Saya kembali terkenang pertama kali masuk kuliah Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB dulu. Mahasiswa kala itu belum ada penjurusan sama sekali. Saya dan teman-teman yang kurang lebih 4.000 mahasiswa angkatan 42 atau kelas 2005 adalah generasi pertama yang menguji coba sistem baru ini.
Setahun pertama belajarnya ya kurang lebih sama seperti di SMA. Kami masih berkutat dengan Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, praktikum di laboratorium, bahkan olah raga di gymnasium.
Tahun berikutnya baru deh kami bisa memilih jurusan yang diinginkan. Jika nilai bagus, kami bisa masuk jurusan yang menjadi pilihan pertama dalam list. Jika nilai pas-pasan, atau bahkan banyak mata kuliah dasar yang harus diulang, ya siap-siap IPB sendiri yang akan memilihkan jurusan untuk kita.
Jumlah mahasiswa di kelas saya (B2) terbilang banyak, 80 orang mungkin ada. Kuliah pertama kami adalah Pengantar Matematika dan ruang kuliahnya di Gedung LSI, persis di samping perpustakaan IPB.
Mahasiswa-mahasiswa baru ramai sekali masuk kelas waktu itu. Tempat duduknya acak, gak ada tuh pakai tek-tek-an teman sebangku, apalagi meja ditulisin nama pakai tipe-x. Hehehe.
Tempat duduk di Gedung LSI persis seperti bioskop, bertingkat, dan kursinya warna merah. Saya duduk empat tingkat dari atas. Di sebelah saya seorang mahasiswa, lupa saya persisnya siapa, tapi kalo gak salah sih Si Fuad, yang belakangan juga menjadi teman sejurusan di KSHE. (PS: Fuad, kalo lo baca, bener gak sih lo yang duduk samping gw pas kita PM di LSI dulu? Hehehe). Di samping kiri saya teman sekamar saya di asrama. Namanya Riska yang berasal dari Cicalengka, Jawa Barat.
Sebelum perkuliahan dimulai, kami semua berkenalan. Saya excited banget kenalan sama teman-teman sekelas dari berbagai daerah di Indonesia. Satu hal yang ‘sempat’ membuat saya tersinggung adalah manakala beberapa teman lelaki menolak salaman tangan dengan saya. Sebagai gantinya mereka menangkupkan kedua belah telapak tangannya di depan dada, sambil menyapa dan memperkenalkan diri.
Kok tersinggung sih?
Iyaaa, jujur saya gak familiar dengan salaman seperti itu. Sejak kecil sampai SMA saya terbiasa jabat tangan sama siapa saja. Rasanya ditolak salaman itu gimanaaa gitu. Dalam hati saya sempat mikir, “Ini orang gak mau ya temenan sama gw?” Pernah juga saya mikir, “Jilbab gw kan biasa-biasa aja, gak panjang. Gw juga gak pake cadar. Kenapa salamannya ama gw begitu?”
Semakin lama tinggal di Bogor akhirnya saya akrab dengan salaman tanpa jabat tangan dengan lawan jenis. Kalo sesama perempuan, jabat tangan, cipika cipiki, trus pelukan.
Singkat cerita kepada pembaca saya mohon abaikan pemikiran dangkal emak waktu masih berumur belasan tahun dulu ya. Sekarang kita balik ke kondisi sekarang di mana pada masa karantina #dirumahaja ini kita diimbau melakukan social distancing, yaitu diam di rumah, menjaga jarak dengan orang lain, serta meminimalisir kontak fisik dengan orang luar, apakah itu tetangga, kerabat dekat, kerabat jauh, rekan kerja, kang sayur langganan di pasar, kang galon, dan lainnya.
Jabat tangan saat ini bisa membuat kita terkontaminasi penyakit menular, yaitu COVID-19 atau Corona Virus Disease 2019. Jabat tangan sekarang diganti dengan alternatif lain, khususnya senyum atau anggukan kepala.
Jabat Tangan Sebarkan Penyakit?
Jabat tangan atau salaman sudah menjadi budaya di negara kita. Jabat tangan sebentuk tanda rasa hormat, simbol kesepakatan antara dua pihak atau lebih. Namun, dalam dunia kedokteran, terutama di kalangan dokter bedah yang sering melakukan operasi, tangan manusia menyimpan banyak sekali mikroorganisme yang menyebabkan penyakit.
