Semua orang pernah menunggu, menunggu apapun itu. Menunggu datangnya jodoh, menunggu jadwal cuti tiba, menunggu tanggal gajian, menunggu dosen pembimbing skripsi, atau sekadar menunggu bus Transjakarta jurusan Ragunan-Monas seperti yang setahun lalu selalu kulakukan ketika hendak liputan ke Kawasan Thamrin, Merdeka, dan sekitarnya.
Menungguku kali ini beda, sejak lima bulan lalu tepatnya, dan kini tinggal cerita. Menunggu hari-H berjumpa dengan seorang anak laki-laki yang kupastikan akan menyaingi ayah dan suamiku sebagai pria paling tampan di dunia ini. Merekalah yang selalu membuatku jatuh hati.
Dialah putraku, Raffadia Muzafari Bogara (alm). Tak pernah kubayangkan nama itu akan tertulis di batu nisan yang menjadi peristirahatan terakhirnya di Pemakaman Wanasari, Denpasar, bukannya di selembar kertas sertifikat kelahiran buah hatiku tersayang. Banyak doa terselip dinama itu. Raffa berarti selalu berada di jalan yang benar. Muzafari berarti pria yang hidup dalam kemakmuran. Bogara adalah nama indah ayahnya.
Sejak bulan pertama mengetahui hasil test pack positif, aku sudah yakin mengandung anak laki-laki. Keyakinanku berubah 360′ padahal sebelumnya aku sangat menginginkan seorang anak perempuan. Mungkin ini namanya naluri seorang calon ibu.
Sempat bermimpi aku berada di taman menunggu seseorang, entah siapa. Banyak sekali pria di sekelilingku, dan tak ada seorang pun wanita di sana. Mimpi yg sedikit nakal dan membuatku malu menceritakannya pada suamiku. Sampai sekarang pun, aku tetap tak ingat siapakah yang kutunggu di mimpi itu, sebab dia tak pernah datang menghampiriku.
Suatu hari mas membawa pulang sate kambing dan dia memintaku memakan satu tusuknya. Semua orang yang kukenal tahu aku tak pernah makan kambing, sangat tidak suka dengan menu-menu kambing. Tapi entah kenapa sejak hamil si kakak, selera makan dagingku meningkat.
Daniel, sahabatku di Jakarta suatu hari mengirimkanku kado tahun baru berupa paket pakaian bayi laki-laki bermotif serba Superman di Januari 2015. Feelingku semakin kuat bahwa si kakak adalah jagoan.
Mas bilang sikapku juga berubah. Aku sering hiperaktif, melakukan semua pekerjaan rumah tangga penuh semangat sendiri. Jarang sekali aku minta tolong pada mas jika ingin mengerjakan sesuatu. Mas juga bilang aku jadi rewel, pecicilan, tapi kuat dan semangat. Ya, mungkin karena ada superboy di rahimku.
Setiap akhir bulan atau pekan pertama diawal bulan menjadi waktu yang selalu kutunggu. Bagaikan gadis cantik yang akan bertemu kekasihnya, begitu pula yang kurasakan setiap akan kontrol kandungan ke dr. Ida Bagus Semadi Putra. Bersama mas, kami akan bertemu kakak. Ya Allah, indahnya kenangan itu. Pasien dr. Semadi yang selalu membludak membuatku begitu bersemangat untuk mendapatkan nomer antrian 5 diawal. Wajahku langsung berubah bulat seperti bakpau saat aku mendapatkan antrian 15 ke atas. Jika itu terjadi, mas akan mengelus-elus perutku, meminta kakak untuk mengajak mamanya bersabar dan tidak ngambek. Hehehe. Senyumpun kembali terukir di wajahku.
Empat bulan pertama mengandung kakak, grafik kesehatan ibu dan janinku selalu meningkat. Alhamdulillah nyaris tak ada yang perlu kurisaukan soal kandunganku. Tak pernah sekalipun aku mendapat suntikan penguat janin. Dr. Semadi hanya memberi dua macam obat saja untukku, didominasi vitamin sehabis kontrol setiap bulannya.
Kehadiran kakak semakin membuat aku dan mas bersemangat. Setiap selesai dzuhur setia kulantunkan ayat-ayat Al-Quran untuknya. Mas pun sering mengaji diwaktu subuh. Tangan kanannya memegang Al-Quran, tangan kirinya memegang perutku. Bertambahlah sayang kami, bertambahlah syukur nikmat kami sebagai suami istri.
