“Bukan cuma keluarga besar kak. Suamiku sendiri kak. Kami sering berantam gak karuan karena aku minta si abang dibawa ke dokter tumbuh kembang anak. Suamiku gak terima kak kalo aku bilang si abang yang 3 tahun 9 bulan ini autis.”
“Sampai sekarang suamiku belum bisa menerima diagnosis dokter. Mba, aku izin SS percakapan kita ya mba, untuk kukirim ke suamiku. Suamiku masih gak percaya kalo anak kami autis. Dia bilang anak kami masih kecil, nanti juga bisa bicara.”
“Mba Mutia, terima kasih. Nanti saya coba komunikasi sama suami dan keluarga. Suami kayaknya denial karena dia mengira anak kami cuma gangguan tumbuh kembang karena alergi. Saya minta tolong ke mba tetap aktif di blognya. Mungkin di luar sana masih banyak ibu atau orang tua yang pengetahuannya minim mengenai ASD. Saya pun juga begitu.”
Membaca curhatan teman-teman baru saya via Instagram tentang suami yang sulit menerima anaknya didiagnosis autis membuat saya sedih. Di sisi lain saya bersyukur pada Allah dan berterima kasih pada suami saya yang mendukung penuh penyembuhan putra kami.
Dulu dari pihak saya justru saya sendiri yang menyangkal. Suami saya malah sudah menduga Rashif menunjukkan gejala autism spectrum disorder (ASD) sejak usia 1 tahun. Saya baru menerimanya ketika Rashif berusia 1,5 tahun. Jadi, enam bulan lamanya saya mengabaikan kekhawatiran suami saya.
Banyak sekali suami gak percaya, gak nerima, malah ngamuk-ngamuk sama dokter ketika anaknya divonis autis. Menurut mereka diagnosis itu seperti menghancurkan masa depan anak kesayangannya, merasa bahwa selamanya anaknya akan dilabel autis oleh lingkungan sekitarnya.
Naluri Ibu tak Pernah Salah
Untuk para suami, jangan pernah mengabaikan naluri istri, terlebih perasaan seorang ibu terhadap anaknya. Sejak zaman batu, yang namanya naluri, insting, intuisi, feeling, apapun lah sebutannya yang dimiliki ibu untuk anaknya nyaris tak pernah salah.
Naluri ibu sejak dulu bahkan menjadi kunci dalam pengambilan keputusan keluarga, dimulai sejak dia mengandung anak kalian, memutuskan ingin melahirkan anak kalian dengan cara apa, membesarkan anak kalian dengan cara apa, dan sebagainya.
Memang, gak semua ibu punya naluri kuat, tapi yang namanya ibu sudah pasti lebih sensitif. Ibu punya feeling good or feeling bad pada hal-hal kecil atau spesifik tentang anaknya. Nah, dalam kasus ASD ini, ibu bisa merasakan anaknya berbeda dari anak-anak lain seusianya, bahkan anak berbeda dari kakak atau adiknya.
Tugas suami adalah mendampingi istri, sama-sama mencari solusi, bukannya mengabaikan perasaan istri atau malah bilang istri lebay.
Sebagai orang tua dengan anak ASD, saya sadar pekerjaan dan hidup saya ke depannya sangat menantang, penuh onak duri, naik turun kayak roller coaster, muter-muter kayak pakaian di dalam mesin cuci. Banyak tahapan harus saya lalui dalam membersamai anak.
1. Menerima
Penerimaan atau acceptance itu penting. Punya anak autis bukan hal memalukan. Orang tua sedini mungkin perlu menyadari bahwa ASD di zaman modern seperti sekarang ini tidak lagi gelap seperti dahulu. Semakin dini usia anak autisi ditangani dengan metode tepat, semakin besar peluang kesembuhannya.
Sekarang ini dunia, termasuk Indonesia sudah punya tata laksana penyembuhan autisme yang baik. Autisme bisa disembuhkan. Autisme bisa diatasi dengan baik.
Saya heran masih banyak orang tua, tempat terapi, bahkan dokter sekali pun yang pikirannya sempit menyebut autisme tidak bisa disembuhkan. Rasanya saya pengen nyuruh mereka buka mata, banyak baca, main lebih jauh lagi buat ngumpulin informasi yang benar soal autisme.
Saya melihat sendiri bagaimana banyak mantan autisi di KIDABA bisa bekerja, kuliah, bersekolah di sekolah reguler. They speak!
Ada yang bilang anak autis selamanya akan tetap autis, hanya saja bisa dimaksimalkan menjadi anak mandiri dan mampu bersosialisasi.
Sekarang saya tanya sama Anda yang bilang anak autis tidak bisa disembuhkan. Memangnya arti ‘sembuh’ buat Anda itu apa sih?
