Saya mengalami anemia defisiensi besi sepanjang masa remaja hingga beranjak dewasa, persisnya sejak saya duduk di kelas II SMP hingga SMA. Sebab masih anak-anak, saya waktu itu sama sekali tak terlintas punya penyakit ini. Menurut saya anak remaja usia sekolah mudah lelah, lemas, dan pusing ya itu biasa saja.
Saya masih 12 tahun ketika suatu hari pingsan dan membutuhkan bantuan medis waktu mengikuti Jambore Daerah Pramuka di Sumatera Barat. Dokter yang memeriksa saya waktu itu menduga saya anemia.
Sepulang dari bumi perkemahan, ayah membawa saya periksa ulang dan cek darah ke klinik. Hasilnya mengejutkan, kadar zat besi di tubuh saya anjlok, turun drastis.
Dokter menerangkan gejala anemia yang beberapa di antaranya saya miliki, seperti mudah lelah, lemas, insomnia, kaki suka gemetaran, kuku tangan dan kaki rapuh, tubuh mudah memar, sering pusing, kulit pucat, rambut rontok, persendian kerap sakit, dan jantung sering berdebar kencang.
Butuh beberapa tahun sampai saya berdamai dengan anemia defisiensi besi. Saya sempat diinfus beberapa kali, juga konsumsi beberapa jenis obat dan suplemen. Hal paling sedih adalah ketika saya harus mengurangi kegiatan ekstrakurikuler yang menguras fisik, terutama bulu tangkis, latihan Pramuka, juga Paskibra.
Syukurnya dengan waktu, kesabaran, penerimaan, dan bantuan orang-orang tersayang, khususnya ayah ibu yang sangat memerhatikan asupan gizi saya di rumah, saya akhirnya bisa mencapai keseimbangan zat besi dalam tubuh.
Sebelum merantau demi melanjutkan kuliah ke Bogor 2005, ayah ibu kembali memeriksa kesehatan saya ke dokter spesialis untuk memastikan saya benar-benar bebas dari anemia defisiensi besi. Alhamdulillah, lihatlah saya sekarang, sudah 34 tahun dan dikarunia tiga putra putri yang juga sehat walafiat.
Wanita dan Anemia
Berangkat dari pengalaman remaja saya, hidup dengan kondisi kekurangan zat besi sungguh merupakan tantangan yang melelahkan. Apalagi remaja itu adalah perempuan yang kelak akan menjadi seorang ibu.
Anemia memengaruhi lebih dari 30 persen populasi di dunia, berdasarkan riset Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Prevalensi wanita terkena anemia lebih tinggi dibanding pria. Anemia bahkan berkontribusi pada 20 persen kasus kematian ibu di seluruh dunia.
Kenapa wanita berisiko tinggi anemia?
Saya mencoba menjelaskannya berdasarkan tahapan usia wanita sejak balita, remaja, dewasa, hingga tua.
1. Usia awal pertumbuhan (0-5 tahun)
Bayi 0-5 tahun berada dalam periode emas (golden age). Kadang sulit dipercaya betapa cepatnya bayi-bayi itu bertumbuh.
Nah, tubuh bayi pada masa pertumbuhan pesat ini pastinya membutuhkan banyak darah. Ini berarti kebutuhan zat besinya meningkat untuk mengakomodasi percepatan pertumbuhan yang terjadi pada lima tahun pertama kehidupannya.
2. Usia pubertas dan menstruasi (10-14 tahun)
Ini adalah usia remaja di mana anak perempuan akan melalui fase pubertas dan menstruasi. Risiko anak perempuan mengalami anemia pada usia ini cukup tinggi, contohnya saya.
Alasannya pubertas dan menstruasi mendorong percepatan pertumbuhan remaja perempuan. Tubuh mereka membutuhkan lebih banyak zat besi untuk menampung volume darah yang semakin tinggi selama periode ini.
