Masa peralihan dari toddler ke usia prasekolah benar-benar menguras tenaga ya mak, terutama untuk urusan toilet training atau potty training. Anak-anak usia tiga tahun seperti anak kembarku ini lagi aktif banget. Plus, mereka sama-sama anak spesial. Mereka berlarian ke sana kemari, capek berkali-kali, lapar pun berkali-kali sehingga minta dikasih jajan melulu.
Begitu juga orang tuanya. Saat aku masih sibuk di dapur siapin sarapan, Rangin, salah satu anak kembarku berteriak bilang mau pipis atau mau buang air besar. Sayangnya, dia baru kasih tahu pas kondisi udah kebelet banget atau pas pup-nya udah di ujung tanduk, sementara tanganku masih bau bawang, bau ikan, ngiris sayur, dan aktivitas lainnya di dapur. Butuh waktu buat nyuci tangan pakai sabun kan?
Pasti udah ketebak kan endingnya. Bergelimanglah air pipis Rangin di lantai atau celana udah penuh sama pup. Enggak usah dibayangin mak, pasti geli sendiri.
Anakku mengalami regresi toilet training. Aku baru membiasakannya setelah berumur tiga tahun. Bukan karena aku malas, tetapi memang dari usia 18 bulan sampai sekitar 2,5 tahun, Rangin menjalani terapi di klinik setelah didiagnosis ADHD dan menunjukkan gejala autisme.
Pikirku waktu itu, enggak mungkin menyambi terapi sekalian toilet training. Harus ada yang kuprioritaskan karena bayi dua tahun gampang stres. Buat terapi saja dia uring-uringan apalagi langsung dipaksa toilet training?
Aku pun mulai membiasakan Rangin ke wc sendiri sejak dia tiga tahun. Sekitar 1,5 bulan setelah itu, beberapa kali dia berhasil pup di wc, tetapi gak rutin. Misalnya, pagi dia udah pup di wc, siangnya dia pup di celana lagi, malam juga pipis di celana lagi.
Aku pun jadi emosi, merepet tiap hari. Sampai puncaknya aku menakut-nakuti Rangin akan memberinya kecoa kalau dia tidak bisa ke wc sendiri. I am a bad mom, I am sorry for that.
Sikap ogah-ogahan Rangin berlangsung sampai tiga bulan dan aku capek sendiri. Ya, tiga bulan aja aku nyerah dan mutusin break karena frustasi. Daripada aku marah atau ngomel terus? Kasihan kan anakku?
Rangin balik lagi pakai popok dan dunia tenang sementara waktu.
Akhir Desember 2022, aku sounding lagi Rangin untuk kembali belajar potty training. Kalau dia berhasil, aku janjikan dia pulang kampung ke rumah neneknya di Pasaman Barat, Sumatra Barat. Kulibatkan juga ibuku lewat video call untuk sounding hal tersebut pada Rangin.
Eh, ajaib loh, anakku termotivasi banget ketemu neneknya. Berulang kali di video call, Rangin berkata pada neneknya kalau nanti sesampai di rumah nenek, dia pasti bisa ke wc sendiri. Singkat cerita, kami akhirnya pulang kampung memanfaatkan momen libur semester si kakak dan Rangin menepati janjinya. Dia disiplin ke wc sendiri selama berada di rumah nenek hingga hari-hari setelah itu. Emak happy.
Regresi toilet training umum terjadi
Kurasa bukan cuma aku yang punya pengalaman kurang enak ini. Regresi toilet training umum terjadi pada anak-anak, terutama anak laki-laki. Mereka awalnya terbiasa buang air kecil dan buang air besar di popok, kemudian diajarin melakukan itu semua di pispot atau wc, tetapi ogah-ogahan.
Memang sulit melepas kebiasaan lama. Anak-anak tiga tahun seperti Rangin tentu saja memprioritaskan bermain dan ngemil. Urusan ke toilet mungkin buat dia ada pada urutan terakhir.
Mengapa anak-anak mengalami kemunduran atau regresi saat toilet training?
