Perubahan iklim masalah terbesar yang dihadapi umat manusia di abad ini. Dampaknya sudah dirasakan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Meskipun isu global ini sangat mendesak, banyak orang merasa kesulitan untuk memahami dan meresponsnya. Salah satu penyebabnya adalah bagaimana topik ini disampaikan melalui media massa, terutama dalam konteks jurnalisme lingkungan.
Berita-berita tentang perubahan iklim seringkali kesannya sulit dan menakutkan. Banyak media yang menyajikan topik-topik ini dengan bahasa yang berat, penuh dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh khalayak umum.
Misalnya, dalam laporan mengenai dekarbonisasi, ekonomi hijau, atau blue carbon, para jurnalis sering kali harus menjelaskan konsep-konsep yang tidak hanya asing, tetapi juga kompleks.
Ditambah lagi dengan penjelasan tentang emisi gas rumah kaca, gambut, atau bahkan membedakan mana yang disebut pohon dan bukan pohon, yang membuat berita tentang perubahan iklim tampak semakin rumit dan membingungkan.
Bagi banyak jurnalis, ini adalah tantangan besar. Tidak semua jurnalis atau content creator memiliki latar belakang pendidikan di bidang lingkungan atau sains. Oleh karena itu, mereka mungkin merasa kesulitan untuk mengerti dan menyampaikan topik-topik tersebut dengan cara yang mudah dicerna.
Hal ini sering kali menjadi alasan mengapa jurnalisme lingkungan, khususnya yang berhubungan dengan perubahan iklim, bisa terasa sangat berat dan tidak menarik bagi pembaca. Namun, meskipun tantangannya besar, bukan berarti kita tidak bisa atau tidak boleh membahas isu penting ini.
Sebagai jurnalis, tantangan terbesar bukanlah tentang ketidaktahuan terhadap topik tertentu, melainkan tentang kemampuan untuk terus belajar dan mengadaptasi diri dengan perkembangan isu-isu lingkungan yang terus berubah.
Setiap orang bisa mempelajari topik lingkungan, termasuk jurnalis yang tidak berlatar belakang ilmu lingkungan sekalipun. Untuk itu, jurnalisme lingkungan perlu diterapkan dengan pendekatan yang lebih terbuka dan mudah diakses oleh semua orang.
Penting bagi jurnalis untuk menggali lebih dalam mengenai isu-isu tersebut. Memahami dasar-dasar perubahan iklim, pengaruhnya terhadap ekosistem, dan bagaimana solusi-solusi seperti energi terbarukan atau restorasi alam dapat membantu adalah langkah pertama.
Kemudian, menyampaikan informasi tersebut dengan cara yang lebih sederhana dan tidak terlalu teknis adalah kunci agar pembaca merasa terhubung dengan topik ini.
Selain itu, jurnalisme lingkungan harus berfokus pada cerita-cerita yang lebih manusiawi. Misalnya, kisah tentang bagaimana masyarakat lokal di Indonesia beradaptasi dengan perubahan iklim atau bagaimana petani melaksanakan pertanian berkelanjutan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Dengan fokus pada kisah nyata dan solusi-solusi konkret, jurnalis bisa memberikan perspektif yang lebih positif dan menginspirasi pembaca untuk bertindak.
Bukan rahasia lagi bahwa salah satu alasan kenapa berita perubahan iklim bisa terasa jauh dan tidak relevan bagi pembaca adalah kurangnya pengertian tentang dampak langsung isu tersebut terhadap kehidupan sehari-hari.
Melalui pendekatan jurnalisme lingkungan yang lebih terhubung dengan pengalaman lokal dan cerita manusia, kita bisa meruntuhkan tembok yang memisahkan informasi ilmiah dengan kehidupan nyata.
Misalnya, membahas bagaimana petani di Jawa Barat berjuang melawan kekeringan yang disebabkan oleh perubahan pola cuaca, atau bagaimana pesisir pantai di Bali terancam abrasi akibat naiknya permukaan air laut.
Semua itu adalah bentuk konkret dari jurnalisme lingkungan yang tidak hanya menginformasikan, tetapi juga mengedukasi dan memotivasi pembaca untuk ikut berperan dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Jurnalisme lingkungan di Indonesia
Sejak 2015, sewaktu masih berkarier sebagai jurnalis ekonomi salah satu media nasional, saya bergabung dengan Society of Indonesian Science Journalist (SISJ). Sejak itu pula, saya aktif menulis berbagai artikel seputar ekonomi lingkungan.
