Review buku "September" oleh Noorca M Massardi
Review buku "September" oleh Noorca M Massardi

Penafsiran sejarah kudeta politik 1965 di Indonesia semakin beragam setelah keran demokrasi terbuka pascareformasi. Orang-orang bermunculan menceritakan kekerasan Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia atau lebih dikenal dengan G30S PKI dengan versi masing-masing.

Banyak rantai sejarah terputus dan seolah tabu dikupas tuntas sampai sekarang. Dalam acara bincang sore di Taman Baca Kesiman, Denpasar beberapa waktu lalu, Noorca M Massardi mencoba menjahit potongan cerita, fragmen, dan data-data yang diperolehnya selama menjadi jurnalis pada masa dulu ke dalam sebuah novel berjudul September

September pertama kali diterbitkan Tiga Serangkai 2007 dengan sampul hitam. Noorca kembali mencetak edisi kedua dengan tampilan warna sampul merah. Glosariumnya ditiadakan, dan ada tambahan kata pengantar. Karya sastra ini meski menceritakan tragedi 1965, namun lebih kaya referensi.

Selama ini referensi tentang sejarah 1965 lebih akademis, mulai dari buku karya Profesor John Roosa berjudul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, hingga buku The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali oleh Geoffrey Robinson. Sayangnya kajian-kajian akademis tersebut semuanya dari luar negeri.

Novel September yang awalnya merupakan cerita bersambung berjudul Perjalanan Darius di Koran Media Indonesia 2006 ini diterbitkan kembali oleh penerbit baru, Basabasi.co pada September 2017.

Penulis 63 tahun asal Subang ini mengatakan gagasan menulis novel September sudah ada sejak 1980-an. Banyak karya sastra lain lahir berlatar belakang 1965, namun semuanya bercerita tentang korban dan akibat dari peristiwa. Semua orang, sebut Noorca seolah menganggap 1965 terjadi karena takdir Tuhan dan harus diterima apa adanya, tanpa perlu dipermasalahkan.

“Yang menjadi masalah adalah bagaimana peristiwa itu terjadi? Siapa pelaku sesungguhnya? Apa yang terjadi di hari pembantaian subuh 1 Oktober dan dua hari kemudian? tak ada yang memelajari hal itu,” papar Noorca.

Penulis menempatkan Darius sebagai tokoh utama yang memengaruhi jalannya sejarah dalam novel ini. Darius pada awal cerita menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) sebuah perusahaan bernama PT Mas Koki. Dalam perjalanannya mencari pekerjaan baru, Darius suatu ketika pingsan, kemudian terbangun dan menyadari hal aneh terjadi dalam tubuhnya.

Darius mendapati raganya bisa merasuki tubuh orang lain. Pemuda ini pun berkelana menikmati kehidupan ibu kota hingga suatu hari menemukan peristiwa kudeta terjadi.

Pembaca dari sini mulai diajak masuk ke inti cerita. Darius awalnya merasuki tubuh Kolonel Djiwakarno yang merupakan ajudan presiden, dan berlanjut masuk ke tubuh Presiden Sukresno (Presiden Soekarno dalam versi sejarah).

Darius menyadari opini publik waktu itu dikuasai media Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Kedua media ini menyebar isu soal penyiksaan dan penganiayaan para jenderal di Lubang Buaya.

Tokoh bernama lengkap Darius Johan ini pun memanfaatkan kemampuan empat sekawan untuk menghadapi propaganda militer tersebut. Keempatnya adalah Niko Firdaus, Tamara, Nadya Duvierge, dan Bo Gesti.

Keempatnya berhasil membuat Panglima Komando Pasukan Cadangan AD (Kopascad), Mayjen Theo Rosa (Mayjen Soeharto dalam versi sejarah) mengakui perbuatannya sebagai dalang kudeta di depan DPR. Mayjen Theo Rosa memutuskan bunuh diri usai menyampaikan pidato pengunduran dirinya yang disiarkan langsung di televisi.

Penuh Anagram

Sebagian besar penyajian nama-nama tokoh cerita, nama tempat, dan nama kota dalam novel September menggunakan anagram. Ini adalah permainan kata di mana huruf-huruf diacak untuk membentuk kata lain atau kalimat lain. Pembaca mungkin sedikit berpikir ketika menebak seorang tokoh cerita di novel September dengan versi aslinya.

Sebut saja Mayjen Theo Rosa yang merupakan anagram dari Mayjen Soeharto, Jenderal Mahya Nida (Jenderal Ahmad Yani), Jenderal Tasnio Hanu (Jenderal AH Nasution), Panglima AU Armandhio (Panglima AU Omar Dhani), dan Jenderal Pursapto (Jenderal Suprapto).

