau bermain dengan orang-orang sekitarnya, dan tampak excited ketika melihat sesuatu yang menarik.
Rashif sebaliknya sibuk sendiri, gak peduli dengan orang-orang sekitar, gak bisa melaksanakan perintah sederhana, malahan dia sibuk stimming memainkan jari, benda-benda panjang, memutar roda, menatap kipas angin, menggoyangkan badan ke kiri kanan atau ke depan belakang. Pokoknya anak saya aktif banget.
Sebagian besar interaksi Rashif dan Rangin itu negatif. Saat Rangin mencoba mengajak Rashif bermain, Rashif justru menjadi ancaman serius bagi Rangin.
Tak jarang Rashif menggigit Rangin dan meninggalkan bekas luka di perut, tangan, kaki, leher, pelipis mata, bahkan pipi Rangin. Rashif seolah terganggu dengan kehadiran Rangin. Makanya saya gak bisa membiarkan mereka berdekatan lama-lama.
Orang tua mana gak perih hatinya mendapati salah satu anak kembarnya memiliki kelainan genetik? Ini berlaku sama dengan orang tua anak kembar yang salah satu putra atau putrinya memiliki cacat fisik atau cacat medis, entah itu lumpuh, bisu, tuli, kelainan jantung, hati, atau paru-paru.
Jelas ini tantangan berat bagi orang tua mana pun, khususnya ibu anak kembar seperti saya. Orang-orang sekitar saya seakan gak pengen saya ‘melupakan’ sejenak salah satu anak kembar saya berbeda.
Teman, keluarga, bahkan orang baru saya kenal pun pernah bertanya, walau pun mungkin niat mereka cuma iseng, “Siapa yang jalan duluan? Siapa yang bisa ngomong duluan?”
Nanti kalo anak kembarnya udah pada sekolah, ada lagi yang iseng nanya, “Siapa yang paling pintar? Siapa yang juara kelas? Siapa yang paling jago olah raga?” Ah, macam-macam lah pokoknya.
Membesarkan Anak Kembar dengan Kelainan Genetik
Ekspektasi orang-orang melihat anak kembar itu kesannya kok selalu apple to apple ya? Padahal bagi ibu seperti saya, Rashif dan Rangin itu lebih mirip apel dan jeruk. Mereka gak pantas disama-samain terus. Lah wong wajahnya aja udah beda banget, kan mereka kembar tidak identik, plus satunya anak spesial.
Punya anak kembar yang salah satunya memiliki kelainan genetik membuat saya perlu menjalankan pola pengasuhan atau parenting berbeda. Beberapa tips berikut saya harap bisa membantu orang tua anak kembar yang kondisinya sama seperti saya.
1. Ubah konsep normal menjadi new normal
Punya anak normal, sehat walafiat secara fisik dan mental adalah impian seluruh orang tua di dunia. Namun, semua itu tak lepas dari ketetapan Tuhan untuk kita.
Allah memercayakan Rashif yang merupakan anak istimewa kepada saya, itu bukan berarti Allah tidak mengasihani saya. Justru Allah memercayakan amanahnya yang paling berharga kepada saya. Gak semua orang tua bisa membesarkan anak dengan kelainan genetik, seperti anak autis, down syndrome, atau celebral palsy.
Normalnya anak-anak sudah bisa bicara sejak berumur setahun, tapi Rashif bahkan belum bisa sepatah kata pun hingga berumur dua tahun. Normalnya anak seusia Rashif sudah berteman dan bersosialisasi, tapi kini dia justru menghabiskan lebih banyak waktu menjalani terapi Smart ABA setiap hari.
Saya menyebut kondisi Rashif sebagai new normal atau normal baru bagi keluarga saya. Dia unik dan berkembang di jalurnya sendiri.
Jangan menyayangkan ketika anak autis kita baru bisa bicara setelah diterapi hingga usia 3 tahun, 4 tahun, atau lebih dari itu. Bergembiralah karena berkat usaha kita memberi penanganan intensif, anak kita mampu melakukannya.
Untuk bisa mencapai kemampuannya yang sekarang, anak kita yang istimewa itu tentu bekerja keras. Ibarat kata ada dua orang pelari sedang lomba maraton, bukan berarti pelari terakhir yang mencapai garis finish adalah pihak kalah trus dibilang pecundang.
Bagaimana jika yang finish terakhir setelah maraton 5 km itu adalah pelari yang sebelah kakinya adalah kaki palsu? Tentulah perspektif kita akan berbeda.
Tak peduli apa kata orang tentang bagaimana seharusnya anak normal, abaikan saja ketika kita membersamai anak kita yang istimewa. Terus lanjutkan hidup dan gunakan waktu sebaik mungkin untuk mensupport anak kita meraih target-target kemandiriannya.
