Zaman gini masih ada gak orang tua yang suka bacain anak-anaknya buku sejarah? Kemungkinan besar tidak. Saya pun masuk golongan tersebut, sebab selama empat tahun terakhir tak pernah sekalipun menceritakan Maetami tentang perjuangan pahlawan nasional. Meski saat ini saya bisa berkilah dengan alasan si kakak masih terlalu kecil dan belum bisa membaca.
Waktu SD dulu saya teringat salah satu sisi dinding kelas saya berjejer lukisan para pahlawan nasional berbingkai kayu. Guru-guru menugaskan kami menghiasi kelas dengan gambar-gambar mereka. Tak lupa saat study tour tiba, kami dibawa berkunjung ke tempat-tempat bersejarah, seperti museum dan benteng Belanda era kolonial.
Buku-buku cetak Bahasa Indonesia era 90-an juga kerap mengangkat cerita pahlawan nasional, tak ketinggalan pahlawan revolusi, seperti Jenderal Ahmad Yani dan teman-temannya. Jenderal Soedirman, Pangeran Antasari, Pangeran Diponegoro, Yos Sudarso, Marta Christina Tiahahu, Cut Nyak Dien, Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol adalah beberapa nama pahlawan yang populer karena kisah heroiknya memperjuangkan kemerdekaan.
Saya pernah mendapat giliran membacakan kisah Yos Sudarso di depan kelas. Guru Bahasa Indonesia saya waktu itu Ibu Rostina Silalahi. Cielah, berkesan banget pokoknya zaman emak SD, sampai nama guru-guru pun masih hapal.
Malas Pergi ke Museum
Selalu ada dua sisi dari setiap cerita. Saya sudah sering membaca artikel tentang pentingnya mengenal sejarah perjuangan bangsa melalui museum, sejarah pahlawan nasional di museum sejarah, berbagai alasan kita harus berkunjung ke museum, bagaimana tips berwisata ke museum, mengapa orang tua harus membawa anaknya ke museum, endebla endeblu endebless!
Kali ini saya ingin menyajikan sisi lain mengapa orang-orang malas pergi ke museum. Saya yakin kita semua sudah tahu jawabannya karena pernah mengalaminya. Ya kan? Tapi itu bukan berarti kita boleh stop baca tulisan emak sampai di sini. Apalagi langsung main kabur exit, sehingga bikin bounce rate blog emak makin tinggi lagi. Hehehe #maksa.
Alasan orang-orang malas pergi ke museum itu terpampang nyata. Meski demikian, di balik alasan-alasan yang saya paparkan berikut, sesungguhnya semua bukan alasan rumit. Artinya, mau gimana pun kondisinya, mau apapun jenis museumnya, setua apapun museumnya, kita bisa kok tetap puas menikmatinya selama kita mau menyederhanakan pola pikir. Pada akhirnya saya yakin deh kita semua bisa menyukai museum-museum yang kita kunjungi.
Oke, siap ya? Berikut delapan alasan yang membuat orang-orang malas pergi ke museum.
1. Ada banyak obyek wisata lebih menarik untuk dikunjungi
Bayangkan jika kita cuma punya waktu sehari buat jalan-jalan di Bali. Saya yakin museum gak akan masuk dalam daftar itinerary tempat wisata yang akan dikunjungi.
Bali gitu loh. Enaknya kita berenang di pantai, pergi ke beach club, lihat sunset di Kuta, main ke Beachwalk, belanja oleh-oleh di Krisna. Ngapain ke museum? Ya kan? Saya bisa maklumi alasan para jamaah blogger sekalian.
Orang yang pernah pergi ke museum sebagian menganggap museum itu kuno dan membosankan. Memang benar, beberapa museum sangat menarik hingga tak bisa diungkap dengan kata-kata. Beberapa lainnya sangat membosankan, sehingga kita merasa buang-buang waktu ke sana. Untung aja tiket masuknya murah. Ups!
2. Koleksi-koleksi museum membosankan
Ada museum yang memiliki koleksi-koleksi menarik. Saya ambil contoh Museum Multatuli yang terkenal dengan karya sastranya berjudul Max Havelaar yang sudah dialihbahasan ke dalam 40 bahasa di dunia.
