Kristin Hinson seorang ibu yang amat memahami gejala autisme dan melakukan intervensi dini. Anak pertama dan keduanya yang bernama Justin dan Simon didiagnosis autism spectrum disorder (ASD) pada usia tiga tahun.
Pengalaman dengan dua anak autis membuat Kristin menaruh perhatian lebih ketika melahirkan anak ketiga yang juga berjenis kelamin laki-laki. Namanya Noah.
Kristin bukannya mendahului takdir Tuhan, tetapi dia dari awal sudah ada firasat Noah kelak bernasib sama dengan dua abangnya.
Tumbuh kembang Noah normal sampai berusia enam bulan. Sayang sekali, memasuki bulan kesembilan, Noah mulai menunjukkan gejala autisme.
Dia tidak pernah merespons suara ibunya. Noah tak pernah menoleh kendati sang ibu memanggil namanya berulang kali.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat (AS) menemukan 1 dari 42 anak laki-laki di AS didiagnosis autis. Mereka juga menemukan 1 dari 189 anak perempuan didiagnosis autis pada usia delapan tahun.
Fakta berikutnya, 1 dari 4 anak laki-laki dan 1 dari 9 anak perempuan berpeluang menunjukkan gejala autis jika memiliki saudara kandung autis. Artinya, ketika ada satu anak dalam keluarga memiliki gangguan autisme, anak yang dilahirkan berikutnya juga berpeluang autis dengan perbandingan di atas.
Di Australia, 1 dari 100 warga negaranya didiagnosis autis. Itu sensus 2018. Tahun ini mungkin jumlahnya makin meningkat.
FYI, kalau di Amerika atau Australia, dokter anak atau psikolog baru boleh menyatakan seorang anak autis minimal berumur dua tahun sejak 2011. Sebelum 2011, anak-anak baru bisa didiagnosis autis setelah berumur empat tahun.
Diagnosis autis di dua benua itu enggak boleh sembarangan diberikan, harus melalui serangkaian pemeriksaan bertahap. Soalnya, biaya kesehatan anak autis di Amerika dan Australia seumur hidup ditanggung pemerintah.
Beda ya dengan Indonesia. Jangankan skrining dan terapi ditanggung BPJS, wong anak yang jelas-jelas punya asuransi kesehatan mandiri saja enggak bisa mengklaim biaya pengobatan khusus autisme.
Mahal banget soalnya. Perusahaan asuransi di sini mana kuat membayar klaim obat dan terapi yang jika ditotal bisa dua digit itu.
Apa kita harus menunggu prevalensi anak autis di Indonesia sebanyak di AS atau Australia dahulu, baru pemerintah kita menaruh perhatian khusus? Saya pribadi yakin, anak-anak autis di Indonesia akan menjadi bom waktu yang suatu hari akan meledak. Jumlahnya meningkat signifikan dari tahun ke tahun.
Saya enggak perlu riset ilmiah untuk membuktikannya. Setiap bulan saja, saya menerima DM Instagram dari followers saya di mana mereka adalah ibu dari anak-anak yang didiagnosis autis.
Chat dari orang baru yang masuk per bulan itu bisa dari 5-7 orang berbeda. Itu baru ibu-ibu yang punya Instagram dan ibu-ibu yang anaknya sudah didiagnosis dokter. Kebayang kan jumlah di luar itu? Lebih banyak lagi orang tua di Indonesia yang tidak tahu apa itu autis.
Ada banyak anak autis di Indonesia. Ini adalah fakta sekaligus pil pahit yang harus kita telan.
Saya sampai harus ‘tega’ tidak membalas semua chat mereka. Soalnya, pertanyaan-pertanyaan mereka buanyakkkkk banget. Saya kan enggak mungkin jawab satu per satu karena saya juga ibu tiga anak yang sehari-hari pasti sibuk mengurus keluarga. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Itulah makanya saya menulis banyak hal tentang autisme di blog saya. Mereka sebenarnya tinggal baca, tetapi kok kesannya malas banget mereka membaca? Di sini juga salahnya. Literasi membaca masyarakat kita itu rendah banget.
