Rasanya deg-degan mudik sendiri membawa bayi 1 tahun. Lebaran tahun ini mas gak bisa menemani kami karena masih ada kerjaan di Bali. Alhasil, emak bermodal nekat memutuskan mudik duluan bersama Maetami.
Mas cuma bisa mengantar kami sampai Jakarta. Kebetulan yang sangat disyukuri mas ditugasi kantornya meeting di kantor pusat. Dari Jakarta, aku dan Mae transit penerbangan ke Padang.
Pesawat kami pukul 07.00 WITA. Maetami sengaja mandi air hangat malam hari sebelum bobok. Dia pun langsung kupakaikan baju untuk berangkat besoknya. Pagi subuh pas si bayi masih lelap, kami cuma mengganti popoknya dan langsung memboyongnya ke bandara pukul 05.30 WITA.
Penerbangan Denpasar-Jakarta alhamdulillah berjalan mulus tanpa kendala. Maetami diajak mas bercanda sambil main bersama sampai pesawat take off dan langsung bobok setelah 30 menit penerbangan. Dia baru bangun beberapa menit saat akan mendarat.
Berpisah di Terminal 03 Soekarno Hatta emak agak lebay. Kok sedih ya ninggalin mas di Denpasar sendirian, pas puasa pula? Aku hampir mewek karena ini perdana kami LDR setelah hampir tiga tahun bareng di Bali dalam waktu cukup lama. Biasanya cuma ditinggal mas tiga harian ke luar kota.
Mas ternyata juga merasakan hal sama. Jadilah pasangan Romeot dan Julilit ini melow total di whatsapp. Berbagai emoticon yang ada air matanya bertaburan di screen ponsel. Hahahaha. Alhasil Mae ikut merasakan apa yang emaknya rasain. Bayi kacang ini mendadak rewel, menangis terus sejak berada di ruang tunggu Gate-12 sampai masuk pesawat. Ya ampuuun.
“Mungkin dia lelah.” Saking heboh tangisannya, begitu dipeperin mimik di dalam pesawat keajaiban dunia pun terjadi. Maetami langsung tidur nyenyak dan baru bangun sekitar tujuh menit pesawat akan mendarat. Emak sambil mimikin bayi bisa kelar nonton film ‘Death Note: Light Up the New World.’ This is the miracle of breastfeeding.
Dijemput Nenek
Ibu sudah menunggu kami di Bandara Internasional Minang Kabau. Alhamdulillah pendaratan mulus pake maskapai plat merah ini. Ibu ternyata sudah sampai di bandara satu jam sebelum anak dan cucunya landing. Pertemuan mengharukan pun terjadi. Aku sangat girang melihat ibu yang beberapa tahun belakangan sering sakit tampak sumringah melihat kami melambaikan tangan di pintu keluar.
Temu kangen dan ngobrol bareng pun kami jabani sepanjang perjalanan Pariaman-Pasaman dengan waktu tempuh 2,5-3 jam perjalanan. Kami juga mampir di Pantai Gondoriah membeli sala lauak dan aneka rakik, makanan tradisional Pariaman. Mulut kecil Maetami pun langsung berpesta menikmati garingnya rakik udang. Dia ternyata suka.
Ayah tidak datang menjemput ke bandara. Kata ibu, ayah sedang membersihkan rumah, khususnya kamar yang akan ditempati anak dan cucunya. Padahal belakangan, aku dan Maetami memilih tidur sekamar sama ibu selama liburan di kampung. Hihihi.
Kami mampir di sebuah masjid di Ulakan untuk Shalat Dzuhur. Saat perjalanan berlanjut, aku sempat terlelap sewaktu menyusui Mae. Ibu pun meraih Mae ke pangkuannya. Bayi kecil itu pun tertidur di dekapan neneknya, meski hanya sekitar 15 menitan langsung bangun lagi cari mimik 😀
Cuaca siang itu cerah sekali. Mungkin alam rindu dan menyambut kepulanganku. Ehehehe. Menjelang pukul tiga sore, mobil yang disupiri Abang Adek pun sukses parkir di depan rumah. Alhamdulillah.
