Maetami masih enam bulan saat pertama kali menunjukkan ketertarikan pada buku. Putri pertama kami pada usia itu tengah hobi memerhatikan obyek-obyek bergerak, foto, gambar berukuran besar dan berwarna-warni.
Bayi yang masih dalam masa ASI eksklusif itu tentu saja belum bisa membaca. Kami hanya ingin menumbuhkan kecintaannya pada buku, sehingga kelak Maetami menjadi generasi sadar baca. Setiap hari kami membacakannya buku cerita dan hal tersebut menjadi rutinitas sampai sekarang.
Keluarga adalah gerbang pertama literasi. Ayah saya hanya lulusan SMA, sementara ibu lulusan SD. Namun demikian, masa kecil saya dikelilingi buku karena ayah sangat hobi membaca. Beranjak remaja, minat baca saya meningkat. Buku setebal 45 halaman bisa saya lahap satu hari. Saya seperti haus akan bacaan. Namun, profesi ayah ibu yang hanya petani membuat saya tak mungkin bisa membeli banyak buku.
Saya kemudian rajin mendatangi rumah baca yang lokasinya relatif dekat dengan rumah. Sewa buku di sana masih berkisar Rp 300-500 per buku pada waktu itu. Saya menyisihkan uang belanja, bahkan memilih tidak jajan di sekolah asal bisa menyewa buku di rumah baca. Alhasil, saya bisa membaca banyak buku tanpa harus membelinya.
Buku adalah jendela ilmu, benar demikian adanya. Rajin membaca dapat meningkatkan prestasi akademik seseorang. Selama berkuliah pun, saya rutin membeli buku bacaan hingga bisa mengoleksi lebih dari 700 buku sampai saat ini.
Orang tua yang menyediakan banyak buku di rumah akan mendorong anak-anaknya hobi membaca. Kehadiran buku menginternalisasi perasaan anak bahwa ia suka membaca, sehingga anak semakin ingin mengonsumsi buku bacaan dan buku pelajaran.
Anak bisa sukses jika dibesarkan dengan banyak buku, terlepas dari status pendidikan, ekonomi, dan sosial orang tuanya. Saya mengutip sebuah penelitian dipimpin Dr Joanna Sikora dari Universitas Nasional Australia yang menunjukkan buku faktor pendorong literasi anak di masa depan.
Penelitian yang dilakukan sepanjang 2011-2015 ini melibatkan 160 ribu orang dewasa di 31 negara. Seluruh peserta ditanya jumlah buku yang mereka miliki di rumah sampai berusia 16 tahun atau lulus sekolah menengah. Mereka juga dites kemampuan literasi, termasuk di dalamnya matematika dan teknologi komunikasi informasi (IT).
Hasilnya, keterampilan remaja lulusan sekolah menengah yang tumbuh dengan banyak buku di rumah ternyata setara dengan sarjana lulusan universitas yang tumbuh hanya dengan beberapa buku saja. Remaja yang hampir tak ada buku di rumah memiliki tingkat melek huruf dan angka di bawah rata-rata. Remaja yang dikelilingi setidaknya 80 buku memiliki tingkat literasi rata-rata.
Jumlah rata-rata buku di perpustakaan rumah berbeda di beberapa negara. Anak-anak Estonia menduduki peringkat tertinggi dengan kepemilikan rata-rata 218 buku per rumah, disusul Norwegia (212 buku), Republik Ceska (204 buku), Denmark (192 buku), Rusia (154 buku), dan Inggris (143 buku). Riset ini dipublikasikan dalam Jurnal Social Science Research.
Buku menjadi bagian integral yang menumbuhkan kompetensi kognitif anak jangka panjang. Sayangnya masih banyak orang tua lupa hal itu. Mereka bisa membelikan anak-anak mainan mahal seharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah, namun jarang membelikan buku bacaan yang jauh lebih bermanfaat.
Siapapun bisa memiliki perpustakaan rumah dimulai dari mengoleksi satu buku. Perpustakaan rumah tidak memerlukan ruangan besar, cukup memaksimalkan ruang kosong dan didekorasi sesuai keinginan. Tempatnya bisa dibuat senyaman mungkin, sehingga seluruh anggota keluarga betah berlama-lama membaca di sana.
Toko buku besar dan toko buku online bukan satu-satunya tempat membeli buku untuk mengisi perpustakaan mini di rumah. Banyak bazar buku dan toko buku bekas menjual buku-buku bermutu dengan harga terjangkau, mulai dari novel, biografi, ensiklopedia, komik, atau pun berbagai buku ilmu pengetahuan. Koleksi buku pun menjadi beragam. Semua kembali lagi pada niat dan keberanian untuk memulai.
Budaya digital memang mengurangi konsumsi buku cetak. Banyak orang membaca buku digital dengan cara mengunduh lewat tablet atau kindle. Meski demikian, buku cetak masih sangat relevan di zaman sekarang. Dampak positifnya tak pernah berkurang dari waktu ke waktu. Jadi, siapa bilang buku cetak sudah ketinggalan zaman?
Orang tua bisa mendorong literasi dengan cara bermain dan mendampingi anak. Orang tua dengan anak-anak usia prasekolah misalnya bisa membacakan buku cerita, mendongeng, mengajarkan lagu-lagu anak, berpuisi, menggambar, bermain dengan huruf dan angka, serta mengajak buah hati berkunjung ke toko buku atau perpustakaan.
