Banyak banget teman-teman IG kepengen tahu pengalaman saya hamil kembar dulu. Beberapa minta saya menuliskannya di blog. Maaf ya temans, baru sempat sekarang. Semoga tulisan saya kali ini bisa menjawab rasa penasaran kalian. Meski cerita ini sudah lebih dari dua tahun lalu ya, tapi insya Allah kenangannya gak bakal terlupa. Langsung ngilu ini bekas jahitan sesar gw mak. Wkwkwk.
Seumur hidup saya pernah merasakan dua model kehamilan, yaitu dua kali hamil tunggal, dan satu kali hamil kembar. Saat perdana hamil 2014, putera pertama saya meninggal dunia dalam kandungan ketika berusia lima bulan. Tujuh bulan setelah keguguran, saya kembali hamil lagi dan lahirlah anak perempuan saya, Maetami (4 tahun).
Beberapa teman kerja di Bali yang melihat saya setiap hari tak habis pikir bagaimana saya bisa begitu santainya membawa perut super buncit liputan kemana-mana. Yups, dulu saya masih bekerja sebagai jurnalis di media nasional REPUBLIKA.
Saat usia kehamilan saya memasuki delapan bulan, saya masih sempat-sempatnya nge-handle Pertemuan Tahunan IMF – World Bank 2018. Seminggu penuh saya bolak-balik Denpasar – Nusa Dua. Jujur, saya pun heran sama diri sendiri, tapi alhamdulillah sangat bersyukur sama fisik kuat yang Allah kasih buat saya.
Sebetulnya gimana sih rasanya hamil kembar?
Saya tahu beberapa ibu yang pernah hamil kembar pernah mendapat pertanyaan sama. Saya tidak tahu banyak pengalaman hamil kembar mereka. Yang saya tahu teman-teman, bahkan sahabat dekat saya yang juga hamil kembar di Riau melahirkan dengan selamat. Sejatinya, ketika perempuan menyambut kehamilannya, mau itu anak satu, kembar dua, kembar tiga, atau kelipatannya, dia akan dengan senang hati menjalaninya.
Nah, kali ini saya membagi pengalaman hamil kembar saya ke dalam enam tahapan. Biar gampang saya ceritanya. Semoga kalian betah membacanya ya.
Tahap I: Hamil Lagi Ya? Santai Aja! (Minggu 1-8)
Saya menyadari hamil kembali tepat sehari saat mau mudik Lebaran ke rumah mertua di Bekasi, sekitar Juni 2018. Waktu itu saya tahunya dari test pack saja karena haid yang biasanya teratur ternyata sudah terlambat tiga hari.
Ibu yang pernah hamil pastinya tahu dong, usia kehamilan dihitung sejak hari terakhir haid bulan sebelumnya. Ini berarti saat Lebaran 2018 saya dalam kondisi hamil satu bulan.
Saya sama sekali gak memeriksakan kehamilan saya seketika itu juga berhubung keesokan harinya jadwal flight kami ke Jakarta. Cuek aja gitu. Beda banget sama kehamilan pertama yang rasanya super excited.
Nah, dua minggu setelah pulang mudik, baru deh saya periksa ke RS Balimed Hospital. Rumah sakit ini dekat banget dari rumah saya. Dokter pun membenarkan saya hamil, tapi sama sekali belum kelihatan kalo janinnya ada dua.
FYI, pengalaman hamil kembar saya ini adalah fraternal alias kembar tidak identik. Ini bisa terjadi ketika dua sel telur dibuahi oleh dua sel sperma. Makanya wajah kedua putera kembar saya gak mirip sama sekali. Kembar fraternal ini bayinya bisa berjenis kelamin sama, bisa juga beda, plus punya plasenta masing-masing.
Tahap II: Morning Sickness Makin Menggila (Minggu 9-12)
Saya memutuskan kembali ke obgyn lama saya begitu usia kandungan memasuki tiga bulan. Bapak Ida Bagus Semadi Putera adalah dokter yang membantu saya di kehamilan pertama dan kedua. Alasan saya balik ke beliau karena rasanya lebih nyaman aja.
Pada postingan sebelumnya (bisa dicek di sini) saya pernah bercerita bagaimana saya tahu sedang hamil anak kembar. Rasanya campur aduk banget waktu itu, tapi tetap bahagianya paling dominan.
Nah, mulai hamil tiga bulan ini saya mengalami morning sickness yang lebih gila dibanding kehamilan pertama dan kedua.
Morning sickness hamil tunggal dengan hamil kembar itu super duper beda. Hamil kembar mualnya parah banget. Asli, saya muntah setiap hari. Sehari bisa berkali-kali, sampai saya bawa kantong muntah kemana-mana.
Meski demikian, saya tetap memaksakan diri untuk makan. Bagaimana pun saya harus memastikan tumbuh kembang kedua janin saya baik.