Senyum Kakek
Ayah langsung menyambut kami di teras rumah. Sepertinya ayah masih bersih-bersih di dalam. FYI, ayah adalah pria terbersih yang pernah kujumpai di dunia ini. Nomor duanya suami sendiri.
Dulu aku sering meledek ayah yang menurutku terlalu lebai memperhatikan kebersihan. Ayah pun pernah ngomel, misalnya saat melihat kamarku berantakan atau aku menaruh barang serampangan. Kata ayah, “Besok kalo nikah sama suami yang suka bersih, rasakan lah!” Nah, sepertinya aku kena kutukan Si Pahit Lidah beberapa belas tahun kemudian. Hal sama kujumpai sekarang sejak menikah dengan Rifki 😀
Senyum kakek menyambut kami. Ucapan, “selamat datang” ayah sampaikan sembari memelukku dan Mae. Keajaiban dunia kedua terjadi. Mae langsung mau digendong kakeknya dan gak pake drama menangis. Padahal, mereka berdua terakhir bertemu saat si bayi masih berusia dua bulan. Terima kasih Ya Allah. Thanks ayah, your heart made of gold.
Setelah menyampaikan terima kasih pada Abang Adek, kami semua masuk rumah. Maetami langsung merangkak meraih lemari hias kaca yang memajang aneka aksesoris koleksiku dan ayah. Bayi itu melihat sekelilingnya, seperti bertanya-tanya di mana sekarang dia berada. Rumah ini juga asing untuknya.
Kulihat sosok ayah di depan mata. Oh, ayahku sudah semakin tua, meski tak berkurang sedikit pun sinar dan tampan di wajahnya 😀 Lengan kanan ayah dipasangi hansaplast. “Kenapa tangan ayah?” tanyaku. Ayah menjawab tangannya sekarang ini mudah sekali terluka dan lukanya lama sekali sembuh. Hanya karena mengangkat sebilah papan dan papan itu bergesekan dengan lengannya, darah pun mengucur, tangan ayahku terluka.
Dalam hati aku berkata, tenang ayah, sepekan lebih ini akan kubuat ayah tak merasakan sakitnya luka itu. Akan kubuat kerut di keningmu berkurang. Anak dan cucumu akan membuat rumah ini ramai, harimu indah, dan ceria.
Baru beberapa hari di rumah, Maetami sudah nempel banget sama kakeknya. Setiap lihat kakeknya lewat, anak kacang pasti mengangkat lengannya, trus mengibaskan tangan minta digendong.
Ayah juga iseng deh. Masak nyuruh anaknya segera nambah momongan? Katanya biar Maetami tinggal bareng kakek neneknya aja di Pasaman. Ya kaleeee yah 😀 Emangnya hamil gampang? Kikiki.
Salah satu aktivitas yang sering dilakukan ayah bersama Mae adalah menonton wayang golek di dapur. Pertunjukan wayang golek itu favorit ayah banget. Dulu waktu aku masih kuliah di Bogor, tiap pulang, ayah pasti selalu nitip dibelikan CD wayang golek original di Harika Music Studio (sekarang kabarnya udah tutup ya? So sad).
Dalang favorit ayah bernama Asep Sunandar Sunarya. Ayah punya banyak edisi CD-nya loh. Kata ayah, wayang golek itu gak bakal pernah basi ditonton dari generasi ke generasi. Sejak kecil, ayah juga sering mengajakku nonton wayang golek. Tapi sampe sekarang aku tetap gak bisa menghapal wajah dan nama tokoh-tokoh pewayangan yang segudang itu. Bahasa sundanya juga, duuuh.
Sekarang, ayah gantian ajakin cucunya mengenal wayang golek. Eh, Mae ternyata suka loh. Mae betah dipangku ayah di depan TV dan tangannya ikut nari begitu gamelan dan kendang berbunyi. Tarik maaang!
Bertemu Iyut
Rencananya malam hari perdana sesampainya di rumah, aku dan ayah berkunjung ke rumah nenek, Iyut-nya Mae (panggilan buatan sendiri yang berarti Nenek Buyut). Apa daya Mae tertidur lebih cepat dari biasanya. Mungkin dia lelah sepertiku setelah melakukan perjalanan panjang dari timur ke barat mencari kitab suci (apa siiiiih?) ^_^
Kami pun pergi ke rumah nenek bersama ayah dan ibu keesokan harinya. Nenek masih sama seperti terakhir kutemui sebelum menikah dulu. Nenek hanya bisa terbaring di kasur. Amay, adik perempuan ayah yang sehari-hari merawat nenek, mulai dari memandikan, memberi makan, membersihkan kotoran, dan memakaikan nenek mukenah saat nenek hendak shalat.
