Tiga bulan sudah suara televisi tak hadir di ruang keluarga kami. Sejak Rashif didiagnosis Autism Spectrum Disorder (ASD) akhir Juli lalu, putra kami harus menjalani diet komprehensif, salah satunya diet elektronik. No gadget untuk Rashif.
Kakak Mae (4 tahun) sekarang hanya bisa menonton televisi di kamar om-nya. Antan dan neru – panggilan kakek dan nenek di rumah – harus mengungsi ke kamar mereka setiap menerima panggilan telepon atau membuka gadget.
Saya pun tak pernah lagi membuka laptop di hadapan Rashif, kecuali saat dia sedang terapi di teaching room, atau ketika tidur malam hari. Itu pun saya harus menggunakan ear-phone, supaya suara video di laptop tidak terdengar keluar.
Pernah satu ketika saya bertanya kepada dr Rudy, konsultan ahli autisme sekaligus dokternya anak saya tentang alasan kami semua harus mendukung diet elektronik Rashif dengan cara menyediakan lingkungan sekitar Rashif yang bersih dari gadget. Intinya dr Rudy bilang anak autisi tidak boleh bermain gadget dan terkena paparan audio visual lainnya.
Jangankan bermain ponsel dan menonton televisi, saya bahkan tak diperkenankan memutar murotal untuk Rashif, seperti yang sering saya dan kakeknya lakukan sebelumnya. Saya lah yang harus membacakan langsung Al-Quran untuk anak saya, bukan memutar bacaan di aplikasi ponsel.
Diet Elektronik
Melalui diskusi via Zoom, dr Diana Dewi dari KIDABA, klinik tempat Rashif menjalani terapi Smart ABA menjelaskan panjang lebar alasan anak autisi harus diet elektronik. Harapannya informasi dari dr Diana ini bisa menjawab pertanyaan yang muncul di kepala orang tua dengan anak autisi seperti saya.
Dokter Diana bilang, pada anak yang memiliki suatu kelainan biasanya hanya bermasalah pada satu bidang saja, apakah itu bermasalah pada kognitifnya, reseptifnya, atau ekspresifnya.
Saya ambil contoh pada anak dengan diagnosa Sensory Integration Disorder (SID) atau Sensory Processing Disorder (SPD). Masalah pada anak-anak SID/ SPD adalah indra sentuhan. Mereka kurang tanggap terhadap kontak fisik, malah kadang merespons berlebihan. Namun, bukan berarti karena reseptifnya terganggu, maka kognitifnya pasti ikut terganggu. TIDAK.
Demikian juga pada anak dengan gangguan pendengaran atau tuna rungu. Mereka bermasalah pada aspek reseptifnya, tapi bukan berarti kognitif dan ekspresifnya terganggu. TIDAK.
Kondisi ini berbeda pada anak autis. Dokter Diana mengatakan anak autis bermasalah pada ketiga bidang sekaligus, yaitu kognitif, reseptif, dan ekspresif.
1. Masalah Kognitif
Kognitif atau pemahaman sebab akibat pada anak autisi sangat rumit. Penyimpanan stimulus pada otaknya terganggu, sehingga proses pencarian dan pengambilan data informasi jadi bermasalah.
Anak autisi tidak bisa mencerna dengan baik stimulus paling sederhana sekali pun. Rashif anak saya, untuk belajar melaksanakan perintah pegang paha, pegang kepala, dan tepuk tangan saja berlangsung selama dua bulan terapi.
Rashif baru bisa diperintah “pegang paha” setelah diterapi satu bulan. Sampai saat saya menuliskan ini – dua bulan terapi – Rashif masih belum bisa diberikan instruksi tepuk tangan. Bayangkan betapa ‘lemahnya’ otak anak kita yang autisi.
Ibarat flash disk, otak anak autisi itu kapasitasnya cuma 2 GB, tapi data yang ditransfer totalnya 4 GB. Ya gak bakal berhasil transfer datanya.
Makanya mereka harus diet komprehensif, termasuk diet elektronik supaya lama kelamaan kognitifnya membaik. Pasalnya paparan elektronik dan audiovisual merupakan stimulus kompleks yang membuat otak anak autisi kebanjiran informasi.
Televisi mengeluarkan stimulus suara, gambar bergerak, kilatan cahaya, dan warna yang akan sangat menyibukkan otak anak autisi. Saat otak mereka kebanjiran informasi, mereka menerima rangsangan atau stimulus berlebihan yang diistilahkan hyperarousal. Dampaknya adalah penyimpanan, pengarsipan, pengambilan, dan penyampaian data di otaknya kacau balau.
2. Masalah Reseptif
Masalah pada aspek kognitif menimbulkan masalah reseptif dan ekspresif pada anak autisi, secara verbal dan nonverbal. Input dan outputnya ikut bermasalah.
