Siapapun yang mengalami keguguran, jangan pernah merasa sendiri. Jangan terlalu lama membawa kesedihan dalam kesunyian. Sedih itu butuh waktu, tapi sembuh butuh proses yang menuntut kita untuk bangkit.
Setelah setahun menjalani long distance marriage (LDR) Jakarta – Kupang akhirnya saya dan suami bersama juga. Kami menetap di Bali pertengahan November 2014 dan mulai merencanakan punya anak.
Satu bulan berikutnya saya dinyatakan hamil. Namun, takdir berkata lain. Rupanya kami tak berjodoh dengan bayi ini. Almarhum putera kami, Raffadia Muzafari Bogara meninggal lima bulan dalam kandungan.
Saya begitu terobsesi ingin hamil lagi. Apalagi setelah saya mendengar cerita dari teman juga saudara yang pernah mengalami kejadian serupa. Mereka rata-rata hamil lagi setelah tiga bulan keguguran.
Mengapa yang terjadi pada saya berbeda? Tujuh bulan berselang, anak yang diidamkan tak kunjung tiba.
Saya pernah membeli belasan alas tes kehamilan (test pack) dan menyimpannya di lemari tanpa diketahui suami. Setiap kali saya melakukan tes urin, hasilnya tetap sama, semua negatif.
Ada hari-hari di mana saya mengutuki diri sendiri. Teman-teman perempuan saya hamil, melahirkan, sementara saya masih saja penasaran dengan dua garis biru itu.
Saya bertanya, apa yang salah dengan diri saya? Saya hanya ingin menjadi ibu. Sedih kali ini begitu melemahkan dan tak bisa saya hindari.
Reaksi Umum Setelah Keguguran
Percaya atau tidak saya agak marah dan benci pada diri sendiri setelah keguguran. Saya menilai keguguran ini karena kelalaian saya.
Sekiranya saya tidak bekerja, sekiranya saya tidak mondar-mandir naik motor, sekiranya saya tidak mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri, sekiranya saya lebih banyak makan, sekiranya saya lebih banyak tidur. Pokoknya semua yang saya lakukan di awal kehamilan itu salah, sehingga menyebabkan saya keguguran. Demikian pemikiran saya waktu itu.
Suami terus menghibur, tapi sedih itu tak kunjung hilang. Pikiran-pikiran negatif mudah muncul setelah kita mengalami keguguran.
1. Merasa sendirian
Kita merasa menjadi perempuan paling menyedihkan di dunia. Kita merasa kurang menjadi istri karena gak bisa kasih suami anak. Kita merasa menjadi anak dan menantu malang yang gak bisa kasih orang tua dan mertua cucu.
Perasaan seperti ini hendaknya dibuang jauh-jauh. Keguguran sangat umum terjadi pada 10-30 persen perempuan yang hamil perdana.
2. Baper dengan komentar orang
Tidak semua orang mau membahas keguguran, terlebih yang sudah pernah mengalaminya dan tak kunjung hamil lagi. Jika kita mendengar komentar dari orang-orang seperti ini, biasanya kita akan mendengar beberapa hal menyedihkan, meski lawan bicara kita tak bermaksud demikian.
Ingat, hanya karena orang lain menceritakan kisahnya, bukan berarti hal sama akan terjadi pada kita. Jangan mudah percaya pada mitos-mitos kehamilan dan keguguran. Lakukan yang terbaik dan teruslah berikhtiar.
3. Mengabaikan kesehatan fisik
Setelah keguguran seringnya kita terlalu fokus pada emosi, dan mengabaikan pemulihan fisik. Bagaimana mungkin kita bisa hamil lagi jika fisik kita tidak sehat? Ini nasihat ibu ketika melihat saya terus larut dalam kesedihan dan tidak mau makan.
