Repotnya menjadi ibu baru
Repotnya menjadi ibu baru

Sejak Mae lahir, setiap minggunya ada saja hal-hal baru terjadi padanya yang membuatku dan suami panik. Rasanya berlebihan jika aku menyebut diriku terkena postpartum syndrome karena alhamdulillah berkat support keluarga kami bisa merawat Mae bersama. Hanya saja, memang ada beberapa kondisi Mae yang jujur membuatku khawatir dan hampir seluruhnya terkait dengan kondisi fisiknya.

Itu dimulai dari hal-hal sederhana, seperti napasnya yang kadang melenguh seperti ada yang menyumbat hidungnya, cegukan, ruam popok, sampai jerawat di kepalanya. 

Mae Minggu ke-1

I am not sick, not depressed. I just worry about my baby. Beginilah hari-hari pertama yang kurasakan sebagai ibu baru dan ternyata I am not alone. Rata-rata apa yang aku alami juga dialami oleh teman-temanku lainnya. Judulnya adalah Me versus Mom.

Mungkin ini umum terjadi saat bayi lahir dimana aku sebagai ibu baru dianggap menjadi seorang yang belum banyak tahu (meski sembilan bulan udah baca buku tetang kehamilan dan perawatan bayi setebal 473 halaman, ikut kelas parenting, belajar serba-serbi perawatan bayi di klinik laktasi, belum lagi ikut forum online sana-sini), sementara orang tua tentu saja sebagai pihak yang sudah berpengalaman.

Kuakui yang namanya orang tua, apakah itu ibu atau mamah mertua pastinya berniat baik membantu anaknya merawat cucu mereka. Mereka juga tak kalah excited-nya dariku menyambut Mae. Semua terasa mulai membuatku panik saat begitu banyak anjuran yang masuk ke telingaku dan aku terkadang bingung mengambil keputusan sebagai orang tua baru.

Aku berusaha meyakinkan orang tua bahwa aku dan mas juga masih dalam proses belajar menunaikan peran sebagai orang tua seperti mereka saat merawat kami dulu. Perdebatan dimulai dari ibu yang terus memintaku mengonsumsi pil sinshe untuk mempercepat penyembuhan luka bekas operasiku.

Padahal, aku udah dikasih banyak obat dari dokter, belum lagi aku minum jamu Nyonya Meneer pascapersalinan. Logikaku, banyak amatttt minum obatnya? Yakin gak ngaruh ke ASI-ku? Aku mah nurut kata Dokter Semadi aja yang jelas-jelas mengikuti perkembanganku mulai dari kehamilan pertama hingga melahirkan.

Dokter Semadi tak hanya memberi resep penyembuhan luka, tapi juga vitamin untuk ASI booster. Alhamdulillah setelah diberi pengertian beberapa kali (meski ibu pake acara ngambek, hehehe) akhirnya ibu menerima keputusanku.

Problem kedua adalah setelah pulang dari rumah sakit, selama sehari Mae belum buang air kecil sama sekali. Begitu keesokan harinya Mae belum juga pipis, ibu dan mama langsung menyarankan aku memancing Mae pipis dengan memberinya sedikit susu formula (sufor). Ibu bahkan menelepon amay (kakak ayah) untuk meyakinku.

Ya, kuakui produksi ASI-ku masih sangat sedikit, tapi yang kutahu perut bayi yang baru berumur 4 hari juga cuma sebesar kelereng. Begitu yang kutahu dari pelajaran bersama dokter di Klinik Laktasi Puri Bunda dulu. Kalo perut bayinya aja cuma sebesar kelereng berarti pemberian ASI-ku juga masih cukup toh?

Berbagai alasan mengemuka, mulai dari berat badan Mae yang turun dari 3,17 kg sewaktu lahir menjadi 2,95 kg setelah dua hari. Aku padahal sudah bertanya pada perawat di ruang bayi tentang berat badan Mae. Perawatnya bilang, hampir seluruh bayi yang dilahirkan akan mengalami penurunan berat badan.

Bayi lahir membawa ‘tabungan’ cairan dan lemak sebagai cadangan makanan. Ini sangat berguna selama seminggu pertama kehidupan bayi saat dunianya beralih dari rahim ibunya ke lingkungan baru. Jadi, aku sebetulnya tak perlu khawatir Mae bakal kelaparan selama seminggu pertama usianya.

