Namanya juga diet anak autis, pastilah ada godaannya. Sama seperti kita yang ingin diet untuk menurunkan berat badan, baru lima hari menjalani, eh tiba-tiba pas weekend diajak teman ke restoran, dietnya langsung berantakan.
Begitu juga dengan diet anak autis. Banyak orang tua yang sudah konsisten mendietkan anaknya selama beberapa bulan, namun akhirnya “bocor” karena anak tak sengaja makan kepingan biskuit kakaknya atau ketika ada acara keluarga yang menggoda.
Sebagai orang tua, kita pasti sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjaga pola makan anak. Tapi, kenyataannya ada banyak jebakan tersembunyi dalam perjalanan diet anak autis ini.
Misalnya, saat anak ikut acara keluarga atau berkunjung ke teman, godaan makanan yang tidak sesuai dengan diet bisa datang tanpa kita duga. Bahkan makanan yang tampak aman bisa mengandung bahan-bahan yang tidak kita sadari, dan itu bisa mempengaruhi kondisi anak.
Menjaga pola makan pada diet anak autis memang penuh tantangan. Kadang-kadang, anak bisa merasa kecewa atau frustrasi ketika mereka tidak bisa makan makanan yang mereka inginkan.
Inilah salah satu tantangan terbesar, karena tidak hanya tubuh yang harus dijaga, tetapi juga perasaan anak yang perlu kita perhatikan.
Namun, sebagai orang tua, kita harus tetap tegar dan terus mendukung anak untuk menjalani diet anak autis dengan bijaksana. Setiap kali ada “kebocoran” atau tantangan, itu adalah bagian dari proses belajar.
Terus konsisten dan mencari dukungan dari ahli, kita bisa membantu anak mencapai keseimbangan yang sehat dalam menjalani diet yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
1. Percaya pada mereka yang bilang “anak autis tak perlu diet”
Jangankan di Indonesia, di luar negeri aja masih banyak orang, bahkan dokter mencemooh gagasan diet untuk anak autis. Jangankan kita berbicara diet fenol, wong diet gluten, casein, dan gula saja masih banyak yang tak percaya.
Dokter-dokter dan orang-orang yang tidak percaya tentang diet anak autis sering berlindung di balik ketiadaan bukti ilmiah.
Padahal, kalau mereka mau mencari, sejak 2008 sudah banyak publikasi ilmiah yang membuktikan pengaruh makanan pada diet anak autis dan ADHD, terutama di luar negeri. Sayangnya, masih banyak yang meragukan hal ini, meskipun fakta sudah berbicara.
Untungnya, sejak 2011, semakin banyak dokter yang menyadari betapa pentingnya diet bagi anak autis.
Bahkan, organisasi besar seperti American Pediatric Association (APA), yang mirip dengan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), secara tegas mengakui pentingnya diet pada anak autis. Ini membuktikan bahwa ada perubahan paradigma di kalangan tenaga medis.
Banyak orang tua di seluruh dunia yang telah menerapkan diet anak autis dan melihat perubahan signifikan pada anak mereka.
Beberapa bahkan mengungkapkan perbaikan perilaku yang cukup dramatis, yang sebelumnya sulit mereka bayangkan. Ini menjadi bukti bahwa diet bisa memainkan peran besar dalam mendukung perkembangan anak autis.
Sebagai orang tua, terutama ibu, kita memang bukan dokter, tapi tidak ada salahnya untuk membuka pikiran dan mempelajari bukti-bukti nyata ini.
Mengedukasi diri sendiri dan mencoba mendietkan anak untuk melihat apakah efektif atau tidak bisa menjadi langkah awal yang penting.
Cobalah minimal tiga bulan, perhatikan dampaknya pada anak, dan baru kemudian berikan komentar atau keputusan. Karena setiap anak itu unik, dan kita berhak untuk mencoba apa yang terbaik bagi mereka.
2. Membiarkan diet anak autis “sesekali” bocor
Liburan, kumpul keluarga, dan acara jalan-jalan sering kali menjadi ajang orang tua untuk membocorkan diet anak autis.
Banyak orang tua yang merasa malas repot, lalu tergoda untuk “membiarkan” diet anak autis bocor, bahkan kadang secara sengaja. Mereka berpikir, “Ah, sesekali saja kok, nggak masalah,” dan berkata, “Besok kan bisa diet lagi?”