Senin, 16 Maret 2015
Kuperiksa lagi perlengkapan pribadi mas pagi itu, mulai dari baju, kemeja, celana, obat-obatan, multivitamin, tiket, laptop, charger, hingga kaos kakinya. Pukul 11.40 WITA adalah penerbangannya ke Jakarta. Alhamdulillah, mas mewakili Bali-Nusa Tenggara untuk mengikuti pelatihan kerja Telkomsel se-Indonesia di ibukota. Aku kenal mas. Dia seorang yang sangat suka memelajari hal-hal baru. Dia selalu bersemangat setiap kali mendapatkan training dari kantornya. Kuyakin kesempatan langka kali itupun ditunggu olehnya.
Pagi itu setelah subuh berjamaah, kami menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya di kamar. Aku merasakan perutku sedikit pegal. Sejak kontrol bulan keempat tanggal 3 Maret sebelumnya, aku kian jelas merasakan pergerakan si kakak di dalam perutku.
Dokter memberitahu bahwa bayiku tumbuh sangat sehat. Panjangnya sudah 12 cm dan berat badannya bahkan sudah 206 gram, di atas rata-rata janin 135 gram. Dokter bilang tak ada masalah meski ukuran janinku sedikit besar dari biasanya sebab masih dalam masa pertumbuhan. Sayangnya, waktu itu si kakak masih malu-malu menunjukkan identitasnya padaku, apakah dia laki-laki atau perempuan.
Mas tampaknya menangkap wajahku yang seperti kurang nyaman sembari mengelus perutku. “Pegal perutnya bagaimana sayang? Sakit sekali kah?” Tanya mas.
Perutku memang sedikit pegal dari biasanya. Namun rasanya itu wajar sebab aku harus terbiasa dengan pergerakan kakak dan ukuran rahimku yang semakin melar. “Iya mas, masih pegal. Tapi nanti juga hilang kok, kayak kemarin,” jawabku.
“Gimana kalo mas batalkan saja ke Jakartanya? Mas bisa ngomong ke HRD kok,” kata mas. Aku mulai merasakan kekhawatiran dinada suaranya.
Minggu sore, sehari sebelumnya aku sempat merasakan pegal yg sama, namun hilang beberapa saat kemudian. Pikirku hal sama terulang Senin pagi itu. Tanpa berpikir buruk sedikitpun, aku yakinkan mas untuk tetap berangkat ke Jakarta.
Mas lalu mencium perutku dengan lembut. Dia kembali berbicara dengan kakak dan mengucapkan doa yang sama.
“Assalamualaikum, kakak. Jadi anak yang shaleh ya sayang, anak yang pintar, berbakti pada orang tua. Cepat besar ya sayang, jadi anak yang sehat,” kata mas dan memberikan kecupan pertama dipagi itu. “Kakak, baik-baik ya sayang. Pelan-pelan saja mainnya di perut mama. Biar mama nggak sakit. Sehat-sehat ya sayang,” pesan mas dan memberikan kecupan keduanya.
Jam 08.30 WITA setelah sarapan seperti biasa kubukakan gerbang pagar. Mas menyetir mobilnya ke kantor. Mas bilang masih ada kerjaan yang harus diselesaikan, jadi jam 10 baru berangkat ke bandara dari kantornya.
Aku putuskan izin tak masuk kerja hari itu. Usai mengabari Kang Elba, aku langsung bedrest di kamar, berharap rasa sakitnya cepat hilang. Sekitar jam 11 siang aku terbangun dengan kondisi perut yang mendingan. Pegalnya sudah hilang. “Kakak udah bobok,” pikirku. Berdasarkan artikel yang kubaca, jam biologis janin berbanding terbalik dengan jam biologis kita pada umumnya. Janin cenderung nokturnal, aktif dimalam hari, pasif disiang hari. Jadi, jangan heran jika kita melihat banyak sekali ibu hamil alias bumil yang ngantuk berat disiang bolong. Itu ‘bawaan bayi’ katanya.
Kutunggu sampai mas meneleponku ketika boarding di pesawat. Akupun mengaji sambil menunggu dzuhur tiba setengah jam kemudian. Usai shalat, aku merasakan kembali pegal perut yang sama, akhirnya akupun kembali baringan di kamar dan tertidur lelap.
Sekitar pukul 15.30 WITA aku terbangun dan merasakan keram perut yang hebat. Ketika ke toilet untuk buang air kecil, aku mendapati ada cairan bening seperti putih telur di celanaku. Itulah pertama kalinya jantungku berdetak hebat dan merasakan ketakutan luar biasa sejak mengandung kakak.
