Mudik ke Pasaman
Mudik ke Pasaman

Ini kelanjutan cerita anak kacang mudik lebaran. Hari ketiga Idul Fitri aku dan Mae pamit ke keluarga di Pasaman. Saatnya si kecil bertemu papanya di Bekasi setelah cukup lama menghabiskan liburan di kampung halaman. 

Mas menjemputku di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Kaki gempor jalan sambil gendong tas dan dorong stroller Mae sejak turun dari pesawat. Kebetulan pesawat parkir paling ujung. Untungnya setengah perjalanan penumpang ditawarin naik boogie car sampai pintu keluar.

Begitu ketemu papanya, Mae langsung gelendotan gak mau dilepas. Girang banget wajahnya, demikian juga papanya.

Masih belum terlambat ke acara keluarga. Keluarga besar Syamsiah ternyata sedang halal bihalal di rumah Bekasi. Kami langsung menuju Perumahan Taman Raflessia. Di sana Mae pertama kali berkenalan dengan seluruh saudara dari keluarga mama.

Oya, ada yang unik dari keluarga mama. Hampir seluruh nama anggota keluarga berawal R. Ini juga yang menjadi alasan mengapa Maetami diberi nama pertama Rayna. Mas dan ketiga adiknya juga melanjutkan tradisi sama, Rifki, Rara, Rian.

Maetami merangkak ke sana kemari. Seperti biasa dia selalu excited kayak setrikaan setiap masuk ke tempat baru. Si bayi kacang akan mengeksplorasi seisi rumah. Kadang Mae merengek jika digodain orang yang baru dikenalnya, tapi relatif gampang akrab dengan anak kecil, khususnya sesama bayi.

Sore hari menjelang jam 3 acara bubar, seluruh keluarga pulang ke rumah masing-masing. Tak berapa lama Tante Rara dan Om Gifan datang jenguk keponakannya. Mae hoki nih, dikadoin baju baru dari tantenya. Cantik banget. Makasih Rara ^_^

Ke Bogor

Mas mengajakku napak tilas dua hari ke Bogor. Tujuan utama kami sebetulnya bertemu adik-adikku, Sandi, Tika, dan Fhedli. Ini pertama kalinya setelah berusia setahun Mae bertemu dengan om dan tantenya.

Awalnya kami pengen ngajak Mae naik kereta, tapi begitu sampai di Stasiun Bekasi dan lihat antrean panjang mengular, niat pun diurungkan. Kami langsung naik grab car dan membayar sekitar 165k ke Bogor.

Kami janjian di Kang Bakso Kekinian di Jalan Gunung Semeru. Bakso ini lagi hapening sejak diliput NET TV sama Pepi lewat acara OK Food.

Pukul 12.00 WITA ternyata tempat ini masih belum buka. Syukurnya Mae gak rewel, jadi main dulu deh sama papanya. Sandi datang dan kami masih menunggu Tika-Fhedli yang sedang dalam perjalanan.

Pertemuan sedikit mengharukan itu pun terjadi. Tiga tahun lamanya aku tak bertemu adikku. Sandi tampak lebih gembul dari terakhir kami jumpa. Syukurlah, berarti dia bisa menjalani hidupnya dengan baik walau sering penuh drama. Hehehe.

Mae sempat ogah digendong omnya, namun akhirnya mau juga. Tepat 12.30 WIB warung bakso ini pun buka dan kami langsung pesan makanan.

Kang Bakso Kekinian

Bogor kan Kota Hujan tuh. Jajanan paling pas untuk dinikmati di kota ini salah satunya bakso. Hehehe. Ke Bogor itu pantang pulang sebelum makan besar. Bogor bukan cuma kota hujan, kota angkot, tapi juga kota kuliner, khususnya bakso. Bakso populer di sini sejak zaman aku kuliah 2005 itu ada Bakso Seuseupan dan Bakso Boboho, sekarang udah makin banyak lagi aneka bakso dengan nama-nama unik, seperti Bakso Boedjangan, dan Bakso Kekinian ini.