Contoh sederhana deh, kalo inputnya kita mendengar orang lain bercerita, outputnya kita bisa berbicara untuk menceritakan kembali apa yang kita dengar. Kalo inputnya kita membaca sesuatu, outputnya kita bisa menuliskan kembali apa yang kita baca dengan gaya bahasa kita.
Bahasa reseptif adalah bahasa lisan dari apa yang kita dengar atau kita baca. Nah, anak-anak autisi ini reseptifnya terganggu, sehingga wajar jika mereka mengalami gangguan komunikasi, umumnya tidak bisa bicara. Celakanya oleh sebagian dokter kondisi anak kita ini didiagnosis speech delay.
Padahal, bukannya anak autisi gak bisa ngomong, tapi memang kognitifnya terganggu. Itu yang harus diperbaiki lebih dulu.
Setelah kognitifnya sembuh, dijamin deh pasti anak autisi kita bisa ngomong. Itu sudah dibuktikan puluhan pasien autisi yang ditangani dr Rudy sejak 1997 sampai sekarang. Tak ada satu pun dari pasien dr Rudy yang sembuh yang tidak bisa verbal. Mereka semua pada akhirnya bisa bicara dan berkomunikasi dua arah.
Saya jadi ingat kisah Ibu Chairita Miranda di salah satu serial Seminar Nasional Autisme II 2020 beberapa waktu lalu. Ibu Ita memiliki seorang putra mantan autisi yang sekarang duduk di SMP Sains Quran Pekanbaru.
Sejak anaknya 4 tahun, Ibu Ita sudah shopping therapy kemana-mana, mulai dari memberi anaknya terapi wicara, terapi sensori integrasi, terapi okupasi, dan terapi lain yang menjanjikan harapan sembuh. Namun, tak satu dokter pun mendiagnosis anaknya autis, hanya speech delay.
Ibu Ita menyadari anaknya autis hingga ujian kenaikan kelas saat duduk di kelas satu SD. Sang putra tidak menjawab lembar jawaban yang berisi soalan agama, yaitu Apa agamamu? Siapa Tuhanmu? Siapa Nabimu?
Ibu Ita merasa gagal sebagai ibu. Soalan termudah sekali pun tak bisa dijawab anaknya. Singkat cerita akhirnya Ibu Ita memutuskan mengeluarkan anaknya dari sekolah dan hijrah ke Bekasi untuk menjalani terapi di KIDABA.
Gangguan reseptif membuat anak autisi sulit mengikuti instruksi. Mereka sulit memahami tulisan, obyek, dan gambar, sulit menjawab pertanyaan, sulit mengerti sebuah cerita, dan sulit memahami arti gerakan tubuh.
3. Masalah Ekspresif
Masalah ekspresif adalah kemampuan anak autisi mengekspresikan maksud hatinya melalui komunikasi verbal dan nonverbal. Tak heran jika anak autis itu ekspresinya datar, bahasa tubuhnya aneh, gak bisa ngomong apa yang dia mau, kadang menceracau gak jelas. Anak autis sibuk melakukan hal-hal yang dia suka.
Rashif dulu saking datarnya mukanya, saya dan suami memanggilnya Mr. Cool. Iya, tidak ada senyum sosial di wajahnya. Dia tidak pernah membalas senyum kita. Dia baru tersenyum ketika melihat hal-hal yang dia anggap lucu, tapi bagi kita yang normal sebetulnya itu gak lucu-lucu amat.
Saat menonton televisi misalnya, Rashif hanya tersenyum dan tertawa pada tayangan tertentu dan anehnya itu adalah tayangan yang persis sama setiap harinya. Dia gembira melihat episode Baby Bus Vending Machine dan Didi & Friends Pok Ame Ame.
Begitu tontonannya berganti, walau pun yang tayang masih Baby Bus juga atau masih Didi & Friends juga, tapi episodenya berbeda, wajah Rashif kembali datar. Kadang kalo yang diputar bukan tayangan yang dia suka, Rashif bisa tantrum luar biasa.
Rashif dulu kalo mau minum atau mau mainan, dia akan ambil sendiri. Kadang kalo tak terjangkau tangannya, dia akan menarik tangan kita dan mengajak kita ke tempat benda yang dia maksud dengan harapan kita menolong mengambilkan.
Pada anak normal, anak tinggal bilang, “Ma, minum” atau “Ma, ambil mainan.” Nah, kalo pada anak autis, mereka gak bisa mengekspresikannya begitu.
Ekspresi bermasalah membuat sebagian besar anak autis hiperaktif. Mereka melakukan gerakan-gerakan aneh, kita kenal dengan istilah stimming. Kadang mereka tertawa gak jelas, kadang emosinya meledak atau tantrum.