Dengan sedikit menahan sakit aku mendatangi klinik dr. Semadi yang jaraknya hanya 100 meter (m) dari rumahku. Kujumpai seorang apoteker di sana. Aku meminta tolong padanya untuk menghubungkanku dengan dr. Semadi. Beliau memang hanya buka praktik mulai jam 7 malam. Sayangnya, dr. Semadi juga sedang tidak berada di Rumah Sakit Puri Bunda. Ketika melihat daftar antrian pasiennya malam itu, sudah lebih dari 45 orang. Akupun memohon untuk bisa periksa awal jam 7 malam. Sang apoteker pun menaruhku diurutan ke-7 sebab berstatus darurat.
Kuelus kembali perutku di rumah. “Sabar ya kak, jam 7 kita ketemu dr. Semadi. Kakak baik-baik ya sayang. Sabaaaar, cuma 3 jam lagi nak,” kataku. Kakak tampaknya memahami kondisi ibunya, dan sakit perutku pun hilang. Usai mengabari mas, aku pun kembali berbaring di kamar. Selesai maghrib, kukirimkan pesan singkat pada mas. “Papa, Tia USG kakak dulu ya sayang. Bismillah, insya Allah semua baik-baik saja. Tia jalan kaki kok ke kliniknya.”
“Ya sayangku, hati-hati ya. Minta seberangin sama tukang parkirnya. Kabarin mas terus ya.”
Pukul 19.30 WITA, akhirnya aku bertemu dr. Semadi. Kuceritakan apa yang kualami 24 jam terakhir. Dr. Semadi pun tampak mengerti dengan kondisiku. Dia memintaku berbaring di kasur pasien dan langsung melakukan USG.
“Bayi ibu dalam kondisi sehat. Grafiknya masih sama, terus membaik. Tempurung kepalanya sudah membulat sempurna. Tulang belakangnya juga sudah lengkap. Ini tangannya, ini kakinya, ini jantungnya. Detak jantungnya, mmmmmm, sudah, bagus, 154 kali per menit. Nah, itu, dia bergerak, ganti posisi,” ujar dr. Semadi sambil menggeser pointer USG ke berbagai sisi perutku. Akupun tersenyum melihat kakak dari layar televisi di hadapanku dan merasakan gerakannya.
“Jadi, cairan bening itu apa ya dok? Apakah itu ketuban?” Tanyaku. Dr. Semadi pun menjawab bahwa cairan bening itu wajar pada wanita hamil dan yang kualami itubukanlah ketuban. Sang dokter pun menanyakan apa saja yang rutin kumakan beberapa hari terakhir. Ketika aku menyebutkan pepaya, dr. Semadi menjelaskan pepaya bisa merangsang vagina mengeluarkan lendir berlebih jika dikonsumsi rutin. Meski demikian, lendir itu tak berbahaya. Pada wanita hamil di atas tujuh bulan, lendir itu justru mempermudah proses jalan bayi lahir. Selama tak menghasilkan flek, kandunganku menurutnya aman.
“Dokter, laki-laki atau perempuannya udah ketahuan?” sambungku.
“Sudah,” kata dr. Semadi, namun tak langsung menjawab pertanyaanku. Dia menambahkan cairan gel USG ke perutku dan kembali menggerak-gerakkan pointernya. Di layar, aku bisa melihat si kakak sangat jelas.
“Ini bisa kita lihat bakal alat kelaminnya yang sudah tumbuh. Anak ibu laki-laki, 99 persen,” kata dr. Semadi beberapa menit kemudian. Ya Allah, aku jatuh cinta pada bayi ini. Jawaban dr. Semadi membuatku lupa akan semua rasa sakit yang kurasakan seharian tadi.
Hanya dalam dua pekan sejak kontrol terakhir, kakak tumbuh begitu sehat. Kata dr. Semadi, ukuran tubuh kakak sekarang sudah 15,53 cm dan berat 347 gram. “Wah, bayiku besar sekali,” pikirku. Diakhir konsultasi kembali kuyakinkan diri bahwa kakak baik-baik saja. Karena tak ada masalah dengan rahimku, dr. Semadi mengatakan aku sama sekali tak membutuhkan suntikan penguat janin atau tambahan obat. Dokter hanya memintaku melanjutkan konsumsi vitamin yang sebelumnya diberikan.
Akupun pulang dengan tersenyum. Terus kuajak kakak berbicara sepanjang jalan. “It’s true, a baby boy.” Tak sabar aku ingin kembali melihat foto scan si kakak yang diprintkan dr. Semadi di buku rujukanku.
