“Aku suka ketika tak sedetikpun kamu lepaskan genggaman tanganmu dariku. Aku suka satu jam kebersamaan kita di bandara sebelum kepulanganmu ke Kupang.”
“Aku suka melihat wajahmu sedikit mengernyit karena tak tahan dengan kopi pahit yang salah kamu pesan. Aku suka setelah kamu mengecup keningku di sana, aku masih bisa mencium wangi parfummu di tanganku.”
“Aku suka kamu menjadi orang terakhir yang kuajak berbicara sebelum aku pergi tidur. Aku suka karena itu semua membuatku sadar bahwa aku ingin menghabiskan masa depanku bersamamu, Mas.”
Hari masih sangat pagi, pukul 04.00 WIB. Aku sudah menuju ke Cengkareng. Sebuah jaket abu-abu berlengan merah hati kupeluk sepanjang perjalanan. “Mas ku pasti sangat membutuhkannya,” batinku.
Aku mengenakan sweater dan jilbab merah muda, celana hitam, dan sepatu putih. Damri yang kutumpangi bahkan sampai lebih dulu dari Rifki. Setelah 15 menit duduk di bangku bandara, dari kejauhan, kulihat Rifki mengampiriku.
“Mas mau bawa Tia ke Kupang. Mau ya?”
Rifki kembali mengucapkan kata-kata itu, kata-kata yang membuatku selalu merasa sedih karena aku terlalu mencintainya. Kami pun berjalan bersama ke gate Garuda Indonesia. Usai check-in, Rifki kembali menghampiriku yang menunggu di luar. Kami menghabiskan satu jam tersisa untuk duduk bersama disalah satu coffee shop bandara.
Kupikir Rifki tahu dengan jenis kopi espresso yang dipesannya. Kopi murni dengan rasa kental ekstrak biji kopi itu memang terasa pahit bagi yang pertama kali meminumnya. Namun, rasa manis kopi itu akan terasa beberapa saat setelah meminumnya di tenggorokan. Aku masih ingat kami duduk berdekatan di coffee shop itu. Itu adalah kedua kalinya kami saling berpegangan tangan, setelah malam sebelumnya, Rifki dan aku makan malam di Solaria Sky Dinning, Plasa Semanggi.
“Apa ni sayang? Pahit,” ujar Rifki ketika meneguk sekali kopi di cangkirnya.
Aku pun tertawa melihat Rifki mengernyitkan keningnya. Wajahnya tampak sangat lucu. Aku pun memberikan botol air mineralku padanya. Rifki meminumnya, untuk mengurangi rasa pahit kopinya. Sementara, aku sangat menikmati kopi itu hingga habis. Untungnya, masih ada chocholate cake di hadapan kami. Rifki dan aku pun bergantian saling menyuapkan satu sama lain. So romantic!
Kebersamaan yang sangat singkat itu harus berakhir sekitar pukul 06.30 WIB. Rifki harus segera masuk karena 30 menit lagi dia akan boarding. Di pintu masuk terminal, aku mencium tangan kanannya. Tak kusangka sama sekali, Rifki mengecup lembut keningku. I am gonna miss this moment.
[START CHAT @15.43 WIB / 16.43 WITA on Aug 17, 2013]
Mutia ‘Muthe’ Ramadhani:
“Sayang, di sini sepi. Kirim whatsapp ke Rifki susah di kosan Tia.”
Rifki M Bogara:
“Iya, sayang. Rifki juga nunggu whatsapp dari Tia. Rifki telepon Tia juga susah.”
Mutia ‘Muthe’ Ramadhani:
“Jangan telpon sayang, di luar ada ibu kos dan ibu-ibu tetangga lagi pada ngerumpi. Tia aja pakai headset.”
Rifki M Bogara:
“Hohooo. Pantesan. Lagi ada yang ngehindari ibu-ibu yang suka ngerumpi ya?”
Mutia ‘Muthe’ Ramadhani:
“Hehehe. I miss you, Captain. Tia kasih kamu espresso ya?”
Rifki M Bogara:
“Gak mau. Pahit.”
Mutia ‘Muthe’ Ramadhani:
“Tapi, Rifki masih maksain minum waktu itu. Wajah Rifki lucu. Rifki maksain suka, padahal Rifki gak suka. Espresso itu biangnya kopi sayang, pahitnya lebih dominan ketimbang manisnya. Tapi, kalo minumnya pelan-pelan, manisnya bakal kerasa. Makanya, kebanyakan orang ngehabisin waktu lama untuk nikmati espresso di coffee shop. That’s life, harus dinikmati pelan-pelan. Momen di coffee shop bandara kemarin bakal Tia ingat terus, bareng kamu.”
Rifki M Bogara:
“Kapok beli kopi mahal. Udah mahal, item, pahit lagi. Rifki sayang Tia.”
Mutia ‘Muthe’ Ramadhani:
“Yang pahit itu crema-nya sayang. Kopinya gak pahit kok, ada manisnya. Tia sayang Rifki juga.”
Rifki M Bogara:
“Masa sih? Kok kemarin itu pahit semua ya?”
Mutia ‘Muthe’ Ramadhani:
“Mmm, mungkin karena lihat Rifki, jadi Tia rasain kopinya manis. Hehehe.”
Rifki M Bogara:
“Rifki manis ya sayang? Cakep ya?”
Mutia ‘Muthe’ Ramadhani:
“Rifki itu manis. Wajahnya manis, kelakuannya manis, cintanya ke Tia juga manis. Rifki baik.”
Rifki M Bogara:
“Tia cantik sayang. Tia penyayang juga. Terima kasih sayang.”
Ada yang bilang, kita tidak akan pernah kecewa jika kita selalu mengendalikan harapan. Aku menunggu harapan dan janji Rifki untuk kembali pada Februari tahun depan. Sampai jumpa lagi, Mas.
Leave a Comment