2. Bagi waktu seadil mungkin untuk si kembar, tapi jangan terlalu terobsesi dengan satu anak.
Setiap anak pasti melewati fase di mana mereka menuntut lebih banyak perhatian dari saudaranya. Ini juga berlaku pada anak kembar yang salah satunya memiliki kelainan genetik.
Sejak Agustus 2020 saya memulai terapi khusus untuk Rashif yang benar-benar menyita waktu. Terapinya mulai jam 7 pagi hingga 15.30 sore di KIDABA, Gran Wisata, Bekasi. Rashif memonopoli perhatian saya dan kesannya saya seperti mengabaikan Rangin.
Untungnya Rangin adalah anak ceria yang suka bermain mandiri dalam waktu lama. Ini membuat saya gak harus membagi 50:50 perhatian untuk kedua anak kembar saya.
Rangin bisa memberi tahu saya ketika dia membutuhkan saya. Ketika waktu itu tiba, saya bisa memberi perhatian ke Rangin lebih lama, kemudian baru kembali fokus ke Rashif.
Perhatikan isyarat halus yang ditunjukkan anak kita bahwa dia sedang ingin diperhatikan. Sama halnya ketika kita bisa membaca tangisan anak dan menebak apakah anak kita sedang lapar, mau menyusu, atau lagi gak enak badan.
Respons segera isyarat halus tersebut. Jangan abaikan karena bisa berujung pada tantrum. Misalnya nih, saya tahu Rangin ngasih kode minta gendong, pengen manja-manja sama ibunya, tapi saya cuek aja dan sibuk mengerjakan hal lain yang menurut saya lebih penting.
Nah, biasanya tensi perilaku Rangin akan meningkat demi menarik perhatian saya. Dia mulai berperilaku destruktif, seperti melempar mainan ke arah saya, memukul saya, atau merusak barang-barang. Ujung-ujungnya Rangin akan berteriak dan mulai tantrum.
3. Minta bantuan orang terdekat dan belajar multitasking
Trus gimana dong kalo mendadak anak kembar kita sama-sama ingin diperhatikan pada waktu bersamaan?
Sebagai ibu dari anak kembar yang salah satunya memiliki kelainan genetik, saya sarankan libatkan anggota keluarga, khususnya suami, kakak si kembar, atau kakek neneknya. Dengan cara ini otomatis saya gak terpaksa memilih, harus mendahulukan Rashif atau Rangin?
Begitu si kembar sama-sama minta gendong, saya bisa gendong Rangin, sementara suami gendong Rashif. Begitu si kembar sama-sama minta ditemani main, saya bisa main sama Rashif, sementara Kakak Mae main sama Rangin, atau saya bisa ajak mereka bertiga bermain bersama.
Saya sadar badan saya cuma satu, gak mungkin bisa membelah diri kayak amuba. Bantuan suami dan anggota keluarga lainnya betul-betul mujarab bikin saya bisa mengatur waktu dan merasa semua bakal baik-baik saja.
Saya juga memanfaatkan waktu bersama Rangin ketika Rashif sedang berada di teaching room bersama terapis-terapisnya. Saya bahkan sempat mengajarkan si kakak membaca ketika adiknya menjalani terapi.
4. Bedakan pengaturan waktu untuk si kembar
Ini adalah upaya terakhir saya dengan mengubah sedikit pengaturan waktu untuk si kembar. Ada saatnya Rangin butuh lebih banyak perhatian, sehingga saya mengusahakan Rashif tidur lebih dulu. Nah, sewaktu Rashif tidur, saya bisa bersama Rangin lebih lama.
Memang, pengaturan waktu seperti ini membuat saya harus mengorbankan waktu untuk diri sendiri. Biasanya kalo anak kembar saya dua-duanya tidur, saya bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga tanpa gangguan, santai sejenak sambil buka ponsel atau nonton TV, juga bisa makan dengan tenang. Namun, saya berpikir hal seperti ini toh gak saya lakukan setiap hari, jadi gak apa lah sesekali.
Saya membayangkan anak kembar saya bisa main bareng, kejar-kejaran, makan bareng. Semua hanyalah masalah waktu. Saya sabar untuk itu.
Alhamdulillah setelah menjalani terapi yang menginjak bulan ketujuh ini, Rashif menunjukkan perubahan signifikan terkait emosi, interaksi, dan sosialisasi dengan sekitarnya.
Saya terus berdoa, terus berharap, terus menanti Rashif dan Rangin kelak bisa menyayangi satu sama lain, bisa bermain satu sama lain, dan menjaga satu sama lain sebagaimana anak kembar normal lainnya. Amin.
Leave a Comment