Cerita persalinan
Cerita persalinan

Semuanya blur dan dalam hitungan detik pandanganku gelap. Aku kehilangan seluruh kesadaran begitu dokter memberi anestesi epidural lewat suntikan di tulang belakangku. Tujuannya untuk memblok semua rasa sakit selama operasi sesar berlangsung. Tenaga yang kuhabiskan 33 jam sebelumnya untuk berjuang demi bisa bersalin normal membuat kondisiku sudah mencapai batasnya. 

Usai disuntik, tubuhku mati rasa terutama dari bagian perut ke bawah. Selanjutnya, aku percayakan dan serahkan semuanya pada Allah SWT dan juga sejumlah dokter dan perawat yang mengelilingiku. Mas bilang, tak sampai satu jam kemudian, gadis mungil buah hati kami lahir ke dunia. She finally came, our lovely daughter joined us in the world 2 days before her due date. Mae yang berarti mutiara, demikian panggilan sayang kami untuknya. 

Kamis, 10 Juni 2016

Pukul 04.00 WITA aku bangun seperti biasa menemani mas makan sahur. Kebetulan rumahku sudah ramai sejak 2 minggu lalu. Mama, papa, nenek datang dari Banyuwangi sejak 25 Mei. Ibu bahkan sudah di Denpasar tiga hari sebelumnya. Aku terbangun dengan kondisi yang lemas.

Sebetulnya aku sudah merasa kurang enak badan sejak Rabu malam. Mas terus mengelus-elus perutku, mengajak Mae bicara supaya tenang. Dia bahkan sudah langsung ingin membawaku ke rumah sakit. Namun, pengalamanku saat hamil Alm Kakak dulu membuatku bisa membedakan mana yang kontraksi beneran, mana kontraksi palsu (braxton hicks).

Sahur kali ini aku tak makan seperti biasa (oya, aku tidak puasa, cuma memajukan jam sarapan saja), aku cuma makan buah potong karena kondisi perut kurang nyaman. Usai subuh kucoba baringan kembali dan bangun sekitar 07.30 WITA untuk jalan sehat seperti biasa di depan rumah. Mas menemaniku jalan pagi, juga menjadi tumpuanku melakukan senam jongkok untuk memudahkan persalinan normal.

Pukul 09.00 WITA aku mandi. Betapa kagetnya aku saat menemukan flek coklat di celana. Menurut sejumlah artikel yang kubaca, flek merupakan salah satu tanda awal dimulainya tahapan persalinan. Aku bertahan tetap tidak ke rumah sakit dan menikmati ‘serunya’ mules-mules kecil di perutku yang rasanya timbul tenggelam. Di kamar tidur, aku mencoba segala macam posisi untuk meringankan rasa sakit ini, mulai dari sujud, jongkok, membungkuk, telentang, miring kiri, miring kanan.

Yang namanya orang tua, cucu pertama pula, seisi rumah mulai terlihat panik. Apalagi mama, setelah mendengar cerita Mba Eka, tetanggaku di sebelah yang bekerja di RS Sanglah. Mba Eka bilang, flek itu juga tanda sudah terjadi bukaan. Beuh, mama dan ibu keukeuh mau membawaku langsung ke rumah sakit. Padahal, hari yang sama sebetulnya juga jadwal aku kontrol ke Dokter Semadi, tapi antrianku No. 35, sekitar pukul 21.00 WITA. Sayangnya, mama dan ibu gak sabaran, aku dan mas meminta seisi rumah tenang dan baru akan ke rumah sakit setelah berbuka puasa.

Malamnya pukul 19.00 WITA, aku, mas, mama, dan ibu langsung meluncur ke RS Puri Bunda. Di sana, sejumlah perawat menanganiku. Seorang perawat bilang bahwa dia akan melakukan pemeriksaan dalam (vaginatuse), yaitu melihat bukaan serviks dengan memasukkan jari ke dalam Miss V. Aku diminta rileks dan bernapas tenang. Ya ampuuuun, itu pertama kalinya aku merasakannya. Gak enak bangettttttt dan susah untuk rileks. Mba perawatnya bilang bahwa aku sudah bukaan 1. Aku pun memutuskan pulang lagi ke rumah begitu mengetahui masih bukaan 1. Jika kontraksinya sudah semakin sering dan dalam waktu per lima menit atau kurang, aku baru akan datang lagi ke rumah sakit. Aku pun langsung memakai jam tangan dan memonitor setiap kontraksi yang kurasakan.