Jam 8 malam sesampainya di rumah, kukirimkan sebuah pesan singkat pada mas. Aku ingin dia mengetahui kabar gembira ini. “Selamat suamiku sayang. Papa insya Allah dapat calon insinyur junior. Tadi kakak udah kelihatan sama dr. Semadinya. Bismillah, insya Allah 99 persen cowok. Buat make sure, nanti tanggal 31, tia dan papa tetap periksa kakak lagi sayang. Alhamdulillah.” Kurang dari 10 detik, ponselku berbunyi, mas langsung meneleponku.
Selasa, 17 Maret 2015
Tepat tengah malam ponselku berdering, tertulis nama ayah di sana. Entah mengapa ayah tiba-tiba meneleponku. Ayah bilang dia belum tidur dan teringat aku. Ayah tanya kabarku bagaimana, kabar calon cucunya bagaimana. Beberapa hari sebelumnya aku sempat mengabarkan ayah bahwa aku mulai sulit BAB sejak hamil empat bulan, suka sembelit, dan kadang membuat perutku terasa begah. Ayah bilang aku harus banyak makan buah, khususnya pisang dan pepaya. Kata ayah itu wajar sebab ibu dulu juga begitu.
Dari arah pembicaraan ayah aku tahu bagaimana perasaannya. Apalagi ketika kuceritakan akhir-akhir ini kakak aktif menyundul perutku dan kadang aku merasakan sakit. Ayah bilang, sepulangnya ibu dari Kalimantan nanti, sekitar April atau Mei, sebaiknya ibu menemaniku sampai proses lahiran di Bali.
Aku sempat menolak dan mengatakan terlalu cepat. Sejauh ini, mas banyak membantuku di rumah. Jika ibu sudah di Bali sejak kandunganku lima bulan, siapa yang menemani ayah?
Ayah mengatakan dirinya sama sekali tak keberatan ibu lebih awal ke Bali. Kembali diulanginya ucapannya, “Tia itu hamil pertama, cucu pertama juga bagi kami. Tubuh Tia masih labil, harus ekstra dijaganya, ndak boleh kerja berat. Kalo ada apa-apa, sama siapa bertanya, suami Tia bekerja. Justru kami khawatir kalo Tia sendirian di rumah seperti sekarang,” kata Ayah.
Setelah hampir 20 menit lamanya kami berbicara di telepon, ayah mengakhiri pembicaraan. Kuteguk segelas air putih yang selalu ada di sisi kiri tempat tidurku, kemudian melanjutkan istirahat malamku.
Sekitar jam 3 dini hari aku merasakan sakit yang luar biasa di perutku. Setiap kakak bergerak, perutku menegang dan mengeras. Rasanya sama seperti kemarin, namun entah kenapa intensitasnya kini lebih sering dari biasanya. Kubaca dzikir beberapa kali, kemudian rasa sakit itu hilang. Tak berapa lama kemudian, kakak bergerak lagi dan aku kembali merasa kram perut luar biasa. Tampaknya kakak tidak nyaman. Apapun posisi tidurku, telentang, miring ke kiri, ke kanan, tak berpengaruh sama sekali mengurangi rasa sakitnya.
Aku berjalan ke kamar mandi ingin buang air kecil. Betapa terkejutnya aku. Cairan bening yang sama seperti kemarin sore muncul kembali, namun kali ini ada bercak kecoklatan. Ya Allah, apakah ini flek? Aku menangis panik sambil menahan sakit yang luar biasa. Namun kembali kukuatkan diriku, mencoba untuk tidak stres sebab semua bergantung pada diriku sendiri.
Tubuhku berkeringat hebat. Rambutku basah, meski AC kamar menyala. Kulihat jam menunjukkan pukul 03.30 WITA. Akupun memutuskan mandi pagi itu. Kunyalakan shower air hangat, kubasahi kepalaku, kubersihkan seluruh badan sambil terus berpikir dan berdoa. Satu-satunya hal yang terlintas adalah ke rumah sakit segera.
Usai mandi dan berpakaian, aku merasa sedikit nyaman. Kucoba mencari nomor kontak Rumah Sakit Puri Bunda, tempat praktik dr. Semadi. Resepsionis mengangkat teleponku. Kuceritakan kondisiku dan meminta bantuan padanya. Petugas itu mengatakan dr. Semadi tidak sedang di rumah sakit, namun ada dokter dan bidan jaga lainnya. Akupun diminta datang ke Puri Bunda segera untuk mendapatkan pertolongan pertama jika dibutuhkan.