Baca Juga: Lindungi Keluarga dari Virus Corona
Nah, apa saja penyakit yang bisa ditularkan melalui salaman atau jabat tangan dengan tangan yang tidak bersih?
1. Kolera
Kolera adalah penyakit menular diakibatkan makanan atau air yang mengandung kuman atau bakteri. Kolera juga bisa ditularkan melalui tangan yang terkontaminasi.
Kolera yang menyebabkan diare pada anak-anak dan orang dewasa berasal dari bakteri bernama Vibrio cholerae. Risiko terbesar penyakit ini terjadi di daerah padat penduduk, terutama yang sumber air minumnya kurang bersih.
Saya masih ingat masa kecil saat ibu sedang sibuk di dapur, sementara saya hendak berangkat sekolah. Ibu kadang membersihkan ikan, atau baru saja memegang sampah dapur. Beliau akan menolak salaman dengan saya, kemudian diganti dengan cium pipi.
Ibu saya rajin banget mandi pagi. Setelah Subuh beliau langsung byar byur di kamar mandi. Sesekali jika beliau belum mandi saat saya berangkat sekolah, ibu juga menolak saya cium. Ibu sadar bahwa kondisi tangan atau wajahnya sedang kotor, sehingga tidak baik bersentuhan langsung dengan anaknya.
2. Infeksi
Waktu kecil saat kaki kita luka, ayah dan ibu selalu melarang kita menyentuh luka tersebut dengan tangan. Mikroorganisme penyebab penyakit sangat mudah ditranser dari kulit tangan. Ini bisa menyebarkan infeksi di saluran pernapasan dan kulit, menyebabkan cacingan, hepatitis, ebola, hingga penyakit diare.
Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir dapat mencegah kematian akibat diare, terutama di kalangan anak balita hingga 23 persen.
3. Ebola
Kolera bisa dicegah dengan mengubah perilaku, seperti meminimalisir jabat tangan atau disiplin mencuci tangan pakai sabun. Wabah ebola yang menyerang Afrika Barat 2014 lalu membuat orang-orang di negara tersebut berhenti jabat tangan. Sebagai gantinya mereka menggunakan Ebola Elbow Shake, atau salaman sikut.
Salaman sikut baru-baru ini dipraktekin tuh sama Ibu Menteri Keuangan, Sri Mulyani dan Pak Jusuf Kalla saat bertemu di Istana Medan Merdeka.
Asosiasi Kesehatan Ghana dan Otoritas Kesehatan Uganda juga mengingatkan rakyatnya untuk menghindari jabat tangan dan menggantinya dengan gaya lain. Jika orang-orang berhenti salaman dan disiplin mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, maka transmisi kuman bisa diminimalisir.
4. Corona
Corona memang menyebar melalui percikan kecil (droplet) air liur yang melayang di udara saat seseorang batuk, bersin, atau berbicara. Inilah kenapa kita diharuskan rajin mencuci tangan begitu berinteraksi dengan orang lain, khususnya di keramaian.
Baca Juga: Jambu Biji Mengobati Corona
Corona ternyata tak cuma menular lewat droplet saja, melainkan juga sentuhan, seperti jabat tangan. Saat kita berjabat tangan, apalagi salaman dengan orang sakit, mikroorganisme dari orang yang kita salami akan berpindah kepada kita.
Hindari risiko infeksi corona dengan menahan diri dulu untuk tidak salaman dengan jabat tangan.
Budaya Jabat Tangan akan Punah?
Sekitar 1439 wabah pes atau bubonic plague pernah melanda Inggris. Raja Henry VI melarang cium pipi yang membudaya kala itu, kemudian menggantinya dengan jabat tangan.
Pangeran Charles belakangan juga positif COVID-19. Puteranya, Pangeran William sementara mengambil alih kendali Kerajaan Inggris. Duh, sedihnya saya mendengar kabar ini kemarin.
Salah satu penyebaran virus corona saat ini melalui jabat tangan. Akankah budaya ini akan punah, seperti di Afrika Barat?
Tim kriket Inggris sebelum wabah ini meluas mengganti jabat tangan dengan fist bump atau kalau dalam bahasa kita salaman tinju. Kanada mengganti jabat tangan dengan salaman siku, sedangkan Cina dan Iran menggantinya dengan salaman kaki atau disebut Wuhan Shake.