Balik lagi ke Kristin, apakah dia mengambil jalan sama dengan menunggu Noah berumur dua tahun, baru melakukan terapi dan pengobatan?
TIDAK
Kristin tidak mau lagi mengulang kesalahan sama. Akhirnya, Kristin melakukan intervensi dini dengan menjadikan Noah yang waktu itu berumur sembilan bulan sebagai salah satu objek penelitian sekelompok peneliti yang mengadakan riset intervensi dini pada anak usia 6-15 bulan dengan gejala autisme di AS. Kristin melakukan intervensi dini sampai kira-kira dua tahun kemudian atau saat Noah berumur tiga tahun.
HASILNYA?
Pada usia tiga tahun, Noah menunjukkan kemajuan signifikan. Ciri-ciri autisnya hilang. Tumbuh kembang Noah sama dengan anak-anak sebayanya. Masyaallah, masyaallah.
Penelitian University of California Davis
Penelitian intervensi dini pada anak autis ini dilakukan dua orang peneliti dari University of California Davis. Mereka adalah Sally Rogers dan Sally Ozonoff yang merupakan PhD bidang psikiatri dan ilmu perilaku.
Rogers dan Ozonoff berhasil mengumpulkan secara sukarela orang tua dari tujuh bayi yang diduga memiliki gejala autisme. Mereka menjalankan riset intervensi dini pada anak autis berusia minimal enam bulan.
Dua peneliti independen ini menggunakan sejumlah tes dan evaluasi saat memilih bayi yang masuk kategori mereka. Mereka tidak mendiagnosis tujuh bayi ini autisme sebab skrining autisme oleh dokter baru bisa dilakukan saat anak berusia minimal 18 bulan.
Secara umum, tujuh bayi yang menjadi objek penelitian adalah bayi-bayi yang menunjukkan gejala awal autisme, seperti tidak merespons suara, wajah cenderung datar tanpa ekspresi, minim interaksi sosial dengan orang tua atau pengasuhnya, suka melakukan aktivitas berulang (repetitif), memainkan sesuatu tidak sesuai fungsinya, dan beberapa gejala lainnya.
Anak-anak yang menunjukkan gejala ini minimal harus menunjukkan perilaku sama selama dua pekan. Barulah mereka dinyatakan masuk kategori objek penelitian.
Enam dari tujuh bayi menunjukkan kemajuan tumbuh kembang pada usia 18 bulan. Pada saat enam bayi itu berumur tiga tahun, tumbuh kembangnya berada pada kisaran anak normal lainnya sehingga pas dilakukan intervensi dini.
Kok cuma enam bayi? Satu bayi lagi mana?
Satu bayi lagi seiring bertambah usia didiagnosis PDD NOS. Ini adalah bagian dari spektrum autisme, tetapi belum memenui syarat dikategorikan autis. Mungkin sama kondisinya dengan anak saya, saudara kembar Rashif, yaitu Rangin.
Rangin saat menjalani skrining oleh dokter anak sebelum intervensi dini pada usia 18 bulan hanya memiliki empat dari 12 kelompok gejala autisme. Syarat minimal seorang anak didiagnosis autis harus memiliki minimal enam dari 12 kelompok gejala autisme. Kendati demikian, penanganan anak autis dan PDD NOS sama sebab risiko regresi bisa saja terjadi pada anak dengan PDD NOS.
Sebelumnya, Profesor Rogers mengatakan ada 11 anak yang akan menjadi objek penelitian. Namun, empat orang tua belakangan mengundurkan diri sebagai responden. Sungguh sayang, empat anak yang mengundurkan diri ini beberapa tahun kemudian menunjukkan gejala autisme kian memburuk pada usia tiga tahun.