Buku ini menceritakan eksploitasi dan penindasan kolonial Belanda terhadap warga pribumi Indonesia yang dipublikasikan tanpa sepengetahuan penulisnya pada 1860. Akibatnya Multatuli yang aslinya bernama Eduard Douwes Dekker dianggap pengkhianat oleh Belanda sehingga harus mengungsi ke Jerman.
Museum Multatuli cuma ada dua di dunia, yaitu Amsterdam (Belanda) dan Rangkasbitung (Banten). Cerita selengkapnya bisa dibaca di laman blog rekan saya, Bayu Fitri.
Ngomong-ngomong soal koleksi museum, orang-orang awam yang jarang masuk museum mungkin menganggap koleksi museum, khususnya museum sejarah itu ya sama saja. Ada senjata-senjata tradisional, seperti keris, badik, rencong, celurit, golok, atau parang salawaku.
Ada juga diorama perjuangan rakyat yang menceritakan perang melawan penjajah. Benda-benda peninggalan sejarah, seperti lukisan, foto, potongan rambut, jubah kebesaran, topi, catatan-catatan, puisi, sampai tengkorak manusia sekali pun. Semuanya tampak sama, tidak ada yang istimewa bagi orang awam.
3. Kita gak tahu apa yang kita lihat
Waktu saya masuk ke sebuah museum berisi lukisan, pada satu titik saya dibingungkan dengan beberapa lukisan abstrak yang bikin saya ngantuk. Hehehe. Ya habisnya saya gak ngerti saya tuh lihat apa sih?
Mungkin yang gila seni dan mengerti lukisan modern atau kontemporer bisa mendeskripsikan pesan pelukisnya. Nah, kalo emak kayak saya yang ngertinya cuma bedain jahe, kencur, sama temulawak? Ya mana ngerti soal lukisan abstrak. Paling cuma bisa komentar soal degradasi warnanya yang bagus.
Kalau begitu, apa dong yang membuat museum bisa terkesan istimewa? Jawabannya adalah NARASI. Yups, sekiranya ada yang bisa menjelaskan kisah di balik koleksi-koleksi museum tersebut pasti kita lebih bersemangat menjelajahinya, gak sekadar datang, masuk, keliling, selfie, trus pulang. Sayangnya kebanyakan museum membebaskan pengunjung bergerak sendiri tanpa cukup pemandu.
4. Tiket masuknya kemahalan
Waktu saya masuk ke Museum Puri Lukisan di Ubud, saya membayar tiket masuk Rp 75 ribu per orang. Sekiranya saya gak kepo duluan cari info museumnya, mungkin saya ogah masuk ke sana.
Untung saja Museum Puri Lukisan itu worth it banget buat dikunjungi. Penyajiannya sangat informatif. Pengunjung gak cuma lihat lukisan, tapi juga mengetahui cerita di balik lukisan tersebut yang disajikan dalam tiga bahasa, Indonesia, Inggris, Cina. Keren banget.
Ada empat galeri besar dengan tiga aliran berbeda. Pertama, aliran Ubud yang naturalis dan realis. Kedua, aliran Baruan yang umumnya dilukis hitam putih dengan tinta cina dan kertas. Ketiga, aliran Sanur yang terinspirasi dari makhluk-makhluk laut juga binatang.
Saya juga pernah main ke National Museum of Singapore. Harga tiket masuknya 15 dolar Singapura atau kalau sekarang setara Rp 170 ribu lah ya. Itu museumnya keren banget dan sudah pakai teknologi macem-macem.
Ada alat khusus, menyerupai GPS dan headset yang kita pakai, kemudian alat itu akan memandu kita berkeliling museum, sesuai rute yang dipilih. Jadi, kita mendengarkan suara pemandu wisatanya melalui alat tersebut. Mau pengunjung ramai sekali pun, gak bakal ada tuh yang desak-desakan, sebab rutenya banyak dan tentunya gak semua pengunjung memilih rute sama kan?