Aku baru boleh khawatir jika berat badan Mae berkurang 10 persen dari berat totalnya atau jika penurunan berat badan terus terjadi sampai memasuki minggu kedua. Kesimpulannya, dalam kasus Mae, penurunan 200 gram masih masuk kategori normal.

Ibu dan mama khawatir bayiku menjadi kuning jika tak kunjung dibantu sedikit susu formula, juga jika bayiku tak juga pipis dalam tiga hari. Semalaman aku dan mas berpikir apakah harus menoleransi usulan ibu dan mama ini, sementara ASI sebetulnya hal prinsip bagiku.

Sewaktu masuk ruang bersalin saja, beberapa kali aku pesankan pada perawat bahwa aku ingin memberi ASI ekslusif untuk bayiku. Jadi, apakah nantinya aku bersalin normal atau sesar, Mae tetap harus meminum ASI-ku pertama kali. Intinya, Mae harus segera berada satu kamar denganku setelah dilahirkan.

Alhamdulillah Puri Bunda memberlakukan sistem rooming in alias rawat gabung. Ibu dan anak diletakkan dan dirawat bersama dalam satu kamar. Jadi, ibu dan bayi bisa berinteraksi kapan saja. Selama tiga hari di rumah sakit, Mae hanya dibawa keluar kamarku dua kali sehari, yaitu jam mandi pagi sekaligus berjemur, dan jam mandi sore.

Dokter anak yang bertanggung jawab atas Mae, Dokter Anak Agung Ngurah Prayoga juga datang langsung melakukan pemeriksaan ke kamarku.

Sistem rawat gabung membuat ibu bisa memberikan ASI pada bayinya kapanpun dikehendaki. Meski demikian, sistem ini hanya diberlakukan untuk ibu dan bayi yang dinyatakan sehat.

Syaratnya apa saja? Nilai Apgar bayi 7 (nilai Mae persis 7), berat badan bayi harus di atas 2,5 kg saat lahir, lama kehamilan sudah di atas 36 minggu, bayi tidak terdeteksi infeksi intrapartum, dan tak kalah pentingnya, ibu bayi dinyatakan sehat dalam satu jam pertama setelah melahirkan.

Menurutku, sistem rooming in ini memberi banyak keuntungan. Selain pemberian ASI eksklusif, ibu bisa mendapat pendampingan dan penyuluhan dari perawat kesehatan yang datang berkunjung untuk memeriksa ibu dan bayinya di waktu-waktu tertentu, sehingga ibu bisa menanyakan banyak hal tentan perubahan fisik dan perilaku bayinya dari paramedis.

Sistem rooming in juga membuat bayi tidak terpapar dengan banyak petugas. Puri Bunda memberlakukan sistem 1-2 perawat merawat satu bayi. Jadi, Mae tidak ditangani banyak suster, sehingga penularan penyakit antarbayi bisa dicegah.

Balik lagi ke sufor, mikir terus, mikir terus, akhirnya nyerah juga dengan saran orang tua. Hari ketiga Mae tak kunjung buang air kecil dan air besar. Aku akhirnya panik juga dan ikuti saran ibu dan mama. Aku meminta mas membeli sufor terbaik, sampai mas pulang dari Clandys membawa BMT Platinum Morinaga.

Aku sampaikan ke ibu dan mama bahwa setelah Mae pipis, aku akan menghentikan pemberian sufornya. Keduanya pun setuju. Akhirnya, Mae ‘tercemar’ sufor juga sebanyak 30 ml, dan benar juga, malamnya dia langsung pipis.

Perbedaan pendapat selanjutnya adalah pemakaian gurita bayi. Perawat dan dokter di rumah sakit yang merawat Mae mengatakan bahwa penggunaan gurita untuk bayi sudah tak diperbolehkan lagi saat ini.

Alasannya adalah perlakuan itu bisa menekan perut bayi dan khawatir bayi kesulitan bernapas. Aku awalnya cuma ingin Mae cukup dibedong saja, itu pun bedongan longgar, tapi mama ingin memakaikan Mae gurita. Untuk hal ini, aku mengalah dengan membolehkan pemakaian gurita yang longgar.

Begitu tali pusar Mae puput, ibu dan mama bilang pusar anak-anak dulu ditindih pake uang koin, termasuk pusarku (kata ibu). Katanya sih biar gak bodong. Kurasa ini gak ada manfaatnya, malahan aku khawatir uang koinnya bawa kuman dan bikin pusar Mae infeksi. Infeksi itu bisa menular lewat pusar yang masih sedikit basah dan merah, bisa-bisa Mae sepsis atau kumannya mengalir ke seluruh tubuh. I said, NO mom.

