Resign kerja jadi jurnalis
Resign kerja jadi jurnalis

Waktunya emak injak rem. Hari ini akhirnya datang juga. Hari di mana saya memilih mencurahkan waktu sepenuhnya untuk suami dan anak, meninggalkan dunia media yang sembilan tahun terakhir saya geluti. 

Saya sama sekali tak menyangka Allah anugerahkan dua buah hati sekaligus. Kehadiran kembar, Rashif dan Rangin, mengubah total orientasi saya ke depan. Awalnya masih pengen lanjut kerja jika anak kedua tunggal, sebab Kakak Mae sudah 3 tahun, sudah bisa diajak kompromi dengan profesi jurnalis yang menurut saya fleksibel ini.

Awalnya ingin bertahan di Bali sembari sabar menunggu suami dirotasi ke Jawa someday. Syukur syukur dirotasi ke Jakarta kan? Supaya bisa ngumpul di kantor pusat. Hehehe. Tapi, apa daya, apa mau dikata, sampai detik terakhir saya mengajukan surat pengunduran diri, semua sebatas harapan.

Dua bayi lucu dan satu batita super aktif menuntut perhatian ibunya sekaligus. Jika memilih bertahan, saya tak akan maksimal menjalani keduanya, bekerja dan berkeluarga. Saya putuskan memilih yang terpenting. Family first, because there is no replacement for a family lost.

Memang, di masa lalu saya tak pernah membayangkan suatu hari nanti akan menjadi ibu rumah tangga, tidak bekerja formal, seperti ibu saya. Cita-citanya meski udah menikah tetap mau bekerja, biar punya uang saku sendiri, gak minta suami terus, bisa kasih jajan buat orang tua, bisa buat tambahan uang dapur, bisa beli ini itu yang dimau tanpa takut kepake tabungan keluarga. Yaaa seperti pemikiran anak cewek kebanyakan. Mikirnya sih, hey, I didn’t get my bachelor degree to spend my days changing diapers.

Tapi, ketika si kembar menatap saya, ketika menggendong mereka, memeluk mereka, pikiran saya seketika benar-benar berubah. As soon, all those career and financial worries faded. Khawatir itu gak sepenuhnya hilang sih, tapi ah, bisa laaah. Berbaik sangka lah sama Allah. Toh setiap anak sudah dibekali Allah rezeki dan peruntungan masing-masing.

Menjadi ibu rumah tangga itu harus kerja keras. Ini adalah pekerjaan paling sulit dan tak ada akhirnya. Sayang masih ada saja orang di luar sana yang memandangnya sebelah mata, and there is little respect.

Bagi saya, menjadi seorang ibu itu bukan pekerjaan, itu pilihan. Karena ini pilihan kita sebagai perempuan, maka selayaknya lingkungan sekitar menghormati pilihan kita, bukan malah jadi kompor meleduk dengan bilang, “Duh, sayang ya kuliah merantau ke IPB kalo ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga.” Emang saya kuliah di IPB gak boleh jadi ibu rumah tangga, mikirin kerja dan nyari uang terus sampai nenek-nenek, gitu?

“Gelar sarjananya mubazir dong kalo ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga doang.” Emang ibu rumah tangga itu gak boleh sarjana? Harus buta huruf atau sekadar lulusan SD SMP SMA doang, gitu?

“Kalo jadi ibu rumah tangga doang, apa-apa ntar harus minta ke laki dong?” Yeeee, bukannya yang namanya suami itu memang kewajibannya menafkahi anak istri? Lagian suami saya saja santai, ngapain Anda sewot?

“Enak banget kamu gak kerja. Suami kamu gajinya gede dong ya?” Diaminin aja deh. Padahal kuncinya we have to make smart financial decisions, so sebagai istri I can stay at home.

“Kalo kamu resign dari kantor yang sekarang, trus kapan kamu mau nyoba kerja lagi?” Padahal sebelumnya saya sudah bilang, saya gak mau kerja dulu dalam waktu dekat, mau fokus urus anak. Daaaan, banyak lagi pertanyaan kepo lainnya. Thank you, next…

Hal paling menyedihkan, semua pertanyaan dan pernyataan di atas umumnya keluar dari mulut perempuan yang nota bene mereka juga ibu atau minimal kelak menjadi ibu. Mom-shaming banget kan? Padahal ini udah 2019, bukan zaman kompeni Belanda. Sebagai perempuan kita harus mendukung pilihan perempuan lain untuk hidupnya, apakah mau bekerja atau tinggal di rumah, mau pakai pengasuh anak atau tidak, mau nitipin anak ke ibu or mertua atau tidak, dan lainnya.

Herannya ibu rumah tangga maupun ibu bekerja di zaman sekarang seakan ‘dihakimi’ perasaan bersalah akibat sensasi pertanyaan-pertanyaan orang lain. I didn’t expect anyone to praise me for my decision to become a full time mom, but I also didn’t expect anyone to shame me, either.

Menjadi ibu rumah tangga itu bukan pengangguran. Justru mereka lah pekerja keras sesungguhnya. Ibu menghabiskan seluruh hidupnya untuk membesarkan titipan Tuhan, generasi masa depan. Yang masih memandang ibu rumah tangga sebelah mata seharusnya malu. Ini adalah pekerjaan tersulit se-dunia.

JADI IBU RUMAH TANGGA ITU MELELAHKAN

Menjadi ibu rumah tangga itu bisa sangat melelahkan, bahkan ketika dunia luar sana menganggap kita seperti tak melakukan banyak hal sebab kesannya cuma tinggal di rumah seharian. Mau tahu kenapa?

