Perubahan besar yang mengantar Indonesia bebas sampah makanan urung terjadi jika kita tak menyelesaikan masalahnya di level akar rumput. Edukasi kepada masyarakat luas menjadi landasan untuk mendorong perubahan itu.
Saya ucapkan selamat untuk Kota Bandung yang beberapa waktu lalu dinobatkan sebagai satu dari 50 kota pintar atau smart city di dunia. Penghargaan ini diberikan Eden Strategy Institute, sebuah perusahaan konsultan strategi yang berbasis di Singapura.
Bandung menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang masuk ke dalam jajaran ini, tepatnya peringkat ke-28 setelah Oslo (Swedia). Bandung bahkan lebih baik dari Adelaide (Australia) di peringkat ke-31, Boston (Amerika Serikat) di peringkat ke-32, dan Frankfurt (Jerman) di peringkat ke-38.
Bandung Food Smart City adalah program kolaborasi antara Rikolto (VECO), sebuah lembaga internasional yang berkantor pusat di Belgia, bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) dan Pemerintah Kota Bandung. Misinya mewujudkan Bandung menjadi Kota Cerdas Pangan.
Bebas Sampah Makanan Bersama Bandung Food Smart City
Indonesia punya banyak bank makanan (food bank) yang mengusung konsep zero food waste. Sayang gak semua orang menyadari keberadaannya.
Berikut beberapa food bank dan komunitas yang saya ketahui memiliki program zero food waste, yaitu:
- Food Bank of Indonesia
- Garda Pangan Surabaya
- Food Cycle Indonesia
- Komunitas Zero Waste Indonesia
- Komunitas Surplus Indonesia
- Komunitas Slow Food Bali
- Bandung Food Smart City
Sekiranya seluruh jaringan hotel dan restoran di kota-kota besar Indonesia konsisten dan berbesar hati bekerja sama dengan komunitas dan bank makanan yang mengusung zero food waste ini, saya yakin gak butuh waktu lama Indonesia menjadi negara bebas sampah makanan.
Apalagi kalo kita mau mencontoh Perancis, negara pertama di dunia yang menerapkan aturan khusus, berupa Undang-Undang Limbah Pangan. Yakin deh, indeks ketahanan pangan Indonesia bakal membaik.
Perancis cuma menyisakan 1,8 persen sampah makanan setiap tahun. Negara ini bahkan menargetkan angkanya turun setengahnya hingga 2025. Masya Allah, keren banget.
Tim Bandung Food Smart City terus mengampanyekan penyadaran masyarakat terhadap bahaya sampah sisa makanan. Berikut beberapa program yang dilakukan.
1. Food racing
Kampanye Food Racing menyasar lebih dari 300 siswa sebagai agen perubahan di beberapa sekolah di Kota Bandung, yaitu SMAK BPPK, SMP Negeri II Bandung, dan SMA Trinitas. Bentuknya permainan yang menyadarkan kaum muda, khususnya milenial agar bijak berbelanja makanan.
Makanan sisa di piring makan kita berdampak buruk terhadap lingkungan sekitar, juga Bumi secara keseluruhan. Permainan Food Racing terdiri dari beberapa pos di mana setiap posnya didampingi mentor dengan fungsi berbeda.
Setelah permainan berakhir, peserta dan tim berkumpul dan mendiskusikan output dari permainan yang diikuti. Peserta pun diajak berkomitmen mengubah gaya hidup yang sebelumnya food waste menjadi antifood waste.
2. Food sharing
Bandung sebagaimana kota besar lainnya di Indonesia bergantung pada stok pangan yang didatangkan dari luar daerah. Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung mencatat timbunan sampah kota rata-rata 1.477 ton per hari.
Sebagian besar dari jumlah tersebut berupa sampah organik yang bersumber dari pangan. Porsinya 63 persen atau setara 930 ton.
Bandung adalah kota jasa, kota kuliner yang pendapatan asli daerahnya bergantung pada industri pariwisata, juga makanan dan minuman. Pertumbuhan ekonomi Kota Bandung 60 persennya berasal dari pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang jelas terpukul selama pandemi Covid-19.