Namun, kalau kebiasaan ini terus berlanjut, yang terjadi malah sebaliknya. Diet anak autis yang tidak konsisten bisa mengganggu proses penyembuhan dan perkembangan anak. Itu sebabnya, sebagai orang tua, kita perlu bijak dan disiplin dalam menjaga pola makan anak.
Kita harus ingat, diet anak autis bukan hanya soal memilih makanan yang tepat, tapi juga soal menciptakan kebiasaan yang mendukung proses penyembuhan jangka panjang.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan agar diet anak autis tetap terjaga, sementara anak tetap bisa bersosialisasi dan ikut menikmati momen liburan atau acara keluarga?
Berikut beberapa tips yang bisa diterapkan agar anak tetap sehat tanpa kehilangan kesempatan untuk bersosialisasi.
Pertama, siapkan camilan sehat untuk anak. Misalnya, saat acara kumpul keluarga, siapkan bekal camilan sehat yang sesuai dengan diet anak.
Saat orang lain makan, anak kita bisa makan makanannya sendiri tanpa merasa terisolasi atau kehilangan kesempatan bersosialisasi.
Kedua, jangan ragu untuk menghubungi keluarga atau tuan rumah yang akan kita kunjungi. Sampaikan dengan baik mengenai kondisi anak dan kebutuhan diet mereka.
Kita bisa meminta mereka untuk tidak repot-repot menyajikan makanan khusus untuk anak, karena kita akan membawa makanan sendiri. Ini bukan hanya menjaga diet anak autis, tapi juga menghindari rasa canggung saat acara makan-makan.
Ketiga, penting untuk mulai membiasakan anak disiplin dengan diet. Salah satu kunci keberhasilan diet anak autis adalah konsistensi. Rashif dan Rangin, anak saya, sudah terbiasa dengan hal ini.
Mereka tidak pernah memakan makanan yang bukan bagian dari diet mereka. Bahkan di momen-momen seperti lebaran, meski banyak kue terhidang, mereka tidak tertarik sedikit pun.
Mereka hanya melihat-lihat, mungkin penasaran dengan bentuk cookies yang lucu, tapi tidak ada keinginan untuk memakannya.
Hal ini kadang membuat keluarga atau teman-teman merasa kasihan pada anak-anak kami. Tetapi, sebagai orang tua, kami selalu mengingatkan diri bahwa ini adalah keputusan yang terbaik untuk kesehatan mereka.
Anak-anak kami santai saja kok, karena mereka sudah paham dengan batasan-batasan tersebut.
Keempat, jika situasinya sulit, tidak ada salahnya untuk tidak datang ke acara tersebut. Terkadang, demi menjaga agar diet anak autis tetap terjaga, kita lebih baik datang terlambat, sehingga anak tidak tergoda untuk mengikuti acara sejak awal.
Ini lebih baik daripada memaksakan anak hadir dan berisiko terjadi kebocoran diet atau tantrum karena kebingungannya.
Menghadapi diet anak autis memang penuh tantangan, apalagi di tengah godaan-godaan sosial. Namun, dengan persiapan yang matang dan dukungan dari orang sekitar, kita bisa memastikan anak tetap sehat tanpa kehilangan kesempatan untuk menikmati kehidupan sosialnya.
Dengan begitu, diet anak autis tetap berjalan dengan lancar, dan anak bisa tumbuh dan berkembang dengan optimal.
3. Tertipu sama label “gluten-free” dan “casein-free”
Ini namanya ada udang di balik batu. Di tengah maraknya industri makanan sehat untuk anak, banyak produsen yang mengklaim produk mereka aman untuk anak berkebutuhan khusus, termasuk diet anak autis.
Tampaknya, klaim-klaim ini menggiurkan bagi orang tua yang ingin memberikan yang terbaik untuk anak mereka, tapi sayangnya, kita seringkali tertipu.
Kita tidak selalu mengetahui seluruh komposisi makanan yang diberikan pada anak, dan seringkali mengabaikan bahan-bahan tersembunyi yang bisa memengaruhi kondisi anak.
Banyak produk yang mengklaim bebas gluten (gluten-free) atau bebas kasein (casein-free), tetapi setelah dilihat lebih dekat, kita mendapati bahwa produk tersebut tetap mengandung bahan tambahan lain yang tidak sesuai dengan kebutuhan diet anak autis.
