Jam lima pagi sudah kudengar suara klontangan wajan penggorengan mama di dapur. Aroma bawang goreng pas lagi digoreng sangat menggoda selera.
“Masak apa ma?” tanyaku.
“Masak nasi goreng. Kalian semalam pada gak makan ya?” tanya mama balik.
“Iya ma, Tia ketiduran pas ngelonin si kembar. Mas juga ikut ketiduran,” jawabku.
Rupanya mama menggoreng nasi sisa semalam. Pantaslah pagi-pagi buta mama mertuaku itu sudah sibuk di dapur.
Mama biasanya kalo masak nasi selalu pas. Dia seolah tahu takaran perut seisi rumah, mulai dari papa, suamiku, aku, dan ketiga cucunya.
Sejak menikah dengan mas 2014 lalu, aku sudah terbiasa dengan gaya hidup minim sampah makanan ala mama. Gak ada ceritanya makanan sisa dalam kamus mama.
Nasi sisa? Mama bikin jadi nasi goreng, atau nasinya dijemur sampai kering dan diolah menjadi rengginang.
Ikan dan sayur masih ada sisa setelah makan malam? Semua disimpan di kulkas biar gak basi dan dihangatkan keesokan paginya untuk sarapan. Gulai ayam bisa jadi kalio ayam ketika terus dipanaskan. Ikan goreng yang tadinya utuh jadi ikan goreng suwir ala cakalang fufu.
Mamaku hebat. Dia adalah Food Waste Hero keluarga kami.
Food Preparation Andalan Mama
Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menyebut Indonesia menghasilkan sampah makanan hingga 13 juta ton per tahun. Artinya, masing-masing kita rata-rata menghasilkan 300 kg sampah makanan per tahun.
Sekiranya dirupiahkan, jumlahnya setara Rp 27 triliun. Ini bisa memberi makan 28 juta rakyat Indonesia setiap tahunnya, mengingat masih ada sekitar 19,6 juta penduduk negara kita yang kekurangan gizi dan kelaparan.
Kita gak mungkin bisa bebas sampah makanan 100 persen. Walau mamaku masak nasi goreng sendiri di rumah, faktanya mama masih menuang kecapnya dari dalam botol plastik. Walau suamiku membuat kopinya sendiri, faktanya gula yang dibeli sebagai pemanis masih dikemas dalam plastik.
Suka gak suka, gaya hidup minim sampah makanan membutuhkan persiapan matang dan dilakukan dengan penuh kesadaran.
Mari kita kita memperbaiki gaya hidup untuk merangkul tahun penuh pandemi ini dengan tetap tegak berdiri. Berikut beberapa hal yang dilakukan keluargaku untuk memutus siklus sampah makanan dan mengurangi food waste.
1. Food preparation
Food preparation sangat membantuku menerapkan gaya hidup minim sampah makanan selama tiga tahun terakhir. Food preparation tak ubahnya seperti kita melakukan perencanaan makanan yang akan mengarahkan kita pada apa yang kita beli, cara kita mengonsumsi makanan, dan cara kita menangani sisanya.
Mama dan aku setidaknya menyimpan masakan matang untuk stok tiga hari dalam sepekan. Ini untuk menyiasati waktu sebab aku memiliki tiga balita dan cukup disibukkan kegiatan pengasuhan.
Selain makanan matang, kita bisa juga food preparation bahan makanan yang hendak dimasak. Tujuannya supaya masa penyimpanan dan pemakaian lebih lama.
Food preparation juga bisa dilakukan dengan berbagai metode, mulai dari drying, freezing, pickling, dan fermenting.
Drying
Drying adalah cara paling mudah dan paling sederhana untuk memperpanjang umur simpan makanan. Mama dan papaku membuat keringan herbanya sendiri di rumah, alih-alih beli jamu dalam kemasan.
Jenisnya mulai dari mahkota dewa, sereh, jahe, dan lainnya. Awetnya bisa 1-3 tahun loh.
Freezing
Freezing atau membekukan makanan sudah umum dilakukan masyarakat kita. Praktiknya mudah, kita menaruh bahan makanan dalam wadah, sebaiknya kedap udara, kemudian menaruhnya dalam freezer.