Ciuman juga menjadi budaya di Prancis. Sejak virus corona menjadi pandemi, pemerintah setempat melarang seluruh rakyatnya untuk tidak berciuman.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dalam pidatonya di Gedung Putih beberapa waktu lalu mengimbau warga Amerika menghentikan kebiasaan jabat tangan. Trump mengakui tradisi ini sudah seperti refleks alami, namun untuk sekarang setidaknya perlu ditinggalkan.
Saya pun sejak kecil sudah dibiasakan kedua orang tua mencium tangan guru, kakek, nenek, paman, bibi, dan orang-orang yang lebih tua. Kebiasaan ini bahkan saya wariskan ke anak-anak saya. Baru lah 2019 saya mendengar pengajian dari ustaz saya di Bali yang mengatakan tidak ada keharusan anak kecil harus mencium tangan orang yang lebih tua demi alasan kesehatan.
Jadi, pak ustaz menganjurkan kami orang tua tidak lagi menyuruh anak-anak mencium tangan orang lain. Ada banyak gerakan alternatif untuk menunjukkan rasa hormat anak kepada yang lebih tua. Huhuhu, terlambat ya saya praktiknya.
Professor Sheryl N Hamilton dari Carleton University, Kanada dalam penelitiannya bersama antropolog, Neil Gerlach Hamilton mengatakan manusia saat ini hidup di era kesadaran penyakit yang semakin tinggi. Beliau memperkenalkan istilah pandemic culture atau budaya pandemi. Ini mengubah cara kita menahan diri di tempat umum dan berinteraksi satu sama lain dengan cara lebih halus.
Dalam keseharian kita, setiap permukaan benda yang kita sentuh nyaris mengandung mikroba. Meski salam siku, salam kaki, atau fist bump bisa menggantikan jabat tangan, Hamilton menilai lebih bagus lagi jika itu dilakukan dengan cara-cara non-kontak fisik, seperti senyum ramah atau anggukan kepala tanda hormat.
Pandemic culture bisa berdampak pada interaksi manusia pada acara-acara besar, misalnya Tahun Baru Imlek, Natal, atau Idul Fitri di mana orang-orang biasanya akan saling berkunjung ke rumah sanak saudara. Wabah corona di Indonesia diperkirakan masih berlanjut hingga Idul Fitri, sekitar pertengahan Mei 2020. Jelas kita harus mengutamakan logika di atas budaya di mana salaman dengan jabat tangan sementara perlu dihindari.
Baca Juga: Corona Bikin Emak Pening Kepala. Ini Dia Tugas Ekstra Ibu Selama Karantina di Rumah
Sayangnya menahan diri dari budaya yang sudah menjadi kebiasaan itu lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan. Apalagi salaman dengan jabat tangan ini sudah dikenal ribuan tahun lalu loh. Secara otomatis dan spontan kita biasanya tetap salaman dan jabat tangan dengan orang lain, setidaknya sama orang tua kita.
Jabat tangan adalah isyarat membangun hubungan positif antara dua orang. Salaman sejak lama menjadi penyambung lidah dari niat baik dan hati tulus kita. Jadi, makna salaman itu dalam sekali ya.
Bisa dibayangkan kelak di Indonesia, anak-anak tidak lagi mencium tangan ayah ibunya atau gurunya. Sesama peserta seminar dan lokakarya tidak lagi saling jabat tangan ketika berkenalan. Pose foto jabat tangan akan hilang setelah penandatanganan kerja sama dua perusahaan atau dua pemerintah negara.
Saya sendiri ke depannya mungkin lebih memilih mengganti jabat tangan dengan menangkupkan tangan di dada. Persis seperti yang dilakukan teman-teman lelaki saya di Bogor dulu. Yaaa mirip gerakan namaste ala India gitu. Hehehe. Saya berharap semua yang kenal saya dapat memaklumi. Gak salaman bukan berarti kita gak temenan, kawan.
Respons global sendiri bagaimana ya? Mungkin saja pelan-pelan budaya jabat tangan akan berkurang. Namun, saya lebih curiga salaman dengan jabat tangan pada akhirnya akan kembali ada setelah virus corona menghilang. Mari kita lihat setelah pandemi ini berakhir.
Leave a Comment