1 Agustus 2013, aku sudah berada di rumahku, Pasaman Barat, Sumatra Barat. Keesokan harinya, Rifki menyusul pulang dari Kupang ke Jakarta dan berangkat melakukan perjalanan tour dengan mobil ke Padang bersama keempat anggota keluarganya.

Pada 5 Agustus 2013, Rifki memenuhi janjinya untuk berkunjung ke rumahku, berkenalan dengan ayah dan ibu. Oh, Tuhan, betapa penyayangnya dia. Aku merasa seperti sedang berada di dunia matriks yang serba cepat. Kurang dari satu bulan berkenalan Rifki sudah mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Baru satu bulan usia pacaran kami, Rifki memenuhi janjinya untuk bertemu kedua orang tuaku.

“Aku selalu berdoa padamu, Ya Allah. Berikanlah rasa cinta yang bisa mendekatkan kami padaMu. Berikanlah kami (Rifki dan aku) cinta yang senantiasa menuntun kami lewat jalan kebaikan.” 

Malam itu, keluargaku dan keluarga Rifki berada disatu meja makan yang sama. Aku senang Rifki akhirnya menepati janjinya untuk datang ke rumah dan berkenalan dengan ayah ibuku. Meski kami dekat dan bisa saling memandang satu sama lain, namun aku tetap saja tak bisa menatap matanya. Mata Rifki adalah kelemahanku. Jangankan untuk menatapnya langsung, bahkan menatapnya lewat video skype seperti yang beberapa waktu terakhir ini kami lakukan, aku masih belum bisa melakukannya.

Di tengah perbincangan ayah, ibu, amay, bersama papa dan mama Rifki, kami sempat saling berkirim pesan melalui whatsapp masing-masing. Rifki bilang dia merindukanku, hal sama seperti yang kurasakan saat ini.

“I miss you,” tulisnya.

Menjelang pukul 23.00 WIB, hanya ada Rifki dan aku di ruang keluarga itu. Dengan pelan, Rifki kembali bertanya padaku, apakah aku sudah percaya dan menerima niat baiknya untuk menjadikanku pendampingnya.

“Tia mau?” Tanya Rifki lagi padaku.

Aku hanya mengangguk beberapa kali dan tersenyum padanya.

“Tia maangguak-angguak se. Baa ko,” ujar Rifki menggodaku.

Aku pun tertawa pelan.

“Iya,” jawabku menegaskan.

Kudengar Rifki mengucapkan alhamdulillah. Usai shalat isya, kami pun saling berucap selamat tidur dan berpisah. Keesokan harinya, sebelum Rifki dan keluarganya kembali ke Padang Panjang, aku sempatkan membawa Rifki ke rumah nenek, juga mengenalkannya pada Mang Uyung, Tante Yuli, Teteh Herda, Mas Aji, Kak Mima, dan Tika. Aku kembali bahagia karena respon Teteh sangat positif pada Rifki. Terima kasih Allah, kembali Engkau mudahkan jalan kami. Di rumah, disaat yang lainnya sedang berkemas, Rifki memintaku untuk mengikutinya ke mobil. Mungkin di sanalah kesempatan terakhir kami untuk berbicara berdua saja.

“Sayang, insya Allah, nanti November kita tunangan, Februari menikah. Rifki minta, jika ada yang bisa Rifki bantu, Tia bilang saja. Jika masih ada yang kurang, yang Tia inginkan, Tia bilang saja. Ya?”

Aku pun mengangguk. Rifki menggenggam tanganku erat. Betapa beratnya perpisahan itu.

“Cuma dua hari kita ketemu di sini. Tapi itu pun tak banyak waktu untuk kita berdua. Tapi Rifki lega sekali, keluarga kita sudah bertemu. Gak cuma Tia yang sudah mengenal keluarga Rifki, tapi Rifki juga sudah mengenal keluarga Tia.”

Pukul 09.00 WIB pagi itu, Rifki beranjak dari rumahku. Dia pergi membawa rasa rinduku yang dalam untuknya. Kami berjanji akan bertemu lagi di Jakarta, satu hari sebelum kepulangan Rifki ke Kupang.

Share:

Leave a Comment