Ada juga Jenderal Marthoyon (Jenderal MT Haryono), Jenderal Jatipanan (Jenderal Panjaitan), Jenderal Toeyoso (Jenderal Soetoyo), Jenderal Purmasnu (Jenderal S Parman), dan Letnan Errie Pandeten (Letnan Pierre Tendean). Farie Harman Hikam merupakan anagram dari Arief Rahman Hakim. Ada juga Kantor Berita Ranata (Kantor Berita Antara), Wisma Asoy (Wisma Yaso), dan Jagaretina (Jatinegara).

Novel ini lebih asik dibaca dibanding karya ilmiah karena bahasan tidak kaku dan lebih santai. Penulis dengan cerdas mengadakan kejadian yang sebenarnya tidak ada untuk menyambungkan kejadian yang ada supaya cerita lebih menarik. Ini menjadi titik kemenangan sastra dibanding tulisan ilmiah lainnya.

Hal menarik lainnya dari novel ini adalah penulis mengacaukan ruang dan waktu. Presiden Sukresno pada 1965 diceritakan sudah melek internet. Dia bisa mengoperasikan komputer, bahkan memiliki laman pribadi. Penulis seakan ingin memberi pesan bahwa siapa pun menjadi pemegang informasi, maka dia pasti menjadi pemenang. Ini sejalan dengan akhir cerita di mana Presiden Soekresno tetap berkuasa.

Kudeta Mediatik

Noorca yang merupakan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Forum Keadilan ini bercerita premis awal yang diambilnya untuk novel ini adalah kudeta 1965 tak pernah ada. Kudeta 1965 hanyalah kudeta mediatik atau bahasa zaman sekarang disebut hoaks.

Pada era tersebut, seluruh rakyat Indonesia mendengarkan radio. Radio merupakan media komunikasi utama pemerintah, termasuk Presiden Soekarno yang menentukan kehidupan sejarah dan manusia Indonesia pada waktu itu.

Kabar tentang pengumuman Dewa Revolusi menggantikan Dewan Jenderal disampaikan PKI ketika berhasil menguasai Kantor Radio Republik Indonesia (RRI). Noorca menyebut Angkatan Darat kembali menduduki dan merebut Gedung RRI tanpa perlawanan.

Beberapa tahun setelah September diterbitkan, Noorca membaca buku biografi Letjen (Pur) Sintong Panjaitan berjudul Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando karya Hendro Subroto. Keyakinan Noorca tentang kudeta mediatik sepanjang kejadian September 1965 semakin terbukti.

Sintong adalah anak buah dari Kolonel Sarwo Edhie Wibowo yang berperan aktif menggagalkan G30S. Sintong memimpin langsung pasukan merebut kembali Gedung RRI dari musuh.

Menurut versi Orde Baru, Komandan Batalyon I Tjakrabirawa yang memimpin G30S, Letkol Untung Syamsuri memerintahkan sejumlah pasukan bernama Divisi Ampera untuk menguasai Gedung RRI dan mengumumkan pengambilalihan kekuasaan sekaligus membentuk Dewan Revolusi menggantikan Dewan Jenderal. Sintong seperti yang diceritakan dalam buku biografinya, kata Noorca menemukan gedung RRI tanpa perlawanan alias kosong. Padahal, cerita versi Orde Baru, PKI mendatangi dan menodongkan senjata pada reporter RRI untuk membacakan pesan Dewan Revolusi.

Kolonel Sarwo Edhie sempat tak percaya dengan laporan Sintong dan meminta anak buahnya memeriksa kembali seluruh gedung. Sintong akhirnya menyadari pengumuman tentang Dewan Revolusi tersebut hanya mengudara otomatis dari sebuah tape recorder.

“Jadi, dugaan saya benar. Jangan-jangan ini adalah kudeta mediatik,” katanya.

Novel September menceritakan detik demi detik peristiwa G30S yang versi fiksinya diganti menjadi Gerakan 10 September atau G10S.  Semua kejadian menit demi menit di novel ini berdasarkan penelitian, text book, dan wawancara langsung yang dilakukan penulis.

“Saya tak bisa melegitimasi diri menjadi sejarawan. Saya tak ingin mengampanyekan inilah versi paling benar. Namun, di setiap diskusi saya selalu menyampaikan bahwa semua cerita di novel ini adalah fakta yang saya kumpulkan dari berbagai sumber,” kata Noorca.

Tragedi 1965 adalah hoaks terbesar dalam sejarah. Noorca mengatakan selama ini belum ada pembanding serius dari kisah versi Orde Baru untuk diwacanakan ke masyarakat, meski saat ini sudah era reformasi. Ia mengakui kesulitan terbesar adalah sumber-sumber fakta yang sudah meninggal.