Ketahanan pangan di masa pandemi sangat penting untuk membantu masyarakat yang terdampak. Masyarakat bisa saling bantu dengan cara berbagi makanan, atau mendonasikan sebagian uang untuk membeli makanan dari pelaku UMKM tadi. Dengan demikian roda perekonomian Kota Bandung terus berputar.
Tim Bandung Food Smart City menggandeng Pemerintah Kota Bandung dan Forum Badami melakukan food sharing lewat Badami Food Rescue. Badami adalah platform digital yang menghubungkan masyarakat yang ingin menyalurkan donasi untuk sesama. Di dalamnya ada Bandung Smart Food sebagai marketplace untuk produk pangan, pasar tradisional, dan UMKM sektor makanan dan minuman.
Badami Food Rescue adalah gerakan penyelamatan surplus makanan, food waste, dan donasi makanan segar yang dihasilkan rumah tangga, restoran, hotel, kafe, toko kue, katering, dan industri makanan lainnya. Kampanye masif melalui aplikasi ini bisa mengurangi jumlah sampah makanan dari skala individu.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung mencatat 488 hotel tergabung dalam Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Bandung.
Situs pemesanan tiket dan akomodasi Traveloka bahkan mencatat 2.687 penginapan berupa hotel, homestay, apartemen, dan lainnya se-Kota Bandung. Bayangkan jika semuanya mau bekerja sama dengan Bandung Food Smart City, pasti keren banget.
3. Urban farming
Siapa bilang petani harus tinggal di desa? Zaman sekarang petani juga bisa tinggal di kota. Namanya petani urban farming. Media tanamnya lebih variatif, salah satunya hidroponik.
Lahan produktif dan ruang terbuka hijau di perkotaan kian terbatas. Meski demikian, semangat menanam tak boleh padam.
Urban farming menjadi solusi untuk pertanian kota. Bandung Food Smart City mengusung Program Kangpisman atau Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan sebagai pendekatan bisnis urban farming.
Lokasinya di tempat tinggal masing-masing, sehingga masyarakat bisa bertani dan berkebun skala rumah tangga kapan saja.
Urban farming memiliki beberapa tujuan, yaitu:
- Menyokong ketahanan pangan keluarga karena masyarakat menyediakan sendiri pangan bergizinya.
- Menyokong ekosistem pangan lokal dan ekonomi masyarakat.
- Meningkatkan pemasukan masyarakat sekitar.
- Melatih kepekaan rasa dan menguatkan interaksi sosial sesama masyarakat.
- Menghargai proses, sehingga masyarakat tidak mudah menyisakan makanan.
- Menciptakan agen perubahan dan lapangan kerja.
- Memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) ke-12, yaitu mereduksi sisa makanan dan memastikan setiap orang menerapkan gaya hidup harmonis dengan alam.
Ngomong-ngomong soal urban farming, saya pribadi belajar banyak dari Bapak Slamet Riyanto, salah satu rekan senior saya di kantor dulu. Beliau adalah petani urban anggota Maharaja Urban Farming di Kompleks Perumahan Depok Maharaja, Jawa Barat.
Pak Slamet memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk kebun sayur hidroponik dengan media tanam air. Saat ini beliau menanam sawi atau pokcoy, selada, bayam, dan kangkung sebab perawatannya relatif mudah. Panennya bisa setiap bulan dan hasilnya bisa dibagikan ke tetangga.Menariknya, kegiatan urban farming yang digagas Pak Slamet membuat warga kompleks semakin peduli lingkungan dan semakin peduli tetangga. Kalo warga butuh sayur, tinggal petik di halaman secukupnya dan diolah di dapur masing-masing.
Sejak pensiun, Pak Slamet mantap melanjutkan hobinya ini sebagai sumber penghasilan baru. Praktisi bisnis hidroponik ini sekarang santer menularkan hobinya menghasilkan uang dari pekarangan kepada pihak-pihak yang ingin belajar.