Rogers menyimpulkan alasan utama yang mendorong perbaikan signifikan enam anak yang menerima intervensi dini di atas adalah sistem plastisitas otak. Program intervensi dini paling berhasil ketika dilakukan saat otak anak masih plastis, yaitu ketika bayi sedang membangun keterampilan sosial, kira-kira usianya sebelum tiga tahun.
Direktur Penelitian Autisme di University of Alberta Kanada, Lonnie Zwaigenbaum mengatakan studi Rogers dan Ozonoff ini sangat signifikan. Penelitian ini mampu menunjukkan kemampuan mendeteksi autisme pada bayi dan melakukan intervensi sebelum bayi berusia 12 bulan.
Lonnie berpandangan orang tua dan dokter harus menggunakan pendekatan sama sebagaimana pada penelitian ini. Pendekatan terapi perilaku lebih baik dibanding pengobatan kimia.
Pada riset Roger dan Ozonoff, mereka menggunakan modifikasi terapi perilaku. Noah dan bayi-bayi lainnya menerima 12 sesi terapi per minggu dengan durasi satu jam per sesi. Di luar tempat terapi, ibu di rumah juga perlu intensif menterapi anaknya dengan pendekatan sama seperti terapis.
Kristin begitu bahagia melihat perkembangan Noah setelah intervensi dini. Pada usia 18 bulan, putranya itu seperti katak yang keluar dari tempurung. Kemampuan berbahasanya mengalir seperti air keran. Noah mulai menanggapi orang-orang sekitar, khususnya orang tua dan dua saudara kandungnya.
Saya menangis membaca ini. Gejala autisme Rashif sebetulnya sudah terlihat sejak dia berusia tujuh bulan. Namun, saya terus mengabaikannya karena merasa tidak ada riwayat autis dalam keluarga besar saya. Sungguh kebodohan yang tak ingin saya ulangi lagi.
Inilah yang memantik semangat saya untuk mengejar kesembuhan Rashif dengan mendietkan dan menterapinya sejak usia 18 bulan. Alhamdulillah sekarang di usianya yang ketiga, Rashif menunjukkan perkembangan luar biasa.
Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Autism and Developmental Disorders ini memang masih dalam cakupan kecil. Hanya enam anak yang dijadikan objek penelitian. Riset skala besar perlu dilakukan untuk memperkuat hasil penelitian tersebut.
Berani intervensi dini
Mari kita kembali ke jalur yang benar dengan intervensi dini. Saya selalu menekankan pada teman-teman saya bahwa insting seorang ibu sangat kuat terhadap anaknya. Ikuti insting kita, bukan insting ibu kita, bukan insting mertua kita, bukan insting suami kita, apalagi insting tetangga.
Sekiranya kita punya feeling kurang bagus terkait tumbuh kembang anak yang mengarah pada autisme, ayo intervensi dini segera. Tidak usah malu anak kita memiliki gejala autis.
Rasa malu itu justru mencegah kita mengambil tindakan yang benar untuk masa depan buah hati kita. Semakin cepat anak mendapat intervensi dan terapi, semakin cepat mereka menuju gerbang kesembuhan.
Penelitian di atas secara gamblang menunjukkan pada kita bahwa ada hal-hal yang bisa dilakukan orang tua tanpa harus menunggu diagnosis dari banyak dokter. Carilah dokter yang benar-benar mengerti tentang autisme sehingga kita bisa melakukan intervensi dini segera.
Dokter-dokter di Indonesia biasanya baru mulai merujuk anak untuk mengikuti terapi, misalnya terapi wicara saat anak sudah berumur di atas dua tahun. Jangan buang-buang uangmu untuk membeli obat, suplemen, dan terapi mahal hanya karena terlambat mendeteksi anak.
Mulailah dari diet komprehensif yang benar, sabar dan konsisten melakukannya, kemudian lihatlah setahun dua tahun kemudian, ananda pasti membuat kemajuan besar.
Leave a Comment