Setiap bulannya remaja perempuan akan kehilangan darah banyak ketika menstruasi. Mereka perlu diasupi nutrisi kaya zat besi, berasal dari makanan sehari-hari, susu pertumbuhan, bahkan jika perlu suplemen. Apabila faktor ini tidak diperhatikan, tak perlu heran jika banyak anak perempuan tumbang dan terkena anemia di usia remaja.
3. Usia produktif hamil dan melahirkan (15-45 tahun)
Kehamilan juga meningkatkan risiko anemia karena peningkatan volume darah. Tubuh wanita menghasilkan 50 persen darah lebih banyak selama kehamilan untuk mengimbangi penambahan berat badan dan menyediakan zat besi untuk janin yang dikandungnya.
Pada trimester akhir, bayi dalam kandungan ibunya mulai menyimpan zat besi untuk persediaan selama enam bulan pertama kehidupannya. Bayangkan jika ibu hamil tidak mendapatkan suplementasi zat besi yang cukup selama mengandung, jelas ibu dan janin berisiko anemia, bahkan bayi yang dilahirkan berisiko stunting dan malnutrisi.
4. Usia emas (55 tahun ke atas)
Pada usia emas atau masa tuanya wanita rentan mengalami anemia defisiensi besi. Faktor penyebabnya banyak, misalnya penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) yang sering dikonsumsi untuk mengurangi peradangan selama hidupnya.
Faktor lain bisa juga karena konsumsi aspirin selama bertahun-tahun yang memicu kerusakan saluran pencernaan dan pendarahan.
Selain itu, wanita pada usia 55 tahun ke atas tidak bisa lagi menghasilkan cukup asam lambung, sehingga bisa merusak penyerapan zat besi dalam tubuhnya. Inilah yang saat ini dialami oleh ibu saya. Ya, ibu saya yang sudah berusia di atas 60 tahun menderita anemia.
Sering kali ibu tiba-tiba pingsan di rumah. Jika itu terjadi, ayah saya harus membawa ibu ke rumah sakit untuk diinfus. Ibu juga menerima suntikan khusus dari dokter, dan kembali minum obat dan suplemen.
Wanita pada usia emas sangat mungkin mengalami penurunan nafsu makan. Mereka akhirnya hanya mengonsumsi makanan yang miskin nutrisi dan tidak mengandung cukup zat besi. Ini memperburuk risiko wanita terkena anemia defisiensi besi.
Apa Itu Anemia Defisiensi Besi?
Saya tidak sendiri. Prevalensi anemia pada remaja, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita di Indonesia cukup mengkhawatirkan.
Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesian Nutrition Association (INA), DR dr Diana Sunardi, MGizi, SpGK mengatakan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan sejak 2013 menunjukkan angka anemia pada remaja Indonesia saat ini masih berkisar 15 persen. Angka anemia pada ibu hamil malah mencapai 37 persen.
Wajar jika Indonesia masih menghadapi tiga beban masalah gizi (triple burden), yaitu stunting, malnutrisi (gizi buruk), dan obesitas. Malnutrisi di sini disebabkan kekurangan mikronutrien (vitamin dan mineral), salah satunya zat besi.
Anemia defisiensi besi adalah kondisi tubuh kekurangan zat besi, sehingga jumlah sel darah merah yang bersirkulasi terlalu sedikit. Dokter Diana dalam Webinar Peran Nutrisi dalam Tantangan Kesehatan Lintas Generasi yang bekerja sama dengan Danone Indonesia menyebutkan tiga faktor yang berperan dalam anemia defisiensi besi, yaitu demografi, asupan makanan, dan sosial.
Oke, sekarang kita fokus ke asupan makanan ya.
Asupan makanan masyarakat Indonesia saat ini masih didominasi pangan nabati di mana kadar energinya rendah, proteinnya rendah, yang ujung-ujungnya menyebabkan defisit energi, defisit protein, dan defisit mikronutrien.
