Bekerja setelah melahirkan
Bekerja setelah melahirkan

Cuti melahirkan tiba, waktunya untuk fokus pada si kecil yang baru saja lahir. I got this moment, saya tersenyum pada diri waktu itu, sekitar 2016 ketika Kakak Maetami melengkapi kebahagiaan kami.

Sebulan, dua bulan, sampailah saya di bulan ketiga, bulan terakhir saya bisa 24 jam nonstop bersama buah hati. Bulan depannya saya harus kembali bekerja, menjalani profesi sebagai jurnalis.

Jelang cuti melahirkan berakhir, saya waswas tiap hari, update status galau di medsos sering kali, kadang curhat di blog saya Bundalogy, mikirin rencana-rencana selanjutnya tiap hari. Ada tarik menarik antara keinginan untuk merawat putri saya lebih lama, juga keinginan bekerja karena kebutuhan ekonomi keluarga.

Tantangan baru bermunculan. Saya mulai stres karena beban kerja menanti. Saya khawatir kalo nanti gak bisa mengikuti ritme kerja lantaran terlalu lama libur. Hal paling saya takuti adalah kelelahan menjalankan dua peran sekaligus, yaitu menjadi ibu dan bekerja.

Kembali Bekerja Setelah Cuti Melahirkan

Kayaknya saya gak sendiri deh. Teman-teman saya yang bekerja juga pernah merasakan hal sama.

Saya merasa sedang berperang dengan waktu memasuki minggu-minggu terakhir cuti melahirkan. Kadang saya berdoa dalam hati, “Ya Allah, seandainya waktu bisa sedikit melambat.” Pokoknya emosi saya campur aduk setiap hari.

Kali ini saya ingin berbagi tips kembali bekerja setelah cuti melahirkan dengan asumsi ibu sudah punya rencana pengasuhan anak, apakah pakai tenaga pengasuh alias baby sitter, dititipkan ke orang tua or mertua, atau si kecil dibawa ke tempat penitipan anak.

1. Sedih boleh, tapi jangan menyalahkan diri.

Kita mungkin sedih bakal ninggalin anak yang masih bayi, mungil, dan lucu bersama pengasuh atau neneknya. Batin kita berkonflik. Satu sisi kita pengen resign aja dan fokus ngurus anak. Namun, di sisi lain kita juga bersemangat karena gak lama lagi bakal kembali ke rutinitas lama.

Gak ada salahnya sedih, tapi jangan pernah kita menghakimi diri sendiri dengan rasa bersalah yang mendalam. Alirkan rasa sedih itu dengan cara menelepon sahabat, menulis jurnal atau blog, menangis, tapi jangan lupa tertawa.

Sekali lagi, jangan pernah merasa bersalah. Rasa bersalah akan mendorong kita melakukan hal-hal salah. Emosi kita gak stabil begitu perasaan negatif itu muncul.

Ingatkan diri kita. Kita bekerja bukan untuk menghindari tanggung jawab sebagai istri dan ibu, bukan gak mau direpotin anak, melainkan untuk membantu ekonomi keluarga.

Saya sendiri waktu itu tetap bekerja karena saya dan suami beli rumah di Bali yang harganya jelas gak murah. Jadi, penghasilan suami full buat tabungan beli rumah, sementara penghasilan saya buat membiayai kebutuhan anak dan makan sehari-hari kami sekeluarga. It’s okay, pokoknya itu kesepakatan kami dulu. Alhamdulillah, punya rumah impian pun terwujud.

2. Terhubung dengan pekerjaan lebih awal

Seminggu terakhir cuti melahirkan, saya mulai muncul di grup kantor, ikut terlibat dalam diskusi tentang pekerjaan. Saya melakukan ini supaya begitu Senin depannya saya masuk kerja, saya gak begitu canggung dan bingung.

Kok udah nongol aja sih? Kan masih cuti?

Saya melakukan ini karena saya sadar, transisi dari cuti melahirkan hingga kembali bekerja itu gak semudah kita membalik telapak tangan. Wong kita aja kalo libur semester pas sekolah atau kuliah, bisa lupa sama materi yang udah diajarin guru atau dosen. Ya gak?

3. Latih pengasuh anak sebelum cuti berakhir

Berhubung saya waktu itu pakai pengasuh, saya mulai mempekerjakan pengasuh baru sebulan sebelum cuti melahirkan berakhir. Setiap hari saya perhatikan cara dia menangani bayi saya.

Saya beri tahu dia jam tidur Mae, jam Mae diberikan ASIP, jam Mae harus tummy time. Pokoknya kebiasaan Mae selama bersama saya sehari-hari perlu dia ketahui.

Saya sampai aturan-aturan saat mengasuh anak saya, seperti dilarang main ponsel selama jam kerja, kecuali mengangkat telepon dan membalas chat saya.

Saya melarang pengasuh menerima tamu, kecuali saya telah memberi tahu sebelumnya bahwa ada yang akan datang. Pintu rumah harus dikunci selama saya tidak di rumah.

