Topik menjadi wanita karier atau ibu rumah tangga seakan tak pernah habisnya ya? Belakangan topik ini nge-hits lagi di Facebook. Beberapa teman mengunggah pendapatnya pribadi tentang kedua tipe ibu di atas.
Aku sendiri seorang ibu pekerja. Beruntungnya, aku seorang jurnalis dengan jam kerja cukup fleksibel, sesekali bisa kirim berita dari rumah, gak kantoran yang masuk jam 8 pulang jam 5 sore setiap harinya. Pekerjaan ini seperti kamuflase bagiku, sehingga aku berada di antara kedua tipe ibu di atas.
Di mataku, setiap yang namanya ibu pasti menyayangi suami dan anaknya. Meski demikian, sebagai seorang perempuan, kita akan menyadari kehidupan ini tidak hanya berada di sekitar mereka.
Ibu rumah tangga yang bekerja tetap terhubung dengan dunia luar dan yang terpenting menstimulasi intelektual mereka. Jadi ibu itu juga perlu update dan melek informasi loh.
Ibu rumah tangga yang setiap hari di rumah pun tetap harus tahu kondisi kekinian, mau itu politik, ekonomi, sosial, bukan cuma update Facebook atau Instagram aja. Hehehe.
Anak, apalagi bayi seperti Mae mungkin belum mengerti alasan ibunnya menjadi wanite karier, sementara papanya masih menafkahi keluarga setiap bulan.
Sebagian ibu mungkin memakai jasa baby sitter untuk membantu merawat anaknya. Aku mencontohkan diriku sendiri. Aku mendapati Maetami menjadi bayi lebih berani dan lebih mandiri meski diasuh Mba Yani-nya. Dia jarang menangis ketika ibunya sedang liputan di luar rumah. Makannya juga gak banyak drama, dan yang terpenting Maetami belajar bersosialisasi dengan orang lain, di luar zona nyamannya.
Suami dan istri yang sama-sama bekerja biasanya bisa menghargai satu sama lain. Suami mengerti betapa sulitnya bekerja sambil mengasuh anak yang dijalani istrinya.
Dari sisiku, aku merasa mas masih menjumpai istrinya adalah sosok sama seperti yang dikenalnya sebelum menikah dulu. Mungkin ada suami yang justru kagum dengan pembawaan istrinya yang bekerja, sebagaimana sosok cerdas yang dikenalnya terdahulu. Cielaaa #cerdas Hahahaha.
Meski demikian, tetap ada kekurangan menjadi ibu sekaligus wanita karier. Hal yang paling sering kurasakan adalah kesedihan dan rasa bersalah teramat dalam setiap kali meninggalkan Maetami pergi liputan, walaupun cuma beberapa jam di luar rumah.
Kesedihan itu semakin menjadi-jadi ketika si anak sedang kurang enak badan, sakit, atau rewel. Waktu berkualitas dengan buah hati pastinya berkurang.
Anak juga sangat merindukan ibunya. Ada saatnya dia sedih dan terpaksa menangis di bahu atau pelukan orang lain, bukan ibunya. Jika ibu bekerja sampai separuh usianya yang berarti sampai anaknya dewasa, si anak mungkin akan mengeluhkan ibunya tak cukup waktu untuknya ketika kecil.
Suami bisa juga merasakan kekurangan beristrikan seorang wanita karier. Dia mungkin lebih sering mendapati si istri dalam kondisi kelelahan, sehingga tak sempat menyambutnya, menyiapkan makan malam, atau menikmati waktu berdua karena sama-sama tepar di rumah.
Bagaimana dengan ibu rumah tangga?
Seorang full-time mom memiliki lebih banyak waktu merawat tumbuh kembang si kecil. Ibu mengenal bayinya lebih detail dari orang lain. Meski demikian, satu hal yang sering dihadapi seorang full-time mom adalah jenuh yang sesekali datang.
Pekerjaan rumah rasanya tak pernah berhenti, mulai dari si anak bangun sampai tidur lagi. Ketika si buah hati tertidur, ibu yang semestinya tertidur malah tergoda untuk buka ponsel, buka laptop, tergoda masak camilan buat anak, atau memisahkan cucian yang akan dicuci esok hari.
Ibu rumah tangga kadang merasa bayi mereka tak bisa jauh dari mereka. Bayi terus menempel, sulit berjarak dengan kita. Ibu dengan kata lain menjadi pusat semesta si anak.
Hal di atas sering kurasakan jika sedang menulis berita pagi di rumah. Setiap melihatku, Mae selalu merengek dan menolak digendong mbak-nya. Akhirnya aku harus ‘kabur’ ke kamar, mengunci pintu supaya si kecil tidak melihatku, dan baru keluar rata-rata satu jam kemudian.
Konflik kadang datang antara ibu rumah tangga dengan suami tercinta. Begitu suami pulang, hal pertama yang dipikirkan ibu rumah tangga adalah suami berkenan mengambil alih tugas menggendong anak atau mengajak anak bermain. Yes, I feel it.
Di malam hari, ketika ibu baru mulai memejamkan mata untuk rileks, di saat yang sama, si kecil menangis memanggil. Si ibu mungkin berpikir posisi suami juga dekat dengan keranjang tidur bayinya dan berharap beranjak bangun menenangkan si kecil. Faktanya hal itu tak terjadi.