(Tarik napas dulu ah) Ternyata banyak yaaaa, perbedaan anjuran dan aturan perawatan bayi ala ibu zaman dulu dengan ibu zaman sekarang. Cerita di atas cuma sebagian dari pengalamanku. Banyak lagi cerita lain, mulai dari yang logis sampai yang mitos. Rada rempong deh pokoknya 😀

Mungkin ibu baru lainnya punya versi berbeda. Tapi yang jelas, semua anjuran orang tua pada dasarnya baik, meskipun itu versi mereka. Mana ada sih kakek atau nenek yang mau celakain cucu mereka? Sederhana saja, jika memang ada hal-hal yang bisa kita toleransi, tidak ada salahnya diikuti atau disesuaikan. Demikian pula jika ada hal yang menurut kita tak perlu diikuti, jangan takut mengatakan tidak.

Oya, minggu pertama anak kacang eksis di dunia, tepatnya lima hari usianya, Mae juga mengalami iritasi kulit kepala. Ini cukup membuatku dan mas panik. Gimana gak panik? Mae mendapat serangan jerawat bayi, berupa benjolan-benjolan kecil berisi nanah. Aku dan mas bahkan ingin memajukan jadwal kontrol ke dokter.

Kucoba tanya dan cari informasi sana sini, rata-rata menyarankan cukup mengompres jerawat di kepala itu dengan air hangat. Teman-teman tidak merekomendasikan aku menggunakan obat macam-macam karena kulit bayi seminggu masih amat sensitif.

Selama mengalami jerawat di kepala ini, terkadang Mae kecil menangis. Aku tahu mungkin saja benjolan itu berdenyut dan Mae tidak nyaman dengan kepalanya yang kuyakin dia merasa sakit. Alhamdulillah, jerawat bayi Mae sudah mengering memasuki minggu ketiga dan terus berkurang hingga usianya memasuki dua bulan.

Mae Minggu ke-2

Minggu kedua ini Mae jadwal periksa ke Dokter Prayoga. Setelah mendapat imunisasi hepatitis pertama dan polio tetes pertama saat berusia tiga hari di rumah sakit, kali ini jadwalnya Mae divaksin Bacillus Calmette Guerin (BCG). Vaksin ini untuk mencegah terjadinya penyakit TBC. Alhamdulillah berat badan Mae naik kembali dari 2,9 kg selepas keluar dari rumah sakit pascapersalinan menjadi 3,2 kg diminggu kedua usianya.

Apa yang bikin panik diminggu kedua? Jawabannya adalah saat si bayi owek owek ini mengalami apa yang Mr. Crab sebut semburan kedewasaan atau percepatan pertumbuhan alias growth spurts. Mungkin ada yang masih ingat salah satu episode Spongesbob yang bercerita tentang Pearl, ikan paus anak Mr. Crab yang mengalami fenomena ini.

Pearl kecil terbangun dengan tubuhnya yang tiba-tiba membesar. Dia hanya berambisi untuk makan tanpa henti. Ini membuat Mr. Crab tak bisa tidur sepanjang malam bahkan terpaksa mencuri makanan karena perut Pearl tak juga kenyang. Mae persis seperti Pearl. Dia ingin terus disusui, siang dan malam.

Aku yang masih dalam tahap belajar menyusui mengalami apa yang disebut puting lecet. Teknik menyusui yang benar adalah puting dan areola berada di dalam mulut bayi. Meski demikian, tak jarang karena melakukan lying breastfeeding alias menyusui dalam posisi tidur dimalam hari, aku sering lupa bahwa Mae hanya mengisap puting saja, bukan memompa susu di sekitar areola. Ini karena efek mengantuk juga ketiduran.

Mimiknya all night long loooh, bener-bener supeeer yang namanya ibu itu ternyata yah. Papahnya aja gak tidur nyenyak semalaman udah pusing, bahkan flu. Nah, ibunya? Malam ini, besok malam, malam lusa, seeeetiap hari mimik-in manusia mungil ini. Alhamdulillah aku gak demam sama sekali.

Saking paniknya aku coba chat dengan Uphie, salah satu teman kuliahku yang sering sharing artikel-artikel parenting dari Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI). Uphie juga berpengalaman karena sudah dikaruniai dua orang putra. Uphie bilang, growth spurts normal dialami bayi seumuran Mae.

