Burnout syndrome atau kelelahan adalah sindrom psikologis yang muncul sebagai respons berkepanjangan terhadap stresor interpersonal kronis di tempat kerja. Semua orang, khususnya yang menjalani pekerjaan sama dalam waktu lama pernah mengalami hal ini.
Sembilan tahun menjadi jurnalis ekonomi, saya juga pernah berada di titik jenuh dengan rutinitas yang begitu begitu saja. Analisis keuangan triwulan, kuartal, semester, tahunan. Proyeksi pertumbuhan, revenue perusahaan, profit, kerugian, fluktuasi indeks, semua angka-angka itu tampak amat menjemukan.
Burnout syndrome salah satu masalah terbesar di lapangan. Hal ini bisa dialami siapa saja, termasuk saya sebagai orang tua dari anak spesial.
Kondisi kelelahan pada orang tua anak spesial bisa dipicu stres pengasuhan kronis. Kita merasa terisolasi karena gak bisa lepas dari anak spesial kita.
Kita merasa bosan menjalankan pola asuh yang berbeda dengan ibu-ibu yang memiliki anak normal di luar sana. Kita bosan karena kita merasa ‘berjarak’ dengan emosional anak kita yang fluktuatif.
Lelah sebagai orang tua anak spesial tentu berbeda dengan lelah sebagai karyawan. Kalau kita lelah menjadi karyawan, gampangnya kita bisa cuti liburan, atau mentok-mentok berhenti kerja dan nyari kerjaan baru.
Kalo lelah jadi orang tua dengan anak spesial? Kita kan gak mungkin berhenti jadi ibu. Boro-boro mau liburan intensif, baru dua menit ke kamar mandi aja udah dicariin anak kayak orang hilang.
Apa yang biasanya saya lakukan?
Pertama, saya harus mengasihani diri sendiri. Iya, saya sesimpel itu, mengasihani diri sendiri. Ya kalo bukan saya yang kasihan sama diri saya, trus siapa dong? Semua sibuk sama urusan masing-masing.
Suami sibuk kerja, kadang dia sendiri juga perlu dikasihani. Ya gak sih? Kalo bukan karena suami, saya gak mungkin bisa bayarin terapi Rashif yang tiap bulannya seharga satu unit motor matic itu.
Biasanya sih saya lanjut cuci muka, sekalian wudhu. Kadang lari ke makanan, sampai berat badan saya pernah naik jadi 60 kg, padahal normalnya after lahiran saya maksimal cuma 55 kg.
Mungkin kalo saya gak serumah sama mertua, saya bisa makan terus dan lebih gendut dari itu. Suatu hari pas berat badan saya udah nyentuh 60 kg itu, mama mertua sempat nanyain, “Tia pipinya lebih berisi ya, ndutan juga. Tapi Tia tinggi kok, jadi gak begitu kelihatan.”
(Kasih backsound suara petir dan ombak ala sinetron Indonesia era 90-an)
Abis dengar itu saya yang tadinya suka jajan diam-diam pulang antar anak sekolah langsung kayak bangun dari mimpi buruk. Gak, gak, gak, saya gak bisa tiap stres lari ke makanan melulu. Akhirnya diet lagi sampai balik lagi ke 56-57 kg.
Tarik napas dulu, embuskan, tarik napas lagi, embuskan. Saya harus berani menerima ketidaksempurnaan hidup saya di mata orang lain (mungkin) karena dititipi seorang anak istimewa. Namun, saya gak boleh lupa, saya sendiri yang tentukan standar sempurna itu.
Terima ketidaksempurnaan diri, belajar menerima diri sendiri, kemudian menjaga diri sendiri.
Ciri-Ciri Burnout Syndrome
Oke, now, biar tulisan terbaru saya ini lebih fokus ke judul di awal, saya bakal bahas burnout syndrome yang potensial dialami terapis-terapis anak autisi yang menjalankan metode ABA atau applied behavior analysis.
Kita pribadi sebagai orang yang bekerja bisa mengidentifikasi bahwa kita sedang mengalami burnout syndrome. Cirinya ada tiga, yaitu kelelahan luar biasa, perasaan tidak terikat lagi pada pekerjaan, dan rasa tidak efektif serasa kurang pencapaian.
Gejala dan perilaku yang mengindikasikan seseorang terkena burnout syndrome, antara lain:
- Melanggar aturan absensi
- Sering izin sakit
- Menarik diri dari interaksi sosial
- Nada bahasa negatif ketika berbicara tentang pekerjaan
- Menghindari penugasan sewaktu-waktu
- Motivasi menurun
- Gejala fisik lainnya
Faktor risiko burnout syndrome ini bisa dipicu tuntutan kerja yang terlampau tinggi. Lainnya adalah kurangnya dukungan, kurangnya hiburan, merasa terisolasi di tempat kerja karena mungkin usia jauh lebih muda atau lebih tua dari karyawan lainnya.
Burnout syndrome pada terapis ABA
Satu tahun enam bulan mungkin terbilang singkat untuk karyawan pada umumnya. Saya masih ingat dahulu 1 tahun 6 bulan itu masih dikategorikan saya lagi semangat-semangatnya kerja.
