Hai, udah daftar vaksin Covid-19 belum? Saya mau cerita nih, alhamdulillah saya dan suami sudah diimun 31 Mei dan 21 Juni lalu. Papa mama mertua saya bahkan sudah daftar vaksin lansia sebulan sebelum saya dan suami divaksin.
FYI, saya dan suami mendapatkan dua dosis vaksin sinopharm dengan jeda pemberian tiga minggu. Berikut sekilas profil vaksin sinopharm.
- Sinopharm adalah inactivated vaccine yang punya nama lain, SARS-CoV-2 Vaccine (Vero Cell) dan digunakan untuk Vaksinasi Gotong Royong sejak 17 Mei 2021.
- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan sinopharm aman dan efektif digunakan sebagai vaksin Covid-19.
- WHO merekomendasikan vaksin sinopharm diberikan kepada orang dewasa berusia 18 tahun ke atas dalam dua dosis dengan selang waktu penyuntikan 3-4 minggu.
- Sinopharm vaksin pertama yang dilengkapi pemantau suhu pada botolnya.
- Tingkat kemanjuran atau efikasi vaksin sinopharm mencapai 79 persen pada seluruh kelompok usia.
Saya dan suami gak disuntik begitu aja. Pertama-tama kami daftar vaksin online dulu melalui link aplikasi Kimia Farma yang bekerja sama dengan kantor suami. Hasilnya kami dapat jadwal vaksinasi.
Hari-H datang ke lokasi, kami menjalani skrining alias pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu. Petugas meminta kami mengisi dan menjawab kuisioner pertanyaan dengan jujur, khususnya bagian riwayat penyakit.
Tensi darah dan suhu tubuh kami diukur. Setelah kami dinyatakan sehat, baru lah bisa mendapat vaksin.
Kelar divaksin, saya diarahkan ke bagian pencatatan dan observasi. Saya menyerahkan kartu kendali pelayanan vaksinasi ke petugas, kemudian dilakukan dokumentasi. Setelah itu saya mendapat selembar kartu vaksinasi sebagai bukti bahwa saya sudah divaksin.
Lanjut, 30 menit berikutnya adalah observasi di mana saya duduk manis, menunggu di ruang tunggu. Tujuannya untuk melihat sekiranya ada efek samping yang saya rasakan setelah divaksin.
Step terakhir, petugas menanyakan kondisi saya, apa yang saya rasakan setelah divaksin, adakah keluhan yang tidak enak, dan sebagainya? Kalo gak ada, saya diperkenankan pulang.
Perlu kita ketahui bahwa keragu-raguan soal vaksin di Indonesia tuh akut banget. Wong imunisasi anak yang jelas-jelas penting kerap diabaikan kok. Sosialisasinya masih sulit. Apalagi vaksin Covid yang baru dikenalkan kurang dari setahun terakhir?
Supaya Keluarga Mau Daftar Vaksin
Kali ini saya tertarik bikin judul di atas bukan karena apa-apa. Saya gak mau ngurusin covidiots di luar sana yang masih saja ngeyel gak mau daftar vaksin. Padahal jelas-jelas tiap hari mereka nonton berita, lihat IG, lihat Facebook, lihat berita online berseliweran mengabarkan udah banyak yang meninggal karena virus corona.
Saya mau ngurusin keluarga aja deh, sebab keluarga adalah orang terdekat kita, orang yang lebih sering berinteraksi dengan kita. Jujur aja nih, beberapa anggota keluarga saya awalnya menolak divaksin, bahkan adik kandung saya sendiri.
Nah loh, kalo keluarga saya sendiri masih ada yang gak mau daftar vaksin, buat apa saya ngurusin netizen dan buzzer-buzzer antivaksin di luar sana? Ya kan? Urusin aja dulu keluarga kita, baru urus orang lain.
Berikut tips supaya keluarga atau orang-orang yang kita sayang mau daftar vaksin.
1. Bicara terbuka, entah itu ngobrol langsung atau buka diskusi di grup chat keluarga.
Ada banyak alasan mengapa keluarga atau orang-orang yang kita sayang malah ragu ikut daftar vaksin Covid-19. Makanya penting banget nih kita ajak mereka bicara terbuka, mau itu ngobrol langsung, atau diskusi di grup chat keluarga.
