Keseimbangan hidup antara bekerja dan berkeluarga satu hal yang kerap membuat saya tersenyum sinis sendiri. Enam tahun lalu setelah menikah, saya memutuskan tetap menjalani profesi saya sebagai jurnalis sekaligus ibu rumah tangga. Pelan tapi pasti saya mulai sanksi saya bisa mencapai apa yang namanya work life balance.
Awalnya saya boleh percaya diri saya bisa melakukannya. Saya membuat to-do list setiap hari. Tak jarang saya menyusun agenda liputan di malam hari supaya keesokan harinya saya bisa menyelesaikan deadline tulisan di lapangan dan pulang ke rumah tepat waktu untuk mengurus Maetami, putri saya yang waktu itu masih bayi.
Faktanya apa? Seringnya saya butuh tambahan waktu di lapangan. Entah itu ada order liputan lain yang sifatnya mendadak, secara accidental redaktur meminta saya menghubungi narasumber baru, jam karet ala penyelenggara acara, dan banyak lagi kondisi di luar ekspektasi.
Hingga pada akhirnya saya menyadari tidak ada keseimbangan seperti itu, 50 persen untuk kehidupan kerja, 50 persen untuk kehidupan keluarga. Yang ada adalah pilihan pertama mendominasi pilihan kedua. Salah satu pilihan harus siap sesekali dikorbankan.
Kadang saya terlalu sibuk bekerja dan sedikit cuek sama keluarga. Kadang saya memprioritaskan keluarga, namun siap-siap dicap kurang profesional di tempat kerja.
Kondisi paling sering dijumpai adalah saya menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja ketimbang menikmati harmoni hidup berkeluarga atau menikmati me time buat diri sendiri. So, kalo waktu itu saya bilang saya bisa memisahkan pekerjaan dari kehidupan pribadi kok saya merasa itu hal konyol.
Huft! Tarik napas dulu. Belajar woles yuk?
Tahap Keseimbangan Hidup Perempuan Dewasa
Sebagai perempuan berpendidikan (cielah, berpendidikan), yaaa maksudnya saya ini emak sarjana loh, saya pernah menikmati masa-masa gila kerja, menikmati masa-masa I’am single but happy status, pernah juga menikmati masa dimabuk asmara (hallah!). Namun, saya sangat sadar cepat atau lambat saya sebagai perempuan harus memilih dan membuat keputusan besar dalam hidup saya.
Keseimbangan hidup perempuan dewasa setidaknya terdiri dari tiga tahapan.
Tahap I: Memutuskan Berkeluarga
Jika saya ingat lagi, rasanya semua tetap manis dan berjalan di koridornya. Saya dan suami sama-sama berkarier, namun tetap menjaga hubungan meski kita berdua menjalani long distance marriage Jakarta-Kupang selama setahun.
Ada keluarga dan sahabat yang selalu mendukung. Semua berjalan normal. Saya merasa dunia saya paralel, apa yang terjadi persis seperti yang saya bayangkan.
Tahap II: Mid-life Crisis
Sedang asik bekerja di ibu kota, tiba-tiba saya harus mengikuti suami yang dirotasi kerja ke Bali. “Apakah saya harus menyusulnya secepat itu atau tidak?” “Apakah saya harus resign kerja atau tidak?” Nah, pilihan-pilihan seperti ini akhirnya datang juga. Dunia saya yang tadinya paralel mulai berubah kribo, ruwet, mumet.
Akhirnya saya putuskan mengikuti suami dan kita pun hidup sebagai pasangan normal. Alhamdulillah saya tetap bekerja dengan profesi sama di Bali.
Lalu, tiba-tiba saya hamil dan melahirkan anak pertama. Suami ternyata masih membolehkan saya bekerja asal anak terpenuhi haknya, khususnya ASI. Saya dibantu seorang asisten rumah tangga (ART) di rumah. Ada masanya saya bergantung ke suami soal anak, namun kita tetap bisa menjalani hari tanpa konflik serius.