Kalo anak autis yang tadinya gak bisa bicara jadi bisa bicara, yang tadinya hiperaktif jadi bisa mengendalikan diri, yang tadinya susah fokus jadi bisa duduk tenang di kelas, yang tadinya gak noleh ketika namanya dipanggil jadi bisa diajak ngobrol, yang tadinya gak mungkin bisa sekolah di sekolah umum jadi bisa sekolah, kuliah, berprestasi di kampus, bahkan bisa jadi ahli tambang, asisten dosen, kuliah S2 di ITB, bahkan jadi dokter.
Saya saksi hidup yang menyaksikan itu semua. Lalu kalian, apakah tetap ingin melabeli mantan-mantan autisi ini dengan ‘anak autis’ selamanya? Picik sekali pemikiran kalian.
Tapi kan anak autis yang udah diterapi atau diobati sekali pun sesekali masih menunjukkan gejala autisnya.
Apa bedanya autis dengan penyakit flu, demam, sakit kepala, stres, dan penyakit menahun lainya? Hari ini kita flu, kemudian lusa kita sembuh, masak kita mau dibilang masih flu juga? Hari ini kita stres dan marah-marah karena kerjaan kantor menumpuk, kemudian besoknya hepi karena pekerjaan selesai, masak kita mau dibilang masih stres juga?
Apa bedanya dengan mantan autisi yang sesekali masih muncul stimmingnya, seperti cornering ketika melamun, atau memainkan tangan ketika lagi mikir ngerjain PR sekolah?
Hey, kita ini manusia. Gak ada manusia yang sempurna, bahkan manusia paling normal seperti Anda sekali pun pasti punya sisi autis.
- Siapa yang suka goyang-goyangin kaki waktu lagi beresin kerjaan di depan laptop?
- Siapa yang suka mondar-mandir kayak setrikaan di depan ruang ICU pas nunggu istri melahirkan?
- Siapa yang suka ketawa-ketawa sendiri pas lagi ngelamun, mungkin lagi bayangin pacar atau ingat kejadian lucu sama teman?
- Siapa yang suka mainin pulpen tiktok atau muter pensil di sekeliling ibu jari pas sedang jawab soal ujian di sekolah?
Kalian pikir itu semua apa kalo bukan stimming namanya? Kalian bilang anak autis itu suka stimming. Artinya, kita semua punya sisi autis yang sesekali muncul. Tuh, gak ada bedanya kan kita dengan mantan autisi yang sembuh di luar sana?
Makanya kalo mau menyampaikan pandangan itu mbok ya mikir dulu rada pinter, gitu loh. Sok sok-an bilang anak autis gak bisa sembuh. Kasihan banget orang tua kalo ‘termakan’ sama pemikiran kalian yang salah ini.
2. Selalu siap di bawah tekanan
Tuhan kasih kita anak autisi, itu sama kayak perusahaan yang dalam iklan lowongan kerja menyaratkan calon karyawan bisa bekerja di bawah tekanan. Rutinitas orang tua dengan anak ASD ini seperti air sungai yang terus mengalir tanpa henti.
Melakukan hal sama setiap hari sesekali bikin kita bosan, marah, ngerasa hancur, tapi kita selalu siap bangkit kembali. Saya percaya gak ada satupun bisa menggantikan pekerjaan mendampingi, mengasuh, dan membesarkan anak autisi selain orang tuanya sendiri.
3. Sabar tingkat dewa
Orang tua yang punya anak autis itu harus sabar tingkat dewa. Harus jadi separuh malaikat.
Orang-orang di luar sana pas lihat anak autisi tantrum kebanyakan cap orang tuanya gak becus ngurus anak. Anak terlalu dimanja lah, bahkan ada yang mikir orang tuanya tega sama anak.
You know what? I don’t care what people think.
4. Anak kita tahu
Gak peduli anak kita yang autis masih setahun, dua tahun, tiga tahun, tujuh tahun, 12 tahun, 20 tahun atau lebih, jangan pernah kita mengucap sesuatu yang kesannya anak gak mungkin ngerti apa yang kita omongin.
Anak autis itu punya perasaan, punya feeling, meski mereka gak bisa menunjukkan. Ini karena ASD adalah gangguan neurobiologis berat yang bikin aspek reseptif dan ekspresif otak anak kita terganggu.
Saya menangis ketika pertama kalinya setelah empat bulan terapi dan diet Rashif menghampiri saya, kemudian mencium, memeluk, duduk di pangkuan saya dengan sendirinya. Inisiatif yang gak pernah dilakukannya sejak kecil, selain ingin mimik ASI atau minta gendong ketika merasa gak nyaman.