Biasanya sih mereka yang gak mau daftar vaksin alasannya karena ragu gak ada jaminan keamanan setelah divaksin. Mereka juga takut mengalami KIPI atau kejadian ikutan pascaimunisasi.
Apalagi setelah mereka melihat video viral yang sumbernya gak jelas menunjukkan ada orang meninggal setelah divaksin, tubuh mati rasa lah, mendadak kejang lah, atau langsung masuk UGD. Menurut saya perasaan kayak gini wajar kok, normal kok.
Kalo kita berinisiatif membangun ruang untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga kita yang gak mau divaksin, biasanya mereka bersedia mendengarkan. Mungkin aja penjelasan kita lebih bisa mereka terima, ketimbang mereka dinasihati sama orang luar yang bukan keluarga.
2. Fokus dulu ke perasaan saudara kita, jangan langsung mendebatnya.
Keraguan dan kekhawatiran saudara kita yang gak mau daftar vaksin ini biasanya tidak didasarkan fakta dari sumber-sumber gak jelas. Mereka lebih kebawa emosi dan ketakutan berlebihan.
Alih-alih kita mendebat saudara kita dengan berbagai cara, misalnya menggurui mereka dengan sederet data-data ilmiah, kenapa sih gak fokus aja ke perasaan mereka saat ini?
Bicarakan dari hati ke hati tentang bagaimana perasaan saudara kita yang gak mau daftar vaksin ini. Apa sih yang mereka takutkan? Efek samping vaksinnya kah? Kehalalannya kah? Khawatir dampak jangka panjang ke tubuh mereka kah?
Jangan pernah mengabaikan alasan-alasan yang dikemukakan saudara kita. Sekarang ini informasi abu-abu soal vaksin yang berseliweran di media sosial memengaruhi kepercayaan publik secara masif, terutama di kalangan golongan yang rentan divaksin.
Kalo semisal saudara kita ini mengutip informasi yang salah dan ikut menyebarkan kebohongan soal vaksin, ya tugas kita meluruskannya. Periksa sumber informasi yang mungkin menjadi referensi saudara kita ini, baru lah kita sajikan mereka berita dari sumber terpercaya.
3. Normalisasi vaksin Covid-19
Sering banget saya lihat pembelaan dari pihak mereka yang antivaksin menyangkut merek vaksin Covid-19. Mereka alergi banget sama vaksin buatan Cina, mau itu sinovac atau sinopharm. Ada pula yang membandingkan vaksin sinovac vs astrazeneca.
Contoh kalimat yang sering dilontarkan, “Ngapain saya dikasih vaksin dari Cina? Wong orang Cina-nya sendiri gak mau kok pakai Sinovac.”
Aduh, Malih! Capek deh ngomong sama orang kayak gini. Vaksin ya vaksin aja, gak usah bawa-bawa merek. Emangnya beli baju?
Dulu pas Covid-19 awal-awal nyebar, mereka pada nanyain vaksinnya mana? Sekarang pas udah ada vaksinnya, mereka komentar lagi dengan banyak alasan yang intinya tetap sama, mereka gak mau divaksin.
Kita harus meyakinkan keluarga kita bahwa vaksinasi adalah new normal saat ini. Sama halnya dengan kita terbiasa #dirumahaja, work from home, atau school from home.
Mungkin bisa dijelaskan lebih sederhana. Misalnya, kita bilang bahwa vaksin Covid-19 ini mirip dengan vaksin pneumokokus (PCV) atau vaksin influenze yang sudah lebih umum di Indonesia. Hanya saja vaksin Covid-19 ini lebih spesifik meningkatkan imun tubuh untuk memerangi corona yang masih tergolong virus baru.
4. Jelaskan kenapa kita perlu divaksin
Buatlah analogi sederhana saat menjelaskan kenapa kita perlu divaksin. Contoh nih, saya bilang ke adik laki-laki saya yang gak mau divaksin bahwa vaksin itu sama kayak helm yang dia pakai pas naik motor. Saya mengibaratkan helm karena adik laki-laki saya ini anak motor.
Saya bilang, kalo kita naik motor pakai helm, itu gak menjamin kita pasti selamat dari kecelakaan lalu lintas. Namun, seenggaknya kalo kita udah pakai helm, qadarullah kita apes di tengah jalan, kepala kita sudah terlindungi.
