Bicara soal efisiensi energi dan transisi energi, saat berumur 4-5 tahun, saya masih ingat kakek, nenek, dan orang tua saya sering membawa saya bermain di sungai. Lokasinya sangat dekat dengan rumah kami di Simpang Tiga, sebuah dusun kecil di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatra Barat.
Sungainya amat jernih, lebar, arusnya cukup deras. Puluhan tahun kemudian, saat saya pulang, sungai itu telah keruh, airnya kuning, badan sungai menyempit, mungkin kurang dari satu dekade lagi akan mengering dan menjadi daratan.
Apa yang telah terjadi? Semua orang tahu jawabannya, yaitu pemanasan global. Saya pikir, kita semua tak perlu mencari lebih banyak contoh karena faktanya bumi memang makin panas dan kita sebagai manusia menjadi penyebab utama hal tersebut.
Berdasarkan data NASA, suhu rata-rata permukaan bumi pada 2020 secara global telah naik 1,02 derajat celsius dibanding rata-rata suhu sepanjang 1951-1980. Sementara itu, pada COP21 atau Perjanjian Iklim Paris 2015, para pemimpin dunia bersepakat untuk menekan laju pemanasan global pada level 1,5 derajat celsius dan maksimal 2 derajat celsius.
Kalau kenaikan suhu melewati 2 derajat celsius, 99 persen terumbu karang akan hilang, lapisan es di kutub utara bisa runtuh dan akibatnya permukaan laut naik 10 meter. Kira-kira kalau kita melihat data NASA di atas, informasi penting apa yang bisa kita ketahui?
YA, KAMU BENAR, perubahan iklim ternyata terjadi lebih cepat dari perkiraan.
Kebayang enggak kondisi Jakarta juga desa-desa di sepanjang pantai Pulau Sumatra dan Jawa ke depan? Semua pasti tenggelam, hilang.
Pada COP26 yang berlangsung di Glasgow tahun 2021 menegaskan komitmen seluruh pemimpin dunia untuk mencapai netralitas karbon pada 2050. Salah satu senjata untuk mencapai tujuan ini adalah transisi energi.
Apa itu transisi energi?
Transisi energi adalah upaya mengurangi atau mengalihkan penggunaan energi fosil menjadi nonfosil untuk menekan dampak perubahan iklim dan efek rumah kaca yang menyelimuti atmosfir bumi.
Jumat, 26 November 2022, saya dan teman-teman dari Ecoblogger Squad berkesempatan diskusi online bersama Mas Fariz Panghegar. Beliau adalah manajer riset di Traction Energy Asia, sebuah organisasi beranggotakan para ahli dari berbagai ilmu pengetahuan yang fokus pada isu transisi energi menuju energi terbarukan.
Organisasi ini bekerja sama untuk mengidentifikasi, memetakan, memahami, dan menyusun strategi untuk membuka kunci yang menghambat transformasi ekonomi rendah karbon, khususnya di Indonesia.
Mas Fariz menjelaskan bahwa bencana lingkungan paling sering terjadi di Indonesia akibat gas rumah kaca. Nah, gas rumah kaca ini menyebabkan naiknya kumpulan polusi yang menyelimuti atmosfer bumi, meningkatkan suhu permukaan bumi atau global warming dan menyebabkan perubahan cuaca secara luas dalam jangka panjang atau lebih dikenal dengan sebutan perubahan iklim.
Perubahan iklim inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai bencana lingkungan di negara kita selama ini. Kabar baiknya adalah kita punya banyak energi terbarukan, mulai dari matahari, angin, air, dan hidrogen untuk menggantikan bahan bakar fosil dan memerangi dampak pemanasan global yang memicu perubahan iklim.
Sayang sekali transisi energi sampai hari ini masih berjalan lambat. Saya pikir kita semua setuju bahwa transisi energi di Indonesia terkesan jalan di tempat. Masalah utamanya adalah kita punya teknologinya, tetapi belum ada pemimpin negara yang berani mengeksekusi secara keseluruhan.