Kudeta mediatik dalam novel ini dilawan dengan media. Hal itu diceritakan saat Presiden Sukresno meminta bantuan Bo, Niko, Tamara, dan Nadya menyiapkan kontrapropaganda yang sebelumnya telah dilancarkan pihak militer. Niko adalah pemimpin redaksi Majalah Novum.

Perjuangan keempatnya akhirnya berhasil membuat Presiden Sukresno yang menderita stroke ringan tetap berkuasa, sementara Mayjen Theo Rosa akhirnya mengakui perbuatannya di depan DPR, kemudian bunuh diri.

Fakta Versi Penulis

Jarak antara fakta dan fiksi dalam novel September amat tipis. Kebenaran berada di tangan penulis. Bagi Noorca, meski karyanya adalah fiksi, namun sesungguhnya inti cerita yang disampaikannya adalah fakta.

Noorca mengajarkan pembacanya untuk lebih mengkritisi empat hal dalam novel karyanya. Pertama, September dengan santainya menceritakan sosok Arief Rahman Hakim yang dianagramkan menjadi Farie Harman Hikam tidak pernah ada. Noorca menggambarkan Farie a.k.a Arief sebagai seorang gelandangan yang dipakaikan jaket kuning.

Seluruh koran dan media di zaman Orde Baru menyebut Arief adalah mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang ditembak pasukan Tjakrabirawa ketika berunjuk rasa. Tembakan itu, sebut Noorca sesungguhnya datang dari polisi militer.

Mantan ajudan pribadi Presiden Soekarno yang juga salah satu pejuang kemerdekaan, Maulwi Saelan juga pernah mengatakan penembak Arif Rahman Hakim bukanlah salah satu prajurit Tjakrabirawa, melainkan Pom Dan dari Garnisun, yaitu satuan di bawah Mabes TNI yang bertugas menegakkan hukum, disiplin, dan tata tertib prajurit TNI dan PNS TNI di Jakarta dan sekitarnya .

Penyelidikan mendalam tak pernah dilakukan soal penembakan itu sampai saat ini. Tak ada seorang pun divonis bersalah dalam kasus penembakan Arif Rahman Hakim.

Kedua, belum pernah ada orang yang meneliti keaslian suara pernyataan Dewan Revolusi di RRI. Pemilik suara, perekam, dan keberadaan kaset rekaman tersebut, sebut Noorca tak diketahui sampai sekarang.

Ketiga, pada waktu subuh 30 September 1965, Panglima Kodam Jaya mengumumkan larangan terbit seluruh media massa mulai hari itu dan beberapa hari setelahnya. Seluruh media yang beroperasi pada masa itu mematuhi imbauan tersebut.

Hal yang patut dipertanyakan, kata Noorca adalah alasan Panglima Kodam Jaya mengeluarkan perintah tersebut dan si pemberi perintah. Padahal, sebut Noorca waktu itu belum ada peristiwa penculikan Dewan Jenderal.

Ketika para jenderal diculik 1 Oktober 1965, sehari kemudian keluar pengumuman kudeta. Larangan penerbitan media masih belum dicabut hingga 3 Oktober 1965, namun Noorca menemukan fakta koran-koran sayap kiri tetap terbit mendukung kudeta.

“Kok mereka berani? Itu juga salah satu keanehan yang saya temukan dalam data saya,” kata Noorca.

Keempat, Lubang Buaya dalam versi Orde Baru adalah tempat ditemukannya mayat jenderal, sekaligus tempat latihan Gerwani dan Pemuda Rakyat. Lokasinya berda di dekat Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

Padahal, sebut Noorca Lubang Buaya sejatinya bukan hanya dipakai golongan kiri, melainkan tempat latihan bersama seluruh organisasi kemasyarakatan (ormas) di Indonesia, seperti NU hingga TNI dalam rangka mengganyang Malaysia.

“Yang meresmikan penggunaan Lubang Buaya sebagai tempat latihan bersama adalah Soeharto. Sampai sekarang tak ada penelitian sampai ke sana,” katanya.

Arifin C Noer – sutradara film fenomenal G30S PKI – sebetulnya meninggalkan pesan tersirat di akhir filmnya. Noorca mengatakan tokoh Soeharto yang diperankan aktor Amoroso Katamsi terlihat bertolak pinggang dan seakan tersenyum penuh kemenangan saat menyaksikan jasad para jenderal dikeluarkan dari Lubang Buaya. Padahal situasi negara waktu itu sedang berduka.

“Itu cara Arifin menafsirkan dan memberi pesan di filmnya,” ujar Noorca.

Share:

Leave a Comment