Meski fisik nenek sudah ringkih, tapi ingatan nenek dan pandangan matanya masih setajam dulu. Iyut langsung tersenyum melihat cicitnya. Maetami kudekatkan ke wajah nenek, sampai nenek bisa mencium pipinya.
Di samping kanan rumah nenek, tinggal Mang Uyung, Tante Yuli, dan tiga anak mereka. Mang Uyung adalah anak bungsu nenek alias adik ayah. Di samping kiri juga ada rumah amay dan toko milik sepupuku, Teteh Herda. Kami pun sempat temu kangen bersama.
Maetami tampak ceria begitu bermain bersama Avicenna, Levania, dan Ahsanti. Ketiganya adalah putri dari Teteh Herda dan Mas Arif. Teteh Herda adalah sepupu paling akrab denganku. Persahabatan kami bahkan sudah dimulai sejak aku masih dalam kandungan. Ibu bilang, sewaktu ibu hamil, teteh sering mengikuti kemana pun ibu pergi. Teteh sering mengajakku berbicara di dalam perut. Waktu itu ayah dan ibu masih tinggal di rumah nenek beberapa waktu setelah menikah.
Mungkin karena itu juga Maetami bisa langsung akrab dengan ketiga putri teteh. There is one thing stronger than magic named sisterhood. Beginilah suasana yang sangat kurindukan di tengah keluarga besarku. The best of times are always found when we gather round.
Nazar Ibu
Suatu sore setelah ashar, ibu, aku, dan Maetami bersama keluarga Mang Uyung pergi ke Surau Lubuk Landur untuk menunaikan nazar ibu tersayang. Surau adalah sebutan untuk masjid atau tempat ibadah di Minang Kabau. Ini juga yang menjadi alasan aku pulang kampung tahun ini.
Dulu ceritanya setelah kehilangan putraku, Almarhum Rafadia Muzzafhari Bogara (5 bulan), ibu sangat rindu menimang cucu. Memasuki bulan ketujuh recovery keguguran, aku tak kunjung hamil. Suatu hari ibu sangat sedih bukan kepalang mendengarku berencana program hamil dan terapi hormon. Ibu berharap aku bisa hamil alami setelah lebih dari dua tahun menikah.
Ibu niatkan dalam hatinya, jika anaknya bisa hamil alami, ibu akan bersedekah ke Surau Lubuk Landur dan kelak membawa cucunya bertemu buya, berdoa bersama, dan memberi makan ikan-ikan di Sungai Lubuk Landur. Allah rupanya mendengar doa dan menjawab kegusaran ibu. Kurang dari sepekan batas terakhir aku akan terapi hormon di klinik Dokter Semadi, aku dinyatakan positif hamil. Subhanallah.
Maetami anteng sekali bertemu buya sore itu. Buya pun mendoakan kebahagiaan Maetami. Kami sekeluarga senantiasa mendoakan kebahagiaan Maetami agar selalu diberkahi Allah SWT. Amiiin.
Lubuk Landur merupakan salah satu titik penyebaran Islam pertama di Kabupaten Pasaman Barat. Itu ditandai dengan keberadaan Surau Lubuk Landur yang usianya sudah mencapai 165 tahun.
Surau Lubuk Landur didirikan Buya Lubuk Landur I bernama Syech Basir. Beliau pertama yang merintis pengembangan ikan larangan di Sungai Lubuk Landur yang mengalir di sepanjang surau ini hingga desa-desa di sekitarnya. Syech Basir meninggal dunia 1922 pada usia 122 tahun.
Ikan Larangan kini menjadi salah satu obyek wisata yang ramai di kampungku. Letaknya persis di kaki Gunung Pasaman. Orang-orang juga banyak datang ke Surau Lubuk Landur untuk melakukan suluak, yaitu cara beribadah (i’tikaf) di tempat sempit tertutup kain sampai mendapat petunjuk Allah SWT. Sebagian lainnya dayang ke sini untuk berziarah ke makam Buya Lubuk Landur.