Kondisinya saya ini jurnalis. Setiap hari lokasi kerja saya ganti-ganti, kadang di kementerian, kantor pemerintah, kantor swasta, hotel, bahkan ke luar kota. Ke kantor saya sendiri palingan cuma 1-2 kali seminggu. Saya merasa lebih bebas cuci mata di luar sana.
Beda cerita dengan pekerjaan seorang terapis ABA. Mereka melakukan pekerjaan sama setiap hari, Senin sampai Sabtu, jam 7 pagi sampai jam 3.30 sore atau empat sesi terapi.
Ruang kerja mereka relatif sempit, hanya kelas kecil mungkin berukuran 3×4 meter, tanpa televisi menempel di dinding untuk hiburan sesekali.
Mereka bekerja tanpa layar laptop, hanya bermodal suara, semangat, dan tentunya otak yang harus senantiasa fokus. Begitu berbuat kesalahan, pasien anak di hadapan mereka akan sulit memahami perintah dan akhirnya off task.
Setiap detik gerak gerik mereka berada dalam pantauan CCTV disaksikan orang tua atau anggota keluarga anak yang menjadi pasien mereka. Setiap 1,5 jam ada break 30 menit, tetapi boro-boro istirahat, terapis menggunakan waktu singkat itu untuk menyusun dan mengirimkan laporan tertulis tentang sesi terapi kepada dokter konsultan yang menjadi atasan mereka.
Terapi sesi pertama selesai 08.30 WIB, dokternya Rashif sudah harus menerima laporan maksimal pukul 09.00 WIB. Demikian berlaku sama untuk sesi kedua, ketiga, dan keempat.
Kesibukan harian terapis ABA ini belum termasuk meeting rutin dengan dokter via online sekali seminggu, plus koreksi-koreksi laporan dari dokter. Tak jarang pula dokter anak saya memberi terapis tugas dan ujian supaya terapis mempertahankan profesionalitasnya saat mendampingi anak. Masya Allah.
Sungguh, saya tak bisa membayangkan harus bekerja seketat itu. Oleh karenanya tak berlebihan jika saya menganggap Mba Mia, Mba Mara, dan Mba Silvi layaknya tiga malaikat bagi anak saya. Mereka adalah sahabat pertama putra saya sejak didiagnosis autism spectrum disorder (ASD) Juli 2019 lalu.
Meski ketiganya baru 1 tahun 6 bulan membersamai putra saya, tapi saya tahu mereka sudah merasakan burnout syndrome itu. Sebagai ibu yang juga mantan karyawan, saya bisa merasakan kejenuhan dalam diri mereka, meski setiap kali datang dan pulang ketiganya selalu bersemangat dan tersenyum kepada saya.
Mereka mungkin tidak secara langsung mengakui mereka mengalami burnout syndrome. Ya, mau bagaimana lagi? Mau bolos kerja gak mungkin karena mereka cuma bertiga. Tidak ada terapis cadangan bisa diperbantukan jika salah satu dari mereka ‘berniat’ bolos.
Cuti saja mereka hanya boleh maksimal tiga hari, gak peduli kampung halaman mereka sejauh apa. Mau pura-pura sakit gak mungkin, sebab mereka tahu pasti bagaimana beratnya pekerjaan mereka. Tak elok rasanya melimpahkan beban kepada dua rekan lainnya hanya karena alasan jenuh sendiri.
Metode ABA adalah entitas berbasis data. Orang-orang yang baru tahu ABA kadang terlalu mudah ‘menggampangkan’ terapi ini karena yang mereka lihat hanya kulitnya saja.
Saya sebagai manager dalam program harian anak saya selama menjalani terapi home-base tidak boleh hanya memikirkan target dan pencapaian Rashif semata, melainkan juga perlu memerhatikan kondisi ketiga terapisnya.
Saya harus melakukan segala cara untuk bisa mencegah mereka mengalami burnout. Apa yang bisa saya lakukan?
1. Bebaskan terapis cuti kapan saja
Kantor saya dulu memberlakukan cuti per tiga bulanan. Terserah, saya mau ambil cuti sehari, tiga hari, seminggu, atau cuti besar sebulan (di luar cuti melahirkan dan sakit), pokoknya jarak antara cuti pertama dan cuti berikutnya minimal tiga bulan.
Sebaiknya sistem seperti ini tidak diberlakukan untuk terapis ABA. Bebaskan mereka mengambil cuti kapan mereka suka, sebab kita tidak tahu kondisi fisik dan mental mereka bagaimana. Cuti sangat mungkin menjadi cara mereka untuk menstabilkan emosi, menjaga profesionalitas, dan menjadi diri mereka sendiri, meski sejenak.
Jangan heran beberapa terapis yang ngakunya terapis ABA, tetapi bersikap kasar pada anak. Ada kejadian tempat terapi yang pernah ‘menggulung’ anak autisi yang sedang tantrum dengan karpet. Ada pula yang main tangan. Padahal metode ABA melarang keras main fisik, bahkan kontak fisik menyentuh anak yang sedang diterapi saja tidak boleh berlebihan.