Pemimpin-pemimpin kita saat ini masih terlalu lamban mengambil tindakan. Mereka kesannya resisten terhadap isu perubahan iklim.
Contoh nyata adalah pemerintah di satu sisi mendukung pembangunan proyek-proyek energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Akan tetapi, pemerintah di sisi lain masih mengembangkan pembangkit listrik berbahan baku batubara bahkan menambah kapasitasnya di beberapa daerah, seperti PLTU Cilacap.
Pekerjaan rumah utama kita adalah mengubah resistensi ini menjadi aksi nyata. Pertama, kita butuh pemimpin yang berani bergerak mentransisi energi, baik itu dari sisi pemerintahan, industri, hingga akademisi yang visioner dan mau mengambil langkah besar.
Kedua, kita butuh kisah sukses transisi energi, bukan berita memprihatinkan, seperti pemadaman listrik bergilir atau PLN mengalami defisit pasokan listrik.
Mengapa transisi energi itu penting?
Transisi energi saat ini tengah berlangsung di seluruh dunia, khususnya di sektor ketenagalistrikan. Badan Energi Internasional (IEA) mencatat energi terbarukan sekarang menyumbang 26 persen pembangkit listrik di seluruh dunia.
Asosiasi Energi Angin Internasional (WWEA) mencatat pertumbuhan instalasi pembangkit listrik tenaga angin di seluruh dunia mencapai 9,1 persen pada 2018. Biaya proyek pembangkit listrik tenaga surya dan angin tersebut untuk menggantikan pembangkit listrik batubara yang ada.
Transisi energi memberi banyak manfaat, terutama bagi negara, perusahaan atau industri, dan lingkungan.
Manfaat transisi energi bagi negara
1. Mengurangi ketergantungan impor migas
Sebagai sumber daya yang tak pernah habis, energi terbarukan menghilangkan ketergantungan Indonesia akan impor migas. Kebutuhan mengimpor bahan baku energi fosil menyiratkan biaya ekonomi kian tinggi.
2. Mengurangi kerentanaan ekonomi terhadap fluktuasi harga minyak dunia
Laporan McKinsey 2020 memerkirakan pada 2050 wilayah Asia Pasifik akan kehilangan sekitar 1,2 triliun dolar AS per tahun hanya karena banjir saja.
Kondisinya sekarang makin buruk karena invasi Rusia ke Ukraina yang mengirim gelombang kejut ke seluruh negara di dunia. Akibatnya harga minyak dan komoditas melonjak tak terkira.
Asia Pasifik rentan terhadap fluktuasi harga minyak dunia karena masih banyak negara yang mengimpor minyak. Negara-negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia harus berinvestasi dalam transisi energi dan melakukan efisiensi energi dengan mendiversifikasi bauran pasokan energi dengan sumber daya yang lebih murah dan lebih rendah karbon.
3. Meningkatkan efisiensi energi
Energi surya dan angin tersedia gratis di muka bumi. Apalagi Indonesia terletak di garis khatulistiwa di mana matahari bersinar sepanjang tahun. Artinya, kita sebetulnya bisa melakukan efisiensi energi lebih tinggi.
Kita ambil contoh kesuksesan proyek-proyek energi terbarukan di Spanyol pada 2010. Pada tahun tersebut, Spanyol berhasil memenuhi 32,6 persen kebutuhan listriknya dengan energi terbarukan, mengurangi 32 juta metrik ton emisi CO2, menghindari impor energi fosil hingga 4 miliar euro atau Rp 65,29 triliun (kurs dolar AS per 26 November 2022).
Energi terbarukan telah memenuhi kebutuhan listrik 10 juta rumah penduduk di Spanyol. Sektor ini juga membuka 100 ribu lapangan kerja baru.
4. Emisi karbon lebih rendah
Energi terbarukan menghasilkan energi tanpa melepaskan gas efek rumah kaca. Inilah yang layak kita jadikan sekutu untuk memerangi perubahan iklim.