Misalnya, ada makanan yang diklaim bebas gluten, tetapi ternyata mengandung pengawet atau pewarna makanan yang dapat memengaruhi sistem tubuh anak autis. Hal ini bisa sangat berbahaya karena bahan-bahan tersebut justru dapat mengganggu perkembangan dan kesehatan anak.
Selain itu, ada juga yang mengklaim menggunakan tepung sagu, tetapi ternyata sagunya bukan sagu asli yang terbuat dari tanaman metroxylon spp. Melainkan sagu yang terbuat dari ubi, yang jelas-jelas dilarang dalam diet anak autis.

Ubi mengandung kandungan gula alami yang bisa memicu reaksi pada anak autis, sehingga sangat penting untuk memastikan sumber tepung sagu yang digunakan benar-benar aman.
Tepung sagu asli, yang terbuat dari tanaman Metroxylon spp., berbeda dari tepung sagu yang dibuat dari ubi, sagu aren, atau tanaman lainnya yang tidak sesuai dengan prinsip diet anak autis.
Jadi, diet anak autis bukan hanya sekadar menghindari gluten dan kasein saja. Diet ini jauh lebih kompleks.
Anak autis juga harus menghindari gula, jagung, kedelai, fenol, dan berbagai zat kimia seperti pengawet, pewarna makanan, dan pemutih yang seringkali ada dalam makanan yang dikemas.
Makanan yang dipromosikan sebagai bebas gluten atau kasein, tetapi ternyata menampilkan bahan-bahan seperti keripik singkong, sebenarnya sama saja dengan memberikan makanan yang tidak sesuai.
Keripik singkong bisa mengandung bahan tambahan yang berbahaya dan tetap bisa mempengaruhi anak yang mengikuti diet anak autis.
Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua untuk lebih teliti dalam memilih makanan untuk anak dengan kebutuhan khusus. Bukan hanya sekadar memperhatikan klaim di label produk, tetapi juga membaca dengan seksama komposisi dan bahan-bahan yang digunakan.
Makanan sehat dan aman untuk diet anak autis memang harus bebas dari bahan-bahan yang bisa memicu reaksi, dan yang terpenting adalah memahami benar apa yang masuk ke tubuh anak.
Melalui ketelitian dan pengetahuan yang tepat, kita bisa memastikan bahwa diet anak autis yang dijalani benar-benar mendukung kesehatan dan perkembangan anak dengan cara yang tepat.
Sebagai orang tua, kita harus jadi detektif makanan yang cerdas dan selalu waspada terhadap jebakan-jebakan tersembunyi yang mungkin ada di balik klaim-klaim produk yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan.
4. Paparan tersembunyi di rumah
Orang tua sering lupa dengan paparan tersembunyi yang potensial membocorkan diet anak autis justru di rumah sendiri. Okelah, anak sudah bagus diet makanannya. Eh, ternyata orang tuanya masih aktif pakai kosmetik. Ini juga sama dengan bohong.
Saya kasih beberapa contoh paparan tersembunyi di rumah yang bisa membocorkan diet anak kita.
- Kontak kulit anak dengan orang tua, pembantu, pengasuh, atau terapis yang masih pakai kosmetik, seperti lotion, lipstik, alas bedak, serum, dan parfum.
- Pasta gigi. Anak autis dilarang pakai pasta gigi. Sikat gigi ya pakai sikat biasa saja tanpa odol, kayak orang bule.
- Penggunaan hairspray, semprotan nyamuk, fungisida, herbisida, dan sebagainya. Gunakan raket nyamuk.
- Anak bermain play dough, slime, clay, kapur tulis, spidol broadmarker yang wanginya mencolok. Kasih anak autis pensil warna saja, bukan spidol.
- Remah-remah atau potongan makanan yang terlarang untuk anak, misalnya donat sisa, serpihan biskuit, sedotan susu kotak, dan sebagainya.
- Makanan hewan peliharaan yang tak sengaja dimakan anak.
- Obat-obatan yang dibeli bebas. Anak autis punya aturan ketat soal obat. Dua di antaranya tidak boleh konsumsi obat yang mengandung parasetamol dan tidak boleh konsumsi obat berupa sirup.
- Kontaminasi silang di dapur, misalnya makanan yang dimasak dengan wadah besi atau aluminium. Minimalisir penggunaan wajan berbahan aluminium untuk anak. Utamakan peralatan memasak terbuat dari kaca.