Aku bergegas menghubungi taksi Bluebird dan meminta dijemput ke alamat rumah. Setelah memberikan nomor telepon dan alamat lengkap, langsung kuambil tas sandangku dan memasukkan sejumlah barang yang mungkin saja kuperlukan jika harus menjalani rawat inap. Kuambil dua lembar pakaian ganti, beberapa pakaian dalam, mukenah, Al-Quran, buku rujukan dokter, dan sabun. Tak lupa kupastikan membawa dompet, uang tunai, dan kartu asuransi kesehatan yang diberikan mas untukku sebulan lalu.
Setelah memastikan semua perlengkapan, aku menghubungi mas yang sedang tertidur lelap. “Sayang, Tia izin ke rumah sakit ya? Perut Tia sakit lagi. Cairannya ada lagi, tapi ada bercak kecoklatan. Tia ke rumah sakit mau memastikan semua baik-baik saja.”
Kudengar nada penuh kekhawatiran dari mas di ujung sana. Dia menanyai apa yang kurasakan. Kuceritakan semua yang kualami sejak tengah malam tadi. Mas memintaku untuk terus mengabarinya. Mas kembali menawarkan untuk pulang ke Denpasar segera, tapi aku menolak dan tetap memintanya untuk melanjutkan kegiatan. Mas pun akhirnya meminta izin untuk memberitahukan mama papa di Banyuwangi, supaya keduanya bisa datang menemaniku di Denpasar. Jarak Denpasar-Banyuwangi biasa ditempuh 4-5 jam perjalanan. Akupun bilang pada mas akan memberitahu ayah dan ibu segera.
Taksi yang kupesan belum juga datang. Sudah 10 menit kumenunggu. Kuambil Al-Quran, kulanjutkan mengajiku yang sudah masuk ke surat ke-14, Ibrahim. Setelah menyelesaikan dua halaman bacaan, ponselku berdering, supir taksi sudah menungguku di depan rumah. Bismillah, kubaca Al-Fatihah sepanjang perjalanan sambil terus whatsapp-an dengan mas. Mas memintaku untuk mencatat nomor dan nama supir taksi yang kutumpangi.
Sekitar 20 menit perjalanan akhirnya aku sampai di RS Puri Bunda. Kujumpai resepsionis dan mengisi lembar formulir data diri. Kusisipkan kartu asuransi kesehatanku di dalam formulir itu. Resepsionis sempat bertanya siapa yang sakit dan sedikit kaget ketika mengetahui akulah pasiennya. Petugas itu sempat bertanya siapa waliku atau orang yang menemani di rumah sakit. Kujawab, mama papa sedang dalam perjalanan ke sini dan aku bisa mengurus semua sendiri.
Seorang suster langsung menuntunku ke ruang pasien UGD dan memintaku berbaring. Di ruang tunggu sebelumnya kulihat ibu-ibu hamil yang tampaknya siap untuk melahirkan. Jumlahnya mungkin ada empat orang, ditemani keluarga mereka.
Kata suster, dokter jaga segera datang memeriksaku. Sakit yang luar biasa kembali kurasakan, kakak bergerak lagi. Perutku menegang, aku terus beristighfar dan memohon pertolongan pada Allah sembari berbaring di kasur pasien di ruangan 3×4 m itu.
Tiga menit kemudian seorang dokter perempuan datang ditemani suster tadi. Aku ceritakan semua keluhanku padanya, khususnya flek coklat itu. Akupun meminta sang dokter untuk melakukan scan jantung bayiku, hanya ingin memastikan kakak baik-baik saja. Suster pun datang membawa alat detektor seukuran kotak P3K. Kurasa itu alat scan detak jantung bayi. Kudengarkan jantung kakak berbunyi sangat aktif. Ah, nak, alhamdulillah. “Kakak baik-baik ya sayang,” tuturku.
Dokter mengatakan detak jantung bayiku masih aktif, 160 kali per menit. Ya Allah, kakak aktif sekali. Padahal, waktu periksa ke dr. Semadi tadi malam, detak jantungnya masih 154 kali per menit. Dokter itu pun mengatakan dia akan melaporkan kondisiku saat itu juga via telepon ke dr. Semadi, kemudian mendiskusikan langkah berikutnya yang harus dilakukan. Sementara itu, dokter memintaku untuk tetap rebahan dan istirahat menunggu informasi selanjutnya.
Hampir 30 menit aku terbaring di ruangan itu ketika suster yang sama datang membawakanku baju ganti. “Ibu, berdasarkan arahan dokter, ibu diminta bedrest setidaknya 1×24 jam di rumah sakit. Kami akan mengobservasi kesehatan ibu dan janin ibu. Ini baju ganti pasien, mohon ibu memakainya, dan ini (suster mengeluarkan dua buah benda sebesar kapur tulis yang panjang masing-masingnya 3 cm), tablet ini harus dimasukkan ke saluran rektal atau anus. Apakah ibu mau memasukkannya sendiri atau saya bantu?”
