“Mas, aku tidak bisa mengatakan bahwa aku menyukaimu ketika pertama kali kita bertemu, atau saat kita bersama untuk kedua kalinya. Tapi, aku ingat saat pertama kali aku melihatmu berjalan ke arahku di Central Park –Taman Anggrek itu, aku menyadari, sejak hari itu seluruh dunia tersenyum padaku.”
Mutia Ramadhani
Sebuah pesan whatsapp dari Rifki masuk sewaktu aku sedang mengetik berita di kantorku, Kamis, 30 Mei 2013. Di pesan itu, Rifki mengabarkan niatnya untuk libur akhir pekan ke Jakarta. Awalnya, aku mengira wajar saja itu dilakukannya. Toh, keluarganya ada di Bekasi. Dia juga pulang mungkin untuk bertemu Pak Indra di sini. Tapi, siapa sangka Rifki menyebutkan bahwa dia ingin bertemu denganku.
[START CHAT on May 30, 2013]
Bogara:
“Tia, aku besok pulang ke Jakarta.”
Muthe:
“Oya? Wah, asik dong Ki, ketemu keluarga lagi. Selamat ya?”
Bogara:
“Iya, sekalian mau ketemu Tia. Boleh?”
Muthe:
“Ketemu aku? Hmmm. Boleh.”
Bogara:
“Tapi, Tia Sabtu Minggu ini ke Bogor gak?”
Muthe:
“Rencananya begitu. As usual. Kenapa Ki? Kamu mau ikut aku ke Bogor?”
Bogara:
“Boleh, boleh. Udah lama juga aku gak jalan ke Bogor.”
Muthe:
“Oke Ki. Nanti kabari aja kalo udah sampai di Jakarta dan kalo mau jalan ya?”
Bogara:
“Oke sippo.”
Keesokan harinya, tepatnya Jumat malam, 31 Mei 2013, Rifki mengabariku bahwa dia sudah sampai di Jakarta. Dia kembali menanyaiku mengenai rencana ke Bogor esok hari. Waktu membaca pesan Rifki, aku merasa kasihan. Jika kupaksakan ke Bogor Sabtu ini, mengingat perjalanan menggunakan kereta, Rifki pasti akan sangat capek karena dia baru sampai Jakarta semalam.
Akhirnya, aku memutuskan mengajak Rifki berjumpa di Jakarta saja. Setelah mempertimbangkan jarak, akses, dan kemudahan untuk bertemu, Rifki mengusulkan tempat yang jarang sekali kukunjungi, Mal Taman Anggrek. Sabtu pagi, aku terlebih dahulu menghadiri pernikahan dua orang sahabatku, Poe dan Dieta di Tebet. Akad nikah mereka berlangsung jam 9 pagi. Aku pun menginformasikan Rifki untuk ketemuan disiang harinya. Rifki pun setuju.
Bogara:
“Tia, bagaimana kalo kita ketemuan di Taman Anggrek? Tia gak apa-apa?”
Muthe:
“Taman Anggrek? Ya Ki, gak masalah. Jam berapa? Soalnya, besok pagi, Muthe harus ke nikahan Poe dan Dieta dulu.
Bogara:
“Siangnya juga gak masalah Tia. Setelah shalat dzuhur, sekitar jam 1, bagaimana? Kita main ice skating yuk?”
Muthe:
“Ice skating? Ki, Tia gak bisa mainnya. Tia temani Rifki aja ya? Nanti Tia tungguin Rifki main.”
Bogara:
“Tia, Rifki juga gak bisa. Kita coba sama-sama. Oke?”
Muthe:
“Hmmm. Iya deh. Deal. Setuju. See you Ki.”
Bogara:
“Sampai ketemu besok, Tia.”
Aku pamit lebih dulu dari pesta pernikahan Poe dan Dieta sekitar pukul 11.00 WIB. Pasalnya, aku butuh minimal satu jam di perjalanan menuju Taman Anggrek. Mengenakan sweater cokelat, jilbab hitam, dan sepatu hitam blink blink, aku langsung naik Transjakarta dari Halte Pejaten, transit di Halte Kuningan, dan turun di Halte Taman Anggrek.