Hati ibu kadang berbisik, berharap permintaan kecil itu sampai ke buah hati. “Cup cup nak, tenang ya sayang, ibu benar-benar perlu istirahat.”
Suami akhirnya bangun dan mengambil si kecil, tapi beberapa menit kemudian kembali menghampiri sambil mengatakan dia sudah mencoba menenangkan si kecil, tapi tangisannya tak juga reda. Ujung-ujungnya, suami membutuhkan bantuan istrinya. Ibu pun bangun dengan sedikit frustasi dan mengambil alih tugas menidurkan anak.
Suami sepatutnya mengerti, tindakan istri di atas bukan berarti bermaksud mengganggu istirahat suami atau si istri egois menginginkan waktu istirahat untuk dirinya sendiri. Perlu diingat, yang namanya ibu itu tak selalu kuat, meski setiap harinya ibu terus berdoa supaya Allah memberinya kekuatan untuk membesarkan anak.
Dalam kebanyakan kasus, para suami jarang melakukannya. Nyampe rumah, makan malam, abis itu suami buka laptop atau bahan kerjaannya lagi, dan akhirnya ketiduran. Ini nih yang sering memicu konflik. Trus, cara terbaiknya gimana? Coba berikan sekitar 20-30 menit waktu bagi suami untuk melepas lelahnya sejenak di rumah, termasuk makan, buka ponsel, dll, baru memintanya untuk merawat anak.
Menurutku, pada dasarnya menjadi wanita karier akan sama dengan ibu rumah tangga jika mendapat dukungan sosial, misalnya program penitipan anak di kantor yang baik, jam kerja fleksibel, dan tentunya dukungan keterlibatan suami yang juga dominan dalam merawat anak alias tidak menggantungkan semua urusan anak pada istri.
Sayangnya membayangkan ini serasa di-PHP-in ya? Kapaaaan hal-hal kayak gitu bakal terwujud. Hahahaha. Bahkan, untuk menyediakan nursery room buat pumping ASI doang, gak semua kantor punya.
Mengutuk ibu yang membuat pilihan berbeda bukan solusi. Selalu ada alasan di balik pilihan menjadi wanita karier atau ibu rumah tangga.
Mungkin saja si ibu harus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga karena penghasilan suami yang pas-pasan. Mungkin saja si ibu bekerja karena tak ingin memberatkan suami, sebab masih ingin berbakti dengan menyenangkan orang tua yang tinggal di kampung halaman.
Mungkin saja si ibu bekerja karena susah mengubah gaya hidupnya yang masih ‘boros’ seperti suka belanja online ini itu. Kasihan suami dong kalo minta uang buat hepi-hepi terus. Tak dimungkiri ada juga ibu yang bekerja untuk menghindari stres merawat anak 24 jam di rumah. Kesannya kok mikirnya gitu sih? Kok ngerawat anak bikin stres? Tapi faktanya ada loh, ibu-ibu tipe ini. Hehehe.
Apapun itu alasannya, semua kembali ke pilihan masing-masing. Gak perlu sewot, apalagi kalo yang sewot itu perempuan yang notabene belum menikah, atau belum ngerasain gimana punya anak. Please deh, learning by doing dong ceu!
Tidak peduli apapun yang kita hadapi sebagai seorang ibu, tetaplah memeluk anak-anak kita. Tak perlu terus menjadi ibu yang anggun, sebab ada kalanya air mata sedikit meredakan konflik batin kita.
Jika lelah, menangislah. Tapi, menangisnya seorang perempuan itu bukan berarti dia lelah merangkul perannya sebagai seorang ibu. Dia menangis karena ingin menemukan kekuatan lebih menghadapi semua tantangan di depan. Perempuan menangis karena ingin menjadi ibu terbaik bagi anaknya.
Ini bukan tentang peran mana yang sempurna. Ini tentang kemuliaan menjadi seorang ibu dan membesarkan anak apakah itu 24 jam atau beberapa jam saja di rumah.
Sampai kapanpun, Mae akan melihat…
Tangan ibu yang memandikan tubuh kecilnya setiap pagi.
Tangan ibu yang membuatkannya makanan setiap hari.
Tangan ibu yang melambaikan tangan padanya setiap berangkat kerja.
Tangan ibu yang melapisi bajunya dengan sweater ketika angin di luar sana bertiup kencang.
Tangan ibu yang mengganti popoknya atau mengusapkan minyak telon ke tubuhnya di kala masuk angin.
Tangan ibu yang memegangi tangannya dan menuntunnya belajar berjalan.
Tangan ibu yang menghapus air mata dan memegang pipinya di setiap sedih dan tangisnya.
Tangan ibu yang menggenggam dan mengajarinya berdoa bersama usai shalat.
Tangan ibu yang membereskan mainannya yang berantakan.
Tangan ibu yang menggelitiki kakinya karena gemas.
Tangan ibu yang menggendong dan memeluk tubuh kecilnya tidur sepanjang malam.
Tangan ibu yang bekerja sekaligus membesarkannya tanpa kenal lelah.
Percayalah, anak akan melihat ibunya dari perspektif kecil mereka di saat tumbuh dewasa. Jadi, apapun pilihan kita, tetaplah tulus menjalankan peran sebagai seorang ibu.
Leave a Comment