Aku sedikit canggung. “Ini untuk apa suster?”
“Tablet ini sudah berdasarkan arahan dokter. Minimal 24 jam, ibu harus bedrest dan melakukan semua aktivitas sambil berbaring, termasuk pipis dan buang air besar. Kami akan mengobservasi ibu secara berkala dalam satu hari ini dan melaporkan perkembangannya ke dokter.” Tanpa banyak tanya lagi, langsung kulakukan semua arahan suster itu. Akupun meminta izin ke kamar mandi untuk berwudhu. Suster pun mengizinkan, namun itu yang terakhir sebelum aku dipindahkan ke kamar khusus pasien.
Usai subuh, kukabari mas segera. Mas bilang, mama papa, nenek akan ke Denpasar setelah sarapan. Mama pun sempat menelepon dan memintaku tetap tenang, tetap berdzikir, dan berdoa. Beberapa perawat lalu datang membawa kasur dorong dan memindahkanku ke kamar pasien, Supraba 304.
Satu hari penuh kuhabiskan dengan berbaring di kamar. Setiap satu jam, seorang suster datang mengecek jantung, cairan di vagina, dan kondisi kandunganku. Itu juga kali pertama aku buang air kecil dengan pispot. Oh, betapa tidak nyamannya menjadi pesakitan. Namun demi kakak, semua rela kulakukan. Aku juga diberikan tablet Nifedipine oleh dokter untuk penenang. Alhamdulillah, kontraksi kakak yang biasanya kurasakan setiap lima menit perlahan berkurang menjadi setiap15-20 menit.
Sekitar jam 1 siang mama, papa, nenek sampai di rumah sakit. Wajah mereka khawatir, terutama nenekku yang sudah 94 tahun. Kembali kuceritakan semua kronologis kejadian yang kualami.
Sekitar jam 3 sore aku menerima kunjungan Pak Ahmad Baraas, wartawan senior Republika di Bali. Pak Aas tahu kondisiku dari Kang Elba. Beliau tampak asik berbicara dengan papa. Pembicaraan mereka yang didominasi politik negara yang hot saat ini juga menarik perhatian mama. Nenek dan aku asik memakan buah semangka sambil sesekali bergabung di percakapan ketiganya. Hanya satu jam Pak Aas menemani kami, lalu berpamitan pulang sebab masih harus mengirimkan berita terakhirnya hari itu.
Pukul 18.30 WITA selesai makan malam, dua suster datang ke kamarku. Seorang di antara mereka membantu mengelap badanku. Bahkan untuk berganti pakaianpun aku dilarang duduk. Benar-benar bedrest total.
Suster kedua kembali memeriksaku sama seperti sebelumnya. Kuberanikan diri untuk bertanya. “Suster, melihat kondisi saya sekarang, suster pasti pernah menemukan kasus yang sama. Saya berbicara kemungkinan terburuknya suster, apakah yang seperti saya ini masih bisa bertahan meneruskan kehamilan atau tidak?”
Suster itupun tersenyum sambil terus melanjutkan pemeriksaannya. “Banyak yang kondisinya seperti ibu. Ada yang bertahan, ada juga yang tidak. Kebanyakan pasien dengan ab-iminens bisa bertahan jika rahimnya kuat. Ini juga bergantung pada si ibu. Nah, ibu jangan berpikir terlalu berat ya, jangan stres, tetap tenang supaya bayinya juga tenang. Kalo ibu stres, bayi ibu bisa merasakannya. Dokter pasti mengusahakan sebaik mungkin. Ibu akan baik-baik saja. Sama-sama berdoa ya?”
“Ab-iminens itu apa suster?”
“Itu kondisi seseorang dalam ancaman keguguran. Banyak kasus seperti ibu dimana plasenta bayinya terletak di bawah. Karena terletak di bawah, jika gerakan bayi terlampau aktif, seringkali plasenta terluka. Inilah yang kemudian menyebabkan ibu hamil kontraksi atau kram, sampai menimbulkan flek.”
Kucoba mencerna kalimat-kalimat suster itu, tetap optimis, dan berpikiran positif. Kuajak kembali kakak mengobrol, sesekali bersenandung lagu ‘Terlanjur Sayang’ milik Memes. Ya, aku suka sekali lagu itu dan sering menyanyikannya untuk kakak, apakah itu sedang di motor saat pergi atau pulang liputan, ketika memasak makan malam untuk mas, atau saat mandi sore.