5. Peluang baru bagi perekonomian
Energi terbarukan secara alami mendorong pembangunan di daerah pedesaan, mendukung penataan teritorial pedesaan lebih baik, dan bertindak sebagai motor industri juga teknologi.
6. Menciptakan lapangan kerja lokal
Masyarakat lokal bisa ikut diberdayakan untuk mengembangkan proyek-proyek energi terbarukan. Lulusan-lulusan kampus di Indonesia yang keilmuwan terkait juga bisa turut berinovasi di proyek-proyek ini. Pada akhirnya, semua ini menyediakan lapangan kerja dan usaha baru bagi masyarakat.
7. Mengurangi konflik geopolitik
Kita lihat sekarang di mana-mana bermunculan konflik geopolitik dipicu sumber daya energi. Cina, Amerika Serikat, Rusia, dan Ukraina, kita tak bisa menutup mata karena itu.
Sekiranya Indonesia mandiri dengan energi terbarukan yang jelas-jelas dihasilkan sendiri oleh negara kita, kita tak perlu terlibat konflik teritorial dan geopolitik dengan negara mana pun.
Manfaat transisi energi bagi perusahaan
1. Berdampak positif pada revitalisasi industri
Tidak akan tercapai tujuan nol persen emisi tanpa komitmen dari industri. Industri adalah tulang punggung ekonomi global. Transformasi mereka sangat penting untuk
Kerja sama internasional dalam hal ini memainkan peran kunci untuk mempercepat dekarbonisasi industri. Indonesia misalnya mendapatkan bantuan 20 milair dolar AS dari Amerika dan Jepang untuk pemensiunan dini industri ketenagalistrikan yang masih berbahan bakar batubara. Ini juga tema yang diusung negara-negara G20, yaitu Recover Together, Recover Stronger.
2. Menciptakan lapangan kerja baru
International Renewable Energy Agency (Irena) memerkirakan 25 juta lapangan pekerjaan baru akan tercipta pada 2030 menggantikan tujuh juta lapangan kerja yang hilang karena pandemi Covid-19. Angka ini akan tercipta selama seluruh dunia berkomitmen pada misi menekan peningkatan suhu bumi maksimal 1,5 derajat celsius pada 2050.
Industri di Cina misalnya, telah menyumbang 39 persen dari total pekerjaan baru di sektor energi terbarukan.
3. Memberi keuntungan lebih besar bagi UMKM
Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) adalah jantung perekonomian negara ini. Sebanyak 99 persen pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM.
Bayangkan jika sebagian besar UMKM ini kelak beralih atau berekspansi menggerakkan usaha di sektor energi terbarukan. Langkah-langkah efisiensi energi yang mereka lakukan juga berpotensi mengurangi konsumsi energi fosil di Indonesia dalam angka cukup signifikan.
4. Biaya operasional industri berkurang signifikan
Semakin banyak perusahaan mengadopsi praktik efisiensi energi. Lingkungan bukan satu-satunya pihak yang diuntungkan dalam hal ini. Transisi energi dan efisiensi energi juga mengurangi biaya operasional perusahaan.
5. Mengurangi konsumsi energi fosil perusahaan
Kementerian Perindustrian memerkirakan penggunaan biodiesel atau B20 bisa menghemat BBM sekitar enam juta kiloliter. Rata-rata mobil listrik jenis hybrid bisa menghemat BBM 50 persen, sedangkan plug-in hybrid bisa lebih hemat hingga 80 persen.
Banyak perusahaan kini menggunakan biodiesel atau kendaraan listrik untuk operasional perusahaan. Harapannya ke depan bisa berkembang lebih luas, bukan terbatas perusahaan-perusahaan di kota besar saja.
Manfaat transisi energi bagi lingkungan
1. Sumber daya selalu tersedia alias tak ada habisnya
Bahan bakar fosil, seperti batubara, minyak, dan gas tidak dapat memperbaharui dirinya sendiri, sedangkan matahari, air, dan angin adalah sumber daya gratis yang selalu tersedia diberikan Tuhan untuk manusia.
