“I dreamed of a simple wedding. My house filled with family and friends who would pray for my happiness. Then, I asked him, what kind of a wedding he wished for? He said, one that only would make me as his wife.”

1394376_10202371798325230_218150695_n

Sabtu, 2 November 2013 @ Omah Pincuk, Pejaten, Pasar Minggu

Hari bahagia itu akhirnya datang, hari pertunangan Rifki dan aku. Meski ibu sudah mematikan lampu kamarku semalam, jujur, aku masih sulit tertidur lelap, memikirkan acara esok hari. 

Satu jam sebelum waktu yang dijanjikan, aku sudah berada di Omah Pincuk, Pejaten – Pasar Minggu. Restoran Sunda – Oriental itu adalah pilihanku sebagai tempat yang menjadi saksi ikatan awalku dengan Rifki.

Tanganku berkeringat, seperti biasa yang selalu terjadi jika aku gugup dan takut. Apalagi ketika keluarga Rifki dari Bogor datang lebih dulu dari Rifki. Aku begitu panik, namun tetap mencoba untuk tenang. Bahkan, aku lupa memakai lipstick-ku.

Uni Nini, saudara Rifki, bilang wajahku sangat pucat. Dia kemudian meminjamkanku lipstick dan memintaku memakainya. Ketika Teh Ririn datang tak lama kemudian, aku sedikit merasa tenang. Teteh menenangkanku supaya aku tidak gugup dan tetap santai. Tak lama kemudian, Rifki dan keluarganya datang. Aku menyambut mereka di pintu masuk.

Aku senang akhirnya melihat Mas ku kembali. Dia sangat tampan mengenakan batik dobi pilihanku itu. Aku jadi teringat waktu Rifki dalam candaannya bilang dia adalah cowok paling tampan se-NTT. Kurasa itu ada benarnya juga. Lagi-lagi, aku begitu menikmati senyumnya. Dia memiliki senyum termanis yang membuat siapapun yang melihatnya akan merasa tenang dan nyaman, termasuk aku.

Ayah dan Pak Angah dari perwakilan keluarga Rifki saling bertukar pandangan satu sama lain. Aku tak mengerti dengan beberapa frasa Bahasa Minang yang mereka ucapkan. Yang jelas, suasana di lantai atas Omah Pincuk itu terasa penuh kekeluargaan.

Aku mencoba menahan tangis bahagiaku ketika Mama melingkarkan sebuah cincin di jari kiriku. Sebelumnya, aku dan ibu sempat khawatir ketika Papa lupa membawa cincinnya. Aku takut itu adalah pertanda buruk. Ibu yang duduk di sampingku mencoba menenangkan diri dengan genggamannya di tangan kananku.

Syukur alhamdulillah terucap dalam hati dan lisanku ketika Ibu juga melingkarkan pasangan cincin lainnya ke jari Rifki. Resmi sudah hari itu setengah jiwaku menjadi miliknya, hingga hari bahagia kami datang nanti.

“I love you,” bisik Rifki di telingaku saat kami sedang bergantian untuk foto bersama dengan anggota keluarga lainnya.

“I love you too, Mas,” jawabku pelan.

“Grow old with you, the best thing I want to do.”

Share:

Leave a Comment