Anak kacangku alhamdulillah genap lima bulan minggu pertama Februari ini. Kali ini aku ingin bercerita tentang suami kesayangan, Rifki Muhamad Bogara. Aku tertarik dengan kutipan tulisan neuropsikiatri Louann Brizendine di bukunya berjudul The Male Brain.
Intinya Brizendine mengatakan bukan hanya wanita yang mengalami fluktuasi hormon saat hamil, namun pria juga.
“Pria mungkin tidak sadar bahwa mereka benar-benar mengalami perubahan hormonal saat mengetahui dirinya akan menjadi seorang ayah. Mula-mula reaksi hormonal itu menunjukkan sikap perhatian ekstra hingga panik berlebihan.”
Louann Brizendine
Tingkat hormon stres yang disebut kortisol pada pria akan meningkat saat istrinya mengandung. Ya, tepat sekali, beginilah yang kulihat pada sosok suamiku sekarang. Dia menjadi lebih waspada dan mempersiapkan segala sesuatu untuk memastikan calon anak juga istrinya selalu dalam kondisi baik.
Si Mas, dia selalu memerhatikan caraku berjalan, posisi duduk dan tidurku, pakaianku ketat atau longgar, porsi makan, menu makanan, hingga asupan susu untuk si dedek. Tak jarang aku ditegur jika berjalan terlalu cepat, naik tangga, menangis, atau emosi berlebihan. Jika jalan berdua, mas selalu memegang tanganku. Aku juga dilarang membawa kendaraan sendiri. Hmmm, rasanya seperti hamil berdua ^_^
Mas sudah menjadi ayah meski putri kecilnya belum lahir. Dia kerap berbicara dengan dedek di perutku. Doanya selalu sama, semoga dedek menjadi anak baik, soleh, pintar, cantik, penyayang. Pergi kantor, pulang kantor, dia mengucapkan salam terlebih dahulu pada dedek di perutku, tak lupa mengecupnya dan bilang, “baik-baik ya sayang.” Meski sedang meeting di Jakarta sekalipun, di telepon mas sering memintaku untuk mengaktifkan loud speaker dan berbicara dengan anaknya.
Mas kini juga suka mengoreksi diri. Dia tak ingin bertingkah aneh-aneh karena takut anaknya akan seperti dirinya. Tak ingin mengejek, menghina, atau pun berkomentar pedas karena takut anaknya terkena karma. Meski tak setiap hari, Mas akan sempatkan mengaji sambil memegang perutku, berharap dedek mendengar suara ayahnya melantunkan ayat-ayat Alquran.
Kehadiran dedek di perutku seperti mengaktifkan sirkuit MotoGP di otak mas. Banyak rambu lalu lintas, banyak aturan, banyak persyaratan, yang jika salah satunya dilanggar bisa mengakibatkan kecelakaan fatal. Apalagi aku ada riwayat keguguran, makin lengkaplah proteksi mas terhadap kami berdua.
Kehamilan kuakui menjadi transisi besar dalam kehidupanku setelah menikah. Untuk sejumlah alasan, kehamilan mendatangkan kebahagiaan tak terhingga sekaligus perasaan was-was yang berkaitan dengan psikologis dan sosial. Misalnya, seperti apa anakku nanti? Bagaimana kehadirannya memengaruhi hubunganku dan mas? Apakah aku dan mas bisa menjadi orang tua terbaik untuk dedek? Apakah mas bisa cepat menyesuaikan diri dengan tanggung jawab barunya?
Ada juga beberapa pertanyaan terkait pekerjaanku. Haruskan aku berhenti atau tetap bekerja setelah dedek lahir? Keinginanku untuk tetap bekerja setelah dedek lahir juga membuatku bertanya, apakah aku masih bisa seproduktif dulu?
Tubuhku, tubuhku sekarang yang mulai melebar apakah bisa kembali seperti semula? Aku baru dua tahun menikah dengan mas dan setahun di antaranya berhubungan jarak jauh alias LDR, apakah aku hanya bisa berdandan rapi dan cantik untuk mas sampai mempunyai anak pertama saja? Aku ingin tetap cantik dan langsing kembali.
Lainnya, bagaimana dengan finansial keluarga kami? Kami pasti membutuhkan pengeluaran ekstra untuk merawat dedek sebagai anggota keluarga baru. Bla bla bla. Ah, begitu banyaknya yang kukhawatirkan, padahal Allah sudah menjanjikan rezeki yang tak akan bisa tertukar di antara hamba-Nya.
Cemas dan takut itu berjalan beriringan. Tapi, mas selalu menguatkanku. Ya, kami saling menguatkan satu sama lain. Kami tak boleh lupa bahwa kami berdua amat menantikan kehadiran anak ini. Setelah dua tahun menikah, permohonan kami akhirnya dikabulkan Allah. Kami sadar, bukan hanya kami yang menunggu dedek, tapi juga ayah, ibu, mama, papa.
Yah, aku terus menikmati fase ‘rewel’ dalam diriku dan diri suamiku selama mengandung dedek. Toh, sifat dan sikap kami yang tak seperti biasanya ini tidak akan begitu selamanya. Kami bahkan tertawa sendiri jika mengingat segala kelucuan dan sikap anak-anak kami selama merawat dedek di perutku. Sehat-sehat selalu anak kacangku.
Leave a Comment