2. Energi bersih dan tidak menghasilkan limbah yang sulit atau mahal untuk diolah kembali
Energi terbarukan tidak menimbulkan risiko bagi manusia dan lingkungan. Tidak perlu khawatir dengan ancaman polusi sebagaimana saat kita menggunakan energi fosil.
3. Mengurangi emisi CO2 dan polutan lainnya sehingga memerangi perubahan iklim
Energi terbarukan menghasilkan energi tanpa melepaskan gas efek rumah kaca. Inilah yang layak kita jadikan sekutu untuk memerangi perubahan iklim.
4. Meningkatkan kualitas udara bersih
Polusi udara bisa dibilang silent killer sebagaimana halnya kanker. Udara kita sekarang bertambah kotor karena faktor antropik alias manusia itu sendiri.
Kita manusia memperburuk kualitas udara yang kita hirup, salah satunya dari penggunaan bahan bakar fosil berkepanjangan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada 2016, sekitar 3,8 juta orang meninggal dunia karena polusi udara dalam ruangan, seperti pneumonia, kardiomiopati iskemik, bronkopneumopati obstruktif kronis, stroke kardiovaskular, dan kanker paru-paru.
Partikulat dan polutan akibat emisi yang berasal dari rumah tangga memicu peradaran pada saluran pernapasan dan paru-paru yang mengganggu imun tubuh dan mengurangi kapasitas oksigen dalam darah.
5. Mendorong pembangunan masyarakat berkelanjutan
Pembangunan masyarakat berkelanjutan sangat bergantung pada keberhasilan transisi energi menuju sumber energi terbarukan atau nol karbon. Kita bisa lihat negara-negara yang telah melakukan transisi energi tidak ada yang dikategorikan negara terbelakang.
Negara-negara di Eropa contohnya, telah membangun transisi energi yang begitu besar sejak puluhan tahun lalu. Setiap negara memiliki konteks energi terbarukan yang unik, misalnya Denmark dengan energi anginnya dan Belanda dengan energi airnya.
Mendesain transisi energi
Manfaat transisi energi dalam jangka panjang tak diragukan lagi. Namun, dalam jangka pendek, sebagian besar pemangku kepentingan di negara kita masih mengkhawatirkan efek negatif beralih ke energi terbarukan, seperti kenaikan harga listrik, kehilangan pekerjaan, dan ketidaknyamana, seperti suara bising dari turbin angin yang berdekatan dengan desa-desa tertentu.
Nah, ketakutan dan kekhawatiran seperti ini menurut saya perlu dimitigasi sedini mungkin.
Asia Pasifik berada di garis depan perubahan iklim. Wilayah kita sangat rentan terhadap perubahan iklim. Pada 2020 dan 2021, hampir 40 persen bencana di seluruh dunia terjadi di Asia dan Pasifik. Sebagian besar terjadi di Asia Timur, Asia Tenggara, dan Asia Selatan.
Kendati luas daratannya kecil, negara-negara di Pasifik mengalami lebih dari lima persen bencana. Jutaan orang mengungsi setiap tahun.
Ada lima hal yang penting diketahui terkait transisi energi.
1. Transisi energi lebih dari sekadar dekarbonisasi
PLN mencatat lebih dari 4.700 desa di wilayah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) di Indonesia belum menikmati listrik. Rasio elektrifikasi beberapa provinsi bahkan masih di bawah 80 persen, seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Maluku. Papua dan Papua Barat bahkan masih di bawah 50 persen.
Kita sama-sama tahu bahwa yang namanya kemakmuran di sebuah daerah itu sangat bergantung pada aksesibilitas dan konsumsi energo. Kendati transisi energi saat ini lebih didorong kepedulian kita terhadap lingkungan dan perubahan iklim, hal tersebut tak bisa kita pisahkan juga dari alasan untuk meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang berkeadilan di Indonesia.
Jadi, transisi energi di sini lebih dari sekadar dekarbonisasi. Kita harus menyeimbangkan segitiga energi, yaitu environmental sustainability, security and access, dan economic development and growth.
