Tes DNA untuk anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) menjadi salah satu pembahasan menarik sepanjang berlangsungnya Konferensi Internasional Autisme 2021 yang digelar 10 April lalu via zoom online. Dr Jerry Kartzinel dari Kartzinel Wellness Center, Amerika Serikat (AS) yang menjadi keynote speaker waktu itu mengatakan tes DNA tersebut saat ini tidak diperlukan.
Hal senada dipertegas dr Sidney MacDonald Baker, praktisi Biomedical Intervention Therapy (BIT) untuk autisme di AS. Intinya kedua praktisi juga pakar BIT dunia ini mengatakan diagnosis dan masalah pada anak dengan gangguan autisme (autisi) bisa diketahui dengan cara lain, tanpa harus melakukan tes DNA. Ini berlaku sama pada anak autisi yang memiliki riwayat kesehatan, seperti kejang, epilepsi, disfungsi metabolisme, dan sebagainya.
Genetika memang berperan memengaruhi kondisi ASD, tapi bagaimana tepatnya faktor genetik itu berperan belum sepenuhnya dipahami dunia kedokteran saat ini. Saya mengutip sedikit penelitian Richard Anney dari Trinity College of Dublin dan rekannya, Bernie Devlin dari Fakultas Kedokteran Pittsburgh University.
Richard dan Bernie melakukan dua penelitian besar yang disebut Autism Genome Project (AGP). Tahap pertama berupa studi asosiasi genom menggunakan data genetik yang berasal dari 1.400 keluarga yang memiliki anggota keluarga autisi. Tahap kedua memeriksa hubungan yang ditemukan pada penelitian tahap pertama menggunakan data genetik 1.301 keluarga lain yang terkena ASD.
Hasilnya? Tidak ada genetik umum yang secara spesifik dan signifikan bisa menjelaskan atau menggambarkan ASD.
Tes DNA bagi sebagian orang tua memang bisa membawa ketenangan pikiran. Apalagi bagi anak yang sebelumnya sudah didiagnosis ASD, dari tes DNA bisa diketahui anak berpotensi mengembangkan penyakit lain yang mengkhawatirkan. Bisa saja anak ASD tersebut berisiko tinggi terpapar kanker, atau sindrom lainnya, sehingga orang tua bisa mengambil tindakan dan terapi dini untuk pencegahan.
Harga Tes DNA Mahal
Konsultan ahli autisme, dr Rudy Sutadi mengatakan tidak ada manfaatnya pemeriksaan gen dan tes DNA untuk autisi. Saat ini dunia kedokteran belum bisa memanfaatkan tes DNA secara maksimal karena belum ada yang bisa memanipulasi DNA.
Harga tes DNA yang mahal menurut saya juga menjadi kendala. Di Amerika bisa sampai 2.000 USD atau hampir Rp 30 juta, menurut informasi dr William Shaw, pakar BIT yang turut mengisi materi.
Perusahaan asuransi jarang sekali mau menanggung biaya terapi dan pengobatan untuk anak autisi karena menurut mereka hasilnya tidak akan berubah.
Reimbursement pun sangat bergantung pada kebijakan perusahaan. Contohnya perusahaan suami saya yang tidak bersedia menanggung biaya terapi dan obat.
Jujur, sometime ini bikin saya frustasi. Ya, gimana ya? Ibu-ibu seperti saya yang memiliki anak autisi dan pernah melakukan shopping therapy pasti tahu betapa banyaknya biaya yang kita keluarkan demi kesembuhan anak kita.
Menurut dr Rudy, sementara ini kalo kita ada uang lebih, ya diirit-irit. Alasannya karena pengeluaran untuk autisme itu banyak. Jadilah orang tua cerdas.
Lebih baik kita konsentrasi pada apa yang bisa langsung kita gunakan. Tanpa periksa DNA sekali pun, kita sudah tahu bahwa autisi itu butuh B6, B12, magnesium, zinc, dan lain sebagainya. Selengkapnya penjelasan dr Rudy tentang tes DNA ini bisa dilihat pada video berikut.
Autisme memang faktor genetik yang diperburuk kondisi lingkungan. Masalah utama pada anak autisi biasanya adalah metabolisme. Anak autisi bermasalah dengan zat-zat metabolik dalam tubuhnya.
Gen bagaikan jalan, sedangkan berbagai zat metabolik tadi adalah kemacetan lalu lintas (traffic jam). Adapun jalan atau gen anak kita tidak bisa diubah, tapi zat-zat metabolik atau arus lalu lintas (traffic jam) pada tubuh anak kita yang autis bisa dilancarkan.
Caranya dengan intervensi biomedis, seperti pemberian enzim, koenzim, dan sebagainya untuk melancarkan metabolisme dalam tubuh anak autisi.
Tes DNA untuk anak autisi itu tidak sama dengan tes DNA biasa, misalnya untuk menentukan anak kandung atau bukan. Benar-benar beda dan dilakukan secara mendetail. Wajar saja jika fasilitas seperti ini belum ada di fasilitas kesehatan di negara kita.