Kali ini aku tertarik menyampaikan kembali pemaparan dokter anak, Noah Schwartz dari salah satu klinik di Cleveland, Amerika Serikat. Beliau bilang, sebagian besar regresi toilet training pada anak disebabkan empat hal. Kita bahas bareng-bareng ya.
1. Faktor psikososial
Stres adalah alasan paling umum mengapa anak-anak bisa mengalami regresi dalam toilet training. Meski kelihatannya sepele, perubahan dalam hidup mereka bisa mempengaruhi banyak hal, termasuk kebiasaan buang air kecil dan besar.
Misalnya, bisa saja mereka merasa tertekan karena pertama kali dititipkan di tempat penitipan anak atau daycare.
Hari pertama di tempat baru, tanpa kehadiran orang tua, bisa membuat mereka merasa cemas dan tidak nyaman, yang kemudian memengaruhi kemampuan mereka untuk mengikuti rutinitas toilet training.
Selain itu, pindah ke rumah baru juga bisa menjadi pemicu stres. Lingkungan baru yang asing, dengan bau, suara, dan pemandangan yang berbeda, bisa membuat anak merasa tidak aman.
Tak jarang, kehadiran adik baru dalam keluarga juga bisa menambah kecemasan pada anak yang merasa perhatian orang tua terbagi.
Perubahan dinamika keluarga seperti ini seringkali membuat anak merasa terabaikan, sehingga mereka mungkin merasa tidak cukup dihargai atau terlindungi, yang mengarah pada regresi dalam toilet training.
Pada masa-masa seperti ini, anak akan fokus pada hal-hal yang membuat mereka merasa cemas dan terancam, bukan pada sinyal tubuh mereka untuk buang air. Duduk di pispot atau toilet yang dulu mungkin sudah terbiasa menjadi beban berat.
Mereka bisa merasa kewalahan secara mental dan emosional, dan akhirnya cenderung menahan buang air, mengabaikan sinyal tubuh yang memberi tahu mereka untuk pergi ke kamar mandi.
Sebagai orang tua atau pengasuh, penting untuk memberikan perhatian ekstra pada anak dalam periode transisi ini.
Bersikap sabar, memberikan penguatan positif, dan menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman dapat membantu mereka mengatasi stres ini dan kembali ke kebiasaan toilet training yang baik.
Ingatlah, bahwa stres adalah reaksi alami terhadap perubahan, dan dengan dukungan yang tepat, anak akan kembali merasa percaya diri untuk melanjutkan prosesnya.
2. Trauma
Toilet training anak memang penuh tantangan, apalagi bagi mereka yang pernah mengalami trauma. Seperti yang aku alami dengan Rangin.
Semuanya dimulai dengan niat baik, yakni menghentikan penggunaan popok di siang hari. Aku pikir, seminggu tanpa popok bisa menjadi langkah besar menuju kebebasan. Tapi, ternyata proses itu lebih rumit dari yang aku bayangkan.
Setiap kali celananya basah dan pipis menetes ke lantai, Rangin langsung merasa jijik. Dia menangis histeris, bahkan sampai minta maaf padaku.
Tak hanya itu, dia merengek minta dipakaikan popok lagi. Tapi aku bertahan, nggak kasih popok itu kembali. Setiap kali kejadian itu terjadi, Rangin makin kesal.
Waktu ganti celana dan cebok, ekspresinya jelas menunjukkan rasa jengkel dan frustasinya. Aku pun mulai merasa putus asa. Kok, anakku susah banget sih diajarin?
Aku bahkan sempat frustasi dan mengancam Rangin dengan cerita mengada-ada, bilang kalau kecoa dan cicak bakal gigit pusarnya kalau dia nggak bisa buang air di kamar mandi. Aku tahu itu bukan cara yang tepat, tapi saat itu aku kehabisan akal.
Selain itu, Rangin juga nggak suka buang air besar di pispot. Entah kenapa, mungkin karena dia merasa pispot itu nggak nyaman.
Pispot yang ukurannya kecil dan berbeda dengan WC duduk, membuat Rangin semakin jijik. Keinginannya untuk menghindari pispot malah membuat proses toilet training jadi semakin berat.