Ikan-ikan di sini disakralkan. Tidak ada orang yang boleh mengambil tanpa seizin buya. Jika ada yang mengambil tanpa izin, yang bersangkutan bisa meninggal dunia atau sakit setelah mengonsumsi ikan tersebut. Banyak pengunjung datang untuk mandi di sungai ini karena airnya dipercaya bisa menyembuhkan beragam penyakit.
Sungai Lubuk Landur dipenuhi dengan ikan. Jenis ikannya adalah gariang, yaitu ikan yang suka hidup di air deras dengan bentuk tubuh panjang, sisik besar, mirip dengan ikan bandeng yang ada di Jawa.
Malapeh Salero
Pulang kampung itu waktunya malapeh salero alias makan sepuasnya. Nothing beats mom’s cooking. Ibu memanjakanku dengan aneka menu masakan yang tak kujumpai bertahun-tahun tinggal di Bali. Memang benar kata orang, masakan ibu istimewa bagi anak karena dibuat dengan cinta.
Pacak ikan laut salah satu menu andalan keluargaku. Pacak ikan buatan ibuku sebetulnya berbahan sama dengan gulai pada umumnya. Hanya saja, cara memasaknya dengan dibakar. Pacak ikan bukan cuma khas Sumatra Barat, tapi juga dari Sibolga, Sumatra Utara. Bahan ikannya bukan cuma mujair, tapi juga bisa kakap, gurame, atau ikan laut, seperti ikan dori.
Mudik kali ini gak seribet traveling sebelumnya. Maetami udah bisa diajak makan homemade food. Jadi, kalo aku sedang malas masak khusus untuknya, Mae bisa ikut nyantap makanan buatan neneknya, termasuk pacak ikan ini.
Ibu sangat memanjakanku. Apa yang kuinginkan, semua dimasakin. Seperti punya lampu ajaib, anak tinggal bilang mau makan apa, lalu ‘abrakadabra’ sorenya mau buka puasa langsung jadi. Aheuy! Love u so much bunda.
Sayur favorit sepanjang masa, anyang pucuak batiak. Anyang (dalam bahasa Minang) berarti urap (dalam bahasa Jawa). Bedanya ada dua. Pertama, bahan sayur anyang tidak sebanyak urap, cukup daun pepaya, daun singkong, taoge atau kacang panjang. Kedua, anyang dalam pengolahan kelapa parutnya dioseng tanpa minyak terlebih dahulu, sedangkan urap tidak. Anyang tidak bisa disimpan lama-lama, harus langsung habis sebab berbahan kelapa.
Pernah juga sore hari pulang dari pasar, ibu membawakanku gulai langkitang. Ini dia nih salah satu menu yg selalu bikin aku kangen pulang. Langkitang adalah sejenis moluska bercangkang ramping dan panjang yg hidup di sungai. Super sehat karena high protein, dan lamak bana alias sedap sekali.
Buat newbi yg makan langkitang pasti bakal desperado karena butuh keahlian khusus untuk menyedotnya. Hehehe. Gulai Langkitang atau Gulai Cucuik (cucuik artinya sedot dalam bahasa Minang) dibuat dengan bumbu gulai khas Sumatra Barat menggunakan cabai rawit. Pedas pedas enak gimanaaa gitu.
Kalo belum ahli mancucuik alias menyedot langkitang, kamu bisa pakai lidi, tusuk gigi, atau pentul untuk mengeluarkan moluska ini dari cangkangnya. Kalo udah jago mancucuik, dijamin kamu bakal menikmatinya dengan riang gembira. Bon appetit!
Ibu Ayah suatu hari pulang dari Pantai Sasak, nungguin nelayan yg baru pulang nangkap ikan. Mereka berhasil memborong aneka seafood sebanyak ini, ada udang, kepiting, cumi, tenggiri, gambolo, teri basah, tamban, tandeman. Sorry beberapa pake nama lokal. Beli ikan sealaihim gambreng gini tahu gak harganya berapa? 180 ribu doang sodara-sodara. Subhanallah banget kaaaan?
