Orang bilang cash is king, tapi buat saya cashless is king. Dua tahun terakhir bisa dikatakan masa-masa yang mengubah drastis gaya hidup saya dan suami. Kami tak hanya lebih peduli pada kesehatan dengan menggiatkan latihan fisik dan olah raga, menjaga kebersihan diri dan lingkungan tempat tinggal, tetapi juga memprioritaskan transaksi nontunai lewat pembayaran digital.
Sebetulnya sejak 2014 saya sudah terbiasa cashless. Hanya saja dua tahun terakhir selama pandemi Covid-19 benar-benar total. Saya sangat jarang berbelanja menggunakan uang tunai. Saking jarangnya, pernah satu kali saya mengambil uang tunai ke ATM karena hendak membayar iuran kebersihan kompleks untuk tukang sampah, eh ATM saya diblokir lantaran tiga kali salah memasukkan PIN. Saya lupa, saking terlalu lama tidak menarik uang via ATM.
Belanja kebutuhan dapur pun, saya mengandalkan bapak tukang sayur langganan di pasar. Udah percaya, ceritanya. Setiap saya butuh belanja mingguan, saya tinggal chat beliau, kasih daftar list belanjaan, kemudian beliau siapkan. Pembayaran tinggal transfer ke rekening bersangkutan via mobile banking.
Kadang kala ketika beberapa bahan habis di lapak tukang sayur langganan, saya memanfaatkan platform belanja online yang memperjualbelikan hasil pertanian segar. Margin atau selisih harganya tidak begitu jauh berbeda dengan harga pasar.
Saya sedikit beruntung karena tinggal di Bekasi, sehingga pengiriman cepat, dan tak perlu pusing dengan yang namanya biaya ongkir alias ongkos kirim. Sering kali saya malah berbelanja bebas ongkir.
Saya juga ikut grup WhatsApp Hero #BorongPanenPetani. Kita bisa ikut serta membeli atau membantu memasarkan hasil panen petani yang terpuruk karena harga anjlok di masa pandemi. Produknya dijamin lebih segar dan diantar langsung sampai rumah. Pembayarannya juga transfer online.
Apa sih motivasi awal saya jarang menggunakan uang tunai dua tahun terakhir?
Jawabannya simpel dan sedikit menggelitik, yaitu saya takut tertular virus corona. Walau pun di beberapa literatur yang saya baca menyebutkan risiko penularan virus corona melalui uang tunai tergolong rendah, tetapi saya merasa tetap perlu waspada.
Virus corona bisa bertahan hidup selama 2-3 hari pada permukaan plastik, 5-9 hari pada permukaan logam, empat jam pada permukaan tembaga, lima jam pada permukaan kaca, dan maksimal lima hari pada permukaan kertas. Mau seketat apapun saya sama protokol kesehatan, peluang tertular itu tetap ada, ya kan?
Uang logam dan kertas yang kita pakai untuk pembayaran tunai sejak lama melucuti planet ini. Menurut American Council of Science and Health, kegiatan penambangan dan pengangkutan logam telah menyebabkan emisi lebih dari 48 ribu ton karbon dioksida.
Sebagai referensi, Inggris memproduksi lebih dari 900 ribu ton uang logam setiap tahun. Bayangkan, semua negara di dunia pasti memproduksi uang logam. Saya tidak tahu nih, Indonesia melalui Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) sudah mencetak berapa ton uang logam sampai hari ini?
Penelitian Evergreen Finance London mengungkapkan uang kertas polimer juga buruk bagi lingkungan ketimbang uang kertas tradisional. Uang kertas biasa berpotensi melepaskan tiga kilogram karbon dioksida, sedangkan uang kertas polimer yang salah satu bahan utamanya plastik melepaskan sembilan kilogram karbon dioksida.
Indonesia sekarang menggunakan uang kertas biasa, terbuat dari serat kapas. Dahulu Peruri pernah menggunakan polimer sebagai bahan baku uang kertas rupiah pada 1993 dengan denominasi Rp 50 ribu. Itu loh, yang gambarnya Almarhum Presiden Soeharto. Pecahan ini diterbitkan menandai 25 tahun pembangunan di Indonesia.
Uang kertas polimer berikutnya dirilis 1999 dengan denominasi Rp 100 ribu. Ini adalah Seri Mawar Soekarno Hatta. Pertama kali merabanya dulu, saya pikir ini uang palsu karena salah satu bahan pembuatannya memang plastik.