Jumat, 11 Juni 2016

Sekitar pukul 01.00 WITA dini hari aku terbangun dengan perut mengeras seperti membatu. Kontraksinya semakin sering dan rasanya mulai gak enak banget. Aku bahkan tak bisa berbaring juga duduk. Rasanya lebih enak jika aku berdiri, berjalan, sembari menarik dan mengembuskan napas panjang. Alhasil tengah malam itu aku dan mas ke luar rumah dan jalan-jalan di halaman berdua. Jika intensitas sakitnya meningkat, aku akan berhenti dan mengambil napas panjang. Sesekali aku juga berjongkok untuk meredakan sedikit nyerinya.

Mas langsung meminta mama dan ibu untuk siap-siap packing keperluan mereka. Perlengkapan bersalinku sendiri sudah stand by di mobil sejak sebulan lalu. Mas bilang, satu jam lagi kami akan ke rumah sakit. Benar saja, kontraksi yang kurasakan terjadi dalam interval waktu berdekatan, 5-7 menit. Sembari menyetir, tangan kiri mas selalu mengelus-elus perutku, meminta anaknya tenang karena kami sudah menuju rumah sakit.

Sesampainya di Puri Bunda, aku langsung dibaringkan di ruang persiapan bersalin. Perawat kembali memeriksa bukaan jalan lahirku, ternyata sudah bukaan 2. Persalinan normal berarti ada 10 bukaan dan aku belum boleh ‘ngeden’ atau mengejan sebelum bukaan 10, atau minimal bukaan 7 tapi itu pun dengan diberlakukan episiotomi alas pengguntingan jalan lahir. Whatttt?

Bukaan 2 saja kontraksinya udah sedahsyat ini. Masya Allah, perjuangan seorang ibu. Di ruang itu juga aku memeluk ibu, meminta maaf dan berterima kasih atas perjuangannya melahirkanku dulu.

Berada di ruang persiapan persalinan membuatku takut sebelum waktunya. Aku pun minta kembali ke kamar rawat inapku, Supraba di lantai 2. Itung-itung sekalian olah raga jalan untuk mengurangi nyeri kontraksi. Perawat pun mengizinkanku ke ruang rawat inap dan kembali lagi untuk periksa bukaan empat jam kemudian.

Aku selalu ingat pesan ibu, perawat, juga teman-teman yang pernah melahirkan normal. Mereka bilang, jangan ngeden sebelum dokter memerintahkannya. Jika aku mengejan sebelum bukaan lengkap, maka akan terjadi edema alias pembengkakan pada serviks sehingga proses bersalin normal menjadi sulit.

Aku pun bertahan dan ingat selalu pesan itu. Inilah yang kutahan hingga puncaknya aku mentok di bukaan 5 nanti. Selama itu pula, setiap nyeri kontraksi datang, maka selalu ada dorongan kuat untuk mengejan. Aku bertahan dengan cara bernapas dalam.

Proses bertambahnya bukaanku sangaaaat lama. Empat jam kemudian, sekitar pukul 7 pagi, aku baru bukaan 3. Hal yang sama bertahan hingga ketubanku mulai pecah siang harinya. Sejak itu pula aku tak lagi diperkenankan perawat untuk turun dari ranjang. Semua aktivitas, makan, tidur, hingga buang air wajib kulakukan dengan posisi berbaring.

Empat jam berikutnya adalah penderitaan panjang bagiku. Kontraksi datang setiap 3-5 menit. Nyerinya kian hebat. Aku mulai menangis setiap kontraksi bukaan 3 menuju 4 ini datang. Namun, jauh-jauh hari di rumah aku sudah berpesan pada mas.