2. Transisi energi tidak terjadi dalam semalam
Pengalaman transisi energi negara-negara sebelumnya menunjukkan bahwa transisi energi tidak terjadi dalam semalam. Pertanyaannya adalah berapa banyak waktu tersisa bagi Indonesia untuk menyelesaikannya?
Denmark adalah contoh negara dengan ekonomi hijau paling sukses di dunia. Denmark telah memasukkan energi angin ke dalam agenda negara jangka panjang sejak 1976. Hari ini, lebih dari 45 tahun kemudian, 40 persen pembangkit listrik di Denmark menggunakan angin. Secara global, negara ini memimpin teknologi turbin angin di seluruh dunia.
Denmark adalah negara yang sangat memanusiakan energi terbarukan. Mereka memanen angin dengan membuat ladang angin di banyak pulau. Denmark bahkan menyiapkan pulau-pulau energi terbarukan yang akan memasok energi bagi 10 juta rumah tangga di Eropa.
3. Transisi energi bukan hanya beralih dari batubara ke energi terbarukan atau mobil BBM ke mobil listrik
Emisi dari sektor energi diperkirakan sekitar 73 persen dari emisi gas rumah kaca secara global. Orang-orang hanya fokus ke sektor ketenagalistrikan dan transportasi.
Memang benar, pembangkit listrik bertanggung jawab atas 38 persen dan transportasi bertanggung jawab atas 13 persen emisi gas rumah kaca. Namun, kita tak boleh melupakan industri lainnya, seperti semen, besi dan baja, perkapalan, dan penerbangan.
4. Tidak ada yang namanya satu solusi cocok untuk semua
Tantangan transisi energi tak cukup diselesaikan dengan satu solusi. Semisal kita hanya fokus pada kendaraan listrik tentu saja tetap ada efek sampingnya. Demikian juga, semisal kita hanya fokus pada turbin energi terbarukan, akan ada lagi efek ikutannya.
Kita butuh membaurkan seluruh sektor agar bergerak bersama melakukan transisi energi. Tak terkecuali sektor kehutanan yang menggerakkan solusi berbasis alam, seperti reboisasi dan restorasi.
Apa yang bisa kita lakukan?
Kita bisa terlibat dalam pengumpulan limbah rumah tangga untuk bahan baku energi biodiesel dan biogas.
Kita juga bisa menceritakan praktik-praktik baik inovasi pemanfaatan energi terbarukan. Seperti keluarga saya yang mulai mengefisiensi energi listrik di rumah dengan menerapkan solar panel di beberapa titik.
Saat ini, kapasitas terpasang solar panel di rumah keluarga kami mencapai 300 watt dan rencananya akan ditingkatkan menjadi 600 watt supaya bisa memasang kompor induksi. Ini akan menghemat penggunakan gas untuk bahan bakar memasak sehari-hari.
Hal lain yang bisa kita lakukan adalah mengampanyekan penggunaan produk energi terbarukan
5. Transisi energi membutuhkan pendekatan multipihak
Aktor-aktor alias pemain di balik trsansisi energi di Indonesia, antara lain pemerintah dan pembuat kebijakan, pengusaha, organisasi atau lembaga internasional, LSM/ NGO, dan akademisi.
Ini karena transisi energi begitu kompleks dan membutuhkan komitmen tinggi untuk mewujudkannya. Multipihak ini yang paling mengetahui bagaimana memberikan titik awal yang baik untuk melakukan transisi energi.
Mereka adalah pemrakarsa yang berfokus pada penyampaian langkah-langkah dan inovasi untuk dekarbonisasi. Koalisi yang luas antara pemerintah dan lainnya akan menghasilkan solusi yang terukur.
Transisi energi adalah tugas berat, tetapi bisa membawa harapan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk merevitalisasi ekonomi bahkan sangat mungkin mengangkat masyarakat dunia keluar dari garis kemiskinan.
Setiap pemimpin negara pasti tahu yang terbaik untuk negara mereka. Indonesia punya kemampuan, Indonesia punya pengetahuan, Indonesia punya alat yang dibutuhkan. We need to act and do so now.
Leave a Comment