Hal yang perlu diperhatikan adalah hindari freezing dengan wadah terbuat dari kaleng. Sebaiknya kita menggunakan wadah kaca, atau wadah lain yang jelas aman untuk freezer.
Jangan gunakan air panas untuk mencairkan makanan beku. Air panas tersebut berisiko mengubah tekstur dan rasa makanan menjadi tidak enak.
Cara terbaik membiarkan wadah beku di suhu ruangan selama 30-60 menit. Kalo terburu-buru, kita bisa defrost dalam wajan kaca dan merebusnya dengan api sedang. Awetnya bisa 2-3 bulan loh.
Pickling
Pickling adalah mengawetkan makanan dengan fermentasi anaerob dalam air garam. Istilah sundanya mah dibikin asinan atau acar.
Jenis makanan yang bisa diproses dengan cara ini umumnya berupa sayuran dan buah, seperti mangga, nanas, salak, pepaya muda, bengkoang, pir, apel, lemon, ketimun, wortel, tomat, dan paprika.
Mamaku paling suka bikin acar ketimun dan wortel. Irisan ketimun dan wortel direndam dalam campuran air garam, gula, cuka, ditambah irisan bawang merah dan cabai rawit.
Kocok-kocok sedikit, kemudian masukkan ke dalam wadah kaca, lalu simpan di kulkas. Kalo kita taruh di lemari pendingin biasa, awetnya bisa seminggu lebih. Kalo ditaruh di freezer, bisa sampai sebulan loh.
Fermenting
Siapa yang suka kimchi? Makanan tradisional Korea ini melalui proses fermentasi.
Kalo kita perhatikan, orang-orang Korea itu sering bikin kimchi dari sayur kubis atau sawi putih. Alasannya karena kubis dan sawi putih tinggi kandungan air alaminya, sehingga begitu dicampur dengan garam, sayur-sayur ini akan menghasilkan air garamnya sendiri, gak perlu disiram air lagi.
Intinya jangan sampai kita merasa terbebani ketika melakukan food preparation. Bagaimanapun tujuan kita kan hidup lebih baik dengan menyajikan makanan sehat untuk keluarga.
Food preparation bukan hukuman, melainkan kegiatan menyenangkan. So, jangan membenci prosesnya ya.
2. Kurangi takeaway dan makan di luar, mulai belajar masak.
Hindari membeli makanan olahan dan makanan kemasan secara berlebihan, termasuk di dalamnya beli makanan dengan cara takeaway. Lebih baik masak makanan kita sendiri di rumah.
Makanan home-made biasanya lebih bersih dan lebih bergizi. Kita bisa mengontrol kadar lemak dan bumbu yang dipakai. Kita juga bisa mengatur porsi makan anggota keluarga.
Kalo kita kangen makan di luar, sebaiknya kita gak makan sendirian. Ajak pasangan atau keluarga, beli makanan porsi bersama. Artinya, pilih menu yang sama-sama disukai. Jadi, kita bisa food sharing.
Gak perlu gengsi minta tolong pelayan resto buat bungkusin sisa makanan di piring kita untuk dibawa pulang. Kan kita bisa menghabiskan sisanya di rumah, ya kan?
3. Buat daftar belanja, prioritaskan beli di pasar lokal.
Belanja secukupnya ke pasar tradisional dan pedagang lokal membantu kita mengurangi sampah makanan. Usahakan kita mencatat daftar belanja sebelum ke pasar atau ke pedagang lokal. Tujuannya menghindari impulsive buying yang berujung pada sampah dan sisa makanan.
Biasanya ada aja godaan kalo kita gak bawa daftar belanja ke pasar atau ke supermarket. Kita kerap membeli hal-hal yang seharusnya gak perlu dibeli. Selain boros uangnya, kulkas kita jadi kepenuhan, dan akhirnya bahan yang tak sempat diolah terbuang percuma.
