Ibu atau ayah pasti mempunyai satu anak kesayangan, meski yang namanya orang tua tentu saja menyayangi semua anaknya. Kita jarang mengakui, apalagi membiarkan anak-anak kita mengetahuinya. Jika itu terjadi, kita pasti dihantui rasa bersalah, bahkan mencap buruk diri sendiri.
Orang tua pernah menjadi anak-anak juga, bukan? Waktu kecil kita mungkin pernah merasa ayah atau ibu kita lebih sayang pada kakak atau adik kita. Jangan-jangan kita pernah menilai orang tua kita pilih kasih. Padahal kan aslinya tidak begitu?
Pilih kasih gak ada hubungannya sama rasa sayang orang tua ke anak. Ini lebih kepada kepribadian kita memandang kepribadian orang lain. Namun, kok tetap saja ya kita merasa orang tua pilih kasih?
Saya dan adik saya waktu kecil dulu menyadari bahwa saya adalah anak kesayangan ayah, sementara adik saya adalah anak kesayangan ibu. Sering kali kami berdua bekerja sama jika menginginkan sesuatu. “Teta (panggilan kakak oleh adik saya), teta aja deh yang minta izin ke ayah, pasti deh ayah bolehin kita jalan.” Pada kesempatan lain saya berkata pada adik saya, “Dek, adek aja yang minta ke ibu, pasti dibeliin.”
Sampai di sini kayaknya udah ada yang mulai senyum-senyum sendiri nih. Pernah mengalami hal sama ya? Kita merasa orang tua kita sudah terkena SINDROM FAVORITISME ANAK. Ayah atau ibu selalu luluh sama Si A, tapi tetap tangguh menghadapi Si B.
Saya pernah membaca hasil survei Mumsnet dan Gransnet, situs jejaring sosial terkemuka asal Irlandia untuk ibu-ibu muda, dan kalangan dewasa tua berusia 50 tahun ke atas. Survei tersebut mengungkap hampir 25 persen ibu, dan lebih dari 25 persen kakek nenek mengakui mereka punya anak atau cucu kesayangan. Meski ibu-ibu tersebut menyebut mereka tak pilih kasih, tapi satu dari lima ibu mengatakan anak-anaknya berpikir demikian.
Kira-kira faktor apa sih yang membuat seorang anak bisa menjadi anak atau cucu kesayangan?
Sebanyak 23 persen ibu mengatakan si anak adalah anak laki-laki satu-satunya, sementara 15 persen ibu mengatakan si anak adalah anak perempuan satu-satunya.
Lebih dari 56 persen kakek nenek mengatakan mereka lebih sayang pada cucu paling kecil, sementara 39 persen kakek nenek mengatakan mereka lebih sayang pada cucu paling besar.
Salahkah Punya Anak Kesayangan?
Saya tak akan pernah lupa beberapa jam setelah operasi sesar 29 Januari 2019, dua orang suster membawa si kembar ke kamar rawat inap saya. Salah seorang suster berkata, “Kakaknya (Rashif) lebih aktif dari adiknya (Rangin) bu. Nangisnya juga paling kenceng. Kayaknya ibu bakal lebih repot ngurus si kakak.”
Ucapan suster itu secara tak langsung memberi tahu saya bahwa Rashif akan menyita lebih banyak perhatian saya dibanding Rangin. Sejak hari itu dalam hati saya berjanji saya gak akan membiarkan itu terjadi.
Bagaimana pun, si kembar akan sama-sama mendapat perhatian saya. Mereka berdua adalah anak-anak saya, darah daging saya. Saya tak mungkin lebih peduli salah satu, dan cuek pada yang lain. Pokoknya saya akan membagi perhatian untuk mereka berdua seadil-adilnya.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, saya dan suami sama-sama belajar menyesuaikan diri sebagai orang tua dari tiga bayi sekaligus, dua bayi kembar dan satu batita. Tanpa disadari saya mendapati diri saya memang lebih dominan mengurus Rashif ketimbang Rangin.