5. Harga barang di toko suvenir dan makan di kafe museum kadang lebay
Museum-museum sekarang rata-rata sudah punya toko suvenir buat beli oleh-oleh. Mau itu museum sejarah, museum seni, museum pendidikan, museum 3D, dan sebagainya. Pengen sih kita beli kenang-kenangan di sana, apakah itu 1-2 lembar kartu pos, mug, atau boneka maskot museum. Sayangnya harganya itu loh, terlalu lebay, kadang gak wajar alias kemahalan.
Mug dengan tulisan nama museum saja dijual Rp 50 ribu per pcs. Harga selembar kartu pos bisa Rp 25 ribu. Aduh, emak mana yang gak galak pengen nawar? Hehehe.
Kita juga kadang ragu mau makan di kafe atau restorannya. Sepiring nasi goreng bisa dihargai Rp 60 ribu, plus teh manis hangat Rp 15 ribu. Syukurlah museum-museum yang tiket masuknya di atas Rp 50 ribu sekarang mulai menyediakan fasilitas freemium, seperti tiket masuk sudah termasuk minuman gratis yang bisa ditukarkan di kafetaria atau restoran museum. Minimal kita gak kehausan lah ya setelah berkeliling.
6. Museumnya sudah ada di Google
Saya cukup kaget dengan proyek kreatif Google, yaitu Google Art & Culture. Kita bisa berwisata ke berbagai landmark kota, galeri seni, tak terkecuali museum di seluruh dunia tanpa harus datang secara fisik ke sana.
Alhasil saya pernah jalan-jalan naik ke puncak Monas tanpa perlu antre. Aplikasi ini memungkinkan kita menjelajah dan berkeliling museum cukup dari ponsel saja. Hebat ya? Gak perlu beli tiket masuk lagi. Gambarnya pun beresolusi tinggi, persis seperti melihat langsung di lokasi. Hanya saja yang kurang seru adalah kita gak bisa berfoto di lokasi.
7. Museum terlalu berisik saat weekend
Namanya juga weekend, hari liburan keluarga. Wajar banyak orang tua mengajak anaknya berwisata ke museum. Apalagi jika ada study tour atau kunjungan sekolah, makin berisik lagi tuh museum. Kita jadinya gak nyaman.
Ya namanya juga anak-anak, mereka mana mau tahu aturan dilarang ribut di museum. Sudah dibilangin sekali pun sama orang tua atau gurunya, anak-anak tetap akan main kejar-kejaran, berlari, menjerit, berteriak memanggil temannya, atau mengganggu temannya.
8. Orang-orang datang cuma buat selfie
Miris sih, tapi ya itu hak masing-masing orang. Kebanyakan pengunjung museum saat ini, apalagi yang ngakunya anak milenial cuma datang buat ber-selfie ria. Mereka berkumpul di salah satu sudut museum dengan obyek yang menurut mereka paling Instagramable, kemudian berfoto di sana.
Mereka bawa pengetahuan apa begitu keluar dari museum? Mungkin ilmu yang didapat segelintir saja karena mereka lebih banyak bawa koleksi foto.
Supaya Anak Menikmati Kunjungan ke Museum
Kunjungan ke museum berarti kita memberikan pengalaman pendidikan informal untuk anak. Kelak anak-anak kita memiliki keterampilan melakukan studi sosial, sebab selama kunjungan pastinya mereka mengajukan sederet pertanyaan, mendapatkan banyak informasi di museum, dan pada akhirnya menarik beberapa kesimpulan.
Anak yang mengunjungi museum bisa mengembangkan kemampuan berpikir kritis plus semakin terampil berliterasi. Trus, gimana caranya supaya anak-anak kita menikmati kunjungan ke museum?
1. Sebelum kunjungan
Pilih dulu museum yang hendak kita kunjungi. Jelajahi laman website resmi yang biasanya memberi informasi lengkap tentang museum.
Salah satu informasi yang akan kita jumpai di laman website resmi biasanya terkait dengan isi museum. Orang tua bisa memperkirakan apa saja topik yang bisa didiskusikan dengan anak ketika berada di sana. Kita tentunya harus lebih siap dibanding anak, sebab anak biasanya akan mengajukan begitu banyak pertanyaan.