“Mas, nanti kalo Tia udah mau lahiran di rumah sakit. Di ruang bersalin, kalo Tia ngomong apapun, nangis kayak gimanapun, minta dioperasi, endebla..endebla…endebla, tolong jangan didengerin ya? Sabar-sabarin aja Tia ya mas. Pokoknya yakinkan Tia bisa normal.”

Faktanya di ruang bersalin hari itu, Mas kulihat mulai panik melihat kondisiku yang melemah. Aku tahu dia juga merasakan sakit sama sepertiku. Dia setia di sampingku, memegang tanganku, menjadi tenagaku setiap kali nyeri itu tiba.

Tenagaku sedikit bertambah begitu perawat datang dan menyatakan bahwa aku sudah bukaan 4 sekitar pukul 10.00 WITA. Perawat pun mengatakan bahwa Dokter Semadi sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Aku semakin bersemangat, demikian juga mas.

Obgyn favorit anak kacangku akhirnya muncul juga di ruang persiapan bersalinku. Wajah sang dokter menenangkan, figur ayah bangetttt pokoknya. Dokter Semadi kembali melakukan pemeriksaan dalam terhadapku dua jam berikutnya. Masih bukaan 4. Dia menyemangatiku bahwa aku bisa bersalin normal, aku kuat, bayiku juga kuat.

Air ketubanku terus keluar sedikit demi sedikit. Dua jam kemudian aku meminta mas memanggil perawat di luar. Aku bertanya mengenai air ketuban ini, apakah bayiku di dalam baik-baik saja? Bisakah dia tetap bernapas nyaman meski ketuban sudah pecah? Sang perawat cuma memberi tahu bahwa sepanjang aku rileks, tenang, dan tetap berbaring, bernapas normal, semua baik-baik saja. Perawat itu pun kembali memeriksa detak jantung anakku, masih dalam kisaran normal, 130 kali per menit.

27 jam berlalu sejak kontraksi itu kurasakan Kamis pagi. Dalam empat jam berikutnya bukaanku hanya bertambah 0,5 cm. Dua perawat berbeda yang memeriksaku masing-masingnya menyatakan aku baru bukaan 4,5, satunya menyatakan aku sudah bukaan 5. “Ya ampun, kenapa pake setengah-setengah senti sih mas? Bilang aja bukaan 5 kenapa?” Gerutuku pada mas di sampingku, sembari terus menangis menahan rasa sakit.

Jam demi jam berlalu, tak ada kemajuan dengan bukaanku. Angkanya selalu mentok di 4,5 atau 5 itu. Mas mulai tak tahan melihat kondisiku yang kian melemah menahan sakit. Mas kemudian keluar dari ruangan. Belakangan kuketahui dia berbicara dengan ibu dan mama. Ibu juga sudah menelepon ayah. Mama memberi tahu papa. Semua setuju agar aku segera dioperasi saja. Begitu masuk kembali menjumpaiku, mas menyampaikan bahwa sebaiknya aku operasi demi keselamatanku dan bayiku. Aku masih meragu dan terus mencoba bertahan. Akhirnya aku meminta mas untuk membicarakan kondisiku dengan Dokter Semadi.

Mas mencoba menghubungi Dokter Semadi dan tak berapa lama beliau pun datang. Dokter menjelaskan keputusan akhir tetap ada padaku. Yang jelas, proses sesar membutuhkan waktu setidaknya empat jam untukku berpuasa dan tim dokter melakukan persiapan untuk operasi.

Aku bertanya hal terburuk apa yang akan terjadi jika aku tetap bertahan untuk menunggu bertambahnya bukaan setelah 33 jam ini di tengah kondisi ketuban sudah pecah. Dokter Semadi dengan jujur mengatakan bahwa bayi berisiko menelan air ketuban jika bukaan masih lama. Melahirkan normal berarti aku harus mencapai bukaan 10, sementara kondisiku sekarang masih 50 persennya.