Biasanya fenomena ini terjadi kurang dari seminggu dan memang growth spurts sering dibilang masa-masanya bayi rewel. Uphie memintaku sabar karena kejadian yang sama akan berulang beberapa kali hingga 12 bulan pertama kehidupan Mae. Konsekuensinya, kapan pun Mae ingin disusui, maka aku harus memberikannya.

Jadilah selama minggu kedua ini aku tak ubahnya seperti restoran yang buka 24 jam untuk Mae. Subhanallah nak, kamu bisa mimik setiap satu jam. Perut putriku seperti tak pernah kenyang. Mas malah khawatir lebih dari itu. Dia takut Mae mengalami Prader-Willi Syndrome (PWS). Ini adalah penyakit langka dimana anak selalu merasa lapar. Anak tak pernah sadar bahwa apa yang mereka makan atau minum sudah cukup dan tetap saja terobsesi pada makanan.

Setelah aku memperlihatkan mas obrolanku di whatsapp dengan Uphie, mas langsung browsing internet dan menyadari ciri-ciri yang ditunjukkan Mae persis seperti artikel-atikel yang menjelaskan tentang growth spurts. Kepanikan diminggu kedua pun mereda. Bansaiiiii!

Mae Minggu ke-3

Ruam popok adalah hal yang dialami Mae di minggu ketiga usianya. Aku memang sudah menyiapkan cloth diapers (clodi) untuk Mae, tapi itu baru bisa dipakai Mae memasuki minggu keempat. Jika pakai popok kain biasa yang tipis dimalam hari, kasihan juga Mae bakal bangun setiap 20 menit atau 30 menit. Ibunya juga bakal tepar dengan kondisi abis lahiran sesar.

Mae pakai dua merek popok bayi new born, yaitu Mammypoko dan Pampers, tapi teteup aja gak cocok untuk si bayi ASI ini. Akibatnya pantat Mae memerah, bahkan ada yang lecet. Aduh, sedih sekali saat aku melihatnya. Ibu malah menyarankan untuk memberi bedak tabur di pinggul Mae. Laaaa, jelas-jelas penggunaan bedak bayi sudah disingkirkan dari dunia perbayian.

Tidak ada kosmetik apapun untuk bayi baru lahir selama sebulan pertama kehidupannya selain sabun mandi batang, sampo bayi, dan minyak telon. Kosmetik bayi memang banyak macamnya, mulai dari baby lotion, baby oil, baby cream, baby powder, baby cologne, dan baby baby lainnya, namun tidak semuanya dibutuhkan bayi diawal kelahirannya. Maka, ibu-ibu, bijaksanalah dalam memilih.

Begitu Mae genap 21 hari, semua popok sekali pakai (pospak) langsung digudangkan. Mae mulai belajar pakai clodi yang kupesan online dari Jakarta. Ceritanya, aku dan mas sudah keliling Denpasar buat nemuin clodi, tapi gak ada yang jual. Setelah kupikir-pikir, mana mau toko grosir bayi menjual clodi? Sementara kuyakin penghasilan terbesar mereka selain dari penjualan susu adalah penjualan pospak untuk bayi.

Clodi ini sangat ekonomis, menghemat pengeluaran, kualitas lebih bagus dari pospak, istimewanya aman untuk bayi dan dipakai jangka panjang karena bisa dicuci ulang. Aku bersyukur banget baru empat hari memakai clodi, ruam popok Mae langsung sembuh.

Tepat diusianya yang ke-21 hari, Mae diakikahkan. Suasana puasa membuat aku dan mas ingin akikah Mae bersama anak-anak yatim dan adik-adik dari Rumah Bakat Dompet Sosial Madani (DSM) Bali. Meski kali itu dari pihak keluarga hanya ibu yang bisa ikut, namun tidak mengurangi rasa syukur aku dan mas sebagai orang tua atas kelahiran Mae. Toh tujuan kami adalah memperoleh pahala sunat dari akikah itu sendiri yang dianjurkan Nabi dilakukan pada hari ke-7, ke-14, atau ke-21 hari usia anak.

Jadilah pada hari itu, 1 Juli 2016, Mae dipotongkan seekor kambing sekaligus cukur rambut secara simbolis sebagai tanda akikahnya. Kami sekaligus buka puasa bersama di sana. Mae anteeeng banget dilihatin sama kakak-kakaknya di sana.