2. Saat kunjungan
Kita bisa menghampiri staf museum atau mungkin minta didampingi pemandu untuk memperkaya informasi yang sebelumnya diperoleh dari laman website resmi museum. Diskusikan hal-hal kunci dengan anak. Kapan museum didirikan? Apa saja koleksinya? Berapa jumlah total koleksinya? Apa saja koleksi museum yang paling berharga? Dan sebagainya.
Museum menyediakan banyak ruang untuk anak-anak belajar, bereksperimen, merefleksi sejarah, menggali kreativitas dan inspirasi. Anak-anak pada akhirnya mendapat pemahaman lebih luas tentang sejarah masa lalu, apakah itu sejarah perang kemerdekaan, sejarah pahlawan, sejarah budaya, atau sejarah seni.
Museum adalah tempat paling tepat untuk menstimulasi minat anak di bidang sejarah, seni, dan sains. Saat anak-anak datang ke museum bersama orang tua atau keluarga besar, mereka menghabiskan waktu berkualitas bersama orang-orang tersayang, saling berkomunikasi membahas topik tertentu, dan mengukir kenangan.
3. Setelah kunjungan
Anak-anak pastinya semakin tertarik berkunjung ke museum dengan menyiapkan kegiatan menarik lainnya. Orang tua bisa melanjutkan perjalanan menuju pantai, waterpark, atau makan makanan kesukaan anak di sebuah restoran selepas kunjungan.
Sebagai ibu dari puteri berusia hampir empat tahun, saya percaya mengajak anak kita ke museum sejak dini akan memupuk rasa ingin tahu anak. Intelektual anak kita semakin tumbuh dan berkembang.
Kunjungan pertama kami ke museum ketika Maetami masih berusia setahun. Saat masih menetap di Bali, kami pun telah mengunjungi sejumlah museum.
10 Museum di Bali yang Menarik untuk Dikunjungi
Jangan bilang malas pergi ke museum jika kalian belum bertandang ke sejumlah museum di Bali. Pulau Dewata memang surganya museum seni dan sejarah. Saya dan keluarga biasanya memadukan kunjungan ke museum dengan jalan-jalan ke taman kota, persawahan, kebun raya, kolam pancing, mall, dan sebagainya.
Saat ini bermunculan fenomena museum tiga dimensi, juga upside down museum yang bisa juga disebut museum foto. Keberadaan museum-museum modern yang dikelola swasta ini memang menyasar pengunjung yang doyan selfie. Namun, saya mungkin akan membahas lebih lanjut jenis museum ini di postingan lainnya. Berikut saya rekomendasikan 10 museum menarik di Bali.
1. Museum Puri Lukisan
Ingin tahu budaya Bali sejak zaman kerajaan tempo dulu? Datanglah ke Museum Puri Lukisan di Ubud.
Pengunjung seakan diajak berpetualang menjelajahi seni dan budaya Bali secara bertahap. Ada empat galeri besar menyajikan lukisan klasik hingga modern, yaitu Galeri Pitamaha, Galeri Ida Bagus Made, Galeri Wayang, dan Galeri Pendiri Museum Puri Lukisan.
Museum Puri Lukisan diinisasi perkumpulan seniman bernama Pitamaha pada 1936. Mereka terdiri dari Tjokorda Gde Agung Sukawati (Raja Ubud), Walter Spies (pelukis asal Jerman, 1895-1942), dan Rudolf Bonnet (pelukis asal Belanda, 1895-1978).
Misi yang mereka usung adalah melestarikan seni tradisional dan modern dari Bali. Museum ini buka setiap hari pukul 09.00-18.00 WITA. Harga tiket masuknya Rp 75 ribu per orang.
2. Museum Geopark Batur
Museum Geopark Batur terletak di Kintamani. Museum ini diresmikan April 2016 dan dikenal juga dengan nama Museum Gunung Berapi Batur.
Kita akan belajar tentang aktivitas vulkanologi terkini dari Gunung Api Batur. Ada pemutaran film edukasi seputar gunung sakral masyarakat Bali.