Atas pertimbangan itu, aku pun setuju melakukan operasi. Seorang perawat datang ke ruangan membawa dokumen persetujuanku dan suami untuk menjalani proses melahirkan sesar. Tekanan darahku diperiksa, jarum dan infus pun dipasang di tubuhku, sementara kontraksi masih terus kurasakan. Empat jam kemudian, aku dibawa ke ruang operasi setelah berpamitan dengan mas, mama, dan ibu.

Ini adalah pengalaman traumatis bagiku. Bertahan puluhan jam demi persalinan normal, namun gagal. Meski demikian, setidaknya aku sudah mencoba. Pukul 19.01 WITA Mae lahir ke dunia dengan berat 3,17 kilogram dan panjang 50 cm. Begitu dipindahkan ke ruangan recovery, tak lama kemudian Mae sudah hadir di sampingku. Syukur alhamdulillah ASI-ku sudah keluar meski masih sedikit. Aku sebelumnya juga sudah berpesan pada perawat bahwa aku ingin memberikan ASI eksklusif.

Itu adalah pertama kalinya aku merasa sempurna sebagai perempuan. Dengan sabar dua orang perawat RS Puri Bunda membantuku menyusui Mae langsung. Putri kecilku, anak kacang kesayangan, bayi mungil nan menggemaskan itu datang melihatku. Meyusui adalah pelajaran pertamanya dan dia begitu cepat beradaptasi. She didn’t wait for direction. “Anak pintar,” batinku.

I felt so complete when Rifki came as my husband. Then suddenly, my heart size grew twice by a beutiful daughter. Just as fast as the pain came, it went. Now, I hold the baby like I had been holding her my whole life. Welcome Mae ^_^

Assalamualaikum om tante,

Namaku RAYNA MAETAMI BOGARA. Panggil saja aku Mae. Aku adalah putri pertama sekaligus cucu pertama di keluarga besarku. Papa-ku Rifki Muhamad Bogara dan Ibun-ku, Mutia Ramadhani.

Aku lahir sehat dengan bantuan medis Dokter IB Semadi Putra di RSIA Puri Bunda, Denpasar pada 11 Juni 2016 pukul 19.01 WITA. Beratku 3,17 kg, panjangku 50 cm.

Om Tante ingin tahu arti namaku?

Rayna artinya bersih, suci, murni karena aku lahir pada bulan suci Ramadhan. Papa dan Ibun berharap semoga aku menjalani kehidupan ini penuh kejujuran dan ketulusan.

Maetami gabungan dari dua kata, ‘Mae’ dan ‘Tami.’ Mae artinya mutiara, Tami singkatan dari ‘cinta kami.’ Tami juga bisa berarti pertama (utama/ utami). Jadi, Maetami berarti ‘mutiara cinta kami yang pertama.’ Terakhir, Bogara. Ini tentu saja nama belakang papa-ku tersayang.

Doakan Mae menjadi anak solehah, sehat, pintar, dan cantik ya om tante. Terima kasih ^_^

Hal paling sulit dalam hidup itu ya menunggu. Pernah nunggu 4,5 tahun buat lulus kuliah, pernah nunggu 6 tahun buat ketemu jodoh yang pas, pernah nunggu 1,5 tahun sampe ketemu kerjaan yg klik, pernah nunggu 1 tahun untuk LDR Jakarta-Kupang dengan suami, tapi, nunggu 9 bulan kali ini rasanya bener-bener beda.

Terima kasih Mas tersayang selalu setia menemani dan deg-degan bareng menunggu datangnya hari ini setelah 2 tahun pernikahan kita. Terima kasih untuk nenek, ibu, mamah mertua, dan seluruh ibu di dunia karena akhirnya aku tahu susah sakitnya perjuangan melahirkan anak. Terima kasih untuk ayah dan papa yang selalu mendoakan tanpa banyak kata.

Selamat datang Mae kecil, anak kacang kesayangan, titipan Allah yang Maha Pengasih. Terima kasih telah menjadi energi baru untuk keluarga ini. Love you

Share:

Leave a Comment