Minggu, 3 November 2013 @ Universitas Pancasila, Pejaten Phillips, My Room
Kusempatkan lagi membahas beberapa soal latihan yang semalam kubaca. Ayah, Ibu, dan Mak Uwo, setelah acara pertunanganku , sudah berada di tempat Sandi, di Depok. Mereka bilang, mereka tak ingin menganggu konsentrasiku belajar. Jadi mereka memutuskan untuk tidak menginap di kosanku Sabtu dan Minggu ini.
Pukul 07.30 WIB aku sudah berada di Fakultas Hukum, Universitas Pancasila. Aku bersyukur aku mengikuti ujian seleksi CPNS Kementerian Kehutanan di kampus adikku. Aku juga bersyukur Sandy mau menjemputku ke Pejaten dan mengantarkanku ke kampusnya, menembus kemacetan Ragunan yang juga ramai oleh pengunjung. Entah mereka adalah pengunjung kebun binatang itu, atau mereka yang juga menggunakan jalur yang sama untuk menuju kampus UP.
Aku mendapatkan ruangan yang sama dengan beberapa teman kuliahku, seperti Arman, Ucok, juga istri Bobi sahabatku, Mutia. Ada sekitar 120 soal yang harus kuselesaikan dalam waktu dua jam saja. Sedikit menghela napas lega aku akhirnya keluar dari ruang ujian sekitar pukul 10.10 WIB. Pengawas ujian memberikan waktu tambahan bagi kami selama 10 menit untuk memeriksa ulang seluruh lembar jawaban.
Betapa bahagianya aku ketika turun dari lantai dua bangunan kampus merah putih itu. Di sana, seluruh keluarga, bahkan Rifki menyambutku. Ada senyum di wajah mereka. Kebahagiaanku semakin lengkap mana kala aku sempat mengenalkan Rifki ke sejumlah temanku, seperti Bobi, Mutia, Arman, dan Safinah. Bahkan kami sempat foto bersama.
Ya Allah, aku rindu sekali dengan Mas ku ini. Dia tampak sedikit berkeringat. Aku tahu pasti dia pasti kepanasan dengan suhu udara Jakarta. Aku pun mengeluarkan kipas untuk mengurangi panas yang dia rasakan. Setelah meminta izin ayah dan ibu untuk membawaku jalan-jalan, Rifki dan aku akhirnya bertolak ke Pejaten Phillips.
Rifki memenuhi janjinya untuk mengajakku nonton bareng. Jadilah kami berdua menonton film ‘Thor: The Dark World’ di Teater 2 XXI, pukul 13.00 WIB. Aku sangat ingin menonton film itu. Ini adalah film pertama yang Rifki dan aku tonton setelah kami berstatus tunangan. Artinya, kami sama sekali tidak pernah menonton bersama diwaktu kami berstatus pacaran. Hahaha. Rifki dan aku begitu larut dengan film fiksi itu, khususnya dengan akting Tom Hiddleston yang memerankan tokoh Loki.
Rifki selalu menggenggam tanganku. Aku suka dia melakukannya. Sesekali, Rifki merebahkan kepalaku di bahu kanannya. Ya, aku memang sedikit mengantuk waktu itu. Sejak Jumat, sehari sebelum acara pertunangan kami, aku hanya tidur empat jam. Sabtunya, setelah acara selesai, aku juga harus belajar dan bangun pagi.
“Sayang, kalo mau bobok, boboklah,” kata Rifki.
Aku tak mungkin melakukannya, tidur di bahunya dan membiarkan film selesai begitu saja. Seandainya Rifki tahu, betapa beharganya satu detik dengannya bagiku. Waktu-waktu kebersamaan kami seperti saat ini akan sangat kurindukan, sebab jarak memisahkan.
Sesekali Rifki mengecup cincin pertunangan kami, menyuapkan coklat untukku. Dia begitu memanjakanku. Meskipun terkadang aku takut jika itu semua akan melumpuhkan semua kekuatanku ketika kami berjauhan nanti. Rifki selalu bilang, semakin hari dia semakin tak bisa jauh dariku. Aku sedih setiap kali Rifki memintaku mendampinginya selalu di Kupang. Aku malu untuk mengakui bahwa semakin hari aku semakin lemah untuk itu. Oh Tuhan, betapa aku mencintainya dengan seluruh perasaanku.