Sambil nunggu hidangan datang, Tika-Fhedli dan putra satu-satunya, Haikal akhirnya nyampe juga.

Kang Bakso Kekinian punya dua pangkalan di Bogor, satu di Jalan Semeru dan satunya di Jalan Sancang. Buat yang mau tahu lebih banyak, kepoin aja akun Instagramnya di @kangbakso.id Pokoknya baksonya nancep di lidah, kantong gak resah, pulang sumringah! Gitu kata akangnya :p

Alhamdulillah akhirnya bisa nyobain juga. Ini baru Indonesia banget. Kalo mau makan bakso sepuasnya tapi dengan nuansa shabu-shabu di Hanamasa, XO Suki, atau Sapo, ya udah ke sini aja.

Ada lima toping bakso yg disajikan sama Kang Bakso, yaitu bakso daging pedas, bakso urat besar, bakso mozarella, bakso telur, dan bakso goreng. Jangan lupa cobain Sumsum Kikil Bakso, yaitu tulang sapi yang disajikan bersama kikil dan bakso. Kuah baksonya bisa request, mau original atau kuah tomyam. Dua-duanya tidak mengecewakan.

Minumannya juga enak-enak, kebetulan kita semua cobain es podeng. Ada juga es alpukat milo, es semangka utuh, es melon es krim, dan alpukat kocok. Minuman standar, seperti teh manis, teh tawar, jus jeruk, air kelapa, atau air mineral juga ada.

Wadah makan di warung bakso kekinian ini semuanya serba aluminium foil. So, bisa dibilang higienisnya dijamin. Mangkuk pancinya juga unik, ada pegangannya. Lucu deh.

Puas banget makan bakso ini rame-rame. Baksonya diolah sendiri, cemplungin mie-nya sendiri, cemplungin baksonya sendiri. 130k bisa makan berlima. Cihuy banget kaaan? Apalagi mas sama Fhedli tuh, masing-masing pesan bakso sumsum kikil yang bisa diseruput isinya. Kikinya masih nempel di tulang segede tinju Mike Tyson, tinggal gunting trus kunyah, krenyes krenyes maknyessss. Ujung tulangnya sengaja ditutup aluminium foil supaya sumsum di dalamnya tetap segar sewaktu diseruput.

Bakso kikil ini kabarnya dibuat dengan bumbu komplit dan non-MSG, jadi wajarlah harganya beda sendiri. Kalo bakso-bakso lain kisarannya hanya 12-18k, maka bakso sumsum kikil ini 35k seporsi. Hihihi.

Kami bersama sekitar dua jam. Menjelang ashar, pertemuan kecil itu pun bubar. Itu adalah pertemuanku dengan adik-adikku yang pertama sekaligus terakhir sebelum kepulanganku ke Bali. Dua jam untuk menghapus rindu selama tiga tahun. Oh life! Semoga di lain waktu kita bisa bertemu lagi ya adikku sayang.

Kami melanjutkan agenda hari itu dengan kunjungan ke rumah Uni Esi, sepupu mas. Sebetulnya mas bersama mama papa sudah datang ke sini sewaktu lebaran, hanya saja Uni Esi belum pernah bertemu Maetami. Mae pun berkenalan dengan Mak Uwo dan Pak Uwonya, juga ketiga putra Uni Esi.

Uni Esi senang sekali dengan kiriman rendang lokan buatan ibu. Kunjungan ke tempat Uni Esi memang sudah kurencanakan. Dulu ceritanya sewaktu aku lagi main ke Bogor, Uni Esi yang baru saja pindah ke Kota Hujan berencana mengajakku main ke rumahnya. Waktunya terlampau singkat dan aku buru-buru naik kereta ke Pasar Minggu, akhirnya rencana tinggal rencana. Aku berjanji akan berkunjung di lain waktu. Sekarang waktunya menepati janji itu.