1. Tingkat kewaspadaan sangat tinggi

Kebayang gak kamu seperti jadi satpam setiap hari, selama seminggu, selama 24 jam? Kamu menjadi sangat peka dan konstan mengawasi segala bentuk ancaman yang bisa saja menimpamu dan anak-anakmu.

Contoh sederhana, saya lagi asik masak di dapur, namun dalam waktu bersamaan saya harus mengawasi Maetami yang waktu itu baru saja pinter jalan. Saya terus wanti-wanti jangan sampai si kakak kejedut tembok, manjat tangga tanpa sepengetahuan saya, kepeleset, nyebur ke kolam karetnya, keluar pintu, lari ke halaman, sampai ke luar pagar, atau minimal mengawasi si kakak supaya gak ngerjain hal-hal aneh.

Belum lagi kalo mas dinas luar kota atau gak di rumah dalam waktu lama, saya bakal merangkap kepala rumah tangga. Emak-emak lain yang anaknya udah sekolah bakal nganterin anaknya sekolah, ngisi pulsa listrik, bayar PDAM, ke pasar sendiri, angkat galon, benerin kompor, sampai ngurusin genteng bocor. Malam harinya mastiin pagar rumah udah digembok, semua pintu dan jendela udah dikunci rapi, takut maling beraksi. Hehehe.

2. Tingkat kecemasan tinggi setiap hari

Alasan kedua, ibu rumah tangga itu tingkat kecemasannya tinggi dan mereka melakukannya dengan sadar setiap hari. Eits, ini bukan perasaan cemas dadakan, seperti pas mau ujian semester yang cuma enam bulan sekali, atau ujian kelulusan sekolah setahun sekali.

Logikanya, waktu kita cemas, tubuh kita kayak disetting seperti siap perang. Pas si bayi udah mulai belajar berdiri, merambat, sampai berjalan misalnya, lingkungan sekelilingnya seperti menjadi ancaman dan tidak aman.

Saya merasa siku-siku kayu pada kursi, meja ruang tamu, atau meja TV bisa saja melukai anak. Colokan listrik yang terbuka bisa saja nyentrum anak. Gelas dan piring kaca bisa saja pecah, trus tangan anak luka berdarah. Seandainya bisa saya pengen rumah menjadi kosong seketika, setidaknya sampai si kakak waktu itu lancar dan lihai berjalannya.

3. Waktu ‘Me Time’ nyari tidak ada

Ini karena sepanjang hari, mulai dari matahari terbit sampai terbenam saya fokus ke suami dan anak.

Boro-boro ‘me time’ keluar atau baca novel kesayangan sampai habis ya…. Bisa BAB atau BAK dengan tenang tanpa dirongrong tangisan bayi, itu aja udah sujud syukur. Bisa makan dengan santai, tanpa ada teriakan bayi minta dicebokin, itu aja udah hepi. Bisa bobok siang 10-15 menit tanpa dicolek bayi yang minta ditemenin main, itu aja rasanya seperti dapat bonus dan THR lebaran. This is why we must process, recharge, and get refreshed.

4. Multitasking itu melelahkan

Ibu rumah tangga itu bisa melakukan 2-3 pekerjaan sekaligus. Nunggu sayuran matang sambil beresin mainan anak, lanjut nyapu rumah. Antar anak sekolah sambil mampir ke pasar atau beli obat ke apotek. Nyuapin si sulung makan sambil angkat telepon dari suami atau gendong si bungsu. Ganti popok si adek sambil nyeterika baju atau bersihin bekas coretan krayon di dinding rumah. Nungguin si kakak mandi sambil beresin kamar tidur plus ngepel rumah.

Gak ada yang namanya ibu rumah tangga itu santai dan istirahat dalam waktu lama, minimal sampai anak-anaknya berumur 5-6 tahun. Gak peduli seberapa pintarnya kamu memanajemen waktu, gak peduli seberapa terorganisirnya kamu, gak peduli seberapa efisien dan terstrukturnya kamu, yang namanya ibu rumah tangga itu pekerjaan tak mengenal waktu. Butuh fokus, konsentrasi, dan kesadaran tinggi. Hal terpenting dari menjadi ibu rumah tangga adalah TETAP WARAS.

Saya sadar, jalan panjang masih terbentang di depan sana. Berumah tangga itu seperti halnya naik motor di sirkuit MotoGP. Lintasannya gak selalu lurus, ada beberapa tikungan tajam. Balapannya juga gak selalu pas cuaca bagus, kadang balapan basah, hujan, malah ada yang balapan malam hari. Belum lagi di tengah jalan motor mendadak mati, pas melaju kencang eh malah ditikung, disenggol, kadang crash dan guling-guling di aspal.

Apapun gangguan dan bentuk ujian yang akan ditemui di tengah perjalanan rumah tangga kami nanti, yang terpenting adalah kami bisa mencapai tujuan dan finis bersama selamanya. Gak peduli finis ke berapa, yang penting bareng. B-E-R-S-A-M-A, itu intinya 🙂

It makes us tired 🙁 Tapi, ketika nanti kami sudah 60 tahun, 70 tahun, 80 tahun, 90 tahun, saat kami kembali hanya berdua saja di rumah sebagai suami istri, anak-anak udah pada sibuk dengan urusan masing-masing, saat satu per satu anak meninggalkan rumah untuk membangun keluarga kecil mereka, saat itulah kami akan mengenang kembali hari-hari ini dan menghadapi semuanya dengan senyuman 🙂 Because that is what mothers do. We just get on with what needs to be done.

Share:

Leave a Comment