Akhirnya, aku coba strategi lain dengan dudukkan Rangin di WC duduk kamar mandi. Namun, ternyata ini juga memunculkan rasa trauma baru.
Rangin yang memang nggak suka ketinggian, merasa gamang dan takut kakinya menggantung.
Sekali lagi, aku melihat dia terjebak dalam ketakutannya. Proses toilet training ini jadi jauh lebih rumit dari yang aku bayangkan, tapi aku sadar, perjalanan ini adalah langkah kecil untuk membantunya merasa lebih nyaman dan mandiri.
3. Kondisi medis
Kondisi medis yang sering terjadi pada anak-anak di sini, menurut dr. Schwartz, umumnya terkait dengan dua masalah utama, yaitu infeksi saluran kemih dan sembelit.
Kedua masalah ini mungkin terdengar biasa, tetapi jika tidak segera ditangani, dapat mengganggu kesehatan anak secara signifikan.
Untuk infeksi saluran kemih, gejalanya bisa sangat mengganggu. Anak yang mengalaminya sering kali menunjukkan tanda-tanda seperti demam tinggi, rasa tidak nyaman yang membuatnya mudah marah, kehilangan selera makan, hingga perasaan lelah yang berlebihan.
Dalam beberapa kasus, anak juga bisa mengalami sakit perut, muntah, bahkan diare. Jika kamu mendapati gejala-gejala tersebut, segera bawa anak ke dokter.
Penanganan yang tepat, seperti pemberian obat-obatan dan antibiotik, sangat penting untuk mengatasi infeksi ini dan mencegah penyebaran lebih lanjut.
Masalah medis yang sering kali terabaikan adalah sembelit. Anak yang mengalami sembelit jarang buang air besar, mungkin hanya dua kali dalam seminggu.
Kondisi ini membuat feses menjadi keras dan sangat sulit untuk dikeluarkan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan penumpukan di usus besar. Nah, bagian penting yang perlu diketahui adalah bahwa usus besar terletak di belakang kandung kemih.
Ketika terjadi penumpukan feses, itu bisa memberi tekanan pada kandung kemih, yang membuat anak jadi lebih sering merasa ingin buang air kecil.
Bahkan, dalam beberapa kasus, tekanan ini dapat menyebabkan anak mengompol, meskipun usianya sudah cukup besar untuk tidak melakukannya lagi.
Jadi, kedua masalah ini, baik infeksi saluran kemih maupun sembelit, memerlukan perhatian khusus. Jika dibiarkan begitu saja, masalah-masalah ini bisa berkembang menjadi kondisi yang lebih serius.
Oleh karena itu, selalu pastikan untuk memantau kesehatan anak dengan cermat dan segera cari bantuan medis bila diperlukan.
4. Anak belum siap
Menurut Dr. Schwartz, kebanyakan orang tua biasanya mulai melatih toilet training saat anaknya berusia dua tahun. Tapi, ternyata nggak semua anak siap pada usia tersebut.
Banyak orang tua yang menganggap anak mereka mengalami regresi kalau sudah lewat dua tahun tapi masih belum bisa ke kamar mandi sendiri. Padahal, yang terjadi sesungguhnya adalah si kecil belum siap untuk menjalani proses toilet training.
Jadi, kenapa sih bisa begitu? Ternyata, proses toilet training itu nggak cuma soal kemampuan fisik, tapi juga kesiapan emosional dan mental anak. Setiap anak berkembang dengan kecepatan yang berbeda, dan beberapa anak mungkin baru siap latihan toilet lebih lambat dari yang lain.
Nah, ngomongin soal Rangin, apakah alasan keempat ini bisa juga terjadi padanya? Hmm, bisa banget sih. Rangin memang punya karakter yang unik, dan kadang dia baru mau belajar kalau dia bener-bener merasa siap. Bukan berarti dia nggak bisa, hanya saja mungkin dia belum merasa ada kebutuhan untuk melakukannya.