Pasaman Barat itu kaya akan hasil laut. Luas perairannya sekitar 46.263 hektare (ha). Lebih dari 5.400 nelayan menggantungkan hidup pada sektor perikanan dan kelautan. Hasil tangkapan ikan lautnya rata-rata di atas 80 ribu ton per tahun.
Perikanan budidayanya juga gak kalah saing loh. Potensinya lebih dari 1.167 ha. Meski yang termanfaatkan belum sampai 50 persen, tapi produksinya udah di atas 3.000 ton per tahun.
Itu baru di hulu. Di hilirnya juga ada potensi pengolahan ikan yang mampu memproduksi di atas 7.000 ton pertahun. Keren kaaaaan?
Pasaman Barat punya segalanya. Sama seperti di Bali, bahkan lebih lengkap. Tapi perkembangan daerahnya jauh berbeda, bagaikan langit dan bumi.
Pasaman Barat punya gunung, pantai, laut, danau, pulau-pulau kecil yang indah untuk wisata, ditambah hasil perkebunan, khususnya kelapa sawit, perikanan laut, perikanan budidaya, kekayaan budaya, juga bandara lokal. Ibu-ibu di sini juga jago masak loooh, so kamu harus coba berkuliner ria di Pasaman Barat. Mau mencari surga baru? Silakan coba mendaki Gunung Talamau dan Gunung Pasaman, atau treking ke Air Terjun Situak.
Masyarakat Pasaman Barat sangat plural dan heterogen. Di daerahku misalnya, Jambak, itu singkatan dari Jawa, Minang, dan Batak, melambangkan keanekaragaman masyarakatnya.
Sayangnya tak banyak yang kenal kampung halamanku. Di perantauan, orang tahunya cuma Padang, Pariaman, atau Bukit Tinggi. Hihihi. Pasaman Barat ini memang relatif jauh dari ibu kota provinsi, sekitar 3 jam perjalanan, dan berbatasan langsung dengan Sumatra Utara. Kayak Bekasi atau Karangasem gitu deh 😀
Palai lauak atau palai ikan juga salah satu makanan tradisional Minang Kabau yang dibuatkan ibu untukku. Jika bahannya dari teri basah, maka namanya palai bada.
Ikan segar, kelapa parut, daun mangkokan dan daun kunyit diiris tipis, ditambah jeruk nipis, jahe, kunyit, bawang merah, cabai, garam dihaluskan. Semuanya dicampur dan diaduk menjadi satu.
Hasilnya dibungkus daun pisang yang sebelumnya sudah didiang di atas kompor. Palai lauak kemudian dibakar di atas bara kecil hingga matang.
Rendang lokan sudah menjadi menu wajib keluarga kami. Setiap hajatan dan perhelatan, seperti Idul Fitri tahun ini, ibu pasti memasak rendang lokan. Cerita lengkap soal rendang yg satu ini sudah pernah kutulis, silakan cek di sini.
Buka Bareng Sahabat
True friends stay forever beyond words, beyond distance, and beyond time. Iyel, Beta, Icha, Dara tetap di sana, tetap ada, tetap tak berubah.
Kami menyempatkan diri buka puasa bersama di rumahku. Kali ini ada yang berbeda dari kami semua. Jika dulu masing-masingnya datang ke rumah menggendong tas sekolah, kini sudah menggendong bayi.
Iyel sudah dikaruniai dua orang putra putri, Beta juga memiliki dua putri cantik, Dara seorang putri, dan Icha seorang putra. Dulu kami berkumpul di rumah ini mungkin sekadar main pas weekend, belajar bareng mendekati masa ujian, atau rehat menunggu jam sekolah sore. Sekarang setelah lebih dari 13 tahun sejak awal kami memakai seragam putih abu, diskusi kami sudah beda. Hampir semua topiknya adalah anak dan parenting, dan untuk pertama kalinya bayi-bayi kami bisa playdate.
Sambil menunggu bedug berbuka, kami membahas serba-serbi parenting. Ide-ide konyol pun muncul, termasuk bisnis bikin tempat penitipan anak bareng. Hehehe. Semoga silaturahmi tetap bisa terjalin ya sahabat.