Begitu film ‘Thor’ selesai, Rifki ingin sekali mengetahui kosanku. Alhasil, aku mengajaknya, sembari menunggu maghrib dan Rifki kembali ke Bekasi. Aku sempat mengenalkan Rifki ke ibu kos.
“Sayang, kamar Tia penuh sekali.”
Begitulah komentar pertama Rifki ketika masuk dan mengamati kamarku. Ya, memang, kamarku sedang penuh dengan berbagai atribut anak kosan. Maklum, sudah hampir delapan tahun aku hidup di Bogor dan Jakarta. Sejak kuliah, selain komik dan koleksi DVDku, belum ada barang yang kukembalikan ke rumahku di Pasaman.
Hal yang membuatku tak bisa menyembunyikan tawa adalah ketika Rifki mengomentari botol kecap yang kugunakan untuk menyangga stop kontak listrik. Jika botol kecap itu diangkat dari posisinya, maka seluruh peralatan listrikku akan mati. Rifki juga tak bisa menyembunyikan rasa gelinya melihat solusi yang kuberikan dengan menempatkan botol kecap asin itu sebagai penyangga stop kontak supaya tetap ON.
Rifki duduk di kursi rotanku, satu-satunya kursi lesehan yang ada di kamarku. Ketika melihat kalender, kami kemudian menyusun tanggalan mengenai rencana pernikahan kami yang insya Allah akan dilangsungkan pada 14 dan 15 Februari 2013.
Rifki bercerita banyak hal. Khususnya mengenai rencana bulan madu kami. Rifki juga berharap aku sempat datang ke Kupang dan memasukkan salah satu jadwal cutiku di sana. Kami memutuskan untuk berbulan madu ke Bali, tanpa mengambil tour guide, menjalani semuanya berdua. Apalagi, Rifki cukup mengerti Bali.
Bingung harus melakukan apa, selanjutnya aku memutarkan film animasi ‘Brave’ untuk Rifki. Aku yakin dia suka, sebab film itu sangat lucu. Apalagi, Mas ku yang satu ini sangat betah berlama-lama di depan televisi. Hehehe. Rifki pun memintaku duduk di sampingnya. Kadang aku menjadikan lututnya sebagai penopang daguku. Ingin rasanya aku menghentikan waktu menikmati kebersamaan kami seperti ini.
Seperti yang kukira, Rifki menyukai film itu. Buktinya? Dia bahkan beranjak duduk dari kursi rotanku, lebih mendekat ke arah TV. Hmmm, wajahnya terlihat menggemaskan. Aku lebih suka menonton Rifki dibandingkan menonton televisi. Hahaha. Mungkin demikianlah jika kami berumah tangga nanti, Rifki akan mendominasi TV dibandingkan aku.
Senin, 4 November 2013 @ Rumah Rifki
Mama mengundang ayah dan ibu untuk berkunjung ke rumah mereka di Bekasi. Aku pun berjanji kami akan sampai pukul 13.00 WIB. Rifki sudah menungguku di Mall BTC dan membawaku ke rumahnya. Ini kedua kalinya Ayah dan Ibu bertemu Mama dan Papa Rifki di Jakarta.
Alhamdulillah, aku begitu bersyukur pada Allah, kedua keluarga kami dipertemukan dalam keharmonisan. Banyak hal yang mereka bahas, termasuk rencana syukuran pernikahan di Bekasi dan Jember.
Mama juga menyajikan makan siang untuk kami. Masakan Mama lezat, walaupun sedikit pedas. Kulihat Mas ku tersayang itu berkeringat dan meminum banyak air putih. Mama bilang, Mama menggunakan cabai pedas dari Padang Panjang dalam masakannya. Wah, pantas saja Rifki begitu kepedasan. Hehehe.
Dari hasil pertemuan itu, disepakati beberapa rencana pernikahan kami. Akad nikah akan berlangsung pada Jumat, 14 Februari 2014, dilanjutkan resepsi pernikahan pada 15 Februari. Pada 16 dan 17 Februari, Rifki dan aku akan tinggal di rumahku. Baru kami melanjutkan perjalanan untuk bulan madu pada 18 Februarinya.