Jujur, itu adalah pertama kalinya aku ke Taman Anggrek. Wilayah Jakarta Barat, selain Manggala Whana Bhakti dan Hotel Peninsula, jarang sekali kujamah. Aksesnya sangat jauh dari Pejaten, Jakarta Selatan. Saat masih dalam Transjakarta di Kuningan, Rifki tiba-tiba mengirimkan pesan permintaan maafnya untuk datang terlambat satu jam, sebab dia terjebak macet pulang kunjungan dari rumah Pak De dan Buk De nya.
Insiden kecil dan memalukan terjadi padaku. Tepat sekitar pukul 13.20 WIB, aku mengirimkan pesan pada Rifki bahwa aku sudah ada di tempat yang kukira adalah Taman Anggrek. Padahal aku tidak sadar bahwa aku sedang berada di Central Park, mal lain di samping Taman Anggrek. Sekitar 20 menit kemudian Rifki membalas pesanku bahwa dia juga sudah ada di tempat yang sama.
Rifki berkata bahwa dia mengenakan kemeja biru kotak-kotak. Sedangkan aku menyampaikan ciri-ciri pakaianku padanya. Namun, tak juga kutemukan sosok Rifki di tengah ratusan manusia yang berseliweran di lantai dasar Central Park (yang kukira Taman Anggrek) itu. Akhirnya, aku menghampiri seorang petugas satpam dan memberikan ponselku padanya. Aku meminta Rifki untuk berbicara dengan satpam itu.
“Tia, Tia bukan sedang di Taman Anggrek, tapi di Central Park. Tunggu di sana ya? Rifki jalan ke Central Park,” ujar Rifki kemudian menutup teleponnya.
Aku pun meminta keterangan satpam itu kemudian memutuskan ikut menyusul ke Taman Anggrek, atau minimal bertemu Rifki di tengah jalan. Pak satpam bilang padaku bahwa Taman Anggrek cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Aku merasa bersalah dan kasihan pada Rifki, sehingga kuputuskan menyusulnya ke Taman Anggrek.
Keluar dari Central Park, aku berjalan ke kiri, kemudian belok ke kanan. Sepanjang jalan, aku berusaha menghubungi ponsel Rifki, namun dia tak kunjung mengangkatnya. Di lokasi pedestrian itu, dari kejauhan, aku melihat sosok yang kuyakini adalah Rifki, berdasarkan fotonya yang kulihat di Facebook. Kurang dari lima meter, aku meyakinkan diri bahwa itu adalah Rifki. Laki-laki berkacamata itu berjalan sambil menundukkan kepalanya.
“Rifki ya?” sapaku sambil mengangkat sedikit dua telunjukku ke arahnya.
“Muthe ya?” jawabnya sedikit terkejut, kemudian membagi senyum.
Aku pun merasa lega sekali bertemu dengannya. Aku ulurkan tanganku padanya. Itulah perkenalan pertama kami. Beberapa kali aku meminta maaf pada Rifki karena keteledoranku yang salah masuk gedung. Begitu sampai di lantai dasar Taman Anggrek, Rifki mengajakku menaiki eskalator menuju ke sebuah tempat makan siang. Rifki mengajakku ke restoran Jepang, Udon Nikku. Di sana, kami makan mie udon berdua.
Pertemuan layaknya dua teman pun terjadi. Rifki ramah, memiliki suara yang lembut, tertawa yang renyah, dan senyuman yang manis. Dia tidak pendiam seperti yang kubayangkan sebelumnya. The important thing is, he treats me very well. Dia sangat sopan. Bogara membawakan mangkuk udonku ke meja bersama miliknya. Dia bercerita sedikit tentang acara jalan-jalannya di Jepang. Khususnya ketika kulihat dia membersihkan meja makan kami dengan tisu setelah santap siang itu selesai.
Pengunjung restoran di Jepang, kata Rifki, selalu membersihkan meja makan kembali dan merapikan letak piring kotor bekas makanan di baki semula, sebelum meninggalkan restoran. Tujuannya, supaya pengunjung berikutnya yang akan menggunakan meja tersebut merasa nyaman karena meja sudah bersih.
“Habis makan, kita shalat, trus main ice skating yuk?” ujar Rifki lagi.
Aku pun menjawab tawaran Rifki dengan wajah sedikit memelas.
“Ki, Muthe gak bisa main ice skating. Nanti Muthe kayak pinguin, jalan miring kanan kiri.”