Museum ini menyajikan koleksi geodiversity, seperti material letusan Gunung Api Batur dan material gunung berapi lainnya di Indonesia. Ada setidaknya 33 lokasi geopark di Tanah Air dan museum ini yang pertama kali memakai konsep geopark. Tiket masuk Museum Geopark Batur Rp 20 ribu per orang.
3. Museum Blanco Renaissance
Semua obyek wisata seni di Ubud selalu memesona, tak terkecuali Museum Blanco Renaissance. Museum ini diinisiasi seniman keturunan Spanyol dan Amerika bernama Antonio Maria Blanco. Karya-karyanya dipengaruhi pelukis besar dunia, seperti Paul Gaugin dan Jose Miguel Covarrubias.
Blanco berlabuh di Bali pada 1952. Ia menikah dengan penari Bali bernama Ni Ronji yang kemudian menjadi obyek lukisan utamanya. Pasangan ini dianugerahi empat orang anak, yaitu Tjempaka, Mario, Orchid dan Mahadewi.
Lukisan wanita-wanita cantik adalah ciri khas karya Blanco. Lebih dari 300 lukisan menghuni museum ini. Hal lain yang membuat museum ini menarik adalah beberapa jenis satwa langka, seperti jalak bali dan rangkong dilestarikan di lingkungan museum. Jadi, ada fungsi konservasinya. Keren kan?
Tiket masuk Museum Blanco Rp 30 ribu per orang. Museum ini buka setiap hari, pukul 09.00 – 17.00 WITA.
4. Museum Pasifika
Museum Pasifika adalah museum berkelas dunia yang terletak di Nusa Dua. Museum ini didirikan seorang Prancis, Philippe Augier pada 2006. Ia menggandeng seniman Bali, Popo Danes.
Kurang lebih 600 koleksi seni dan budaya terpajang di museum ini, seperti lukisan dan patung dari negara-negara di Asia Pasifik. Koleksi Raden Saleh, Master Lempad, Affandi, dan Hendra Gunawan ada juga di sini loh.
Museum Pasifika pernah dikunjungi lebih dari 300 menteri dan 80 duta besar dari berbagai negara di dunia. Tiket masuknya Rp 50 ribu per orang untuk wisatawan lokal dan Rp 75 ribu per orang untuk wisatawan asing.
5. Museum Bajra Sandhi
Museum Bajra Sandhi terletak di dalam Monumen Bajra Sandhi, Kota Denpasar. Monumen ini dibangun 1987 dan merupakan karya dari arsitek Bali, Insinyur Ida Gede Yadnya.
Museum terletak pada lantai kedua yang menyajikan total 33 diorama perjuangan rakyat Bali masa perang kemerdekaan, khususnya Perang Puputan. Monumen Bajra Sandhi buka setiap hari, kecuali hari-hari besar atau libur resmi.
Sepanjang Senin-Jumat, monumen ini buka pukul 08.30-17.00 WITA. Sabtu dan Minggu buka pukul 09.30-17.00 WITA.
Wisatawan lokal cukup membayar tiket Rp 25 ribu per orang. Khusus pelajar dan mahasiswa hanya lima ribu rupiah per orang, sementara anak TK dua ribu rupiah per orang.
6. Museum Kerang
Kalo main ke Kuta, jangan cuma ke pantai aja dong. Pasti banyak yang belum tahu bahwa di Kuta ada Museum Kerang atau Bali Shell Museum. Musem ini bisa menjadi alternatif wisata edukasi di mana anak-anak belajar banyak hal tentang hewan laut lunak bercangkang ini.
Bali Shell Museum merupakan museum kerang pertama di Indonesia. Ada lebih dari 10 ribu jenis koleksi kerang tersimpan rapi di sini. Ada kerang yang berusia ratusan tahun bahkan sudah menjadi fosil. Tiket masuknya Rp 50 ribu per orang untuk dewasa dan Rp 30 ribu per orang untuk anak-anak.