Uang kertas polimer tahan lebih lama dan sukar dipalsukan, tetapi kehadirannya lebih mencemari planet ini ketimbang uang kertas biasa.
Uang kertas biasa kurang awet, meski lebih lentur. Namun, setiap tahunnya kita tahu Bank Indonesia (BI) menghabiskan dana cukup besar untuk mengganti uang kertas yang lusuh, rusak, dan tidak layak edar.
Saya tidak heran. Ya kita sama-sama tahu bagaimana cara masyarakat kita memperlakukan uang kertas. Uangnya dilipat sesuka hati, dikremek, nyaris seperti mainan kertas pesawat-pesawatan.
Jadi, negara kita sebaiknya pakai uang kertas biasa atau polimer nih? Kalau kita harus memilih, sebetulnya sama artinya kita memilih satu di antara dua pilihan buruk. Paling ideal sih, cashless.
No cash, no problem. Ini buat saya pribadi. Penelitian ACI Worldwide 2021 mengungkapkan pandemi mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia dalam melakukan pembayaran. Penggunaan metode pembayaran cashless meningkat.
Sebanyak 55 persen konsumen memilih metode pembayaran digital yang terhubung dengan rekening bank. Seperlima konsumen atau 20 persennya mengurangi pembayaran tradisional, seperti uang tunai, kartu kredit, dan kartu debit.
Sebanyak 47 persen konsumen di Indonesia menggunakan pembayaran QRIS atau Quick Response (QR) Code Indonesian Standard yang terhubung dengan rekening bank. Wah senangnya, saya termasuk bagian dari konsumen di atas.
Berikut adalah tips cepat mengadopsi cashless ala saya dan keluarga. Simple but worth to try, khususnya buat yang baru tertarik mencobanya.
1. Pahami dulu berbagai jenis alat pembayaran nontunai.
Dewasa ini kita mengenal banyak cara untuk bertransaksi nontunai. Setidaknya ada tujuh jenis alat pembayaran nontunai di Indonesia, yaitu:
- Kartu kredit
- Kartu debit
- Cek
- Bilyet giro
- Nota kredit
- Nota debit
- Uang elektronik (e-money dan e-wallet)
Saya tidak mungkin menjelaskan semuanya satu per satu. Namun, menurut hemat saya, e-money dan e-wallet paling familiar dan populer di Indonesia.
2. Pelajari cara bertransaksi dengan e-money dan e-wallet
Buat yang belum tahu perbedaan e-money dan e-wallet, saya kasih tahu nih. e-money adalah uang elektronik berbasis chip yang ditanamkan pada kartu. Jadi, ada bentuk fisiknya.
Dompet digital atau e-wallet adalah uang elektronik berbasis server. Bentuknya berupa aplikasi di smartphone, sehingga pengguna harus terkoneksi dengan internet.
Sebab uang elektronik paling populer, pelajari cara bertransaksi menggunakannya. Perlu kita ketahui, beda aplikasi beda aktivasi. Ada yang cara mengaktifkannya cukup dengan transfer saldo. Ada pula yang harus memindai QR Code.
Kita tentukan dulu platform mana yang paling nyaman kita gunakan. Selanjutnya, lakukan top-up sekali saja setiap bulan untuk menghindari biaya admin berkali-kali.
Hati-hati sama kemudahan bayar belakangan (pay later) yang ditawarkan banyak aplikasi. Kalau kita merasa tidak sedang kepepet, tak perlu menggunakan fitur ini.
3. Optimalkan aplikasi digital untuk pengelolaan keuangan
Sekiranya kita sudah akrab dengan uang elektronik dan aplikasi pembayaran digital lainnya, jangan cuma dipakai buat bayar-bayar doang dong. Optimalkan fungsinya untuk mengatur keuangan.
Kita bisa menggunakan aplikasi digital untuk mengelola uang belanja bulanan. Berapa yang dipakai untuk makan? Berapa yang harus ditabung? Berapa yang disimpan untuk dana darurat? Berapa yang digunakan untuk asuransi? Semua bisa kita catat di sini.
4. Prioritaskan berbelanja nontunai
Ini noted banget buat kita yang tinggal di perkotaan juga pedesaan. Mayoritas merchant atau toko-toko sudah bisa menerima pembayaran nontunai.
