Pemiskinan budaya Bali menjadi satu kekhawatiran seniman-seniman di Pulau Dewata tempo doeloe. Sejumlah tokoh kemudian berinisiatif mendirikan perkumpulan seniman bernama Pitamaha pada 1936.
Mereka yang mendirikan Pitamaha, antara lain Tjokorda Gde Agung Sukawati (Raja Ubud), Walter Spies (pelukis asal Jerman, 1895-1942), dan Rudolf Bonnet (pelukis asal Belanda, 1895-1978). Misi yang mereka usung adalah melestarikan seni tradisional dan modern dari Bali.
Putra kedua Raja Ubud yang kini menjadi Raja Puri Ubud, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati alias Cok Ace menceritakan Pitamaha yang kini telah berubah menjadi salah satu hotel terpopuler di Ubud awalnya adalah galeri seni lukis.
Baca Juga: Wawancara bersama Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati
Pelukis-pelukis di Bali yang jumlahnya tak kurang dari 125 orang pada masa itu sering mengadakan pameran untuk memperkenalkan karya-karya mereka ke dunia internasional.
“Ayahanda sangat mencintai seni tradisional Bali. Beliau seakan tahu bahwa suatu hari nanti Bali akan menjadi destinasi pariwisata dunia,” kata Cok Ace.
Hal ini pula yang mendorong Raja Ubud pada masa itu mengundang banyak seniman, khususnya pelukis-pelukis Eropa datang ke Puri Saren Ubud. Mereka disambut dengan hangat dan diberi tempat untuk menuangkan karya-karyanya. Walter Spies salah satu pelukis asing yang pada akhirnya memutuskan menetap di Bali selama bertahun-tahun.
Master Lempad
Salah satu pelukis terkenal yang karyanya diabadikan di Museum Puri Lukisan Ubud adalah I Gusti Nyoman Lempad. Putra asli Bedulu, Gianyar ini menekuni seni lukis sejak 1925. Lukisan pertamanya dikerjakan di atas kertas yang diberikan Walter Spies. Penggunaan kertas sebagai media lukis inilah yang kelak menjadi salah satu ciri khas lukisan-lukisan Lempad.
Garis-garis lukisan Lempad sangat kuat, mulai dari sangat jelas, halus, namun tidak pernah putus. Tema lukisannya berasal dari kisah-kisah Ramayana, Mahabharata, Bharatayudha, serta kisah rakyat dalam mitologi Bali. Banyak lukisan Lempad mengandung erotisme dan humor, seperti lukisan Cupak dan Grantang yang sangat menarik perhatianku.
Cupak dan Grantang adalah dongeng yang sering kudengar di masa kecilku. Dua kakak adik ini memiliki dua sifat berbeda, bagaikan langit dan bumi. Semua sifat buruk pada manusia ada dalam diri Cupak. Dia rakus, dengki, dan suka mencuri, dan karakternya dalam lukisan Lempad dibuat sangat buruk rupa. Grantang, adik Cupak memiliki semua sifat baik pada manusia. Dia jujur, rendah hati, sopan, dan tidak sombong, dan karakternya dilukiskan begitu tampan, tinggi, dan berbadan tegap.
Lukisan-lukisan Lempad seolah terlihat belum selesai. Hal ini ternyata mengandung filosofi. Pertama, Lempad ingin mengajak generasi muda untuk menyelesaikan karyanya. Kedua, Lempad ingin mengingatkan generasi muda bahwa hidup ini tak ubahnya seperti pentas yang tak pernah usai, tidak berawal, dan tidak berakhir.
Sebagai penghargaan atas seni dan karyanya, Lempad mendapat tanda jasa Anugerah Seni dari pemerintahan RI pada 1970. Beliau juga mendapat penghargaan budaya Dharma Kusuma dari pemerintah Provinsi Bali 1982. Seniman terbesar Bali sepanjang masa ini meninggal 25 April 1978.
Jelajah Galeri Lukisan
Hal yang membedakan Museum Puri Lukisan dengan museum lainnya adalah penyajiannya yang informatif. Pengunjung kurasa tak akan menyesal merogoh kocek cukup mahal membeli tiket masuk ke museum ini.
Pengunjung tak sekadar melihat lukisan, namun juga cerita di balik lukisan tersebut yang disajikan dalam tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Cina.
Awal mula menginjakkan kaki di galeri pertama, aku sudah mulai membayangkan betapa membosankannya melihat lukisan yang mungkin lebih banyak tak kumengerti. Apalagi, seluruh lukisan di museum ini berlatar belakang budaya Bali yang sama sekali bukan budaya kampung halamanku.