Malabar Park

Perjalanan dari rumah Uni Esi pun berlanjut ke Baranangsiang, tepatnya Taman Malabar. Kami menginap di Malabar Park Hotel, persis di belakang Kampus Pascasarjana IPB. Mau ke Botani Square atau ke Kebun Raya Bogor tinggal ngesot. Strategis banget loh hotelnya, dan tentunya harga kamarnya super miring, 300k saja.

Setiap kamar di hotel ini memiliki AC, TV layar datar, dan kamar mandi pribadi dengan shower. Hotel ini menawarkan lounge bersama. Kualitas kamarnya sama saja seperti Harris, Amaris, atau Pop Hotel loh.

Mengapa bisa murah? Jawabannya ada di sarapannya. Menu sarapan di hotel ini cuma nasi goreng doang. Eittt, meski cuma nasi goreng dan gak bisa milih aneka menu prasmanan seperti di hotel lain, nasi gorengnya wuenakkk lho. Lagian, Bogor itu kan surganya kuliner. So, prinsip kita sih, budget nginapnya nge-pas aja, tapi agenda jalan-jalan dan kuliner luarnya bisa sepuasnya (Emak-emak gak mau rugi).

Malabar Park Hotel ini dahulunya lokasi kos-kosan mahasiswa. Pengelola akhirnya merenovasi total kos-kosannya menjadi city hotel. Setengah jam di kamar, kami selesai bersih-bersih dan menunaikan shalat maghrib. Mae pun sudah pakai celana panjang biar gak kedinginan. Waktunya makan malam. Aku dan mas langsung menuju Botani Square. Buat jaga-jaga kalo hari hujan, pihak hotel meminjamkan kami payung. Duuh baiknya.

Cuaca di luar sedikit basah. Masih ada rintik hujan yang mungkin nempel di pepohonan sepanjang jalan yang kami lalui. Payung pun kami buka. Kalo jaman dulu mungkin aku bakal nyanyi ‘Memori Daun Pisang’ duetnya Solid AG sama Imas Aida. Liriknya kalo gak salah begini, ‘Kenangan malam minggu waktu jalan-jalan, berdua jalan kaki saat turun hujan, basah baju kita basah hati kita, mesranya berpayung daun pisang,’ Eaaaaaa. Hahahaha.

Maetami hepiiiii banget. Thanks God emak bawa pockit stroller yang disewa dari @dewatakidstoys, kebantu banget buat ngehindarin encok karena gendong bayi 8,5 kilogram.

Satu hal yang kurasa berbeda saat jalan malam di pusat Kota Bogor adalah jalur pedestriannya yang kian rapi dan ramah bagi pejalan kaki. Trotoarnya lebih luas dan nyaman, bahkan untuk pesepeda dan kaum difabel.

Kabarnya pelebaran jalur pedestrian ini sudah dilakukan sejak 2015. Lebar trotoar sekarang 1,5-2 meter. Udah waktunya anak-anak Bogor kembali ke tradisi berjalan kaki, sampai-sampai dulu ada istilah ‘betisnya kayak talas bogor’ 😀

Lawang Salapan

Landmark Kota Bogor juga nambah ya? Ada Lawang Salapan atau lebih lengkapnya Tepas Salapan Lawang Dasakreta (TSLD). Aku cukup excited begitu tahu Tugu Kujang ada temannya sekarang. Hehehe.

Lawang Salapan tak ubahnya seperti teras kota yang menghiasi Jalan Otista Bogor. Waktu ke sini 2014, Lawang Salapan belum ada. Aku sangat kecewa mengetahui megahnya Tugu Kujang tersaingi dengan kehadiran Hotel Royal Amaroossa. Dalam hati, itu hotel gak tahu diri banget ya? Berani-beraninya berdiri nutupin megahnya Tugu Kujang kebanggaan masyarakat Bogor.