Apalagi nih ya, pemerintah melalui BI telah memperluas akseptasi QRIS. Pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM), toko-toko di pinggir jalan, merchant di mall, sedekah online di tempat ibadah, sampai pedagang kaki lima pun ramai menggunakannya.
Saya misalnya, saat hendak berbelanja ke toko, makan di rumah makan atau restoran, pas masuk saya tanya dulu nih, bisa bayar nontunai tidak? Kalo mereka bilang ‘bisa’ baru deh saya lanjutkan transaksi.
Sesederhana itu kok. Seharusnya tak ada alasan lagi buat kita tidak memprioritaskan gaya hidup cashless.
5. Tetap siapkan uang cash
Namanya juga Indonesia masih transformasi ya. Sesedikit apapun jumlahnya, usahakan kita tetap menyimpan uang tunai di dompet.
Ini perlu supaya kita tidak kewalahan kalau sewaktu-waktu saldo di e-wallet atau e-money kita habis. Kita tidak kewalahan mencari ATM.
Uang cash bisa juga kita pakai saat urgent, misalnya saya bayar iuran kebersihan tunai karena tukang sampah di kompleks rumah saya tidak punya rekening bank dan uang elektronik.
6. Tebarkan semangat sama pada semua orang
Ketika kita membuat perubahan positif untuk diri kita dalam upaya memitigasi perubahan iklim, sekecil apapun itu, jangan enggan membagikan pengalaman tersebut kepada keluarga, teman, rekan kerja, dan orang-orang di sekitar kita. Selain membiasakan bertransaksi nontunai, di rumah pun keluarga kami telah menggunakan solar panel, meski masih skala kecil.
Setidaknya solar panel yang dipasang bisa menghasilkan energi listrik 200 watt. Ini sangat membantu penerangan lingkungan rumah kami pada malam hari, dan tentunya mendorong penggunaan energi terbarukan.
Dalam menebarkan perilaku positif terkait mitigasi perubahan iklim kepada orang lain, kita sebaiknya berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti, mengajak dengan hati, penuh kalimat bernada positif, bukan terus menerus memicu konfrontasi.
Bumi kita sudah tak secerah dulu. Lama-lama jika kita tak kunjung membenahi gaya hidup, Planet Biru ini akan semakin redup. Penelitian Geophysical Research Letters menyebutkan perubahan iklim membuat Bumi meredup dan kian gelap dipandang dari luar angkasa sana.
Peneliti menggunakan data eartshine yang dikumpulkan Big Bear Solar Observatory selama dua dekade, 1998-2017. Earthshine adalah cahaya yang dipantulkan Bumi ke permukaan sisi gelap Bulan. Earthshine biasanya dipantulkan oleh tanah, hutan, es, air, awan, dan lautan.
Hasilnya, cahaya yang dipancarkan Bumi turun 0,5 persen, setara 0,5 watt cahaya per meter persegi. Angka ini kelihatannya saja kecil, tapi berdampak signifikan loh.
Philip Goode, peneliti di New Jersey Institute of Technology sekaligus pemimpin studi mengatakan terjadi penurunan albedo, yaitu proporsi cahaya datang atau radiasi yang dipantulkan permukaan Bumi.
Selama tiga tahun terakhir penelitian (2015-2017), albedo Bumi hampir datar. Planet kesayangan kita ini menyerap lebih banyak panas dan cahaya, tapi tidak memantulkannya kembali ke luar angkasa.
Penyebab terbesar adalah berkurangnya jumlah awan cerah yang berperan memantulkan cahaya matahari dari dalam Bumi. Alasan lainnya mencairnya permukaan es di kutub, berkurangnya tutupan hutan, mengeringnya anak-anak sungai, dan tentu saja meningkatnya suhu permukaan laut.
Kita perlu waspada. Keredupan Bumi bisa menjadi lebih signifikan beberapa dekade mendatang.
#TimeforActionIndonesia, saatnya anak muda bergerak untuk mitigasi perubahan iklim dengan membenahi gaya hidup.
Sebagian besar kita pasti sudah tahu atau pernah mendengar istilah disrupsi. Lima tahun lalu kata ini bersanding dengan istilah-istilah ekonomi baru lainnya, seperti blockchain, fintech, platform, dan startup.
Saya pribadi baru benar-benar melihat arti sebenarnya dari disrupsi dua tahun terakhir. Ancaman pandemi Covid-19 memaksa orang di seluruh dunia mengubah kebiasaan sehari-hari mereka.