Saya lugu banget waktu itu. Mikirnya aneh-aneh. Saya takut salah satu anak saya makan lebih banyak dan merasa kekurangan, sehingga ngambil jatah makan saudaranya di perut. Saya cukup lama berpikir ibu yang hamil kembar berarti makan minumnya harus serba dua porsi.
Memang hitung-hitungannya gak selalu begitu. Namun, beberapa referensi yang saya baca menyebutkan ibu hamil kembar disarankan mengonsumsi 300 kalori per hari per anak. Ini artinya saya perlu mengonsumsi 600 kalori ekstra untuk mereka berdua. Kisaran ini bisa menambah berat badan 15-18 kg.
Saya cukup lega melihat hasil USG pertama. Ukuran janin saya hampir sama. Rashif panjangnya sudah 6,7 cm, sedangkan Rangin 6,72 cm.
Saya mulai protes dan kesal sendiri begitu di-USG setelah tiga bulan. Rashif beratnya 206 gram, sedangkan Rangin masih 182 gram. Makin sedih lagi begitu di-USG empat bulan, Rashif beratnya 454 gram, sedangkan Rangin 424 gram.
Hamil kembar itu risikonya lebih besar ketimbang hamil tunggal. Ini sebabnya ibu yang hamil kembar lebih sering ke dokter dan lebih sering di-USG.
Morning sickness tak berkesudahan, berat si kembar gak sama. Kalo dipikir-pikir saya ini bodoh banget ya. Saya pengen anak kembar saya plek ketiplek sama panjang dan berat badannya. Emangnya mereka itu boneka pabrikan yang ukurannya serupa mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki?
Tahap III: Ternyata Kembar Laki-Laki (Minggu 13-28)
Morning sickness saya awet sampai usia kandungan tujuh bulan. Untungnya mulai bulan keenam dan ketujuh rasanya jauh berkurang, tapi tetap pasti ada muntahnya setiap hari, minimal sekali sehari.
Pengalaman hamil kembar pada tahap ini yang rasanya paling beda adalah ukuran perut. Saya hamil empat bulan, tapi seperti hamil 6-7 bulan. Saya hamil enam bulan, tapi seperti hamil sembilan bulan. Perut saya guedeeee banget.
Hamil sebelumnya saya sama sekali gak akrab dengan daster. Nah, di kehamilan kembar ini, semua baju saya nyaris gak bisa dipakai sejak usia kandungan enam bulan.
Alhasil saya harus akrab dengan daster untuk pakaian sehari-hari hingga persalinan. Saya juga sering banget pakai baju kaos dan celana boxer suami.
Gerakan si kembar di perut saya aktif banget. Jenis kelamin mereka terdeteksi di minggu ke-17. Alhamdulillah, keduanya laki-laki. Tadinya Rangin sempat dikira perempuan, eh ternyata monasnya nongol belakangan.
Dalam hati saya mikir, “Pantes aja gw separah ini morning sickness-nya. Ternyata anak gw keduanya laki-laki.” Teman-teman saya, bahkan ibu dan mama mertua saya pun mengakui, hamil anak laki-laki itu lebih berat dari hamil anak perempuan.
Tahap IV: Kok BB Janin Saya Makin Jomplang? (Minggu 13-28)
Kekhawatiran utama saya sepanjang pengalaman hamil kembar ini adalah selisih berat kedua janin saya kian jomplang. Waktu Rashif beratnya sudah 1,5 kg, Rangin masih 1,2 kg. Waktu Rashif beratnya sudah 2,1 kg, Rangin masih 1,8 kg.
Saya sempat stres karena ini. Selain karena berat badan si kembar jomplang, sampai usia kandungan tujuh bulan keduanya masih belum mencapai batas berat aman, yaitu 2,5 kg. Padahal saya sudah rajin makan alpukat, makan buah, porsi makan banyak, minum susu ibu hamil, susu almond juga, tapi kok berat mereka makin berselisih jauh?
Suatu hari saya menangis di depan suami. Hal-hal buruk bisa saja terjadi. Banyak ibu kembar melahirkan pada usia kandungan tujuh bulan. Jarang yang melahirkan 9 bulan, apalagi 9 bulan 10 hari. Sejuta pertanyaan berkecamuk di kepala saya.
- Bagaimana jika besok saya tiba-tiba kontraksi dan harus melahirkan? Kedua bayi saya pasti prematur karena berat badannya masih 1,8 dan 2,1 kg.
- Kalo saya lahirannya mendadak, siapa yang bantuin saya di rumah sakit? Ibu di Padang, mama di Jakarta. Minimal mereka baru bisa sampai 1-2 hari kemudian.
- Kalo saya harus melahirkan prematur, apakah kedua anak saya bakal selamat, atau jangan-jangan saya harus merelakan pergi salah satunya?
- Jika si kembar harus dirawat di NICU, biayanya pasti besar banget, bisa Rp 1 jutaan per hari per bayi, belum termasuk biaya lainnya. Asuransi pasti gak bisa meng-cover semuanya. Apa tabungan kami cukup?