Syukurnya dengan kehadiran Lawang Salapan ini, eksistensi Tugu Kujang yang berdiri sejak 1982 itu kembali bersinar. Dikutip dari media sendiri (Republika #Eaaaaa) gaya bangunan Lawang Salapan ini disesuaikan dengan masa kolonial, seperti bangunan-bangunan bersejarah yang ada di sekitar Tugu Kujang, apakah itu Istana Bogor atau Kebun Raya Bogor.

Ada 10 tiang berdiri kokoh menopang puncaknya yang bertuliskan ‘Di Nu Kiwari ngancik Nu Bihari Seja Ayeuna Sampeureun Jaga.’ Artinya kurang lebih begini, ‘Segala hal di masa kini adalah pusaka masa silam dan ikhtiar hari ini adalah untuk masa depan.’

Lawang Salapan mengingatkan orang-orang, khususnya masyarakat Bogor akan sembilan pintu menuju kesejahteraan. Sembilan acuan kesejahteraan itu adalah kedamaian, persahabatan, keindahan, kesatuan, kesantunan, ketertiban, kenyamanan, keramahan, dan keselamatan. Keren pisan euy!

Mujigae Resto

Didorong rasa lapar yg teramat dalam (hallaaah) kami pun ngesot ke Botani Square (Boqer). Cuma 10 menit berjalan kaki, kami sudah sampai di mall kebanggaan anak IPB ini. Padahal dulu pembangunannya sempat diunjuk rasa. Mall-nya udah jadi, akhirnya ditongkrongin mahasiswanya juga. Hahahaha.

Emak pangling lihat Boqer sekarang, terutama foodcourtnya di lantai atas. Udah kayak di Bali, bahkan lebih rame di sini. Hihihi. Mae pun senang lihat banyak orang. Doi nebar senyum sana sini, nyengir kuda, atau sesekali nguap.

Ini perdana mas main ke Boqer. Kalo aku sih udah berkali-kali ‘tawaf’ di Botani Square, mulai dari hunting buku, hunting baju, hunting makanan, dan yang paling sering nonton ke bioskopnya. Aku juga sering nongkrong di Warung Takol, sampingnya Boqer. Di sana tempat aku ngelarin novel satu-satunya yang ternyata cuma berakhir di 15 besar lomba yang digelar salah satu penerbit bergengsi di Indonesia. Eaaaa.

Begitu sampai di lantai dua yang isinya makanan semua, kami mulai bingung. Semua enak enaaaaak. Pilihan kami akhirnya jatuh ke Mujigae Resto, restoran Korea yang ada di sudut kiri.

Mujigae artinya pelangi. Restoran ini mengusung konsep pelangi, mulai dari dekorasi, desain menu, sampai penampilan stafnya. Mujigae Resto hadir di Kota Hujan setelah sukses di Jakarta. Ini adalah tempat makan favorit para penggemar kuliner Korea, serta cocok buat berswafoto alias selfie.

Varian menu khas Negeri Gingseng, seperti Bibimbap, Ramyun, Toppoki, Kimchi dan Bulgogi tinggal pilih di sini. Mulut gak perlu berbuih panggil pelayan sebab semua pesanan tinggal scroll and order di meja lewat sebuah iPad. Canggih kan?

Rasa makanannya enak-enak dan ramah di kantong. Ini yg bikin aku selalu jatuh cinta dengan Bogor. Makan sampai begah juga gak bakal bikin kantong tongpes.

Kebun Raya Bogor

Siapa sangka suamiku tersayang yang udah pernah pelesir ke berbagai kota sampai Indonesia Timur sana ternyata belum pernah masuk Kebun Raya Bogor (KRB). Padahal, rumah papa mamanya ada di Bekasi. Oh my!