Istilah jurnalisme lingkungan sebetulnya mulai populer di Indonesia pada 1992, sejak LKBN ANTARA bekerja sama dengan UNESCO mengadakan Lokakarya Jurnalisme Lingkungan di Jakarta, 27 April-3 Mei 1992. Majalah TEMPO bahkan jauh lebih dahulu memiliki rubrik lingkungan yang menjadi salah satu indikator penting kemajuan jurnalisme lingkungan di Indonesia.
Sayangnya, popularitas TEMPO menyajikan tulisan-tulisan investigatif tentang lingkungan tidak didukung dengan keterbukaan sejumlah instansi pemerintah era 90-an. Reporter sulit mendapatkan data dan informasi akurat tentang realitas lingkungan yang ada dari pemerintah sebagai salah satu narasumber.
Akibatnya apa? Reporter harus belajar mandiri melaporkan dan menulis berita-berita seputar lingkungan yang tak jarang membuat mereka nyaris putus asa, bahkan menurut saya stres.
Kok stres? Ya bayangkan saja. Pemerintah pelit kasih data sehingga reporter harus mencari data sendiri diam-diam sana-sini, bahasanya berat, diperparah dengan deadline singkat.
Produktivitas reporter yang menulis berita-berita lingkungan harus dikorbankan lantaran mempelajari topik lingkungan sebelum menuangkannya ke dalam artikel yang bisa dipahami pembaca sungguh lah berat. Reporter yang tadinya bisa menulis tiga berita untuk koran dalam sehari, ujung-ujungnya hanya berhasil menulis satu berita lantaran topiknya adalah lingkungan.
Saya bersyukur tidak mengalaminya lantaran saya memang lulusan kampus kehutanan dan lingkungan. Namun, saya mengakui pekerjaan seorang jurnalis lingkungan itu sulit mengingat dahulu pun redaktur lebih sering menyerahkan topik-topik tersebut kepada saya karena katanya saya mungkin lebih paham.
Guru saya, Mas Harry Suryadi, mantan reporter Kompas yang turut membangun jurnalisme lingkungan di Indonesia bahkan mengakui masih banyak pers Indonesia tidak menganggap isu lingkungan sebagai isu penting yang memengaruhi kehidupan masyarakat. Akibatnya, proses jurnalisme lingkungan tidak menjadi prioritas utama.
Sejauh ini, belum ada satu pun surat kabar di Indonesia yang mempunyai desk lingkungan hidup tersendiri. Kompas dan Suara Pembaruan misalnya, memasukkan berita-berita lingkungan ke dalam kanal IPTEK. Beberapa tahun belakang Kompas akhirnya memiliki kanal LINGKUNGAN di laman berita online-nya, yaitu kompas.com.
REPUBLIKA, media tempat saya dahulu bekerja juga melakukan hal sama. Berita-berita lingkungan ditampilkan di halaman ekonomi.
Salah satu alasannya lantaran Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perikanan dan Kelautan kala itu berada di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian. Kondisinya masih sama sampai hari tulisan ini diterbitkan.
#BersamaBergerakBerdaya jadi ecoblogger dan jurnalis lingkungan
Survei Reuters Institute bekerja sama dengan University of Oxford (2020) menyasar sejumlah responden di berbagai negara tentang minat mereka terhadap berita-berita seputar perubahan iklim. Cakupannya adalah negara-negara Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Asia Pasifik.
Lebih dari separuh responden di Yunani (53 persen), Portugal (53 persen), Cile (52 persen), dan Filipina (52 persen) mengatakan mereka tertarik dengan berita seputar perubahan iklim dan lingkungan.
Di kawasan Asia Pasifik, minat responden dari Indonesia hanya 39 persen, lebih rendah dari Jepang (42 persen), Korea Selatan (43 persen), India (47 persen), Malaysia (48 persen), Thailand (51 persen), dan Filipina (52 persen).
Kok cuma 39 persen sih responden Indonesia yang minat sama berita-berita seputar perubahan iklim dan lingkungan?