Orang tua adalah guru pertama sekaligus teladan bagi anak. Dengan menghadirkan perpustakaan di rumah, orang tua membantu mengembangkan literasi anak seumur hidupnya.
Gerakan Bali Membaca
Anak yang dibesarkan orang tua berkesadaran literasi tinggi cenderung belajar lebih giat di sekolah, berkepribadian positif, serta berhubungan baik dengan teman sebaya. Anak yang dikelilingi lingkungan melek literasi akan menjadi generasi cerdas, berkualitas, dan turut serta meningkatkan wawasan masyarakat ketika dewasa.
Ni Putu Suaryani merupakan penggagas Gerakan Bali Membaca sejak 2014. Saya sempat berjumpa dan berbincang langsung dengan beliau. Bersama tim kecilnya, Ibu Ani menjadi bagian dari Gerakan Nasional Indonesia Membaca yang digagas Kementerian Pendidikan.
Lebih dari 50 ribu anak seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Bali bergabung dalam gerakan ini, tak terkecuali anak-anak di lingkungan tempat tinggal saya, Kota Denpasar. Gerakan Bali Membaca menyasar anak-anak berusia 7-12 tahun. Selain mendorong minat baca, Ibu Ani juga menanamkan pentingnya budi pekerti kepada anak-anak asuhnya.
Gerakan Bali Membaca adalah gerakan pengharapan untuk melihat sejuta senyum cerdas anak Indonesia. Ibu Ani mengajak pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk melingkari anak-anak dengan mencerdaskan mereka lewat bacaan-bacaan informatif.
Anak akan terlatih dalam hal kemampuan fonetik, penguasaan kosakata, alfabet, sadar materi cetak, mampu menceritakan kembali, hingga akhirnya terinspirasi untuk belajar membaca sendiri. Ibu Ani menyediakan sejumlah rumah baca dan berkunjung ke berbagai pelosok Bali menyuarakan literasi.
Perpustakaan Kreatif
Selama ini perpustakaan terkesan tempat membosankan. Indonesia membutuhkan lebih banyak perpustakaan dan pusat membaca ramah pengunjung, sehingga bisa memfasilitasi banyak orang, khususnya orang tua dan anak.
Di Jepang dan Tiongkok, perpustakaan dirancang bak arena bermain untuk anak. Perpustakaan tetap buka Sabtu dan Minggu, dan tutup Senin. Ini karena anak-anak libur sekolah di akhir pekan, demikian juga orang tua libur kerja. Pada akhirnya banyak orang tua membawa anak-anak mereka bermain ke perpustakaan.
Perpustakaan umum berkonsep kreatif hendaknya tersedia hingga ke level kecamatan. Perpustakaan Nasional di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat sudah menyediakan ruang layanan anak yang menghibur dan edukatif.
Anak-anak bisa membaca koleksi buku berdasarkan usia, sembari berinteraksi dengan teman-teman sebaya. Jenis bukunya beragam, mulai dari ensiklopedia, buku bergambar, bahkan mural yang mengangkat kisah dongeng dan fabel.
Perpustakaan anak hendaknya mengakomodasi buku-buku cerita anak asli Indonesia, khususnya bagi anak usia dini. Buku-buku cerita anak dengan konten lokal akan membuat anak-anak Indonesia menjadi nasionalis dan bangga akan budaya bangsa.
Perpustakaan kreatif juga bisa berfungsi tempat aktivitas komunitas, seperti klub baca. Salah satu contohnya adalah Taman Baca Kesiman. Taman baca yang beralamat di Jalan Sedap Malam Nomor 234, Denpasar ini didesain untuk tempat membaca buku sambil makan, minum, pertemuan, dan tempat berkumpulnya komunitas.
Pengunjung Taman Baca Kesiman bebas membaca lebih dari 2.500 koleksi buku pribadi milik pendirinya, Agung Alit dan Hani Duarsa. Misi keduanya adalah menumbuhkan minat baca dan meningkatkan literasi masyarakat secara umum. Tempat ini buka pukul 10.00 WITA hingga 18.00 WITA.
Taman Baca Kesiman menyediakan ruang baca indoor dua tingkat, ruang aktivitas, kebun, hingga lapangan hijau untuk olah raga. Tak heran jika dapur buku ini menjadi lokasi berbagai workshop, bedah buku, tempat peluncuran buku, dan diskusi mahasiswa.
Koleksi buku sejarah, sosial, politik, sastra, novel terjemahan, jurnal ilmiah, jurnal populer, dan buku-buku langka yang sulit dijumpai di pasaran ada di sini. Pengunjung bisa memilih sendiri tempat membacanya, di dalam ruangan, di kursi-kursi kayu di halaman, atau sambil bersantai di lapangan rumput di samping perpustakaan.
Minat baca rakyat Indonesia masih rendah. Data United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (Unesco) menunjukkan persentase minat baca anak Indonesia 0,01 persen. Ini berarti hanya satu orang dari 10 ribu anak di Indonesia yang senang membaca.
Taman Baca Kesiman mengisi kekosongan idealisme dan realitas sempitnya ruang baca di Indonesia, khususnya Bali. Ini hanya contoh kecil bahwa komunitas dan berbagai lapisan masyarakat bisa membangun literasi dan peradaban generasi yang sadar baca.
Leave a Comment