Pengaruh Negatif Gadget untuk Anak Autis
Bukan cuma anak autis saja yang perlu diet elektronik dan no gadget. Anak normal pun perlu melakukan hal serupa. Dokter Diana menerangkan setidaknya tujuh pengaruh negatif gadget pada anak, yaitu:
- Perkembangan otak menurun
- Radiasi
- Mengurangi kemampuan interaksi sosial, sebab anak asik bermain sendiri.
- Anak mudah marah atau temperamental
- Risiko obesitas, sebab anak hanya duduk seharian melihat ponsel atau TV.
- Merusak mata
- Anak kurang minat bermain di alam terbuka
Dr Victoria L Dunkley, MD yang merupakan penulis buku Reset Your Child’s Brain sekaligus psikiater ternama di Los Angeles pernah melakukan penelitian terkait Electronic Screen Syndrome pada autisi. Hasilnya tidak ada pengaruh positif penggunaan gadget, entah itu ponsel, video game, media sosial, dan sebagainya pada anak autis.
Sebetulnya efek negatif ini berlaku untuk seluruh anak, tapi lebih rentan pada anak-anak autisi karena otaknya lebih sensitif dan kurang tangguh memulihkan paparan teknologi dari layar tadi.
Anak autisi sensitif terhadap segala bentuk stimulasi, baik itu obat-obatan mau pun elektronik. Dr Victoria mencontohkan autisi yang diresepi obat-obatan standar untuk anak ADHD, mereka cenderung lebih mudah tersinggung, mudah menangis, lebih obsesif kompulsif, dan tidak bisa tidur. Salah obat sedikit saja, mereka bisa sesensitif ini, apalagi dicekoki dengan elektronik yang jelas-jelas terlarang untuk mereka.
Dr Victoria memaparkan 11 alasan anak autis harus melakukan diet elektronik.
1. Kualitas tidur menurun
Anak autis mengalami gangguan tidur. Paparan layar dapat menekan produksi melatonin, yaitu hormon yang membantu kita untuk bisa tidur.
Melatonin berperan mengatur waktu tidur dan jam istirahat tubuh, mengatur hormon dan kimia otak, menyeimbangkan sistem kekebalan tubuh, dan mencegah peradangan otak.
2. Disregulasi
Anak-anak autis rentan mengalami disregulasi. Bentuknya adalah stres berlebihan, emosi suka meledak, mendadak bisa sangat terstimulasi atau sangat kurang terstimulasi.
Jadi, anak autis itu dalam satu waktu bisa sangat kurang dan bisa sangat berlebihan merespons stimulan.
3. Peradangan sistem saraf
Paparan layar meningkatkan peradangan sistem saraf pada anak autis dengan berbagai mekanisme, mulai dari peningkatan hormon pemicu stres, produksi melatonin berkurang, dan akhirnya tidurnya terganggu.
Padahal, saat anak tidur, ada fase REM di mana itu adalah waktunya otak ‘bersih-bersih’ alias menyegarkan pikiran.
4. Disintegrasi
Otak anak autis itu kurang terintegrasi dan terkotak-kotak. Paparan layar menghalangi integrasi otak dan menghambat perkembangan lobus frontal yang sehat.
Studi pemindaian otak menunjukkan anak yang kecanduan gadget mengalami penyusutan materi putih dan atrofi materi abu-abu lobus frontal yang mengatur konektivitas di otak.
Makanya autisme sejak 1963 oleh Gerald Gasson disimbolkan dengan puzzle warna warni. Otak anak kita yang autisi ibarat kepingan puzzle-puzzle yang masih acak tak berbentuk. Mereka butuh waktu merangkai puzzle-puzzle itu hingga menjadi sebuah gambar utuh.
5. Defisit sosial dan komunikasi
Anak autis mengalami gangguan kontak mata, sulit membaca ekspresi wajah dan bahasa tubuh, empatinya rendah, dan gangguan komunikasi. Paparan layar menghalangi keterampilan tersebut, sehinga anak semakin defisit sosial dan komunikasi.
6. Serangan kecemasan
Anak-anak autis rentan kecemasan. Pengalaman ini diceritakan langsung oleh Marten, mantan autisi pasien dr Rudy asal Pekanbaru.
Setiap kali menonton film action di televisi, Marten bisa merasakan marah luar biasa. Demikian juga saat dia menonton film sedih, Marten bisa ikut sedih luar biasa.
Saat mendengarkan musik rock, Marten bisa sangat semangat hingga emosinya meledak. Kecemasan pada autisme, sebut Dr Victoria dikaitkan dengan kelainan dalam sintesis serotonin dan aktivitas amigdala di otak.