Miris ya. Padahal, Indonesia itu negara kepulauan yang paling berisiko terdampak perubahan iklim akibat naiknya permukaan air laut. Masyarakat semestinya memperkaya diri dengan kesadaran membaca topik-topik seputar ini sehingga berpengaruh positif terhadap gaya hidup.
Apa orang Indonesia secuek itu sama lingkungan? Pengen nangis. Pantas saja berita-berita seputar lingkungan di negara ini masih dianggap ‘kurang seksi’ untuk diberitakan.
Semaju apa pun negara di dunia, nyatanya masih ada yang skeptis dan masabodoh soal perubahan iklim. Survei Reuters Institute juga menunjukkan ketidakpedulian sangat tinggi di Amerika Serikat (12 persen), bahkan Swedia (9 persen) yang tak lain adalah negara asal Greta Thuhrnbeg, influencer dan aktivis lingkungan dunia.
Bicara soal isu perubahan iklim dan lingkungan, orang-orang rupanya lebih tertarik mengakses informasinya melalui televisi. Mungkin karena video lebih bisa bicara dan membangkit emosi.
Orang-orang bisa langsung melihat proses gletser mencair atau melihat penyu dan hiu di laut memakan sobekan-sobekan plastik.
Team up for impact everyday challenge
Setelah henti berkarier sebagai jurnalis media nasional pada 2019, saya hijrah menjadi blogger. Pada 2021, saya bergabung dengan Ecoblogger Squad yang diinisasi Blogger Perempuan Network dan HIIP Indonesia.
Rasanya saya seperti menemukan lagi semangat lama. Saya kembali rajin memproduksi tulisan dan ulasan seputar lingkungan hidup bersama teman-teman yang tergabung dalam Ecoblogger Squad.
Selain itu, saya berinisiatif membentuk kanal khusus dengan nama LINGKUNGAN sebagai bagian dari REPUBLIKA Network dan kanal BUMI di laman online yang saya inisiasi bersama teman-teman, www.cariaku.com.
Jaringan internet di Indonesia yang kian berkembang merevolusi hampir seluruh praktik jurnalisme lingkungan yang dahulu masih tradisional. Media sosial telah menciptakan era berita tanpa batas yang dapat disesuaikan dengan pembaca.
Siapa saja sekarang bisa menerbitkan dan mendistribusikan berita-berita lingkungan sehingga informasi terkait lingkungan hidup pun lebih intuitif dan berlimpah.
Kali ini, saya mau ajakin teman-teman semua untuk #BersamaBergerakBerdaya membangun jurnalisme lingkungan di Indonesia. Nah, melalui Team Up for Impact (TUFI) everyday challenge, teman-teman bisa memosting video aksi kecilmu di Reels Instagram untuk mencegah dampak perubahan iklim agar tidak makin buruk.
Caranya bagaimana?
Teman-teman tinggal masuk ke laman web https://teamupforimpact.org/team-up-everyday/play dan klik Team Up Now pada challenge yang teman-teman ikuti. Selanjutnya, kombinasikan dengan video di Reels Instagram.
Sekarang, izinkan saya berbagi aksi kecil yang bisa kita lakukan untuk membangun jurnalisme lingkungan lebih baik di Indonesia.
1. Share berita tentang lingkungan
Indonesia itu luas banget, dari Sabang sampai Merauke, dari ujung barat hingga timur, segala sesuatu yang ada di bumi ini punya cerita dan keunikannya masing-masing.
Tapi, ada satu hal yang sering kali terlupakan, dampak krisis iklim terhadap masyarakat laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang sering kali nggak terdeteksi oleh mata kita.
Mungkin kita sering dengar soal hutan yang hilang atau polusi plastik, tapi nggak banyak yang tahu bahwa ada ribuan pulau kecil yang terancam tenggelam, dan ribuan masyarakat pesisir yang hidupnya bergantung pada laut, juga terancam kehidupannya.
Nah, meskipun Indonesia begitu luas, kita semua punya peran dalam memberi perhatian lebih pada isu-isu lingkungan ini.
Bayangin, kalau setiap orang yang kamu kenal, mulai dari teman-teman, keluarga, atau bahkan followers di media sosial, mulai peduli dan menyebarkan informasi tentang perubahan iklim dan dampaknya bagi masyarakat laut, betapa besar pengaruhnya.