Mama bercerita bahwa Rifki harus mengikuti beberapa prosesi adat di keluarga besarnya di Padang Panjang. Beberapa perwakilan keluargaku akan turut serta menghadirinya.
Malamnya, setelah maghrib, Rifki kembali mengantarkanku ke Halte APTB di BTC. Tanpa ragu, Rifki tetap menggenggam tanganku. Sesampainya di kosan, Ibu mencium ubun-ubun kepalaku ketika aku sedang duduk di depan laptop. Saat itu, ibu bilang, Ibu sangat bahagia melihat Rifki sangat menyayangiku. Terima kasih, Allah.
Selasa, 5 November 2013 @ Plasa Semanggi, Central Park, Taman Anggrek
Cuaca sedikit mendung hari ini. Setelah menyelesaikan penulisan beritaku, aku pun berjanji bertemu dengan Rifki di Plasa Semanggi (Plangi) jam 1 siang. Ini adalah hari terakhir kami bersama, sebab besok Rifki akan kembali ke Kupang dengan pesawat jam 5 pagi.
“Sayang, Mas tunggu di depan Balai Sarbini ya?” tulis Rifki di pesan whatsapp siang itu.
Aku pun akhirnya melihat sosok tercinta itu sedang duduk di bangku di depan jalan masuk Balai Sarbini. Begitu bertemu, Rifki kembali meraih tanganku. Aku pun berjalan di sisi kanannya sembari sesekali mengelus lengannya dengan tangan kananku.
Mula-mula, aku menemani Rifki mengisi beberapa games di hardisknya. Hal yang hampir tak pernah absen dalam acara pertemuan kami jika bertempat di Plangi. Rifki memintaku tak banyak bertanya dan hari itu aku harus mengikuti seluruh kata-katanya. Dari Plangi, Rifki membawaku ke Central Park.
Rifki bilang dia sangat ingin menonton film ‘Captain Phillips’ dan itu hanya ada di Blitz Cinema. Awalnya, kami berniat untuk mencarikan alat bantu dengar untuk nenek. Kami melihat pendengaran nenek sudah terganggu. Sayangnya, alat sejenis itu tidak dijual umum di mal-mal besar. Buktinya, di Taman Anggrek, termasuk Plangi, tak kami temui benda itu.
Dalam perjalanan taksi kembali ke Plangi, aku kembali bersandar di bahunya. Aku sangat mengantuk waktu itu, lelah sekali. Namun, aku tak ingin melewatkan kebersamaanku bersamanya sebab besok kami akan berpisah.
“Tidak ada yang bisa hilang jika itu adalah kenangan.”
Aku ingin menjaga kenangan ini bersama Rifki. Sama halnya ketika Rifki selalu setia memberikanku senyum dan kasih sayangnya. Dia juga setia mengucapkan ‘selamat malam’ untukku. Senyumnya sangat tulus, riang, dan menenangkan. Rindu yang senantiasa timbul, saat kami jauh, bahkan saat kami sedekat ini.
Setelah makan malam di food court Plangi, sebelum pulang, Rifki menarik tanganku masuk ke salah satu toko perhiasan di mal itu. Rifki membelikanku sepasang cincin untuk pernikahan kami nanti. Ini tak pernah kukira sebelumnya. Kupikir, cincin pertunangan kami lebih dari cukup. Namun, Rifki juga ingin aku mengenakan cincin pernikahan.
Setelah memilih model yang cocok, kami menyepakati sepasang cincin emas putih. Rifki sedikit kewalahan mencarikan cincin yang muat di jari manis kananku. Maklum, jari-jariku ini sangat kecil. Sedangkan cincin pertunangan kami saja terasa longgar.
Di Halte Kuningan kami berpisah. Aku menyimpan kekuatan, berusaha untuk tidak menangis berpisah dengannya malam itu. Kujaga sebaik mungkin perasaanku, juga menolak untuk menatap matanya. Aku tak cukup yakin jika aku tetap kuat.
Rifki membelai lembut kepalaku saat kami duduk di bangku tunggu penumpang. Tak banyak penumpang yang mengantri malam itu. Mungkin karena hari itu adalah Selasa. Rifki mengecup lembut pipi kiriku. Tak lama kemudian, kami berpisah.
“Time passes, but not fast enough. I try to be strong, but I am not tough enough.”
Leave a Comment