Liburan tak ubahnya seperti spesies terancam punah (endangered) zaman sekarang ini, khususnya bagi generasi milenial yang gila kerja, yang terikat dengan rutinitas kantor jam 9 pagi hingga 5 sore, bahkan lembur sampai malam hari. Liburan statusnya bisa jadi sudah punah (extinct) bagi mereka pekerja sektor mikro, kecil, dan menengah. Salah satu penyebabnya adalah vacation shaming.
Liburan menjadi barang langka sebenarnya bukan perkara duit, bukan. Ayah ibu saya saja yang petani selalu menyempatkan liburan kok, setidaknya ke pantai tiap weekend. Teman saya yang gajinya pas-pasan, malah masih berstatus pekerja kontrak tetap bisa kok liburan ala dia. Jadi, di mana salahnya?
Pernah gak kamu mendengar istilah vacation shaming?
Kalau belum, pertanyaannya saya ganti deh.
Pernah gak kamu merasa bersalah gara-gara mengambil cuti liburan di tempat kerja?
Kamu merasa gak enak, segan sama bos, malu sama teman kerja lantaran memilih berlibur di saat semua orang tetap ngantor.
Jika iya, bisa jadi kamu adalah korban vacation shaming, atau justru kamu adalah si pelaku (vacation shamer) yang melakukan itu?
Teman atau sahabat kamu sedang liburan sama keluarganya, tiba-tiba kamu kirim chat (walau pun niatnya cuma becanda sih), “Jangan lama-lama liburannya bos. Kerjaan numpuk nih. Cepat balik yeuh!”
Eh, ada yang senyum-senyum. It sounds familiar, right?
Vacation Shaming Itu Nyata
Suami saya tanpa dia sadari pernah mengalami vacation shaming. Di satu sisi dia sadar tanggung jawabnya di tempat kerja itu besar sekali. Di sisi lain, dia juga rentan stres, butuh liburan, dan meluangkan waktu khusus bersama keluarga. Dia menjalankan perannya sebagai ayah, sebagai suami, dan menjadi dirinya sendiri.
Sejak awal menikah saya dan suami sepakat akan menyempatkan liburan keluarga, minimal dua kali setahun. Liburannya gak harus traveling ke luar kota, ke luar negeri, atau ke tempat yang harus mengeluarkan banyak cuan. Meski itu hanya piknik ke taman kota atau pantai, asalkan quality time bersama keluarga lebih lama, bukan cuma Sabtu Minggu doang, dan yang terpenting bebas dari beban kerja.
Kami begini bukan mau pamer ke semua orang bahwa kami ini keluarga harmonis, keluarga cemara, atau sekalian royal family yang bisa liburan kapan pun kami mau, bukan. Masa bodoh semua itu.
Kami begini karena kami sadar kami manusia, bukan robot. Ada masanya kami ingin bahagia menjadi diri sendiri. The best relief from stress is adding more things to our life outside of work.
Namun, entah mengapa sering kali saya mendapati suami saya makin ke sini makin gak enakan mengambil cuti liburan. Penyakit generasi milenial banget nih. Walau akhirnya dia tetap menggunakan jatah cutinya, sebab ini sudah komitmen bersama, tapi selalu ada rasa gak enak yang diutarakannya selama kami berlibur.
“Duh, aku gak enak sama temanku. Mereka sibuk nyiapin event minggu depan.”
“VP-ku lagi di Bali, aku malah cuti. Eh, tapi aku udah siapin bahan-bahan presentasinya kok untuk managerku.”
“Aku izin buka laptop sebentar ya sayang, mau bantuin temanku back up data.”
“Gak papa ya sayang, liburannya sambil kerja.”
Jadi, sering banget ceritanya suami saya itu cuti sambil kerja, atau kerja sambil cuti, whatever lah istilahnya, dibolak-balik tetap aja sama. Syukurnya saya istri yang pengertian (pasang tampang bundadari). Jadi, saya berusaha memaklumi beban yang dipikul suami saya.