Horor banget ya pikiran saya waktu itu? Semua kekhawatiran ini berpangkal pada kurangnya berat badan si kembar.
Untungnya dr Semadi menyemangati saya dan mengatakan biasanya berat janin kembar melesat setelah tujuh bulan. Pokoknya saya harus tetap berpikiran positif, jaga kesehatan, jaga asupan dan nutrisi, plus berdoa.
Tahap IV: Tugas Terakhir Sebelum Resign Kerja (Minggu 29-33)
Pengalaman hamil kembar memasuki bulan kedelapan ini paling berkesan bagi saya. Satu tahun sebelumnya saya telah terdaftar sebagai salah satu jurnalis yang akan meliput hajatan IMF dan World Bank di Bali dan itu gak mungkin digantikan reporter lain.
Saya pun tak menyangka di tahun yang sama saya hamil, sehingga saya harus tetap menjalani semua sesuai rencana awal. Dokter Semadi sangat mewanti-wanti saya jangan sampai kelelahan dan dehidrasi. Saya pun dibekali vitamin untuk memperkuat janin di perut saya.
Oya, kabar gembiranya si kembar terus bertumbuh, sesuai prediksi dr Semadi. Rashif sudah 2,5 kg, sedangkan Rangin 2,2 kg memasuki bulan kedelapan ini. Artinya berat kandungan saya hampir mencapai 5 kg. Rekor. Bisa kebayang gak tuh gimana bulatnya perut saya?
Peliputan IMF-World Bank 2018 adalah tugas penting terakhir saya sebelum resign usai melahirkan nanti. Bismillah, saya yakinkan diri bahwa saya dan anak kembar saya bisa menjalani tugas negara ini dengan sebaik-baiknya.
Saya sangat bersyukur karena pada momen sama suami saya bersama teman-teman kantornya juga bertugas stand by di Nusa Dua. Jadinya sering kali saya pulang bareng suami, meski berangkatnya sendiri-sendiri sebab jadwal saya jauh lebih pagi dan lebih padat.
Teman-teman dan panitia di sana juga support banget. Momen paling berkesan adalah waktu saya wawancara Ibu Sri Mulyani sehabis penanaman terumbu karang di pantai belakang Sofitel Hotel Nusa Dua. Perut besar saya tampaknya menarik perhatian, sehingga si ibu memudahkan saya berdiri di dekatnya, bahkan memberi topinya untuk saya.
Selama di Nusa Dua alhamdulillah makan saya enak-enak terus setiap harinya. Kue, camilan, susu, teh, semua tersedia di pers room IMF-World Bank. Makan siang juga disediakan panitia. Pokoknya saya gak pernah kelaparan di sana. Mungkin ini juga yang bikin si kembar menggendut sedemikian rupa.
Tahap V: Si Kembar Makin Menggendut (Minggu 34-37)
Ibu sudah bersama saya di Bali ketika ini. Istilahnya saya siap melahirkan kapan saja.
Qadarullah, saya tak pernah menyangka saya bisa menjalani kehamilan kembar dengan usia kandungan seperti kehamilan tunggal. Yups, saya mengandung kembar lebih dari 9 bulan 10 hari.
Kebahagiaan saya semakin memuncak mengingat berat badan si kembar bertambah pesat. Memasuki 37 minggu, Rashif sudah mencapai 3 kg, sedangkan Rangin 2,85 kg.
Jangankan orang lain, ibu saya yang sudah kenal betul dengan saya merasa kasihan melihat perut saya. Kok ya saya masih sanggup membawa gembolan 6 kg itu? Seminggu sebelum jadwal persalinan, saya bahkan masih bisa jalan pagi dan main-main bareng Maetami di Pantai Sanur.
Tahap VI: Si Kembar Lahir (Memasuki Minggu 38)
Saya mengambil cuti hamil kira-kira 15 hari sebelum bersalin. Kaki saya mulai membengkak waktu itu, meski saya tak merasa sakit sama sekali. Untungnya ada ibu, suami, dan Mba Yani yang telaten merawat saya di rumah.
Saya memang gak berencana melahirkan si kembar secara normal. Bukannya saya tidak yakin dengan kemampuan saya, tapi memang posisi salah satu bayi saya melintang. Saya gak mau mengambil risiko dan meminta dokter membantu saya bersalin sesar.
Tepat saat usia kandungan memasuki minggu ke-38, Rashif dan Rangin lahir ke dunia. Putera kembar saya lahir 29 Januari 2019 di RSIA Puri Bunda, Denpasar.
Rashif ternyata lahir lebih gendut, 3,1 kg, sedangkan Rangin sedikit meleset dari perkiraan, yaitu 2,6 kg. Meski berat Rangin di bawah 2,7 kg, dokter menyatakan kedua bayi saya sehat dan langsung bisa Inisiasi Menyusui Dini (IMD) di hari sama. Masya Allah walhamdulillah.
Leave a Comment