Saya bisa merasakan dalam hati pada satu titik correction NO terapisnya Rashif ‘lebih tinggi’ dari biasanya. Itu semakin terlihat pada raut wajah mereka yang mungkin tidak seramah biasanya pada Rashif. I know that.
But, it’s normal. Bayangkan, kalian dalam ruang sempit 3×4 m harus ‘setia’ mendengarkan bayi tiga tahun menangis selama 1,5 jam karena gak mau menjalankan program, lagi bad mood anaknya, atau mungkin mengantuk. Saya aja mendengar Rashif tantrum 10 menit pernah khilaf ngebentak dia.
Terapis Rashif, selama hampir dua tahun menemani Rashif, TIDAK PERNAH SEKALIPUN membentak Rashif. Can you imagine that? Faktanya mereka belum menikah, belum pernah jadi ibu, tapi sabarnya bisa ngalah-ngalahin sabarnya saya yang udah hampir enam tahun jadi ibu. Masya Allah, pengen peluk mereka bertiga pas nulis ini.
Saya bisa tahu salah satu dari mereka mungkin sedang tidak baik-baik saja. It’s time to take a rest. Silakan, mereka saya izinkan cuti kapan pun mereka mau dengan harapan after that mereka bisa kembali menjadi diri mereka yang lebih baik lagi.
2. Berikan mereka tempat tinggal yang baik
Ketiga terapis Rashif meneken kontrak tiga tahun dengan saya dan dokter anak saya. Artinya selama itu pula, bagaimana pun kondisi ekonomi keluarga saya, saya tetap harus memfasilitasi mereka dengan baik.
Sediakan tempat tinggal nyaman untuk mereka. Gak harus rumah kontrakan atau kostan mahal, asalkan gak mampet airnya, gak bocor gentengnya, gak susah buka tutup pintunya, gak banjir rumahnya, apa pun itu. Kalo ada keluhan dari mereka terkait fasilitas yang mereka gunakan, tanggapi segera.
Kalau saya ada rezeki lebih, kadang saya traktir terapis-terapisnya Rashif dengan makanan. Ya, sesederhana segelas bubur kacang ijo yang saya masak sendiri, semangkuk gorengan, atau kalo suami lagi dapat bonus dari kantornya, bisa belikan mereka martabak, dawet, atau hoka-hoka bento. Anything.
3. Kasih mereka waktu liburan
FYI, Rashif menjalani terapi Senin-Sabtu, which is praktis liburnya terapis itu cuma Minggu doang dan di hari libur nasional. Eh tapinya ternyata susaaaaaah banget nyari kalender nasional yang tanggal merahnya itu ada di Sabtu. Rata-rata semua harpitnas alias hari kejepit nasional.
Makanya di awal tahun saya dan suami begitu dapat kalender baru langsung periksa tanggalan. Kami mencari tanggal merah di Sabtu.
Buat apa? Ya buat kasih terapis-terapisnya Rashif liburan. Sekali setahun di hari Sabtu dan Minggu saya dan suami insya Allah beri ketiga terapisnya Rashif liburan.
Ya gak perlu liburan ke Bali atau ke luar negeri, sesimpel bayarin mereka menginap dua malam di Bogor, trus mereka bisa refreshing di sana. It’s mean a lot.
4. Jadilah orang tua yang jujur
Terapis hanya menemani anak kita enam jam sehari. Artinya, di luar itu anak bersama orang tua.
Jagalah anak kita dari hal-hal yang ‘membatalkan’ dietnya. Diet anak autisi sangat ketat. Jangan pernah mengkhianatinya.
Saya dulu pernah mencoba memberikan Rashif buah salak. Kondisinya saya mendapat info dari salah seorang kawan di kampus pertanian bahwa salak mengandung fenol, tapi yang fenolnya tinggi itu pada salak muda dan kulit salak.
Saya menyimpulkan jika saya berikan Rashif salak matang dan tentu saja Rashif gak mungkin makan kulit salaknya kan? Jadi ya bisa dikategorikan low phenol.
Akhirnya terapisnya melarang karena sekali lagi ABA itu saklek, jadi kalo di catatan dokter gak boleh, ya artinya gak boleh. Begitu terapis menelusuri catatan sesi terapi pada rentang 1-3 hari setelah pemberian satu keping salak itu, Rashif ternyata memang lebih banyak off task atau ogah mengerjakan perintah di kelas. Oke deh, akhirnya kita stop pemberian salaknya.
Sebagai orang tua kita harus kooperatif dengan terapis anak kita. Jangan sampai mereka sudah susah payah berusaha menyembuhkan anak kita, lalu kita sebagai orang tua dengan santainya melakukan hal-hal yang bertolak belakang. Ya anak kapan sembuhnya kalo begitu?
Terima kasih sudah membaca curhatan panjang saya kali ini. Semoga kita semua para orang tua dengan anak istimewa, juga terapis-terapis anak istimewa tetap menjadi orang-orang yang sabar mendampingi titipan Allah ini. Sehat selalu untuk kalian semua yang membaca.
Leave a Comment