Kenapa saya menyimpulkan pada saat itu suami saya mengalami vacation shaming?
Ya karena bahasa tubuh, bahasa lisan, dan sikapnya di atas. Dia kadang juga gak enak posting foto liburan keluarga di akun Instagram atau Facebooknya. Padahal, saya tahu, dia sebenarnya pengen melakukannya. Hihihi.
Vacation shaming dalam kasus suami saya kemungkinan besar berasal dari dirinya sendiri. Toh, kantornya tetap kok memberikan jatah cuti tahunan yang jumlah harinya sangat cukup, bahkan cutinya berbayar. Semua ini sesungguhnya berpangkal pada tren yang terjadi beberapa tahun terakhir di kalangan pekerja milenial.
Semakin ke sini orang-orang semakin gila kerja, semakin terobsesi meraih penghasilan tinggi dengan menjadi over-produktif, bahkan punya mindset posisi bagus di kantor hanya bisa dicapai oleh mereka yang loyal sama perusahaan. Saking loyalnya sampai rela tidak ambil cuti liburan selama setahun.
Kesannya sejak masuk abad 21, semua orang TIDAK PERNAH berhenti bekerja, TIDAK PERNAH benar-benar berlibur. Lha iya, kalo pas cuti liburan kita tetap saja memeriksa email, membaca chat grup kantor, membalas pesan rekan kerja, menerima voicemail, ini sama saja artinya kita TIDAK LIBURAN.
Survei yang dilakukan Allianz Global Assistance menyebutkan 25 persen generasi milenial yang bekerja merasa enggan minta izin cuti liburan pada atasannya. Hasilnya berbeda dengan 14 persen generasi X dan enam persen generasi lebih tua yang saat ini berusia 50 tahunana ke atas.
Perlu dicatat, yang termasuk kategori milenial adalah mereka yang lahir pada medio 1980-2000, berdasarkan klasifikasi versi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA). Generasi X adalah mereka yang lahir pada medio 1965-1980.
Forbes beberapa tahun lalu pernah melakukan survei di Amerika. Hasilnya mengejutkan. Ternyata cuma 25 persen saja orang-orang Amerika yang bekerja, yang tergolong milenial, mengambil cuti libur berbayar, bahkan 61 persen dari mereka yang berlibur tetap mengurus kerjaan.
Iya, saya tahu, itu semua pilihan. Toh, tulisan saya ini juga sudut pandang saya pribadi, tidak bisa digeneralisir sama untuk semua orang.
Tips Mengatasi Vacation Shaming
Saya yakin, tidak semua orang tertekan atau merasa malu karena mengambil cuti liburan di tempat kerja. Saya angkat topi untuk orang-orang demikian, apalagi mereka tetap menunjukkan kinerja terbaiknya di kantor. Terima kasih kalian telah memberi contoh baik ke semua orang bahwa hidup ini butuh keseimbangan.
Bagaimana caranya kita bisa mengatasi vacation shaming? Berikut saya akan utarakan win win solution untuk kita semua.
1. Atur jadwal cuti dan beri solusi
Beban kerja masing-masing karyawan di kantor itu beda-beda. Semakin besar beban kerja seseorang, semakin besar kebutuhannya untuk liburan.
Saya menulis poin pertama ini dari sudut pandang seorang pemimpin, mau itu levelnya manager, general manager, bahkan direktur sekali pun.
Ketika karyawan kita menanggung beban kerja cukup berat, terutama saat mereka tampak terbebani dengan sederet tanggung jawab, berikan dia kesempatan untuk mengajukan cuti liburan. Bila perlu kita sebagai pimpinan mengingatkannya langsung.
Kita kan bisa cek sistem absensi di kantor. Kita kan bisa melihat produktivitas, kualitas, dan tolak ukur kinerja karyawan di tempat kerja.