7. Museum Bung Karno
Puteri Prokalamator RI, Megawati Soekarnoputri meresmikan langsung Museum Bung Karno pada November 2015 di Denpasar. Gedung yang juga berfungsi sebagai perpustakaan ini bisa menjadi tempat belajar masyarakat tentang Presiden Soekarno. Perjalanan hidupnya yang heroik, hingga ketangguhan Bung Karno menjalankan prinsip hidup bisa diketahui di sini.
Museum Bung Karno buka setiap hari selain hari libur nasional, pukul 09.00-17.00 WITA. Tiket masuknya Rp 25 ribu per orang untuk wisatawan domestik dan Rp 50 ribu per orang untuk wisatawan mancanegara.
8. Museum Neka
Museum Neka atau Neka Art Museum terkenal karena menyimpan koleksi lukisan dari Affandi, maestro lukis kenamaan Indonesia dengan aliran ekspresionisme. Lebih dari 400 karya seni siap memuaskan mata kita di sini.
Hal menarik dari museum ini adalah penataan lukisannya sangat kronologis. Mula-mula kita akan melihat lukisan-lukisan klasik, hingga lukisan kontemporer.
Lingkungan sekitar museum ini juga rimbun, sehingga ada unsur rekreasi alamnya. Museum Neka buka Senin-Sabtu, pukul 09.00-17.00 WITA, serta Minggu pukul 13.00-17.00 WITA. Tiket masuknya Rp 75 ribu per orang, sedangkan anak-anak di bawah 12 tahun gratis alias free.
9. Museum Sidik Jari
I Gusti Ngurah Gede Pemecutan tak sengaja menemukan teknik melukis baru, yaitu menggunakan sidik jari. Suatu hari seniman ini marah besar karena hasil akhir lukisan Tari Baris miliknya tak memuaskan. Pelukis kelahiran 1936 ini kemudian merusak lukisannya sendiri dengan jari jemarinya.
Museum yang terletak di Jalan Hayam Wuruk Nomor 175, Tanjung Bungkah, Denpasar ini menampung lebih dari 649 lukisan. Ngurah menetapkan dirinya sebagai pelukis aliran pointilisme, gaya melukis dengan menyatukan titik-titik sebagai elemen dasar sebuah lukisan.
Sebagian besar pelukis pointilisme menggunakan kuas untuk membentuk titik. Ngurah punya cara berbeda, yaitu menggunakan telunjuk. Sidik jari Ngurah sesekali membekas di kanvas lukisnya. Ini pula yang membuat karya seni Ngurah tak bisa dipalsukan.
10. Museum Le Mayeur
Le Mayeur adalah seniman kelahiran Brussel yang datang dari Eropa ke Pulau Dewata pada 1932 melalui jalur laut. Pria bernama lengkap Adrian Jean Le Mayeur de Merpras ini memilih Denpasar sebagai tempat menetap. Ia menyewa rumah sederhana di Banjar Kelandis.
Suatu hari Le Mayeur bertemu Ni Polok, seorang penari legong cantik dari Banjar Kelandis. Ia terpikat akan keanggunan dan pesona sang penari, kemudian membuat banyak lukisannya.
Le Mayeur dan Ni Polok kian dekat dan memutuskan menikah pada 1935. Le Mayeur menyisihkan sebagian hasil penjualan lukisannya untuk membeli tanah seluas 32 are di Pantai Sanur. Pada 28 Agustus 1957 berdiri Museum Le Mayeur yang sampai saat ini dikenal sebagai bengkel pengembangan seni lukis di Bali.
Tiket masuk Museum Le Mayeur adalah Rp 10 ribu (dewasa) dan lima ribu rupiah (anak). Museum yang berlokasi di Jalan Jang Tuah, Sanur Kaja ini buka setiap hari, kecuali hari libur, pukul 08.00-16.00 WITA.
Sekarang pastinya sudah pada tahu dong, gak selamanya masuk museum itu membosankan. Begitu pandemi corona ini berakhir, salah satu cara merayakannya adalah berkunjung ke museum-museum menarik bersama keluarga.
Kalian sudah pernah berkunjung ke museum apa saja? Ditunggu ceritanya di kolom komentar ya. Terima kasih.
Leave a Comment