Menurut Pak Slamet, bisnis sayuran hidroponik secara ekonomi menguntungkan karena semakin banyak masyarakat yang sadar akan manfaat makanan sehat dan tanpa pestisida.
Selain urban farming, kita juga mengenal istilah permakultur. Permakultur cocok banget diterapkan hotel dan restoran sebagai mitra pariwisata di Indonesia.
Mungkin masih ada yang gak tahu, apa itu permakultur?
Permakultur mirip dengan konsep pertanian berkelanjutan atau pertanian organik dengan menekankan keseimbangan dan keberlanjutan sumber daya alam.
Sebab saya lama tinggal di Pulau Dewata, Bali di mata saya contoh provinsi yang menerapkan permakultur secara luas.
Dalam hal gaya hidup minim sampah makanan, saya ambil contoh Ubud. Jaringan hotel dan restoran di Ubud rata-rata sudah menggunakan sistem permakultur.
Suatu hari saya sekeluarga pernah makan siang di Warung Tani, salah satu restoran di Visesa Resort & Villa Ubud. Semua makanan yang disajikan di sana berasal dari kebun sendiri.
Dari total 6,5 hektare (ha) kawasan penginapan, lebih dari 2 ha dialokasikan untuk areal persawahan, perkebunan, peternakan, dan areal berkuda.
Di areal bercocok tanam, saya melihat aneka sayuran hijau, ubi, singkong, dan kacang-kacangan. Di areal peternakan, saya melihat bebek, ayam, sapi, dan kolam ikan air tawar. Lokasinya tak begitu jauh dari restoran.
Ada juga The Elephant Restaurant Ubud yang menyajikan makanan di mana 60 persen bahannya dari petani lokal. Menariknya, restoran ini tidak mempermasalahkan sayuran dan buah-buahan dari kebun petani yang bentuknya tidak sempurna, entah itu ketimun bengkok, buah yang secara fisik bentuknya cacat, asalkan dari segi kebersihan dan cita rasa tetap sama.
Bekerjasamalah dengan alam, bukan melawannya.
BILL MOLLISON
Konsep pemikiran Bill Mollison ini mendasari perkembangan permakultur di seluruh dunia. Salah satu manifestasinya adalah pengaturan batas konsumsi dan populasi.
Kita yang menentukan seberapa banyak sumber daya kita butuhkan, dan menyisihkan sebagian untuk masa depan.
Permakultur mengajarkan kita bahwa kita gak bisa sembarangan mengeksploitasi alam. Harus ada takarannya, harus ada jaminan bahwa kita mengembalikan lagi kondisi lingkungan kita dalam keadaan sebaik-baiknya.
Alam sudah kasih kita makanan, tapi kita mengembalikan ke alam dalam bentuk makanan sisa yang berujung sampah makanan. Ini gak benar.
Wisatawan berpotensi menghasilkan sampah lebih banyak dari masyarakat lokal. Harapan saya semakin banyak hotelier di destinasi-destinasi pariwisata di Indonesia, tak terkecuali Kota Bandung menerapkan permakultur dan menunjukkan itikad serius mengurangi sampah, khususnya sampah makanan.
Gaya hidup minim sampah makanan harus kita lanjutkan. Sekarang justru waktu yang tepat untuk melakukannya.Pandemi mengajarkan kita bahwa jika kita bersatu, perubahan baik bisa terjadi. Mencapai 100 persen memang sulit. Mengubah total gaya hidup dalam semalam nyaris mustahil.
Pertanyaannya, apakah kita mau mengubah minimal satu kebiasaan yang mengantar kita pada gaya hidup minim sampah makanan? Yakinlah, ketika satu hal itu dipraktikkan berkelanjutan, dalam jangka panjang pasti berdampak positif.
Fokuslah pada beberapa hal yang bisa kita ubah. Kita gak perlu jadi satu orang yang melakukan 100 hal dengan sempurna. Sebaliknya, ketika kita bisa mengajak 100 orang mau melakukan satu hal positif, seiring waktu kita bersama bisa mendekati sempurna.
Leave a Comment