Rangin adalah bayi anteng, jarang rewel, jarang nangis, gak neko-neko. Pokoknya saya itu gak merasa punya dua bayi deh. Rangin dan Kakak Maetami itu seperti dua anak seumuran yang bisa ngerti kalo dibilangin orang tua, bisa melakukan banyak hal secara mandiri.
Rashif ini manja sekali. Apa-apa nangis, apa-apa pengen dipeluk, apa-apa minta digendong, apa-apa maunya nempel melulu. Kalo dia mau mimik, meski dot susunya jelas-jelas ada di depan matanya, dia tetap gak akan mau nge-dot sendiri. Dia akan selalu minta diambilkan, baru berhenti menangis.
Ya, sebenarnya gak ada yang salah sih! Bukankah semua bayi memang begitu? Tapi kok Rangin bisa beda banget ya?
Rangin sejak 6 bulan sudah bisa nge-dot sendiri. Sejak 8 bulan, begitu udah lancar tengkurap dan mulai merangkak, Rangin jarang banget membangunkan saya tidur malam hari. Dia akan mengambil dotnya sendiri jika haus. Saya memang sengaja menaruh 1 dot berisi susu dan 1 dot berisi air putih masing-masingnya di samping si kembar.
Daya tahan tubuh si kembar juga berbeda. Setahun pertama, Rashif lebih sering terkena flu ketimbang Rangin. Mau tidak mau dia lebih sering rewel dan maunya skin to skin terus sama papa atau ibunnya.
Sekarang si kembar sudah 1 tahun. Siapa sangka kerepotan saya yang lebih dominan mengurus Rashif tanpa disadari membuat kedekatan saya dengan si abang semakin mendalam.
Refleks saya lebih peka dengan Rashif. Sehabis menyuapkan keduanya makan, saya otomatis membersihkan mulut Rashif lebih dulu. Saat keduanya serentak menangis, saya otomatis menggendong Rashif lebih dulu. Saat keduanya minta susu, saya pasti memberikan dot pertama pada Rashif.
Mungkin suami saya juga merasa hal sama terjadi padanya. Bagaimana pun kami berdua selama setahun terakhir lebih disibukkan oleh Rashif ketimbang Rangin.
Saya sadar saya harus melakukan sesuatu. Mumpung mereka masih bayi, belum kenal kata jealous. Saya gak boleh terus begini. Saya harus berusaha menyeimbangkan waktu untuk mereka berdua.
Saya sangat bersyukur hampir sebulan terakhir neneknya kembar (ibu saya) datang ke Bali menemani saya. Selama itu pula saya menghabiskan lebih banyak waktu bersama Rangin.
Rashif hampir sebulan terakhir selalu tidur dengan neneknya. Nenek dengan senang hati ngelonin Rashif, termasuk waktu Rashif rewel di malam hari. Saya ngelonin Rangin, lebih sering gendong dia, lebih sering cium dia, lebih sering bercanda sama dia.
Apakah punya anak kesayangan menjadikan kita orang tua yang buruk? Psikolog dan penulis buku Parenting the New Teen in the Age of Anxiety, John Duffy mengatakan orang tua yang memperlakukan satu anak lebih istimewa dari anak lainnya lama kelamaan bisa mempersulit hubungan sesama saudara kandung. Adik beradik bisa gak saling support satu sama lain ketika mereka mengalami masalah kala dewasa. Jika terus berlanjut, hubungan sesama saudara kandung bisa retak.
Orang tua juga manusia. Kita gak bisa berlaku adil yang seadil-adilnya sebab kita dibekali hawa nafsu dan segudang keinginan. Meski demikian, demi anak, kita harus berusaha menjadi yang terbaik untuk mereka semua tanpa membedakan satu sama lain.
Bagaimana Cara Mengatasinya?
Caranya adalah menebar cinta untuk semua orang dalam keluarga, tak peduli pada suami atau istri kita, juga anak-anak kita. Kita juga harus menentukan batasan dan aturan di rumah.
Saya mungkin belum bisa menerapkan hal ini secara tegas pada putera-puteri saya mengingat mereka masih bayi. Puteri saya bahkan belum berusia 4 tahun. Meski demikian, cara-cara ini kelak harus saya terapkan seiring bertambahnya usia mereka.