Saya pun langsung bersemangat, rajin berolah raga, makan makanan sehat, dan menyugesti diri dengan hal-hal positif. Tahu tidak? Semua yang saya lakukan itu meningkatkan kadar endorfin sehingga membuat suasana hati saya semakin membaik dari hari ke hari.
4. Merahasiakannya dari orang lain
Sebagian perempuan yang baru keguguran memilih memendam sendiri kesedihannya. Kita mungkin bisa membohongi rekan kerja, teman di media sosial, tapi tak mungkin luput dari keluarga dan orang-orang terdekat.
Meski tak ingin menceritakan detail kesedihan itu, kita setidaknya bisa mengabarkan orang-orang sekitar kita tentang apa yang baru saja terjadi. Kita bisa mengatakan, “Saya baru saja keguguran, tapi tak ingin membahasnya sekarang. Saya mohon pengertiannya jika kondisi saya beberapa hari ini tak begitu baik.”
Kita tak pernah tahu kan, berapa banyak dukungan tak terduga menghampiri kita. Kita tak pernah tahu di hari-hari yang sulit ternyata kita memiliki banyak teman yang siap berbagi suka dan duka.
5. Menolak ke dokter atau psikolog
Masing-masing kita mempunyai batas waktu dan kesabaran untuk memulihkan luka. Beberapa dari kita cepat sembuh dari luka itu, beberapa membutuhkan waktu lebih lama, bahkan kondisinya justru semakin parah.
Ketika kita merasa tak lagi berenergi, tak ingin makan, tak bisa tidur, terus menghindari orang lain, mengurung diri di kamar, menangis tanpa henti, mungkin ini saatnya kita membutuhkan bantuan profesional. Jangan menolak ke dokter atau psikolog untuk memperbaiki emosi dan mental kita setelah keguguran.
Harapan Itu Selalu Ada
Sama seperti ketidaksuburan (infertility), keguguran adalah pengalaman menyakitkan. Seringkali orang tak ingin membicarakannya, dan itu gak masalah.
Namun, saya pribadi merasa dengan bercerita, bersikap terbuka, jujur tentang apa yang terjadi pada diri membuat saya mendapat banyak dukungan. Mereka yang mengerti, mereka yang peduli, mereka yang menyayangi saya dengan senang hati meluangkan waktu mendengar keluh kesah saya.
Waktu terus berlalu, rasa sedih saya perlahan memudar dan saya ingin mengubahnya menjadi harapan. Keguguran itu, kehilangan itu, sepi itu membuat saya mulai percaya suatu hari Allah akan mendengar doa-doa saya. Sesulit apapun perjalanan yang akan saya tempuh, impian saya menjadi seorang ibu akan terwujud.
Memasuki dua tahun pernikahan, alhamdulillah harapan saya menjadi kenyataan. Dua garis biru itu muncul. Allah bahkan membalas kesabaran saya berlipat ganda. Kami dianugerahi seorang puteri, dan dua putera kembar beberapa tahun kemudian.
Apa hikmah yang saya petik dari merangkul HARAPAN?
1. Harapan itu iman
Keguguran menyisakan trauma yang membuat saya takut kejadian sama terulang kembali di kehamilan kedua. Sebelum janin saya berusia lima bulan, saya hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Saya khawatir kehamilan saya tak berjalan dengan baik.
Apa yang saya lakukan? Saya mengunci rasa takut itu dengan doa agar tak muncul lagi di hari-hari saya.
Bagi saya, harapan itu iman, bagaimana kita percaya Allah pasti memberi mukjizat kekuataan pada hamba-hamba-Nya yang percaya.
2. Harapan itu keras kepala
Keguguran pertama menjadikan saya tak ubahnya seperti petinju yang kalah telak di atas ring. Saya berlumuran darah, memar, hancur, sakit, remuk redam, tapi saya tetap bangkit ingin memenangkan pertandingan di ronde berikutnya.