Saya sendiri masih pakai kosmetik kok, sesekali untuk kepentingan tertentu. Contoh, saya harus bikin Reels untuk video konten, atau saya harus menghadiri acara tertentu. Solusinya, begitu kerjaan selesai, langsung bersihkan wajah, baru boleh pegang anak, baru boleh cium anak.
5. Orang tua tidak peka dengan alergi makanan anak
Ada dua jenis alergi makanan yang ditunjukkan anak autis, yaitu alergi yang reaksinya langsung bisa dilihat dan reaksinya tertunda. Hanya orang tua yang peka bisa mendeteksi kondisi ini pada anak spesialnya.
Pada banyak kasus, ada orang tua yang bilang sudah melakukan tes alergi pada anak autisnya. Biasanya ini tes IgE (imunoglobulin E) yang reaksinya bersifat langsung begitu tubuh anak terpapar jenis makanan tertentu.
Hal yang tidak semua dipahami orang tua anak autis adalah tes IgG (imunoglobulin G), yaitu reaksi tertunda yang baru muncul setelah 72 jam anak mengonsumsi makanan tertentu. Tes IgE dan IgG di sini bukan hanya prosedurnya saja yang beda, tetapi harganya juga beda.
Tes IgE lebih murah dari IgG. Saya pernah cari info, tes IgE biayanya Rp 1 jutaan, tes IgG mencapai Rp 3 juta.
Rashif tidak pernah tes alergi. Saya lebih pilih melakukan rotasi dan eliminasi diet. Selama dua tahun melakukan rotasi makanan pada Rashif, saya bisa tahu jenis-jenis makanan yang aman dan tidak aman untuknya.
Telur contohnya. Ada anak autis yang tidak cocok makan telur dan ada anak autis yang aman makan telur.
Ketika kita berhasil mengidentifikasi jenis-jenis makanan yang aman untuk anak, itu akan meminimalisir perburukan perilaku anak, hiperaktifnya, dan penyakit yang ditimbulkan makanan tersebut.
6. Mencari alternatif pengganti susu sapi
Ini sering juga saya temukan pada orang tua anak autis. Mereka kerap bertanya, “Adakah alternatif pengganti susu sapi?”
Mohon maaf, jawabannya adalah TIDAK ADA.
Tidak ada alternatif pengganti susu sapi untuk anak autis, mau itu susu kambing, susu unta, susu domba, susu kedelai, susu almond, semua dilarang. Anak autis tidak butuh susu.
Anak autis butuh kalsium dan sumber kalsium tidak hanya susu. Jumlahnya pun tidak sebanyak kalsium pada susu.
Kita bisa kok memberikan kalsium dalam bentuk kalsium bubuk. Kita bisa juga mengasupi kalsium dari makanan harian, seperti alpukat, pakcoy, okra, gambas, kubis kol, kembang kol, tauge, daun seledri, dan ikan. Bukankah jauh lebih baik ketika anak mendapat asupan dari makanan beragam ketimbang minum susu doang?
Lagian, kenapa sih orang tua khawatir banget anaknya enggak minum susu sapi? Memangnya zaman dulu sudah ada susu sapi gitu? Orang-orang zaman dulu, nenek moyang kita, mereka tetap tumbuh sehat kendati tidak minum susu. Kenapa kita harus takut?
Khawatir berat badan anak turun? Ini wajar, mungkin di awal-awal membiasakan diet. Akan tetapi, kalau kita tak mencoba, bagaimana mau anak kita sehat dan sembuh?
7. Mengganti diet dengan suplemen atau enzim
Lucu deh. Beberapa orang tua tidak mendietkan anak dan memilih memberikan anak beraneka suplemen dan enzim. Mereka lupa aturan pertama penyembuhan anak autis, yaitu diet dulu, baru terapi dan obat.
Contoh, anak autis mengonsumsi enzim phenol assist setiap hari, sementara anak dibiarkan mengonsumsi seluruh buah tanpa diseleksi dan dibatasi. Anak tetap makan apel, pir, anggur, nanas, pepaya, jeruk di mana itu semua buah-buahan yang tinggi fenol.
Orang tua berpikir, anak bebas makan buah apa saja, begitu diberikan enzim phenol assist, fenolnya bakal luruh dengan sendirinya. Sungguh, ini pemikiran yang menggelitik. Soalnya, fenol pada dasarnya terkandung dalam semua jenis buah dan sayur.