Anemia defisiensi besi umumnya disebabkan asupan zat besi terutama zat besi heme rendah, asupan vitamin C rendah, konsumsi sumber fitat berlebihan, konsumsi sumber tanin terutama dari teh dan kopi berlebihan, atau bisa juga karena menjalankan diet yang tidak seimbang.
Pada anak, penyebab anemia defisiensi besi karena anak jadi pemilih makanan (picky eater), asupan makanannya tidak bervariasi, kondisi tertentu yang menyebabkan gangguan penyerapan, dan kondisi tertentu yang menyebabkan asupan besi rendah, seperti alergi bahan makanan sumber besi heme.
Apa sih zat besi heme dan non-heme?
Zat besi heme adalah zat besi yang bergantung pada sumber protein hewani. Asupan zat besi terbaik berasal dari sini, sebab lebih mudah dicerna dan diserap tubuh.
Sumber zat besi heme terutama dari jenis ikan, daging, dan unggas. Jenisnya seperti ikan salmon, ayam, sapi, kambing, domba, hati ayam, hati sapi, dan hati domba.
Zat besi non-heme adalah zat besi yang bergantung pada sumber protein nabati. Sumbernya bisa dari bayam, wortel, kangkung, tempe, tahu, brokoli, asparagus, jamur, daun singkong, kecipir, dan buncis.
Sayangnya, sebut dr Diana proses penyerapan zat besi non-heme atau nabati ini lebih panjang. Kita harus memerhatikan faktor-faktor penghambat yang membuat tubuh tidak maksimal menyerap zat besi non-heme, seperti reaksi silang dengan serat, fitat, tanin, kalsium, polifenol, dan zinc.
Sebaliknya kita bisa meningkatkan proses penyerapan zat besi non-heme dalam tubuh dengan menambahkan asupan vitamin C, asam askorbat, asam sitrat, dan komponen lain dari makanan.
Perangi Anemia Bersama Danone Indonesia
Saya percaya penanganan yang baik, khususnya advokasi dan kolaborasi seluruh pihak sangat membantu masyarakat Indonesia sehat sejahtera dari anemia.
Tidak ada kata terlalu cepat, atau terlalu lambat untuk melakukannya. Cek status zat besi dalam tubuh kita dan anggota keluarga kita, kenali tanda dan gejala kekurangan zat besi, hidup sehat dengan mengonsumsi makanan kaya zat besi, dan pahami berbagai sumber untuk memperkaya zat besi pada usia anak hingga dewasa tua.
Saya kutip sedikit pernyataan Corporate Communication Director Danone Indonesia, Bapak Arif Mujahidin bahwa, “Setiap kali kita makan dan minum, kita memilih dunia seperti apa yang akan kita tempati.”
Danone salah satu perusahaan makanan dan minuman di Indonesia yang menaruh perhatian lebih pada masalah kesehatan masyarakat. Danone tidak hanya memikirkan bisnis, melainkan berkomitmen mewujudkan One Planet One Health.
Bisnis Danone dari hulu ke hilir, sejak produksi sampai produk-produknya dinikmati konsumen selalu memikirkan kesehatan Bumi. Kesehatan planet berkaitan dengan kesehatan masyarakat dan Danone ingin memelihara serta melindungi keduanya.
Sebagai perusahaan makanan, Danone terdepan dalam Revolusi Makanan, yaitu sebuah gerakan yang bertujuan untuk memelihara penerapan kebiasaan makan dan minum lebih sehat dan berkelanjutan.
Strategi dan komitmen Danone Indonesia untuk memelihara penerapan kebiasaan makan dan minum lebih sehat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
- Meningkatkan kualitas nutrisi produk.
- Meningkatkan keseimbangan keseluruhan portofolio perusahaan.
- Berinovasi untuk menciptakan dan mempromosikan alternatif yang lebih sehat.
- Menginspirasi kebiasaan yang lebih sehat melalui berbagai program dan layanan.
- Mengomunikasikan informasi yang transparan dan berguna tentang produk-produk Danone.
- Menunjukkan dampak positif Danone pada kebiasaan makan dan kualitas diet.