Pagi hari pukul 07.30 WIB kami sudah ada di KRB. Kami sengaja datang pagi-pagi di saat kebun raya belum begitu ramai dan waktunya pas buat olah raga menghirup udara segar.

Maetami senang sekali diajak ke KRB. Dia nunjuk sana sini, tebar pesona sama siapapun yang ditemuinya di perjalanan. Duuuh, ini bayi ramah banget. Jalan pagi hari itu kami masuk dari pintu 1 dan keluar di pintu 3. Kami barefoot alias tidak pakai sandal. Seruuuu.

Pas sampai di Cafe Daun dan Taman Teratai, kami ngampar sebentar sambil mimik-in Mae, sewa tikar 20k bisa dipakai berapa lama terserah. Meng-ASI-hi Mae adalah komitmenku dan mas, dimana pun dan kapan pun. Mae juga minta dibacakan buku cerita, walaupun ujung-ujungnya doi gak fokus karena digodain terus sama papanya. Si papa juga mengajak Mae jalan kaki biar doi cepat jalan sendiri. Mengesankan. Anak kacang sumringah banget.

Agenda hari ini hanya ke KRB saja. Kami pun langsung pulang ke Bekasi karena akan langsung menuju Bintaro, rumah Rara, adiknya mas. Kali ini Maetami bisa merasakan sensasi naik kereta. Tapiiiii, emak kurang beruntung sebab sepanjang perjalanan bayinya super rewel. Kereta yang cukup padat membuatku tak leluasa menyusui Mae. Mungkin karena ini Mae menjadi tantrum dan terus menangis.

Kami akhirnya turun di Stasiun Manggarai dan melanjutkan perjalanan menggunakan taksi online. Mae pun bisa tidur nyenyak sembari ngempeng mimik cucu. Sesampainya di Rumah Raflessia, packing sedikit, langsung cuss ke Bintaro.

Aeon Mall

Mumpung lagi di Tangerang Selatan, kami sempatkan main ke Aeon Mall di Jalan BSD Raya. Konon katanya ini mal bernuansa Jepang pertama di Indonesia ini terbesar se-Asia Tenggara hasil kerja sama Sinar Mas Land dan perusahaan Jepang. Masuk ke mall ini benar-benar seperti di Jepang, kata suami sih yg pernah pelesir ke Jepang. Hebattt ya Indonesia. Heheee.

Food Culture atau Food Court Aeon so far emang tempat paling seru 😀 Ada tiga spot makanan di sini, yaitu di dekat pintu masuk utama, di supermarket, dan di Ramen Village. Nah, food court di supermarket ini spesialisasinya adalah Japanese street food. Camilan enak-enak, seperti takoyaki, okonomiyaki, shabu shabu, aneka sushi, mochi, omurice, teppanyaki, tempura, dan banyak lagi lah pokoknya ada di sini.

Emak pun gak mau ketinggalan jajan, walau pun cuma sekadar icip okonomiyaki dan yakitori skin alias kulit ayam panggang. Hahaha. Saos sambalnya pake belibis aja. Wuenak pollllll. Harganya juga murceu, tapi kalo beli banyak ya lumayan juga yaaaa. Saking ramenya orang makan di sini, tempat duduknya nyaris rebutan. Siapa cepat dia dapat, hap hap.

Salah satu spot paling bikin emak elus dada dan elus dompet ya di pusat fashion Aeon. Harus kuat iman begitu lihat banyak banget pernak pernik anak bayi lucu lucu. Untungnya suami istri saling ingetin kalo dah mulai ada yg ‘luluh.’ Mae butuh ini gak? Dia bakal mau make gak? Kemarin aja dapat kado baju di kampung dari keluarga emak bapaknye seabreg-abreg, yakin mau beli lagi? Bla bli blu. Alhamdulillah dompet pun selamat. Kekeke.

