Kukira pertemuan dengan Rifki hanya sebatas Sabtu itu saja. Tapi ternyata Rifki menghubungiku kembali keesokannya.
Bogara:
“Tia. Hari ini masuk kerja kah?”
Muthe:
“Gak Ki. Muthe gak piket hari ini. Ada yang bisa dibantu?”
Bogara:
“Tahu Pasar Kenari dimana? Rifki mau beli sesuatu di sana.”
Muthe:
“Pasar Kenari itu ada di Salemba Ki. Dekat dengan Kampus UI. Pasar kabel-kabel listrik itu kan?”
Bogara:
“Iya. Kalo gak sibuk, Tia mau temani Rifki?”
Muthe:
“Boleh. Enaknya ketemuan dimana ya? Soalnya ke sana sebaiknya naik Transjakarta. Rifki, tahu Halte Harmoni? Nanti Rifki dari Semanggi naik Transjakarta saja ke Harmoni. Muthe tunggu di sana ya?”
Bogara:
“Oke. Makasih ya Tia.”
Muthe:
“You’re welcome.”
Alhasil bertemulah aku dengan Rifki kembali. Aku sampai lebih dulu di Halte Harmoni yang nyatanya penuh sesak hari itu. Setelah kutelusuri, penyebabnya adalah antrian penumpang Transjakarta yang menuju ke Ancol. Hari Minggu itu bertepatan dengan konser boyband Korea Selatan, Super Junior. Aku pun memilih duduk di bangku tunggu penumpang. Setelah mengirimkan beberapa pesan teks ke Rifki, akhirnya kami bertemu juga. Thank God, kami tak butuh lama untuk mengantri naik Transjakarta, seperti para Elf Suju yang bejibun itu.
Sesampainya di Halte Salemba UI, kami mendapati Pasar Kenari sebagian besarnya tutup. Agaknya, pasar ini sama halnya dengan Pasar Tenabang yang aktif dihari kerja dan hanya buka secara terbatas diakhir pekan. Syukur alhamdulillah, ada satu kompleks pertokoan empat lantai yang masih buka. Rifki dan aku pun memutuskan mendatangi gedung itu.
Di lantai dasarnya, Rifki membeli serangkaian peralatan jaringan yang dibutuhkan untuk pekerjaannya. Ini hal baru bagiku, menemani seorang engineer pertama kalinya. Aku tak punya teman seorang engineer yang bekerja di perusahaan telekomunikasi seperti dia. Jadi, dunianya adalah hal baru untukku. Rifki suka pantai, aku suka gunung. Rifki suka tidur lebih awal, aku suka tidur lebih larut. Rifki suka sate kambing dan lele, aku tak suka keduanya. Mungkin sebab itu pula tak ada kata bosan di antara kita.
Mengenal Rifki, sama halnya dengan menemukan dunia baru yang menyenangkan. Semakin aku dekat dengannya, semakin aku ingin mengetahui banyak hal tentangnya. Beberapa kali Rifki dan aku naik turun eskalator untuk menemukan alat-alatnya yang masih kurang. Di lantai tiga, setelah kami menunaikan shalat dzuhur, secara tak sengaja Rifki bertemu dengan teman kuliahnya. Aku tak mendengarkan pasti apa isi percakapan mereka.
Dari Pasar Kenari, Rifki bermaksud mencari warung sate Padang. Agaknya, dia sudah rindu dengan makanan yang satu itu. Sayangnya, tak ada satupun gerobak sate Padang yang kami temui di Salemba. Kami akhirnya melanjutkan perjalanan ke Plasa Semanggi. Di sana, Rifki mencarikan headset untuk papa dan adiknya. Tak lupa, Rifki mengisi beberapa games baru ke hardisk untuk X-Box nya.
Waktu begitu cepat berlalu. Setelah makan siang dengan tom yam di food court, Rifki dan aku duduk berdua di salah satu bangku shelter di Semanggi. Kami menunggu waktu maghrib datang. Setelah itu, Rifki akan pulang karena keesokan harinya dia harus kembali ke Kupang.
Tak ada yang istimewa dari perpisahan Minggu malam itu. Rifki dan aku berjabat tangan saat kami berpisah di bawah sky way Semanggi. Rifki sampaikan terima kasih padaku, sebab telah menemaninya dua hari terakhir di Jakarta. Aku pun demikian terhadapnya, dia sudah mengajakku jalan-jalan mencoba hal-hal baru.
Aku menghabiskan waktu lama untuk duduk di bangku Halte Semanggi. Satu hal yang tidak Rifki tahu, rasanya pertemuan singkat itu tak cukup untukku. Ada rasa senang dimana aku menemukan kawan baru, kemudian kita bermain bersama, namun permainan yang menyenangkan itu harus berhenti tiba-tiba.
Entah mengapa, malam itu aku tak bisa tidur. Aku habiskan sepanjang malam untuk bermain game di komputer, sesekali membuka laman Facebook, Twitter, atau Republika Online. Sekitar jam 02.30 WIB dini hari, kucoba mengirimkan pesan pada Rifki lebih dulu.
“Rifki, sudah siap-siap ke bandara? Semoga perjalanannya lancar dan menyenangkan sampai di Kupang. Makasih ya Ki? Udah ajak Muthe jalan-jalan. Sampai jumpa lagi.”
Tak lama setelah itu, Rifki kembali mengirimkan balasannya padaku.
“Ini sedang di taksi. Tia, Rifki pulang ke Kupang ya? Rifki senang kita bisa bertemu langsung, gak cuma di chat. Terima kasih ya Tia? Sudah
menemani Rifki selama liburan di Jakarta. Next time, kita makan sate Padang bareng ya?” tulisnya.
Lama kupandang layar ponselku itu. Sedikit tersenyum, aku membalas pesannya.
“Sama-sama Ki. Muthe juga senang bisa menemani Rifki jalan. Amin. Lain waktu kita makan sate Padang bareng ya? Sampai jumpa lagi. Hati-hati di jalan,” balasku.
Hanya selisih beberapa menit setelah pesan Rifki, tiba-tiba giliran Kak Linda mengirim pesan whatsapp padaku.
Linda Pluto:
“Gimana ketemuannya dengan Rifki? Nyambung?”
Muthe:
“Eh, Kak Linda. Kok belum tidur?”
Linda Pluto:
“Di sini masih jam 9 malam Muthe. Jadi gimana? Kalian cocok? Rifki bilang apa?”
Muthe:
“Anaknya baik Kak Linda. Rifki sopan. He treats me very well. Kita temenan Kak Lin. Masalah cocok, it’s too early. Hehehe. Rifki pulang ke Kupang hari ini Kak. Tapi dia bilang, next time kita makan sate Padang bareng ya? Katanya.”
Linda Pluto:
“Ya. Kode itu The. Kamu bilang aja, makasih udah jalan-jalan bareng. Trus bilang hati-hati di jalan atau apa kek, sebelum dia ke bandara.”
Muthe:
“Sudah Kakak. Hehehe.”
Linda Pluto:
“Oke. Mudah-mudahan kalian berjodoh ya? Amin.”
Muthe:
“Hehehe. Kak Linda bisa aja.”
Linda Pluto:
“Rifki itu baik The. Aku dengar cerita, begitu dia kerja di Telkomsel, dia langsung bilang bahwa dia ingin biayai kuliah adiknya, Si Gifan. Aku aja yang bukan orang tuanya terharu banget ada anak seperti itu. Kalian cocok, insya Allah.”
Muthe:
“Insya Allah Kakak. Kalo memang jodohnya.”
Leave a Comment