Helm tadi menghindarkan kita dari cedera parah. Bayangin kalo kita naik motor gak pakai helm, trus tabrakan nyungsep sama truk, bisa jadi rempeyek itu kepala.
Sama kayak vaksin. Orang yang sudah divaksin gak menjamin dia bebas dari penularan Covid-19. Namun, karena orang tersebut sudah divaksin, qadarullah dia kena Covid, dia akan terhindar dari masa-masa kritis. Imunitas tubuh sudah terbentuk, sehingga asma yang seharusnya kambuh malah gak muncul, jantung yang bisa berdetak gak karuan (aritmia) juga gak muncul, dan masih banyak lainnya.
Kalo kita divaksin, kita bukan cuma melindungi diri kita, tapi orang-orang di sekitar kita. Semua orang bisa jadi pembawa virus (carrier) loh.
Apa jadinya kalo kita yang merasa sehat-sehat aja, tanpa gejala, tapi si corona sebetulnya diam-diam sudah bersemayam di tubuh kita? Kita bisa menularkannya ke ayah kita, ibu kita, nenek kita, anak-anak kita, ponakan-ponakan kita yang masih kecil.
Beda cerita kalo kita udah divaksin. Tubuh secara otomatis mengenali si virus, dan akhirnya membentuk kekebalan tubuh hingga virus yang seharusnya berkembang biak menjadi jinak. Kita secara gak langsung menyelamatkan orang-orang yang berada di sekitar kita. Yups, kekebalan kelompok (herd immunity) adalah tujuan akhirnya.
5. Beri mereka waktu untuk menerima
Gak mungkin saudara kita langsung berubah pikiran seketika setelah ngobrol atau diskusi sama kita. Syukur alhamdulillah kalo mereka menerima dan akhirnya mau daftar vaksin. Kalo mereka tetap menolak? Ya berikan saja mereka waktu.
Kita harus siap membuka diskusi lebih sering dengan saudara kita yang menolak vaksin. Bila perlu tawarkan diri untuk menemaninya vaksinasi.
Sekali lagi, kita perlu kekebalan kelompok untuk melindungi orang-orang yang tidak bisa divaksin. Kekebalan kelompok adalah titik puncak di mana penyakit atau wabah sulit menyebar karena banyak orang di dalam kelompok sudah terlindungi dari infeksi.
Mereka yang kebal akan mencegah penyakit sulit menyebar pada individu yang tidak bisa divaksin, seperti bayi baru lahir, mereka yang menderita penyakit kronis, termasuk mereka yang menolak divaksin. Nah loh, buat yang antivaksin, gak malu tuh?
Saya kasih contoh ya, buat yang antivaksin. Kalian pikir anak-anak dan bayi-bayi kalian yang gak kalian kasih vaksin campak bisa bebas dari penyakit campak itu karena apa?
Jangan sok tahu bilang, “Anak saya dulu gak divaksin campak rubella kok. Buktinya sekarang udah besar, udah sekolah, gak pernah kena campak. Anak saya sehat-sehat aja.”
Itu namanya jawaban sotoy pak, bu.
Anak bapak ibu gak kena campak rubella karena cakupan imunisasi campak dan rubella di Indonesia secara nasional sudah mencapai 87,33 persen (Data terbaru dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan, 2018).
Artinya, hampir 90 persen penduduk Indonesia sudah divaksin campak rubella. Pada persentase ini, kekebalan kelompok sudah terbentuk. Anak-anak lain yang sudah imunisasi campak secara gak langsung melindungi anak-anak bapak dan ibu yang gak diimunisasi.
Kasus serupa berlaku juga pada vaksin Covid-19 ini. Berterima kasih lah pada mereka yang bersedia divaksin, pak, bu. Jangan buta sama ilmu. Rajin membaca dan cari tahu banyak informasi dari sumber yang kompeten.
Setidaknya kalo tetap gak mau divaksin, disiplin sama Protokol Kesehatan. Jangan pernah lupa bermasker, jangan keluar rumah kecuali untuk keperluan mendesak, dan rajin mencuci tangan sesudah bersentuhan atau menyentuh permukaan yang berpotensi menyebarkan virus Covid-19.
Kalo kebenaran itu sudah sampai kepada bapak dan ibu, hijrah lah segera. Buka hati untuk mau menerima, dan segera daftar vaksin untuk melindungi diri, keluarga, dan orang-orang yang kita sayang.
Leave a Comment