1. Akui saja, tak perlu menyangkal kita punya anak kesayangan.
Faktanya kita memang punya anak kesayangan, akui saja itu. Ini adalah langkah awal supaya kita sukses menghadapi sindrom favoritisme anak. Pengakuan ini tentu saja buat diri kita sebagai orang tua ya, gak perlu diumumkan di depan anak, seperti Pak Soekarno membacakan Teks Proklamasi Kemerdekaan.
Jika kita sadar kita punya anak kesayangan, kita bisa mencari cara mengatasi efek buruk dari perasaan ini. Kita bisa belajar bagaimana cara mengendalikan emosi pribadi dari setiap keputusan yang kita ambil untuk anak-anak kita.
2. Buat aturan konkret, adil untuk semua.
Jika kita punya dua anak, pendekatan parenting bisa kita lakukan lebih personal. Garis dan peran kakak adik jelas di sini, tanpa kehadiran anak tengah.
Namun, jika kita punya tiga anak atau lebih, pendekatan parenting harus kita lakukan layaknya sebuah tim. Semua ikut berperan, mulai dari ayah, ibu, anak pertama, anak kedua, ketiga, dan seterusnya.
Jelaskan bahwa kita menyayangi anak-anak kita bukan hanya sebatas kata-kata, tapi juga tindakan, apakah itu perhatian, uang saku, kesempatan, semua akan diberikan sama pada waktunya.
Aturan-aturan konkret yang kita berlakukan itu jelas, misalnya anak boleh minta dibelikan sepeda baru yang lebih besar setelah berusia 7 tahun. Anak boleh punya ponsel sendiri setelah SMA. Anak boleh keluar malam tanpa harus ditemani orang tua dengan waktu terbatas setelah berumur 17 tahun. Aturan-aturan seperti itu membuat anak-anak kita belajar sabar dan mau menunggu.
3. Dapatkan dukungan keluarga besar
Berbahagia lah pasangan suami istri yang tinggal dekat dengan keluarga besarnya. Kehadiran kakek, nenek, om, tante bisa menjadi anugerah bagi anak-anak yang mungkin merasa tersisih di rumah.
Anak tengah nih, biasanya paling sering merasa dilupakan, meski kadang kita sebagai orang tua tak sadar melakukan hal itu lantaran terlalu fokus sama si sulung dan si bungsu.
4. Hargai dan hormati pilihan anak
Setiap anak punya karakter berbeda, punya kesukaan masing-masing. Jangan karena Si A lebih penurut dan Si B tidak penurut, maka Si A mendapatkan semua prioritas sebagai anak.
Nikmati apapun bentuk kebersamaan kita bersama anak. Kita tidak suka musik rock, tapi bukan berarti kita harus melarang anak kedua mendengarkan musik rock. Kita lulusan UI, tapi bukan berarti si kakak dipaksa masuk UI dan memilih jurusan yang sama dengan orang tuanya.
5. Habiskan lebih banyak waktu dengan anak yang kurang diperhatikan.
Saya bingung menuliskan judul tips kelima ini. Kesannya kok gitu sih? Tapi ya kurang lebih begitu lah. Kita harus menemukan cara untuk menghabiskan lebih banyak waktu berkualitas dengan anak yang mungkin kurang mendapat perhatian lebih.
Jangan melulu terjebak dengan suasana garing, suasana negatif, suasana sangat menantang untuk menghabiskan waktu bersama anak yang dimaksud. Jika hari ini berhasil, lakukan lagi hal sama esok hari atau lain waktu hingga rasa sayang itu terus bertumbuh dan bertambah setiap harinya.
Hubungan apapun, mau itu orang tua dengan anak, pasangan kekasih, pasangan suami istri pasti ada masa pasang surutnya. Meski kita menyukai anak-anak kita dengan cara berbeda, kita harus memastikan mereka semua menerima cinta dan pengasuhan sama dari kedua orang tuanya.
Kita perlu menuntun diri kita untuk membina hubungan lebih baik dengan semua anak, menciptakan keluarga harmoni secara fisik dan mental.
Leave a Comment