Ketika Rashif mendengar Rangin, saudara kembarnya menangis merengek di depan saya, Rashif sekarang sering menghampiri dan menunjukkan gelagat tidak suka. Mungkin dia mengira Rangin marah atau membuat saya gak nyaman, sehingga Rashif seperti ingin marah juga pada Rangin.
Supaya Suami Bisa Mengerti
Punya anak autisi membuat istri rentan stres, apalagi suami sendiri menyangkal keadaan anak dan tak mau bekerja sama. Kisah ini banyak dialami ibu-ibu di luar sana, satu di antaranya diceritakan langsung aktris cantik Dian Sastrowardoyo.
Putra sulung pemeran utama fim Ada Apa dengan Cinta ini didiagnosis autisme sejak berusia delapan bulan. Dian mengatakan suami tak setuju Dian memberikan terapi untuk anaknya. Alhasil Dian berjuang sendiri, menerima banyak job demi membiayai pengobatan anaknya yang terbilang mahal secara mandiri. Masya Allah.
Setidaknya ada tiga hal perlu kita pahami supaya suami pelan-pelan bisa menerima kondisi anak.
1. Beri dia waktu
Suami mungkin cuma punya waktu 2-4 jam sehari bersama anak. Itu pun gak maksimal. Faktor utama karena suami setiap hari mencari nafkah dan kita sebagai istri yang lebih intensif di samping anak.
Sangat wajar jika suami gak bisa langsung menerima anaknya didiagnosis ASD. Maka penting memberinya waktu untuk menerima.
Ajak suami ke dokter anak, bahkan kalo perlu bicara dengan psikiater supaya dia belajar menolerir perasaannya yang campur aduk soal anak. Bicaralah dengan orang yang bisa membantu kita berbicara pada suami kita, misalnya orang yang perkataannya sering didengarkan suami, entah itu ibu bapaknya, ibu bapak kita, sahabat, atau ustaz.
Istri perlu lebih sabar menerangkan kepada suami soal kondisi anak, terapi anak, bahkan dietnya. Bicara pelan-pelan dan terstruktur karena laki-laki umumnya perlu diberi alasan logis. Lakukan ini setiap hari, kapan pun ada waktu.
2. Berbagi tugas
Anak autisi membutuhkan special needs parenting. Contohnya dalam kasus tantrum. Penanganan tantrum pada anak autis jelas berbeda dengan anak normal.
Ketika Rashif tantrum, marah, atau mengamuk misalnya, saya menggunakan satu dari dua teknik, yaitu Teknik Extinction dan Correctional NO!
Saya mungkin pakai teknik kedua, yaitu mengucap TIDAK satu kali dengan suara tinggi. Mungkin orang awam mencap saya ibu galak dan suka bentak anak. Padahal saya melakukan ini gak sembarangan, ada latihannya di KIDABA, tempat terapi anak saya. Saya dilatih mengatakan TIDAK dengan berbagai cara, mulai dari suara netral datar, suara tinggi, latihan mimik muka, hingga gestur tubuh.
Kebanyakan suami gak bisa melakukan ini, gak tega sama anak. Atau kalo suami marah, caranya salah. Nah, di sini pentingnya berbagi tugas di rumah.
Saya selalu bilang sama suami saya, ketika saya berurusan dengan tantrum anak, mohon dia berkenan mengalihkan perhatian dua anak lainnya, yaitu Kakak Mae dan Rangin, sehingga saya bisa fokus mengatasi Rashif.
3. Ini bukan soal pernikahan kita, tapi anak kita.
Pasti ada masanya (bahkan sering) istri terlampau sibuk dan kelabakan mengurus anak yang autisi, sehingga pada satu titik suami merasa istri terlalu memprioritaskan anak dan lupa kehadiran suami. Jangan sampai perasaan seperti ini sering hadir dalam pernikahan.
Ujian ini bukan soal pernikahan kita, tapi soal anak kita. Percayalah, kita sebagai suami istri bisa duduk bersama, melalui hari-hari sulit ini bersama, membersamai anak kita yang sedang berproses, mau saling memaafkan, dan berjuang bersama sampai akhir.
Pesan saya untuk semua orang tua dengan anak istimewa, BERTAHANLAH. Kita bisa melakukannya, demi mengantar anak kita ke kota kesembuhan. Fokus pada semua momen baik, jangan berlama-lama memikirkan kejadian buruk bersama anak.
Percayalah mukjizat itu ada bagi mereka yang tak putus berusaha dan berdoa. Jangan menyerah pada penolakan suami terhadap diagnosis anak yang membuat kita sebagai istri harus berhenti memperjuangkan kesembuhan anak kita. JANGAN.
Leave a Comment