Karyawan yang rajin dan kontributif itu bukan sekadar aktif di milis kantor, aktif di grup WA, atau selalu nongol grup Line kantor doang. Receh banget itu. Kita kan bisa melihat aktivitas karyawan kita di tempatnya bekerja.
Ada loh karyawan yang tipikal rajin, tapi dia gak mau pamer, apalagi caper ke bos. Ada juga karyawan yang kerjanya biasa-biasa aja, bahkan cenderung malas, tapi pintar banget nyari muka di depan pimpinan. Ada loh yang begitu, mau kerja di mana aja pasti nemu orang-orang begini. Nah, tugas kita sebagai pimpinan melihat itu semua.
Selama ini pemimpin sering mengeluhkan kekurangan SDM, sehingga beberapa pekerjaan yang harusnya di-handle dua orang, faktanya dikerjakan satu orang. Pekerjaan yang harusnya dikerjakan lima orang, faktanya di-handle tiga orang.
Biar adil, kita bisa menyusun opsi, mulai dari pendelegasian tugas, secara personal minta tolong karyawan lain untuk merangkap sementara pekerjaan karyawan yang sedang cuti, atau pakai shadow staff, seperti yang sering dilakukan perusahaan luar atau asing. Intinya, gak ada masalah yang gak ada solusinya.
2. Berani bersikap
Sebagai karyawan, kita tak perlu minta maaf, merasa bersalah, apalagi merasa berdosa gara-gara meninggalkan teman kerja sendirian, sementara kita pergi liburan. Jika kita benar-benar merasa sudah melakukan banyak hal untuk tim, bekerja keras untuk tim, abaikan perasaan-perasaan negatif itu.
Kalo rasanya kita gak mungkin benar-benar OFF dari tanggung jawab kantor, kita bisa menentukan batasan untuk situasi darurat, misalnya kita bisa dihubungi by phone pada jam-jam tertentu. Ini yang sering dilakukan suami saya.
Paling enak sih pakai buddy system, alias minta tolong sama teman. Misalnya nih, kalo selama kita liburan ada komplain atau keluhan soal pekerjaan, mitra kerja sementara bisa menghubungi teman setim kita. Nanti pada jam tertentu kita bisa menghubungi yang bersangkutan untuk update soal kerjaan.
3. Ikut mengedukasi lingkungan kerja
Tidak ada keraguan bahwa perusahaan yang baik dijalankan oleh karyawan-karyawan yang bahagia. Sama halnya dengan anak-anak bahagia yang dibesarkan oleh orang tua yang bahagia.
Berbagai penelitian menunjukkan stres berkontribusi besar pada kualitas kerja karyawan yang memicu kinerja buruk perusahaan.
Seorang manager misalnya melihat ada karyawannya yang tidak bekerja optimal, padahal dulunya yang bersangkutan adalah karyawan teladan. Bisa jadi yang bersangkutan sudah bekerja terlampau berat dan butuh istirahat. Ketimbang mikir pendek buat mecat dia, izinkan dia menikmati liburannya sementara waktu.
Kita bisa mengedukasi lingkungan kerja kita selama kita tidak takut bersuara. Bukankah setiap akhir tahun biasanya ada evaluasi program dan kinerja tim di kantor? Kenapa tidak membahas topik ini? Toh, demi kebaikan bersama bukan?
Mulai hari ini, please, stop vacation shaming. Cuti liburan bukan aib. Cuti liburan bukan tolak ukur kita profesional atau tidak di tempat kerja. Cuti liburan bukan sesuatu yang membuat kita dinilai gak rajin oleh teman sekantor.
Cuti liburan bukan berarti kita egois. Cuti liburan itu bukan cuma pas Idul Fitri atau Natal saja. Cuti liburan adalah hak semua orang yang bekerja kapan pun mereka butuh. Never allow yourself to be defined by someone else’s opinion.
Mau sharing dan pernah punya pengalaman sama? Ditunggu di kolom komentar ya. Terima kasih.
Leave a Comment