Kami juga main ke Ramen Village di lantai teratas. Ramen halal? Selama tinggal di Jakarta-Bogor hampir 10 tahun aku sudah pernah mencoba aneka jenis ramen. Ramen itu enakkkk banget. Tapi sejak tinggal di Bali barulah sadar kalo ternyata selama ini aku kebanyakan makan ramen yang ‘aman’ tapi ‘haram.’ Aman tapi haram itu gimana sih? Ramennya memang NO PORK, tapi mengandung mirin.

Semua jenis ramen, soba, dan udon khas Jepang ada di Ramen Village Aeon. Di setiap restorannya terpampang tulisan NO PORK, tapi tak ada satupun kutemukan logo halal di sana. Aku pun memberanikan diri bertanya pada salah satu karyawan di restoran ramen terbesar deretan depan, apakah ramennya halal? Alhamdulillah aku bertanya pada karyawan yang jujur.

Dia mengatakan tak ada satupun ramen di sana yang halal, demikian juga ramen di mana pun pada umumnya. Alasannya, semua ramen memakai MIRIN.

Apa itu mirin? Mirin adalah sejenis sake merah yg rasanya agak manis dengan kandungan alkohol rendah. Mirin umum digunakan sebagai bumbu masak, dimana rasa manis merupakan rasa yang penting dalam masakan Jepang. Mirin juga digunakan sebagai teman menyantap sushi. Pada pembuatan saus teriyaki dan saus tempura, mirin dapat diganti dengan campuran sake dan gula dengan perbandingan 3:1.

Pada gaya masak Kansai, mirin digunakan setelah dipanaskan sebentar untuk menguapkan alkoholnya, sedangkan pada gaya masak Kanto, mirin digunakan langsung tanpa perlakuan apapun sebelumnya (Sumber: Masakan Praktis Rumahan).

Aku pun mencoba masuk ke laman Halal MUI dan mencari ramen, udon, dan soba yg sudah tersertifikasi halal. Hasilnya sedikit sekali. Daftar halal yang kutemui hanyalah Gekikara Ramen, Hokben Hot Teriyaki Ramen, Yakisoba, Yoshinoya, Sushi Tei Soba, Kikkoman Soba, dan Marugame Udon.

Oya, postingan ini gak ada maksud apapun ya temans. Cuma ingin memberi informasi bagi Muslim yg membutuhkan.

Niat makan ramen urung, kami pun cari menu-menu aman di Aeon. Pilihan akhirnya jatuh pada Chicken Curry dan Mayo Egg Mushroom di Sukiya Gyudon. Mae juga bisa makan.

Eh, Maetami ternyata suka minum ocha lhooo, padahal tehnya kan ada pahitnya sedikit. Mungkin karena segar kali yaaa, jadinya doi main seruput aja terus. Hihihi.

Makan di Sukiya Gyudon ini termasuk ramah di kantong. Restoran ini memang spesialisasinya gyudon. Gyudon atau beef bowl adalah makanan Jepang jenis Donburi, berupa semangkuk nasi putih yang di atasnya diletakkan irisan daging sapi bagian perut dan bawang bombay.

Variasi toping gyudon di Sukiya Gyudon cukup variatif, seperti spicy mushroom, triple cheese, spring onion and egg, half boiled dan veggies. Gak perlu waswas sama dompet. Harganya terjangkau kok.

Pamit

Libur telah usai. Senin depan aku dan mas siap masuk kerja. Kami pun pamit kepada keluarga di Bintaro dan Bekasi. Sampai jumpa lagi antan, neru, iyang, tera, dan omgi.

Pesawat ke Bali take off pukul 09.50 WIB. Kami sampai di bandara 1,5 jam lebih cepat, sehingga punya cukup waktu untuk jalan-jalan di Terminal 3. Masuk ke terminal khusus maskapai Garuda Indonesia ini sim salabim banget yaaaa. Alhamdulillah banyak area bermain bayi, jadinya orang tua gak mati gaya momongin anaknya.

Bali we are coming back!

Share:

Leave a Comment