Tapi, menurutku sih kalau anak udah di atas tiga tahun, udah waktunya mulai latihan toilet training dengan serius. Kalau nunggu lebih lama lagi, nanti khawatir jadi kebiasaan yang susah diubah.
Yang jelas, setiap anak itu berbeda, dan orang tua harus paham bahwa toilet training itu proses yang memerlukan waktu dan kesabaran.
Jangan terlalu terburu-buru atau membandingkan anak dengan yang lain. Fokus pada kesiapan anak, bukan pada usia yang sudah lewat. Karena yang terpenting, anak bisa belajar dengan nyaman dan tanpa tekanan.
Apa yang bisa kita lakukan?
Belajar keterampilan baru bukanlah proses linier. Anak-anak bahkan orang dewasa sekalipun pasti sudah biasa jatuh bangun maju mundur, ya kan? Kesalahan adalah bagian dari pembelajaran.
Saat anak kita masih bayi misalnya, ada masa dia bertekad kuat mau berguling, merangkak atau berdiri tanpa mau dibantu. Setelah anak bisa dari tadinya gak bisa, di sinilah letak belajarnya.
Apa yang bisa kita lakukan untuk menghadapi anak yang regresi toilet training?
1. Bersimpati pada anak
Anak kita sebenarnya tahu kok kalau kita gak suka dia pipis atau pup di celana. Dia juga pasti merasa gak nyaman, apalagi kalau ibunya yang jadi cemas dan bingung. Kita sebagai orang tua, pasti juga gak suka kan kalau harus bersihin celana yang kotor atau kejebak situasi seperti itu?
Tapi yang perlu kita ingat, meskipun rasanya gemes banget, jangan sampai kita marah ke anak, ya. Emosi pasti datang, apalagi kalau kejadian ini udah ke-berapa kali, tapi marah itu nggak akan membantu.
Kadang aku juga lepas kendali, terutama kalau udah capek atau kesel, tapi aku selalu berusaha untuk tetap tenang. Jadi, penting banget untuk mengingat bahwa anak kita bukan sengaja melakukannya.
Mereka belum sepenuhnya menguasai kontrol diri. Kita sebagai orang tua harus lebih sabar dan paham proses belajar mereka. Gak ada yang instan, semua butuh waktu, termasuk toilet training.
Yang terpenting adalah kita tetap menunjukkan simpati dan kasih sayang. Anak itu butuh merasa aman dan dicintai, meskipun dia sedang belajar dan kadang melakukan kesalahan.
Jangan sampai anak merasa disalahkan atau takut, karena justru itu bisa bikin proses belajar jadi makin lama dan bikin mereka stres.
Kita hanya perlu memberikan mereka ruang untuk belajar dengan cara yang lebih alami dan tanpa tekanan.
Ingat, kita di sini untuk mendukung mereka, bukan menyalahkan. Jadi, mari tetap sabar, kasih pengertian, dan beri mereka dukungan penuh agar mereka bisa sukses dalam proses belajar ini.
2. Perbaiki letak kesalahan
Mungkin ada solusi lebih sederhana, aku coba ingat-ingat lagi. Lambat laun aku mikir, kenapa gak coba dari toilet jongkok dulu? Kebetulan rumah kami punya dua model toilet, yaitu toilet duduk dan toilet jongkok.
Akhirnya, supaya Rangin merasa kakinya tetap napak, aku bawa dia toilet training wc jongkok. Eh, benar dong, anaknya lebih nyaman di sana.
Selama berada di rumah nenek, toilet duduk di sana lebih rendah dibanding rumah kami. Pintarnya nenek, beliau kasih dingklik di kedua sisi kaki Rangin, kiri dan kanan. Jadi, Rangin merasa nyaman duduk di toilet jongkok karena kakinya di atas dingklik.
Selama ini, di rumah, aku pernah menaruh dingklik, tetapi cuma untuk kaki kiri Rangin. Kayaknya satu masih kurang buat dia. Aduh, aku menyesali diri karena hal sesederhana itu aja aku gak kepikiran sebelumnya.