Rifki pun tertawa kembali.
“Tia, you must try. Ayo, nanti kita belajar sama-sama,” ujarnya.
Mushola Taman Anggrek berada di lantai yang sama dengan Restoran Udon Nikku. Kurang dari 15 menit, tepatnya pukul 16.00 WIB, kami berdua sudah berada di depan sky rank. Rifki mengukur nomor kakiku dan memilihkan sepatu yang pas untukku. Tak lama kemudian aku sudah mengenakan sepatu ice skates yang berpisau pada bagian solnya. Aku tak memiliki masalah ketika berjalan di locker sepatu bersama Rifki waktu itu. Namun, begitu kaki kananku menginjakkan kaki ke lantai seluncur itu. Aku sama sekali tak bisa bergerak banyak, selain memegangi tonggak ice ring yang berada di dinding-dinding lapangan ice skating itu.
Rifki bohong padaku. Aku melihatnya sudah lancar bermain olah raga yang satu itu. Dia bahkan sempat berkeliling ice ring tanpa canggung sedikit pun. Beberapa kali Rifki memapahku dengan sabar dan mengajariku cara melangkah dengan lancar di lapangan es itu. Aku lebih sering terjatuh dan mulai kedinginan. Tanganku memerah dan sedikit terluka karena serutan es. Apalagi aku tidak memakai sarung tangan. Rifki tak bosan membantuku berdiri kembali dan memegangi tanganku untuk menjaga keseimbangan, sehingga aku bisa meluncur kembali. Merasa canggung, aku pun beberapa kali lebih memilih berpegangan pada bahunya dari belakang, seperti anak kecil yang sedang main ‘ling keliling orang buta’ dan ‘kereta api.’
Tepat pukul 16.30 WIB, lapangan ice skating itu ditutup sementara karena waktunya dibersihkan dan es kembali dibekukan. Seluruh skaters baru bisa melanjutkan permainan tepat pukul 17.00 WIB. Rifki dan aku duduk di ruang istirahat di depan sky rank bersama pengunjung lainnya. Rifki terlihat mengamati sepatu seluncurku.
“Tia, ikat sepatunya bukan begitu. Itu kurang kuat, makanya Tia sering jatuh,” ujar Rifki.
Captain Bogara, sapaan lainku untuknya, langsung berjongkok dan membuka tali sepatuku. Dia mengikatkan ulang talinya beberapa kali. You know what? Itu pertama kalinya aku merasa deg-degan sejak bertemu Rifki. Tiga puluh menit terakhir, Rifki dan aku kembali berada di ice ring. Kami kembali berpegangan tangan. Rifki mengajariku untuk melangkah ke kanan, kaki sedikit ditekuk seperti ‘X’ dan berjalan pelan membawa diri ke depan, ke kiri dan ke kanan dengan langkah membuka. Sesekali Rifki melepaskan pegangannya dan menggodaku untuk maju menyusulnya yang sedang berdiri di depanku. Aku pun melakukannya, berhasil beberapa detik, dan kembali terjatuh. Diakhir permainan, aku berjanji pada Rifki bahwa suatu hari nanti aku pasti bisa bermain ice skating.
Meski tangan dan kakiku lecet, celana sedikit basah, namun aku merasa sangat senang mencoba permainan baru hari itu. Tepat pukul 18.00 WIB, kami menunaikan shalat maghrib. Sebagai ucapan terima kasih atas ajaran ice skating sore itu, aku mengajak Rifki untuk menonton film. Ini baru benar-benar hobiku, menonton di bioskop. Hehehe. Antrian tiket malam itu cukup panjang, hingga akhirnya kami memutuskan menonton animasi ‘Epic 3D.’ Jujur, ini adalah pertama kalinya dalam dua tahun terakhir aku ke bioskop hanya berdua saja dengan seorang teman laki-laki.
Pukul 21.00 WIB, film selesai, dan kami memutuskan pulang. Rifki bilang dia ingin mengantarkanku pulang. Namun, aku tahu Bekasi sangat jauh, sehingga aku hanya bersedia ditemani Rifki sampai di Kuningan. Di sana, kami berpisah dengan taksi masing-masing dan saling mengucapkan terima kasih, juga selamat malam.
Leave a Comment