Tetapi, lukisan berjudul Terbunuhnya Niwatakawaca karya I Wayan Geger (1793) langsung menyedot perhatianku. Di samping lukisan yang dibubuhkan di atas selembar kain itu ada cerita singkat lukisan tersebut.
Niwatakawaca adalah sosok sakti yang menyerang surga karena permintaannya melawan Dewi Supraba tidak dikabulkan. Para Dewa menjadi panik, dan mengutus tujuh bidadari untuk menggoda Niwatakawaca, namun gagal. Dewa akhirnya mengutus Dewi Supraba bersama Arjuna untuk mencari kelemahan Niwatakawaca.
Dewi Supraba berpura-pura suka kepada Niwatakawaca. Tanpa curiga, Niwatakawaca memberitahukan kelemahannya berada di bagian bawah lidahnya. Arjuna pun bisa mengalahkannya setelah mengetahui hal itu.
Ada tiga aliran lukisan yang dipamerkan di Museum Puri Lukisan Ubud. Pertama, aliran Ubud yang naturalis dan realis. Subyek lukisannya tentang kehidupan sehari-hari para petani serta upacara keagamaan di Bali.
Kedua, aliran Baruan yang umumnya dilukis hitam putih dengan tinta cina dan kertas. Ilustrasinya tentang kehidupan khas pedesaan, seperti di Desa Baruan yang letaknya jauh, sehingga tidak begitu tersentuh budaya Barat.
Ketiga, aliran Sanur yang terinspirasi dari makhluk-makhluk laut dan bentuk binatang. Aliran ini dipengaruhi seniman Neuhaus bersaudara asal Jerman.
Secara garis besar, koleksi museum ini terdiri dari sejumlah kategori, mulai dari lukisan wayang kamasan, ukiran kayu, lukisan karya anggota Pitamaha, lukisan karya I Gusti Nyoman Lempad, dan lukisan Bali era modern.
Baca Juga: September Ceria di Green Kubu Ubud
Pengunjung seakan diajak berpetualang tentang seni dan budaya Bali secara bertahap. Ada empat galeri besar menyajikan lukisan dari yang terlama hingga termodern.
1. Galeri Pitamaha
Galeri pertama adalah Galeri Pitamaha yang berisi lukisan Bali antara 1930-1945 dan lukisan-lukisan Lempad.
2. Galeri Ida Bagus Made
Galeri Ida Bagus Made yang berisi lukisan Bali 1945 sampai saat ini dan lukisan-lukisan milik Ida Bagus Made.
3. Galeri Wayang
Galeri Wayang berisi lukisan Bali 1945 sampai saat ini dan lukisan-lukisan wayang kamasan. Galeri ini cukup menarik perhatianku karena cerita-cerita yang melatarbelakangi lukisannya. Aku pun menghabiskan lebih banyak waktu di sini.
Seni lukis wayang pada zamannya hanya mengenal lima macam warna, dengan dominan merah vermilion atau gincu dari Cina. Berikutnya adalah warna biru yang dibuat dari tanaman tertentu, warna kuning yang dibuat dari tanah liat, warna kuning waja dari bahan-bahan mineral, warna hitam dari jelaga, dan warna putih dari bubukan tulang babi.
Tradisi seni lukis wayang ini masih terpelihara baik sampai sekarang. Desa Kamasan di Klungkung merupakan desa yang menjadi pusat seni lukis wayang di Bali. Berikutnya gaya lukisan ini menyebar ke Batuan (Gianyar) dan Karambitan (Tabanan) yang lebih dikenal dengan sebutan seni lukis Bali klasik.
4. Galeri Pendiri Museum Puri Lukisan
Galeri Pendiri Museum Puri Lukisan. Di sini silsilah keluarga Raja Ubud dan awal mula pendirian Museum Puri Lukisan diceritakan. Beberapa foto pemilik museum terpampang di salah satu sudut dinding.
Museum Marketing 3.0
Museum Puri Lukisan di dalamnya juga terdapat Museum Marketing 3.0. Pengunjung yang masuk ke sini dikenakan biaya tiket masuk Rp 85 ribu per orang. Tiket ini bisa ditukarkan dengan minuman gratis yang bisa dinikmati di kafe di salah satu sudut museum ini.
Baca Juga: Kopi di Atas Kanvas Lukis
Lokasi museum ini di Jalan Raya Ubud, sangat dekat dengan Puri Ubud dan Pasar Seni Ubud, sekitar 300 meter ke barat. Museum ini buka setiap hari, kecuali Hari Raya Nyepi, pukul 09.00-18.00 WITA.
Lingkungan Museum Puri Lukisan sangat nyaman dan hijau. Ini menambah pengalaman berwisata di tempat ini. Yuk, ke museum!
Leave a Comment