Mungkin dari hal-hal kecil seperti berbagi berita atau cerita, kita bisa bantu membangun kesadaran jurnalisme lingkungan yang lebih luas.
Semakin banyak orang yang peduli, semakin banyak orang yang mau bergerak untuk melindungi alam, bukan hanya untuk generasi kita, tetapi juga untuk masa depan bumi ini.
2. Share konten tentang lingkungan
Di era digital yang serba cepat ini, cara kita menyampaikan pesan tentang isu-isu penting semakin beragam. Tidak hanya terbatas pada bentuk artikel, video, atau foto, tapi kini bisa menjadi kombinasi ketiganya.
Dengan menggunakan format yang lebih kreatif dan interaktif, seperti Reels di Instagram atau video TikTok, kita bisa menjangkau lebih banyak orang, terutama anak muda yang aktif di media sosial.
Konten-konten ini bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk menyuarakan kepedulian terhadap isu-isu lingkungan.
Hasil survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah menunjukkan fakta yang mengkhawatirkan: 82 persen anak muda Indonesia khawatir tentang kerusakan lingkungan.
Ini menunjukkan bahwa kesadaran akan perubahan iklim semakin tinggi, tapi masih banyak yang merasa kesulitan untuk berbuat lebih banyak.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk merespons kekhawatiran ini?
Salah satunya adalah dengan memperluas ruang untuk diskusi tentang perubahan iklim lewat platform digital yang banyak digunakan anak muda.
Kita bisa mengangkat isu jurnalisme lingkungan ini lebih luas, tidak hanya sebatas wacana, tetapi dengan tindakan nyata yang mempengaruhi kebijakan publik dan membawa perubahan dari akar rumput.
Konten kreatif yang mengedukasi, menginspirasi, dan menggugah hati banyak orang, punya kesempatan besar untuk mewujudkan perubahan yang lebih baik bagi jurnalisme lingkungan.
3. Follow akun influencer lingkungan
Selain influencer global seperti Greta Thunberg, Indonesia juga punya banyak influencer yang mendukung penuh aksi dan gaya hidup ramah lingkungan, loh!
Mereka aktif menyebarkan pesan-pesan penting tentang pelestarian alam, keberlanjutan, dan cara hidup yang lebih sadar terhadap lingkungan.
Nggak perlu jauh-jauh, di tanah air kita, ada banyak konten edukatif yang bisa memperkaya pengetahuan kita tentang bagaimana menjaga bumi tetap sehat.
Yang menarik, para influencer ini gak cuma sekadar ngomong doang, tapi juga menginspirasi dan memberi contoh nyata. Misalnya, ada Nadine Chandrawinata yang selalu berbagi tentang kecintaannya pada laut dan upayanya dalam melestarikan terumbu karang.
Ada Hamish Daud yang nggak pernah berhenti mengedukasi soal pentingnya pengurangan sampah plastik dan mengajak kita semua beralih ke gaya hidup lebih ramah lingkungan.
Jangan lupa, Nugie yang selalu menyuarakan pentingnya menjaga alam melalui musik dan aksi nyata. Andien pun dikenal konsisten dalam mengkampanyekan gaya hidup sehat dan berkelanjutan.
Dan tentu saja, Nicholas Saputra yang selama ini dikenal sebagai aktor sekaligus aktivis lingkungan. Selain itu, ada juga Bryan dari MasterChef Indonesia Season 5 yang aktif memperkenalkan konsep pertanian organik serta keberagaman pangan lokal yang lebih ramah lingkungan.
Mereka ini semua adalah contoh nyata dari #BersamaBergerakBerdaya, sebuah gerakan untuk membangun jurnalisme lingkungan di Indonesia.
Kamu bisa lho memperkaya diri lewat konten-konten edukatif mereka. Gak cuma buat kamu, tapi juga bisa bermanfaat untuk orang lain. Cukup follow, like, dan share konten-konten mereka agar pesan lingkungan semakin meluas.
Pasti banyak lagi influencer yang belum saya sebutkan. Nah, kamu punya rekomendasi? Yuk, bagikan di kolom komentar. Bersama-sama kita bisa #BersamaBergerakBerdaya untuk menjaga bumi ini dengan jurnalisme lingkungan yang bertanggung jawab. Jangan lupa ikutan challenge-nya juga, ya!
Leave a Comment