Anak autisi yang ingin melakukan IgG Food Alergy Test saja di negara kita belum bisa. IgG Test loh ya, bukan IgE Test yang biayanya Cuma Rp 1,6-2 juta. Khusus IgG Test ini kita masih harus mengirimkan hasilnya ke AS dengan biaya mencapai Rp 6,5 juta.
Tes Medis untuk Anak Autisi
Rashif, putra saya termasuk yang tidak melakukan tes DNA. Kami hanya melakukan tes laboratorium, seperti tes hematologi lengkap, fungsi ginjal (ureum darah, kreatinin darah, eLFG), fungsi hati (SGOT, SGTP, fosfatase alkali).
Tes laboratorium medis ini untuk mengevaluasi kemungkinan kondisi medis lain yang dapat menyebabkan gejala ASD berdasarkan pemeriksaan fisik dan riwayat anak.
Apa saja tes medis untuk anak autisi?
- Tes genetik atau tes DNA. Ini yang sedang kita bahas sekarang. Kalo di AS, orang tua biasanya ditawari tes Chromosomal Microarray Analysis (CMA) dan pengujian Fragile-X.
- Skrining timbal atau logam berat. Ini harus dilakukan jika seorang anak autisi tinggal di lingkungan berisiko tinggi terpapar logam berat, entah itu tinggal di apartemen, rumah tua, atau anak yang terus memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya.
- Tes lainnya, seperti electroencephalogram (EEG), pemindaian Magnetic Resonance Imaging (MRI), atau tes untuk gangguan metabolisme.
Penelitian Genetik untuk Autisme
Cara tes DNA untuk autisi contohnya melakukan Chromosomal Microarray Analysis (CMA), sebuah teknik yang bisa mendeteksi perubahan yang terjadi pada DNA, entah itu DNA yang mengalami duplikasi, mutasi kromosom, atau ada bagian DNA yang hilang. Analisis ini di AS telah direkomendasikan the American Academy of Pediatrics dan the American College of Medical Genetics and Genomics.
Konselor genetik di the Hospital for Sick Children di Toronto, Kanada, Ny Hoang bersama koleganya yang merupakan bagian dari kelompok kerja internasional terus menyusun daftar gen yang memiliki hubungan klinis kuat dengan autisme. Tujuannya membuat daftar dan seperangkat pedoman umum yang bisa digunakan di masa depan.
Jika riset mereka ini berhasil, ini akan menjadi metode lini pertama yang paing efisien, sebab bisa mendeteksi semua informasi dari setiap jenis tes DNA untuk anak autisi. Tes ini melibatkan pengurutan seluruh genom dan eksom pada tubuh manusia.
Apa itu genom, eksom, DNA, gen, dan kromosom?
Proyek Genom Manusia sudah dimulai sejak 1911 di AS. Dari sini lah keluar istilah genom dan eksom.
Genom adalah set gen lengkap dalam tubuh organisme yang bertanggung jawab atas semua gen yang ada dalam tubuh organisme tersebut. Eksom adalah bagian dari genom yang hanya terdiri dari wilayah gen tertentu.
Pas belajar Biologi dulu kalo gak salah kita ketahui bahwa genom manusia itu terdiri dari 23 kromosom yang berpasangan dengan lebih dari tiga miliar pasangan basa (base-pair) DNA. Nah, di dalam tubuh kita ini setidaknya ada tiga juta pasangan DNA yang semuanya terdapat di dalam inti sel setiap sel.
DNA atau Deoxyribonucleic acid adalah materi biologis dalam setiap sel tubuh kita yang sifatnya diturunkan. Jadi, DNA ini kode genetik yang membuat satu orang berbeda dengan orang lainnya.
DNA itu bentuknya berpasangan, seperti pita yang dipelintir, namanya double helix. Masing-masingnya tersusun dari unit bernama basa. Ada empat jenis basa, yaitu adenine (A), cytosine (C) , guanine (G), dan thymine (T). Adenine (A) berpasangan dengan thymine (T), sedangkan guanine (G) berpasangan dengan cytosine (C). Nah, susunan pasangan ini lah yang menjadi kode genetik.
Gen merupakan kumpulan dari DNA. Setiap manusia kira-kira punya 20 ribu hingga 25 ribu gen. Gen-gen ini bergabung menjadi kromosom. Sebagian besar gen manusia itu sama, tapi ada satu persen yang berbeda.
Gen yang abnormal menyebabkan kelainan genetik. Nah, autisme adalah salah satu contoh kelainan genetik itu, selain down syndrome, fenilketonuria, penyakit sel sabit, fibrosis kistik, buta warna, hemofilia, dan lainnya.
Sampai sekarang para ahli dan pakar dunia terus melakukan serangkaian penelitian terkait tes DNA pada autisi. Saya berharap suatu hari nanti, orang tua lain di masa depan yang kondisinya sama seperti saya sekarang bisa menggunakannya dalam tata laksana autisme yang kian mutakhir. Amin.
Leave a Comment