Bayangkan, buah dan sayur yang aman dikonsumsi anak autis saja pasti mengandung fenol, tetapi dalam kadar rendah, sedikiiiit sekali. Pada kondisi ini, dokter anak saya menyarankan saya memberikan phenol assist untuk mengikat fenol yang tidak diperlukan anak.
Lalu, kita bisa bayangin, anak dengan sengaja dibiarkan makan buah dan sayur dengan kandungan fenol tinggi? Enzim phenol assist itu enggak akan bekerja optimal.
Sama aja seperti kita menabur garam di laut. Mustahil. Kalau pun dampaknya terasa baik, itu hanya bersifat sesaat. Ujung-ujungnya, anak kita seumur hidup harus mengonsumsi enzim yang sama. Buat apa?
Suplemen, seperti enzim untuk anak autis itu enggak ada yang murah. Suplemen Rashif itu dahulu harganya paling murah Rp 450 ribu per tabung untuk dikonsumsi 1 bulan. Bukankah jauh lebih efisien jika kita mau disiplin merotasi dan mengeliminasi makanan anak?
8. Takut anak kurang gizi
Saya sedih banget lihat orang tua yang tidak mau mengedukasi diri sendiri. Cobalah baca dahulu, daftar makanan yang aman dikonsumsi anak autis. Jenisnya banyak banget loh. Kenapa sih kita takut diet karena takut anak kurang gizi?
Pilihan ikan dan daging untuk anak autis itu banyak, pilihan sayur dan buahnya juga banyak. Kesalahan kita sebagai orang tua adalah kurang berjuang dan kurang gigih membiasakan anak spesial kita memakan makanan yang aman buat mereka.
Coba tanyakan diri kita, sudah segigih mana kita? Sudah sekreatif apa kita melakukan berbagai cara agar anak tertarik dengan makanan yang aman untuk tubuhnya?
Contoh, susu. Susu sapi ya untuk anak sapi. Kasarnya saya bilang begitu. Kenapa sih takut anak kurang gizi lantaran tidak lagi minum susu? Why oh why?
9. Merasa anak masih terlalu kecil untuk mulai diet
Bagi orang tua yang anaknya didiagnosis autis pada usia dini, di bawah dua tahun, saya mau bilang, “bersyukurlah.” Selalu ada hal yang bisa kita syukuri di setiap ujian kehidupan.
Beberapa jurnal yang saya baca, keinginan anak mengeksplorasi berbagai jenis makanan makin berkurang ketika berumur 18 bulan. Inilah kenapa orang tua lebih gampang nyuapin makan bayi di bawah 18 bulan ketimbang bayi yang sudah menginjak usia 2 tahun ke atas.
Pastinya terasa kan? Pas awal-awal anak MPASI, apa saja makanan yang kita kasih ke dia langsung disikat habis.
Inilah alasannya jauh lebih mudah mendietkan autisi bayi dibanding autisi balita, remaja, apalagi dewasa. Butuh effort lebih membiasakan anak yang sudah bertahun-tahun makan apa saja, kemudian dirotasi menunya.
Namun, sulit dalam hal ini bukan berarti mustahil. Semua butuh pengorbanan and it takes time. Sabar dan terus lakukan. Batu karang saja lama kelamaan bisa pupus karena ombak. Kenapa manusia “kebiasaan manusia” enggak?
Rashif saya dietkan sejak berumur 17 bulan. Inilah kenapa saya merasa beruntung karena sekarang Rashif sudah bisa memilah makanannya sendiri.
Kitalah yang paling mengenal anak kita. Rencanakan berbagai strategi dan lakukan tapering off, yaitu mengurangi perlahan makanan-makanan yang dilarang untuk anak sampai makanan-makanan tersebut tereliminasi sempurna.
Perubahan kecil, sedikit demi sedikit, dilakukan secara konsisten dan kumulatif, jauh lebih baik dibanding tiba-tiba kita melarang anak makan ini itu. Grafiknya landai, asal terus menurun ke bawah sampai di titik nol.
Semangat ya, buat kamu yang masih berjuang sampai hari ini. Semoga Allah SWT berikan kita kesabaran dan kekuatan membersamai anak-anak surga ini.
Leave a Comment