Kita juga bisa pakai tambahan potty training untuk wc. Sebagian anak mungkin takut dengan lubang wc yang kebesaran seolah pinggul mereka akan jeblos ke belakang. Nah, potty training untuk wc berbentuk ekstra dudukan bayi ini pasti sangat membantu.
3. Berikan instruksi jelas
Dengan sabar, aku coba jelaskan pada Rangin, “Semua orang, ya, buang air besar dan buang air kecil di toilet.”
Waktu itu, Rangin masih bingung, dan aku tahu dia butuh dorongan untuk memahami kebiasaan baru ini.
Aku mulai dengan memberikan afirmasi positif, supaya dia merasa lebih nyaman dan nggak takut. “Iron Man aja buang air di toilet, lho. Sama seperti Optimus Prime!”
Aku tahu, dua karakter ini adalah superhero favorit Rangin, jadi aku berharap itu bisa membuatnya merasa lebih tenang dan yakin.
Tiap kali Rangin berhasil menggunakan toilet, aku langsung memberi pujian dan pelukan erat. “Wah, hebat banget adek!” Aku tahu, penghargaan kecil seperti ini sangat penting buatnya.
Setiap pencapaian kecil, baik buang air besar atau kecil, aku terus memberikan dukungan. Rasanya senang banget bisa melihat senyum bangganya setelah dia berhasil, meskipun itu kadang hal yang sederhana.
Tentu saja, bukan tanpa tantangan. Kadang Rangin masih bingung, atau malah menolak kalau disuruh ke toilet. Tapi aku nggak menyerah. Semakin banyak aku memberikan dorongan positif, semakin besar pula kepercayaan dirinya.
Dia mulai percaya bahwa buang air di toilet itu hal yang wajar dan nggak ada yang perlu ditakuti. Bahkan, suatu hari Rangin bilang, “Aku bisa kayak Iron Man!” Itu membuat hatiku meleleh.
Pelukan dan pujian bukan hanya sekadar kata-kata, tapi semacam penghargaan yang menumbuhkan rasa percaya diri Rangin. Setiap langkah kecil yang dia ambil menuju kematangan itu adalah pencapaian besar buat kami berdua. Dan aku nggak akan berhenti mendukungnya.
4. Lanjutkan rutinitas
Toilet training memang bukan perkara gampang, tapi jangan cepat menyerah ya! Salah satu tips penting yang aku pelajari adalah untuk tetap melanjutkan rutinitas meskipun anak mulai menunjukkan kemunduran.
Aku dulu sempat putus asa, apalagi pas Rangin beberapa kali gagal dan balik lagi ke kebiasaan lama. Tapi ternyata, itu hal yang biasa kok dalam proses toilet training. Jangan sampai kamu merasa frustasi dan merasa gagal. Otak harus tetap waras dan jangan takut untuk mulai lagi dari awal.
Rutinitas itu penting banget, terutama untuk anak-anak kecil yang sedang berkembang. Mereka butuh konsistensi agar bisa memahami apa yang diharapkan dari mereka. Emang, kadang ada masa-masa di mana anak tampak mundur, tapi itu gak berarti mereka nggak siap.
Biasanya, regresi toilet training seperti yang dialami Rangin itu cuma sementara. Ini bagian dari proses belajar mereka, kok!
Jadi, jangan khawatir. Kalau kamu konsisten dan sabar melatihnya, lama-lama pasti berhasil. Apalagi jika dilakukan dengan penuh kasih sayang dan pengertian. Cobalah untuk tetap positif, teruskan rutinitas meskipun ada kemunduran, dan berikan pujian kecil saat mereka berhasil.
Bahkan kalau hari itu ada kemunduran lagi, jangan langsung merasa kecewa. Itu semua bagian dari proses yang normal.
Ingat, kesabaran adalah kunci! Jika tetap sabar dan rutin, anak akan mulai terbiasa. Jadi, jangan menyerah dan tetap lanjutkan latihan toilet training ini.
Percayalah, anak akan bisa menguasainya seiring waktu, dan kita sebagai orang tua hanya perlu memberikan dukungan yang mereka butuhkan.
Leave a Comment