Malam menjelang, kontraksi kakak yang mulai mereda kurasakan sore tadi kembali aktif. Mungkinkah khasiat obat penenangnya sudah habis? Pikirku. Usai tayamum dan shalat dalam posisi tidur, kulanjutkan mengajiku di surat Ibrahim tadi pagi. Sesekali aku beristighfar saat firasat buruk mulai menghampiriku. Aku teringat dengan pengorbanan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar yang mengikhlaskan putra kesayangannya, Ismail untuk dikorbankan atas perintah Allah. Dari surat Ibrahim, bacaanku terhenti di Surat An-Nahl. Tujuh ayat terakhir yang kubaca tertulis sebuah ayat yang menguatkan imanku pada qada dan qadar Allah.
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan Kami pasti akan memberikan balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl 96)
Hampir satu jam mengaji, mama datang kembali menemaniku setelah menyiapkan makan malam untuk papa dan nenek di rumah. Mama tetap tersenyum saat menanyakan kondisiku. Ketika kontraksi hebat itu datang lagi, mama bershalawat sambil mengelus lembut perutku. Kakak kembali tenang dan memberiku kesempatan bernapas panjang. Akan tetapi tak lama kemudian gerakan kakak aktif kembali. Rasanya dia seperti bergerak melingkar di perutku. Mama dengan sabarnya terus bershalawat.
Kontraksi kakak benar-benar tak bisa kutahan lagi. Mama panggilkan suster dan tak lama dokter datang memeriksaku. Dokter bilang aku harus diinfus supaya lebih kuat, lebih tenang, dan sakitnya berkurang.
Ya Allah, aku takut. Aku takut jarum suntik dan selang infus. Beberapa kali kunyatakan itu ke mama. Mama mencoba menenangkanku. Mama bilang, jika aku tenang, nadinya bisa ketemu dan cukup sekali suntik saja.
Sekitar pukul 21.00 WITA dokter dan perawat datang kembali memasangkan selang infus di tubuhku. Kupegang tangan mama sambil berdzikir dan alhamdulillah, hanya satu kali suntik dan selang infuspun sukses terpasang di pergelangan tangan kiriku. Kudengar mama berbicara, suster bilang dia akan datang setiap 10 menit untuk mengecek kondisiku.
Samar-samar aku terbangun. Jam dinding di hadapanku tampak menunjukkan pukul 22.30 WITA. Mama masih setia duduk di sampingku. Setiap aku merasakan kontraksi, mama terus bershalawat. Setengah sadar aku kembali mendengarkan mama berbicara dengan suster yang berdiri di sampingku.
“Bagaimana ibu? Apakah Ibu Mutia sudah berkurang kontraksinya?”
“Belum sepenuhnya suster. Tadi kontraksinya sempat berkurang, cuma sekali dalam 15 menit. Tapi sekarang datangnya cepat lagi, kadang tiap 5 menit, kadang 7 menit,” jawab mama.
“Baik ibu, kami akan terus naikkan dosisnya dua tetes setiap 10 menit. Tadi kita mulai dengan 8 tetes, maksimal hanya boleh 24 tetes. Sekarang saya sudah naikkan sampai 18 tetes,” jawab susternya.
Aku terus merasakan kontraksi hebat. Sesekali aku mengeluhkan sakit pada mama. “Sakit maaa. Perut Tia sakit maaa. Sekuat tenaga kucoba tetap berkomunikasi dengan kakak. “Nak, nanti kita main-main lagi ya sayang. Kakak tenang dulu ya nak. Yang tenang ya nak,” ujarku. Aku tak ingat lagi setiap detail perkataanku di tengah rasa sakit itu.
Kucoba berdamai dengan sakit hebat ini. Aku tak lagi melawan sakitnya, tak lagi mengeluarkan suara, hanya air mata yang tak bisa kubendung lagi. Aku sadar, kakak mungkin juga kesakitan di dalam sana. Mungkin gerakan-gerakannya beberapa jam terakhir bukan lagi gerakan cerianya seperti biasa. Dalam hati, kuserahkan jiwa ragaku pada Allah. Aku terus memohon agar Allah menyelamatkan bayiku. La hawla wala quwwata illa billahil aliyyil azim.
Rabu, 18 Maret 2015
Lewat tengah malam, di tengah perjuanganku menahan kontraksi kakak, aku merasa seperti ingin buang air kecil. Belum sempat kupanggil mama dan suster, secara tiba-tiba keluar dengan sendirinya cairan dari tubuhku. Aku tak bisa mengendalikannya, semua keluar begitu saja. Aku yakin itu adalah cairan ketuban dari kantong rahimku. Setengah berteriak, aku memanggil mama, suster, dokter meminta tolong.