Banyak kegiatan menyenangkan yang tadinya dianggap biasa tiba-tiba menjadi asing dan jarang dilakukan, misalnya jalan-jalan ke berbagai destinasi wisata, makan di restoran, atau nongkrong sama teman dan keluarga. Kehidupan publik seolah berhenti total.
Hal ini berakibat merosotnya ekonomi, meroketnya angka pengangguran, dan pada tingkat lebih luas, yaitu negara, kondisi ini benar-benar mengganggu.
Namun, saya pernah membaca sebuah idiom berbahasa inggris yang mengatakan, every cloud has a silver lining, atau setiap awan memiliki lapisan perak.
Pas cuaca cerah, langit biru, kita akan melihat awan dengan batas tepian gelap. Di baliknya bersinar matahari seperti kilauan perak dalam pandangan.
Makna ungkapan ini begitu dalam. Selalu ada kebaikan di setiap kesulitan. Kita harus melihat sisi positif saat berada dalam kondisi terburuk sekali pun.
Pandemi Covid-19 menjadi katalis transformasi digital di Indonesia. Ia menjadi akselerator inovasi bagi perekonomian bangsa.
Selain membiasakan diri menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, momen ini mungkin pertama kalinya bagi sebagian orang school from home atau work from home. Pertama kalinya bagi sebagian orang melakukan panggilan video dengan keluarga dan sahabat.
Pertama kalinya bagi sebagian orang meeting online dengan klien dan rekan kerja, bahkan pertama kalinya buat saya menggunakan layanan streaming untuk menonton film dan serial favorit. Hehehe.
Pandemi ini juga pertama kalinya bagi sebagian masyarakat kita membiasakan diri berbelanja online menggunakan nontunai. Mereka yang tadinya cuek bebek sama aplikasi pembayaran digital, akhirnya meng-install di ponsel masing-masing. Mereka yang tadinya rajin mengambil uang ke ATM dan tiap belanja bayar pakai uang tunai, sekarang jarang ke ATM dan bayar belanjaan lewat aplikasi.
Kita mungkin tidak menyadari, mesin ATM salah satu pelaku buruk dalam sistem pembayaran tunai yang berkontribusi merusak lingkungan. Diam-diam kehadirannya menjamur di berbagai titik. Padahal dahulu mesin ATM cuma ditempatkan di kantor-kantor bank saja. Sekarang? Silakan dijawab sendiri.
Berapa konsumsi energi listrik yang digunakan mesin-mesin ATM seharian? Mulai dari listrik untuk mengoperasikan mesinnya, listrik untuk lampu penerangannya, dan listrik untuk AC yang menjaga sirkulasi udara di dalamnya.
Seluruh dunia menerapkan hal sama. Hanya demi menarik uang tunai pada saat-saat tertentu, ATM menyedot energi listrik 24 jam. Sistem ini menurut saya tidak sehat untuk Bumi kita.
Mengapa pemerintah dan perbankan tidak mengadopsi konsep Earth Hour untuk jam operasional ATM di Indonesia? Malaysia sudah menerapkannya selama pandemi ini. Bali sudah menerapkannya, meski baru sebatas saat perayaan Nyepi. Bukankah kita sekarang hidup di masa ketika dunia telah berubah dengan sistem pembayaran nontunai?
Pertanyaannya selanjutnya, apakah kita mau membenahi gaya hidup kita untuk memitigasi perubahan iklim? Apakah kebiasaan-kebiasaan positif yang kita adopsi di masa pandemi ini akan tetap kita pertahankan setelah pandemi berakhir? Saya pikir ini sangat mungkin.
#UntukmuBumiku, bertepatan dengan momen Sumpah Pemuda tahun ini, saya berjanji. Pertama, saya akan mempertahankan gaya hidup cashless dengan mengoptimalkan transaksi nontunai di segala kesempatan.
Kedua, saya akan menghemat pemakaian energi dimulai dari diri sendiri dan rumah sendiri.
Ketiga, saya berjanji akan menularkan kebiasaan baik ini kepada orang-orang di sekitar saya. Dengan demikian, saya turut serta memitigasi perubahan iklim untuk Bumi tercinta.
Referensi Pendukung
https://www.acsh.org/news/2016/06/17/want-to-help-the-environment-get-rid-of-stupid-pennies
https://www.fortuneidn.com/news/desy/pandemi-dorong-pertumbuhan-minat-transaksi-digital
https://agupubs.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1029/2021GL094888
Leave a Comment