7. Memperburuk integrasi sensorik dan motorik
Tayangan televisi atau ponsel melepaskan dopamin atau hormon kecanduan pada level tinggi pada anak autis. Ini memicu perburukan integrasi sensorik dan motorik mereka. Tak heran jika anak autis susah bicara.
Jadi, siapa bilang menonton televisi membantu anak autis lebih cepat bicara? SALAH BESAR. Yang ada mereka semakin sakaw alias kecanduan dan mengalami disintegrasi.
8. Obsesif dan kecanduan
Dr Victoria mengatakan produksi dopamin berlebihan memicu sifat obsesif dan kecanduan pada anak autis. Efek negatifnya bisa lebih parah dari itu.
Penelitian terhadap anak laki-laki remaja dan pria dewasa yang mengidap ASD berpotensi mengembangkan kecanduan pornografi. Ini karena kombinasi dari defisit sosial, komunikasi, isolasi, dan waktu paparan layar berlebih yang membuat anak-anak autisi mengembangkan delusi romantis di dunianya sendiri. Dopamin tadi memperkuat sifat obsesif mereka.
9. Perhatian semakin rapuh
Anak autis memiliki sistem perhatian rapuh, fungsi eksekutif buruk, dan bandwidth yang sangat kurang saat memproses informasi. Elektronik akan memecah perhatian mereka, memperburuk mentalitas, dan merusak fungsi eksekutifnya.
10. Kesehatan usus dan otak menurun
Anak-anak autis sangat sensitif terhadap medan elektromagnetik atau EMF yang dipancarkan lewat nirkabel, misalnya WiFi, sinyal ponsel, dan perangkat elektronik lainnya, seperti televisi, pemutar kaset/ CD/ DVD, bahkan pengeras suara.
Pada tingkat seluler, molekuler, dan atom, sebut Dr Victoria, medan elektromagnetik ini berdampak pada penurunan kekebalan tubuh karena saluran pencernaan, khususnya usus dan integrasi otak tidak berjalan semestinya.
Masya Allah, apa yang dijelaskan dr Victoria pada poin kesepuluh ini sama sekali tidak dijelaskan dr Rudy pada saya. Namun, saya ingat betul saat dr Rudy melarang saya memutar murotal Al-Quran dari ponsel. Saya sendiri yang harus membacakan Al-Quran untuk anak saya.
Rumah orang tua saya di Bekasi kebetulan lokasinya persis di samping masjid. Dokter Rudy juga mengingatkan saya akan bahaya paparan suara dari speaker masjid yang terlalu keras terhadap penyembuhan Rashif.
Pada satu titik saya menganggap nasihat dr Rudy itu lebay banget. Saya setengah bercanda bahkan bilang, gak mungkin lah saya melarang garin masjid untuk stop azan pakai pengeras suara. Bisa-bisa saya diserang orang sekompleks.
Eh ternyata semua bisa dijelaskan secara ilmiah. Alhasil sejak dr Rudy bilang begitu, setiap azan berkumandang, jika kebetulan Rashif sedang di rumah (tidak sedang di tempat terapi) maka saya akan membawa Rashif masuk kamar, menutup pintu, dan mengalihkan perhatiannya.
Kami juga memindahkan TV ke kamar dan pakai headset ketika menonton YouTube atau memutar musik di ponsel.
Saya ingat betul sindiran dr Rudy, “Jangan salahkan siapa-siapa jika kelak Rashif mengalami regresi atau kemunduran karena orang tuanya tidak 100 persen menjalankan diet elektronik.” Duh, rasanya saya ditampar bangettt.
11. Gangguan kejiwaan
Anak-anak autis berisiko tinggi terhadap gangguan kejiwaan, termasuk gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, dan ADHD. Penelitian Dr Victoria menyebutkan anak muda dengan ASD yang terpapar layar rutin setiap harinya sering mengalami halusinasi, paranoia, diasosiasi, dan semakin jauh dari kehidupan nyata.
Kabar gembiranya, semua efek negatif tersebut bisa hilang atau jauh berkurang ketika si anak mau melakukan diet elektronik. Jadi, anak autis tidak perlu minum obat-obatan antipsikotik.
Bagi sebagian orang tua, diet elektronik ini terlalu ekstrem. Makanya saya biasanya menyarankan orang tua mencoba dulu empat minggu pertama, sehingga mereka bisa merasakan bagaimana intervensi ini sangat berguna dan memberi bukti obyektif pada mereka. Diet elektronik bahkan hanya hitungan beberapa minggu saja cukup signifikan menunjukkan perbaikan pada anak autis.
dr Victoria L Dunkley, MD, psikiater dan penulis buku “reset your child’s brain”
Mulai sekarang, yuk bantu anak autisi kita berproses menuju kesembuhan dengan berbagai cara. Semoga tulisan saya kali ini bermanfaat. Terima kasih.
Leave a Comment