Harapan itu artinya saya harus keras kepala. Sehancur apapun saya setelah janin saya gugur, saya ingin hamil lagi. Saya ingin kembali ke ring itu dan menang sebagai seorang ibu.
Keras kepala membuat saya seperti dirasuki semangat pejuang, semangat pahlawan, semangat super hero, apapun itu. Percayalah, akan tiba saatnya ketika harapan membujuk kita kembali ke ring, kembali memperjuangkan apa yang sebelumnya gagal kita perjuangkan.
3. Harapan itu bertahan hidup
Keguguran menempatkan saya di posisi terendah. Ibarat rumah, saya mungkin tinggal di ruang bawah tanah, atau parahnya terkubur hidup-hidup. Ibarat astronot, saya mungkin terpental keluar dari orbit, melayang-layang di luar angkasa tanpa tahu berada di mana.
Tanpa harapan, saya mungkin akan mati dan tak lagi melihat terbitnya matahari. Harapan memanggil saya untuk bangkit, berdiri tegak, bertahan hidup dan mewujudkan impian saya mempunyai anak.
4. Harapan itu semangat
Gimana rasanya suatu hari bos di kantor ngasih kita kesempatan kerja sekaligus jalan-jalan gratis ke luar negeri, ditambah lagi destinasinya adalah negara yang kita impikan selama ini, mungkin Jepang, Eropa, Amerika, atau Mekah? Pastinya kita semangat dong.
Beberapa detik pertama yang kita rasakan saat mendengar kabar gembira itu, begitulah harapan. Rasanya sangat membahagiakan, bukan? Harapan itu membangkitkan semangat.
Begitu saya tahu saya hamil lagi, gembira dan syukurnya luar biasa. Saya begitu bersemangat menjaga diri sebaik-baiknya sampai janin ini lahir ke dunia.
5. Harapan bukan sesuatu yang naif
Sahabat dekat saya sampai hari ini masih belum dikaruniai buah hati. Ia dan suami telah menempuh banyak cara dan peluang untuk bisa hamil, tapi dokter memvonis sang suami mengalami aazospermia. Ini adalah kondisi medis di mana air mani pria memiliki kandungan sperma minim, atau malah tidak ada sama sekali.
Penelitian medis menyebutkan setidaknya 40-50 persen sel sperma harus normal dan memiliki kemampuan bergerak dengan baik untuk memungkinkan terjadinya pembuahan. Jika jumlahnya kurang dari itu, kemungkinan terjadinya pembuahan sel telur sangat kecil.
Kondisinya hanya 10 persen saja sperma dari suami sahabat saya tersebut yang bagus untuk pembuahan. Vonis dokter sama sekali tak menyurutkan semangat dan niat keduanya untuk memiliki anak. Sekecil apapun kemungkinan itu, mereka tetap menyimpan harapan.
Sepupu saya keguguran tujuh kali. Selama tujuh tahun pertama pernikahannya dia nyaris kehilangan harapan. Dia bahkan pernah menyerah dan memutuskan mengadopsi anak. Siapa sangka setelah bayi yang diadopsinya berumur dua tahun, dia bisa hamil dan melahirkan.
Sebuah harapan mungkin tampak naif bagi sebagian orang, tetapi ternyata tidak. Masa bodoh dengan anggapan orang terhadap kita. Harapan akan menjadi kenyataan bagi mereka yang sabar dan percaya.
Keguguran mengajarkan kita harapan. Kehilangan mengajarkan kita keikhlasan.
Mutia Ramadhani
Memang benar, perasaan bersalah adalah reaksi alami ketika sesuatu buruk terjadi pada orang yang kita sayangi, dalam hal ini calon bayi kita. Namun, emosi ini tidak banyak membantu dan tak akan mengubah apa yang sudah terjadi.
Kita boleh saja bersedih, tapi pada akhirnya kita harus berdamai dengannya. Teruslah melangkah ke depan dan ketahuilah bahwa hari baik menunggu kita di sana.
Leave a Comment