4. Catat tanggal kedaluwarsa
Jangan lupa, catat tanggal kedaluwarsa ketika kita berbelanja bahan makanan dalam kemasan. Orang terlampau banyak berbelanja, menyimpan banyak makanan di kulkas, tapi ujung-ujungnya lupa bahwa ada makanan yang masa kedaluwarsanya hampir habis.
Jenis yang sering kali kita lupa tanggal kedaluwarsanya, antara lain susu cair, yogurt, keju, dan roti.
Tanggal kedaluwarsa menunjukkan batas waktu makanan masih aman dikonsumsi. Tanggal ini juga mencegah makanan terhindar dari bakteri berbahaya, seperti listeria, campylobacter, atau salmonella yang memicu keracunan.
5. Kurangi limbah kemasan
Ada kalanya kita gak punya pilihan selain beli beberapa bahan makanan yang dikemas dalam kantong plastik, seperti gula pasir, minyak goreng, garam, bumbu penyedap, atau beras kiloan. Nah, kita bisa mengurangi sampah kemasan dengan membeli dalam ukuran atau partai besar.
6. Bikin kopi sendiri, kurangi beli air kemasan botol.
Tren ngopi di Indonesia sekarang lagi hype banget. Penggunaan plastic cup dan paper cup untuk minuman kopi nyaris gak bisa dihentikan. Wadah bekas ini juga bagian dari sampah makanan loh.
Kalo kita ngaku pengopi berat, kenapa gak berinvestasi dengan beli mesin kopi sendiri? Ya gak usah beli yang mahal, beli mesin roasting kopi yang murah aja.
Cara hebat lainnya untuk mengurangi sampah makanan adalah tidak membeli air dalam kemasan botol. Kalo gak suka minum air putih, pengen air yang ada rasanya, ya bikin infused water aja. Dari pada beli jus kalengan, minuman cola, atau teh berpengawet, gak sehat kan?
Sampah Organik tak Selalu Cantik
Separuh sampah yang dihasilkan di Indonesia bentuknya sampah organik, mau itu sisa makanan atau sisa tumbuhan.
Banyak orang menelan mentah-mentah informasi bahwa sampah organik itu bagus buat lingkungan. Dalam jumlah kecil ya bagus, tapi dalam jumlah besar ya bikin mampus.
Sampah makanan yang kita buang ke tong sampah, kemudian diangkut tukang sampah atau truk dinas kebersihan tidak serta merta berakhir di laut atau di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Jangan pernah merasa ‘tidak bersalah’ hanya karena kita mengeluarkan uang retribusi sampah Rp 25 ribu atau Rp 30 ribu setiap bulannya. Persoalan sampah makanan dan limbah rumah tangga tidak selesai hanya karena kita membayar iuran kebersihan lingkungan.
Dari sini sebetulnya tanpa sadar kita mulai menimbulkan masalah pengelolaan sampah di tempat-tempat yang sesungguhnya tidak ada kapasitas untuk menangani sampah organik.
Begitu banyak kota dan kabupaten di Indonesia yang tidak memfasilitasi TPS Organik. Berton-ton sampah organik itu langsung dibuang ke TPA yang sangat beracun bagi manusia dan lingkungan sekitarnya.
Tahu gak kalo sampah makanan yang menumpuk di TPA akan mengeluarkan gas yang namanya metana?
Metana ini gas sama yang dihasilkan dari kentut dan kotoran sapi. Bisa kebayang kan bau busuknya?
Metana 21 kali lipat lebih berbahaya dari karbondioksida. Jelas ini salah satu kontributor utama efek rumah kaca yang menuntun kita ke krisis perubahan iklim sekarang ini.
Kita semua harus bergerak. Contohnya Tim Bandung Food Smart City yang terus mengampanyekan penyadaran masyarakat terhadap bahaya sampah sisa makanan lewat berbagai program, seperti food racing, food sharing, dan urban farming.
Virus corona cepat atau lambat akan menghilang, tapi yang namanya timbunan sampah makanan akan terus ada. Komitmen kita menerapkan gaya hidup minim sampah makanan semakin dipertanyakan. Yuk, kurangi sampah makananmu mulai dari sekarang!
Leave a Comment