Saya juga melarang pengasuh membawa anak keluar rumah. Rumah harus bersih dan rapi, tidak kotor, apalagi kalo Mae sedang main di lantai.

Mempekerjakan pengasuh anak lebih awal itu bisa bikin kita lega loh. Seenggaknya kita udah tahu gambaran kerja dia ketika kita sudah ngantor, sementara anak kita tinggal bersama pengasuhnya di rumah.

4. Terbuka sama atasan

Mungkin ini gak kita lakukan di hari pertama masuk kerja setelah cuti melahirkan, tapi pada waktu yang pas, kita bisa ngobrol jujur sama atasan tentang kondisi terbaru kita.

Kita secara gak langsung memberitahukan atasan bahwa kita sekarang bukan cuma karyawannya, melainkan juga ibu di rumah. Akui bahwa beberapa waktu ke depan seiring kita re-adaptasi, emosi kita mungkin kemana-mana.

Jelaskan bahwa kita masih berkomitmen penuh sama kerjaan di kantor. Pikirkan, kira-kira support apa yang kita harapkan dari atasan?

Misalnya nih, biasanya kita sering ditugaskan ke luar kota. Setelah punya anak, kalo bisa kita nge-handle kerjaan di dalam kota saja. Kalo kantor sedang ada banyak proyek, pertimbangkan proyek mana yang sekiranya kita bisa maksimal berkontribusi di dalamnya, tanpa perlu terganggu aktivitas mengurus anak di rumah.

Bersikap jujur dan realistis sama atasan. Jangan asal “Iya pak, baik pak,” saja dan menerima semua beban pekerjaan yang ditugaskan ke kita.

5. Bijaksana meluangkan waktu untuk anak

Anak memang prioritas utama seorang ibu, tapi bukan berarti kita terus-terusan menghabiskan waktu bersama anak, tidak pula terus-terusan menghabiskan waktu bekerja dan membiarkan anak bersama pengasuhnya.

Tentukan waktu paling pas menghabiskan waktu bersama anak. Apakah pagi hari sebelum berangkat kerja? Sore hari sepulang kerja? Atau malam hari sebelum anak tidur?

Jangan biarkan anak kehilangan ikatan emosional dengan ibunya. Pertimbangkan, apakah kita akan video call sama anak dibantu pengasuhnya saat kita istirahat makan siang? Saya dulu sering meminta pengasuh anak saya mengirimkan foto-foto Mae sedang beraktivitas di rumah. Nanyain Mae udah makan apa belum, udah dikasih cemilan apa belum, udah pup apa belum.

Waktu buat anak ini juga termasuk di dalamnya waktu menyusui. Jangan mentang-mentang zaman sekarang udah ada breast pump canggih, anak dikasih ASI perah melulu. Kalo kebetulan lagi di rumah, secapek apapun kita abis kerja, sempatkan menyusui anak langsung.

6. Kerja jarak jauh atau bawa anak ke tempat kerja

Beberapa perusahaan atau tempat kerja memberi fleksibilitas bagi karyawan perempuan. Saya bersyukur kantor saya dulu termasuk ke dalam bagian ini.

Saya dipersilakan bekerja dari mana saja, tak terkecuali dari rumah selama tulisan atau artikel saya diterima redaksi tepat waktu, sebelum jam deadline. Inilah asiknya jadi jurnalis yang kerjaannya fleksibel dan bisa remote office.

Kantor saya bahkan memperkenankan karyawan perempuan membawa anak ke tempat kerja dan menyediakan ruang laktasi untuk menyusui atau memompa ASI.

Kalo memang kita tetap bisa efektif bekerja sambil bawa anak, opsi ini mungkin bisa dilakukan jangka pendek, misalnya sampai anak selesai ASI eksklusif enam bulan atau saat anak mulai MPASI.

Saya tahu gak semua perusahaan memperlakukan karyawan perempuannya seperti kantor saya. Manfaatkan kesempatan emas ini bila ada.

7. Jaga kesehatan ya moms!

Saya tahu rata-rata ibu gak punya waktu untuk diri sendiri, tapi penting untuk tetap sehat selama masa-masa penuh perjuangan ini. Kesehatan yang perlu kita jaga bukan cuma fisik, tapi juga mental.

Urusan masak, kalo ada dana lebih ya beli aja makan di luar atau minta tolong orang lain buat masakin kita di rumah. Gak ada ibu atau istri sempurna. Jadi, jangan sok kuat seolah bisa ngerjain semuanya. Saya saja katering selama tiga bulan pertama masuk kerja.

Ingat moms, kita punya bayi, kita punya suami, dan kita juga punya kerjaan di luar rumah. Kalo sampai kita sakit, ketiganya ikutan ambyar. Itu sama saja dengan kita bikin hidup kita makin sulit. Moms masih mau nerima gaji sendiri tiap bulan kan? So, jaga kesehatan ya.

Share:

Leave a Comment