Idul Fitri Tiba
Malam takbiran pun menjelang. Kami senang sekaligus sedih. Itu berarti liburanku tak lama lagi berakhir, tepatnya di hari ketiga lebaran.
Ayah ibu sesekali tampak murung. Mereka tak bisa menyembunyikan bahasa tubuhnya. Apa apa pengen gendong Mae, pengen main sama Mae. Ayah bahkan bilang, “Sebentar lagi rumah bakal sepi gak ada Mae. Ayah ibu berdua lagi deh.” Ayahku yang super cuek bisa berkata seperti itu.
Pagi hari kami bersiap menuju Masjid Raya Nurul Huda menunaikan Shalat Idul Fitri. Mae sudah berpakaian serba putih. Kakek menggendong cucunya ke masjid. Mae tampak sangat gembira bersama kakeknya.
Pulang dari masjid, kami sekeluarga langsung ke rumah nenek. Tradisi sama masih dilakukan di mana seluruh anak cucu cicit Abdul Muin berkumpul. Beberapa tahun belakangan jumlah kami yang berkumpul semakin berkurang drastis, terlebih setelah meninggalnya anak pertama nenek, Pak Ipul juga istrinya.
Para ponakan juga sepupu bergantian datang ke rumah. Rumahku sangat lah ramai dengan kehadiran mereka. Mae ceria, banyak saudaranya menjadi teman bermain.
Liburanku semakin lengkap dengan kedatangan Iwis, Bang Yardi, dan putra mereka, Bintang ke rumah. Iwis adalah sahabatku sejak kami masih duduk di bangku SMP.
Iwis pun tetap sama, baik itu kebaikannya, karakternya, tulusnya, senyumnya, ketawanya, pribadinya, mau SMP, SMA, kuliah, menikah, punya anak, semua tetap sama. Aku tak menyangka kami berdua bisa berlebaran bersama di kampung, mendulang cerita masa kecil, dan rencana-rencang ke depan 😀 Sejak SMA sejatinya kami udah beda sekolah, tapi jauh dekat tak ada yg bisa memisahkan kita, meski sekarang satu di Bali satu di Padang. Nothing makes the earth seem so spacious as to have a friend at a distance. She makes the latitudes and longitudes.
Pamit
Ini bukan rumah, ini kehidupan. Halaman itu menyimpan kenangan pertama kali aku bisa bersepeda, juga bermain bulu tangkis bersama adik.
Kolam di halaman depan dan samping yg kini sudah menjadi daratan tempat kami dan almarhum kakek memancing bersama setiap akhir pekan.
Pohon mangga golek itu pohon buah pertama yg ditanam ayah dan aku selalu sumringah setiap mangga yang ukurannya besar-besar itu berbuah. Ibu bahkan mengirimkan mangga itu ke Bali ketika aku ngidam saat hamil.
Halaman samping yg dulu penuh tanaman talas dan ilalang hijau itu tempat aku membawa jaring kecilku untuk berburu belalang, makanan burung-burung peliharaan ayah. Kolam kecil ayah tempat kami melepas ikan. Aku dan teman-teman sekolah juga sering masak bareng, makan bareng setiap acara kumpul bocah pas libur sekolah.
Perpisahan itu akhirnya terjadi juga. Ibu tak bisa tidur hingga jam tiga. Itu kusadari saat beliau masuk ke kamar dan merapikan selimutku.
Check in terakhirku di Bandara Internasional Minang Kabau adalah 09.55 WIB. Pagi hari pukul 06.00 WIB, mobil kami mulai melaju ke bandara.
Ayah ibu bergantian menggendong, memeluk, dan menciumi cucunya. Mereka sama sekali tak beranjak hingga pesawatku berangkat. Beberapa menit menjelang boarding, ketika baru selesai menyusui Mae di nursery room bandara, aku menyempatkan video call dengan ayah. Kulihat ayah menangis. Ibu pun membenarkan.
The worst sight in this world is seeing your parents cry. Oh ayah ibu, maafkan putrimu. Cuma bisa berdoa, semoga waktu baik kembali datang mempertemukan kita. Semoga Allah selalu menjaga kalian berdua. Sehat-sehat selalu ayah ibu.
Leave a Comment