Mae Minggu ke-4

Menjelang usianya satu bulan, aktivitas menyusui Mae semakin sering. Puting lecet kembali kualami setelah sebelumnya hal serupa terjadi pada minggu pertama. Intensitas menyusui Mae semakin sering. Aku pun mulai kewalahan dan meminta dibelikan pompa ASI pada mas.

Minggu keempat ini aku mulai ketakutan jika produksi ASI-ku berkurang. Saat dipompa, ASI perahku hanya berkisar 25-30 ml. Teman-teman mengingatkan supaya aku tidak boleh stres. Aku harus semangat memperbaiki kualitas ASI jika tak ingin Mae bergantung sepenuhnya pada sufor.

Frekuensi makan mulai kuperbanyak, minum susu ibu menyusui, juga vitamin khusus dari dokter. Alhamdulillah setelah Mae genap sebulan, produksi ASI semakin bertambah. ASI perahku menghasilkan 50-60 ml susu setiap sekali perah.

Oya, mulai usia 21 hari, aku dan mas sepakat untuk mengajarkan Mae mandiri tidur di baby box-nya dimalam hari. Percobaan ini gagal terus selama empat hari. Meski demikian, aku gak nyerah. Setiap selesai mimik dan Mae terlihat mengantuk, aku langsung menaruhnya ke baby box. Eeeeh, baru lima menit dia udah nangis lagi dan harus digendong lagi sampai lelap, trus ditidurin lagi di kotaknya.

Meski capek bolak balik gendong dan angkat Mae dari kasurku ke baby box-nya, hal itu terus kulakukan. Akhirnya, si bayi tembem ini bisa bobok malam di kasurnya sendiri pada usia 25 hari.

Sekarang Mae sudah akrab dengan baby box-nya. Aku, mas, dan Mae kembali bisa tidur sekamar setelah beberapa minggu terakhir mas harus mengungsi ke ruang depan akibat separuh dari kasur diinvasi Mae. Hehehe.

“Kemarin kemarin ibun selalu gendong aku kalo nangis. Tapi, hari ini kok enggak?” Mungkin begini kira-kira kata Mae seandainya dia bisa ngomong.

Waktu jadwal periksa jahitan untuk kedua kalinya ke Dokter Semadi, aku dan mas sempat curhat sedikit soal Mae yang susah tidur jika tidak digendong. Dalam beberapa kasus mungkin Mae memang lagi ngalamin yang namanya growth spurts, tapi, gak selama itu juga kan?

Dokter Semadi bilang kurang lebih sama seperti yg ibuku pernah bilang, “Jangan terlalu sering gendong si kecil ya. Ibunya harus belajar tega dan ndak perlu merasa bersalah kalo bayinya nangis terus, tapi tidak langsung digendong. Kalo nangis dikit, langsung gendong, nanti ibunya juga yang susah lho.”

Intinya begitu nasihat dokter. Bedanya, kalo ibu bilang yang kurang lebih sama ke aku, tapi faktanya kalo cucunya nangis dia juga gak tega dan langsung gendong atau timang cucunya sambil dinyanyiin. Hihihi. Memang begitu lah rata-rata yang namanya nenek.

Aku sendiri sebagai ibu baru suka ndak tega lihat Mae langsung nangis. Mikirnya cuma, ya Allah, Mae kan masih kecil, belum juga sebulan. Masak udah dipisahin boboknya dari ibunya? Masak dia harus dibiarin nangis karena minta digendong? Tapi ketika udah mikir demi kebaikannya juga, ya harus berani ngurangin intensitas gendong Mae.

Tepat 11 Juli kemarin Mae kecil genap berusia satu bulan. Begitu periksa lagi ke Dokter Prayoga, Mae mendapat suntikan hepatitis kedua. Aku dan mas sangat bersyukur karena si bayi ASI dinyatakan sehat. Berat badan Mae sudah 4 kg dengan panjang tubuh 54 cm. Happy anniMONTHsary anak kacang kesayangan. Semoga Allah selalu menjagamu, nak.

A baby makes love stronger, days shorter, nights longer, bank balance smaller, home happier, clothes dirty, the past forgotten, and the future worth living for (Pablo Picasso)

Share:

Tags:

One response to “Repotnya Jadi Ibu Baru”

  1. […] repotnya menjadi ibu baru. Bisa dibayangkan posisi saya waktu itu. Saya baru pulang dari rumah sakit, jahitan bekas sesar […]

Leave a Comment