Mama tampak berlari keluar memanggil suster. Tak lama kemudian, sejumlah perawat mengelilingiku. Salah satu dari mereka memeriksa dan menempelkan kertas lakmus ke cairan itu.
“Iya, ini ketuban gek,” kata salah satu dari mereka. Aku mulai panik, suster tetap berusaha menenangkanku. Aku memohon mereka semua menyelamatkan kakak. Tak jelas apa respon mereka, yang bisa kulakukan hanyalah minta tolong mereka semua supaya bisa melindungi janinku. Kulihat mama mulai menangis sambil tetap membelai keningku dan memegang tanganku.
Setengah sadar aku merasa kasur yang kutiduri didorong keluar dari kamar 304 itu. Aku kembali menangis menahan sakit yang tak terperi. Sampailah aku di ruang operasi. Tiga orang perawat dengan wajah tertutup masker menanganiku. Aku mulai merasakan haus di kerongkongan. Aku minta minum ke mama dan semua suster yang ada di ruangan itu, tapi mereka menolak memberikannya. Belakangan kuketahui bahwa aku tak boleh minum sebab baru saja pendarahan dan akan melahirkan prematur, normal, tanpa bius.
Katanya, setelah melahirkan, sebagian besar otot tubuh tetap berfungsi normal, kecuali otot-otot di organ pencernaan. Perlu beberapa waktu sampai otot-otot di organ pencernaan tersebut berfungsi normal kembali. Jika sebelum itu seseorang makan atau minum, maka akan sangat berbahaya sebab apapun yang dimakannya tidak akan pergi kemana-mana, kemudian membuat saluran pencernaan mampet.
Tak lama kemudian dr. Semadi muncul di ruang operasi. Aku menyadarinya dan menangis memohon dr. Semadi menyelamatkan bayiku. Sayangnya, permintaanku itu tak bisa dikabulkan Kudengar mama menanyakan kondisiku yang berubah drastis kurang dari 24 jam. Dr. Semadi pun heran sebab dia menyatakan kondisi kandunganku sangat baik berdasarkan hasil kontrol semalam sebelumnya.
Ya Allah, tak kuat rasanya membayangkan bagaimana pengalaman pertamaku melahirkan si kakak dimasa-masa kritis itu. Melahirkan bayi yang genap umurnya memang sakit, namun menimbulkan rasa bahagia yang luar biasa. Tapi, sakitnya menggugurkan kandungan sepertiku ini pasti lebih pilu. Wanita manapun yang pernah melahirkan normal pasti tahu bahwa disetiap sakitnya melahirkan, akan ada jeda untuk istrahat sejenak dan mengambil napas. Tapi, sakit yang kurasakan saat itu tidaklah sama, sakit yang tanpa jeda, sakit yang terus menerus dan semakin bertambah kuat. Apalagi, ketika dokter dan suster melakukan observasi menggunakan beberapa alat di saluran rahimku, sungguh sakitnya tak bisa kubayangkan lagi.
Aku terus beristighfar, berurai air mata ketika kurasakan jantung kakak masih berdetak di tubuhku. Dia masih bergerak meski kutahu dia juga kesakitan di sana. Ya Allah, masih kurasakan detik-detik perjuangan kakak yang mencoba bertahan tetap ada di kandunganku, hingga terakhir kalinya dia tak tertolong lagi. Aku sedih, aku sakit, aku marah, tapi tak berdaya. Para perawat bergantian membujukku supaya tetap tenang dan sabar. Mereka mengatakan itu adalah proses yang harus kulalui dan selalu mengingatkanku akan kekuasaan Allah.
Takdir berkata lain, cintaku pada kakak bagaimanapun tak bisa mengalahkan cinta Yang Maha Kuasa padanya. Empat bulan dan 18 hari, segitulah lamanya Allah SWT mencukupkan waktuku bersama kakak. Kami berpisah sebelum sempat berjumpa. Allah lebih menyayanginya. DijadikanNya kakak sebagai tabungan amal kami di surga. DiambilNya kembali apa yang menjadi milikNya. Innalillaahi wa innailaihi rajiun. Rabu, 18 Maret 2015, hari itu Kakak Raffa berpulang padaNya.
Tulisan ini kupersembahkan untuk semua yang pernah merasa kehilangan, untuk para istri di luar sana yang mungkin juga pernah menunggu si jantung hati tanpa sempat bersua. Percayalah, Allah adalah arsitek kehidupan terbaik di dunia ini. Dialah yang Maha Menciptakan, Dia juga Maha Merencanakan. La tahzan, ikhlas dan bersabarlah.
Leave a Comment