Meski demikian, bagi saya, kehadiran anak pertama adalah akhir dari kehidupan paralel yang selama ini saya nikmati. Saya mulai bertanya pada diri sendiri, bagaimana menjaga keseimbangan itu? Supaya saya tetap lanjut bekerja, dan anak kami tak kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya.
Tahap kedua ini biasanya terjadi saat pasangan berusia di atas 30 tahun. Kami sama-sama sedang semangat membangun karier lebih profesional.
Kami mulai memikirkan bagaimana performa kami di kantor masing-masing semakin positif, semakin berprestasi, dan berharap pada akhirnya diapresiasi pimpinan. Namun, pada saat yang sama tanggung jawab kami sebagai suami istri dan sebagai orang tua semakin kompleks. Yups, inilah yang disebut mid-life crisis.
Tahap III: Memilih Prioritas
Oke, saya lulus di tahap kedua dan masuk ke tahap tiga. Ini adalah titik di mana saya bertanya pada diri sendiri, “Apakah jalan yang saya pilih ini sudah benar?” “Apa yang saya inginkan dalam hidup saya?”
Anak pertama sudah mulai beranjak batita. Ada godaan untuk kembali punya momongan mumpung masih muda. Eeeeh, ternyata Allah kasih saya anak kembar. Gimana? Mau tetap lanjut kerja setelah punya tiga anak? PR baru muncul, memilih prioritas.
Baca Juga: Produktif dan Energik Ala Ibu Rumahan
Saat buntut udah dua atau tiga, tak jarang suami merasa semakin terkekang dalam hubungan. Sebetulnya bukan terkekang sih, cuma ya merasa tanggung jawabnya semakin besar.
Istri pun tak jarang kian tersudut dan lelah bekerja karena setiap hari harus multitasking mengurus suami dan anak. Pilihan itu pun datang, RESIGN.
Iri pada Suami Sendiri
Keseimbangan baru datang. Setelah menjadi ibu rumah tangga, saya harus membagi waktu untuk anak-anak dan suami. Jangan sampai kita sebagai istri terlalu sibuk mengurus anak, akhirnya suami merasa dicuekin. WARNING nih mak, jangan sampai kejadian ya. Hehehe.
Setelah saya resign, jujur, rasanya sangat aneh. Saya sempat merasa seperti kehilangan identitas diri. Namun, pada saat bersamaan muncul perasaan senang, akhirnya saya bebas setelah sembilan tahun terikat rutinitas kerja di luar rumah.
Pada satu titik saya pernah merasa ditinggalkan suami. Bukan ditinggalkan dalam artian berselingkuh atau apa, tapi merasa saya sebagai istri kok gak se-pede kayak dulu sewaktu masih menjadi wanita karier.
Ada masanya saya iri melihat suami tetap bisa bekerja, sementara saya harus berkutat dengan urusan domestik di rumah. Melihat suami begitu gagah dan rapi berangkat ke kantor, sementara saya harus mulai akrab dengan baju daster atau kaos oblong, membiarkan blazer, kemeja, dan jilbab yang serba matching itu tersimpan rapi dalam lemari.
Saya merasa berjalan mundur, sementara suami gagah melangkah ke depan, menjadi versi terbaik dari dirinya. Pernah gak mak, merasakan hal sama? Hehehe. Normal kok!
Setelah menjadi ibu, saya merasa seperti ditarik-tarik ke segala penjuru dan dituntut komitmennya sana sini. Saya harus komitmen sebagai istri, sebagai ibu, sebagai anak dari orang tua saya, sebagai menantu, dan sebagai diri saya sendiri. Begitu banyak perhatian harus saya bagi yang membuat pikiran saya menjadi kacau.
Bagaimana menghadapi rasa iri pada suami sendiri? Ini sempat menjadi PR saya, namun semua bisa dihilangkan dengan cara-cara sederhana.
1. Latih diri berpikiran positif
Sebagai pasangan milenial, apalagi sama-sama punya background pendidikan tinggi, wajar istri yang tadinya bekerja kemudian mengalah menjadi ibu rumah tangga tiba-tiba iri pada suami. Perasaan gak adil sesekali bisa datang menghantui.
Kita harus belajar melatih diri berpikiran positif. Coba renungkan keputusan yang kita buat bukan lah keputusan sepihak, melainkan keputusan bersama. Ada tujuan lebih besar yang ingin kita capai dalam berkeluarga.
2. Selalu ada untuk pasangan
Work on your marriage! Rasa iri itu sering kali lahir dari sikap apatis alias cuek alias acuh tak acuh. Setelah salah satu pihak mengalah demi kebaikan bersama, PR selanjutnya adalah mempererat kualitas hubungan sebagai suami istri.
Suami yang biasanya sibuk bekerja jangan lupa menaruh simpati ke istrinya yang baru saja resign kerja. Beri istri kita perhatian lebih intensif, apakah itu lewat pesan whatsapp, kasih kejutan, atau rutin mengajak jalan-jalan, khususnya di bulan-bulan pertama istri menjadi full-time mom.
Baca Juga: Rutinitas Ibu Rumah Tangga Ya Itu Itu Saja, tapi Tetap Bisa Bahagia!
Ketika suami semakin berusaha mendekatkan diri ke istri, istri tak akan pernah merasa ditinggalkan.
3. Bercerita
Yups, bercerita salah satu cara membagi rasa. Seperti yang saya lakukan sekarang dengan nge-blog, kita sebagai perempuan yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga bisa menginspirasi mereka yang memilih jalan sama.
Everybody has problems. EVERYBODY, trust me! Jangan hanya melihat postingan indah rumah tangga pasangan lain di Instagram atau Facebook. Jangan menjadikan orang lain sebagai parameter rumah tangga kita. Ketika kita melakukan itu, kita tergoda untuk iri dengan apa yang dimiliki orang lain.
Jangan sesekali menertawakan dan mengomentari jelek pilihan orang lain. Mentang-mentang teman kita meninggalkan karier bagus demi keluarga, kita tiba-tiba menjadi kompor meledug yang menyayangkan keputusannya. Ingat, cara kita bahagia tidak sama dengan cara orang lain bahagia.
Bantu Istri Lalui Masa Transisi
Satu dekade lalu mungkin orang-orang bekerja 8 jam di kantor atau 40 jam sepekan di kantor. Hari ini, kita hidup di dunia setengah offline dan setengah online. Dunia hanya menuntut kita bisa lebih responsif.
Teknologi saat ini begitu membantu kita. Pekerjaan suami bisa diintegrasikan dalam aktivitas keluarga. Saya pribadi tak lagi heran jika suami tetap membawa laptop kantor saat jalan-jalan keluarga. Tak jarang pula dia menerima panggilan telepon dari rekan kerja sambil momong salah satu bayinya saat liburan keluarga.
Wahai para suami se-Indonesia Raya, pahamilah bahwa KELUARGA, PEKERJAAN, dan DIRI SENDIRI adalah SATU BAGIAN. Jadi, kalian tak perlu bersikap seolah ketiganya adalah entitas terpisah.
Cobalah berdamai dan menikmati ketiga aspek tersebut sekaligus. Mungkin hari ini keluarga menuntut waktu lebih banyak, sementara di lain hari pekerjaan mengambil alih perhatian. Kami sebagai istri paham betul beratnya beban yang ada di pundak suami.
Di saat keluarga menuntut lebih, apakah pekerjaan suami 100 persen harus diabaikan? Di saat pekerjaan menuntut lebih, apakah keluarga harus diabaikan? NOPE.
‘Wherever you are, be ALL there’. Laki-laki sesungguhnya bisa lebih fleksibel dari perempuan. Kalian adalah pengambil keputusan, bijak lah!
Leave a Comment