Kontribusi Danone ini dalam rangka mewujudkan Tujuan Danone 2030 yang selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals PBB 2030.
Apa saja komitmen Danone dalam rangka membantu mengatasi tiga beban masalah gizi (triple burden) di Indonesia?
1. Isi Piringku
Fakta menunjukkan hanya dua dari lima anak Indonesia yang konsumsi makanannya sesuai rekomendasi WHO. Program Isi Piringku dari Danone Indonesia mempromosikan konsumsi gizi seimbang dan gaya hidup sehat untuk anak usia 4-6 tahun melalui guru dan orang tua.
Danone Indonesia telah menggandeng lebih dari empat ribu guru, 40 ribu siswa PAUD, dan 44 ribu ibu di delapan provinsi.
2. Gerakan Ayo Minum Air (Amir)
Fakta menunjukkan satu dari empat anak Indonesia masih kurang minum. Program kolaboratif Danone ini bertujuan untuk meningkatkan kebiasaan minum 7-8 gelas air per hari bagi anak usia sekolah.
Gerakan Amir telah melibatkan lebih dari 745 ribu siswa SD dan 1,2 juta siswa PAUD, dan 1,2 juta kader PKK di lima provinsi.
3. Warung Anak Sehat
Program ini memberdayakan ibu-ibu kantin sekolah untuk mengelola kantin sehat di sekolah. Mereka menyediakan makanan ringan dan minuman sehat bagi siswa. Program ini juga mendidik guru, orang tua, dan penjual di sekolah.
Warung Anak Sehat melibatkan 234 agen aktif, lebih dari 500 guru terlatih, enam ribu ibu, dan 27 ribu anak.
4. Aksi Cegah Stunting
Fakta menunjukkan satu dari tiga anak Indonesia di bawah usia lima tahun mengalami stunting.
Danone Indonesia menggandeng Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Kementerian Desa. Hasilnya spektakuler sebab bisa menurunkan angka stunting sebesar 4,3 persen dalam enam bulan.
Danone fokus pada perbaikan sistem rujukan bagi anak-anak gizi buruk dan penguatan peran fasilitas kesehatan. Danone juga memprioritaskan intervensi dini khusus bagi mereka yang berisiko tinggi mengalami stunting.
Selain aksi nyata, Danone Indonesia juga fokus edukasi masyarakat tentang gizi dan kesehatan. Berikut adalah tiga contoh program edukasi yang dilakukan.
1. Generasi Sehat Indonesia (GESID)
Danone Indonesia bertujuan membangun pemahaman dan kesadaran remaja tentang kesehatan gizi dan remaja, pentingnya seribu hari pertama kehidupan, dan pembentukan karakter. Program tersebut menjangkau dua ribu siswa di lima SMP dan lima SMA.
2. Taman Pintar
Selama bertahun-tahun Danone Indonesia mendukung empat fasilitas pendidikan yang berfokus pada kesehatan dan gizi di Taman Pintar, Yogyakarta untuk lebih dari satu juta pengunjung per tahun.
3. Duta 1.000 Pelangi
Danone Indonesia memberi bantuan kepada karyawan dan masyarakat sekitar tentang masalah gizi dan kesehatan dalam seribu hari pertama kehidupan dengan menjadikan karyawan sendiri sebagai duta. Karyawan Danone Indonesia dilatih dan dibekali pengetahuan tentang gizi seimbang dan materi lain yang berkaitan dengan seribu hari pertama kehidupan.
Masalah nutrisi di Indonesia tidak melulu karena masyarakat tidak punya uang. Problem sesungguhnya adalah masyarakat kita masih kekurangan informasi dan ilmu pengetahuan tentang gizi dan nutrisi terbaik.
Oleh sebab itu Danone Indonesia terus meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya nutrisi dan edukasi lintas generasi untuk mewujudkan Indonesia sehat dan bebas anemia. Perusahaan yang baik tidak melulu memikirkan bisnis, melainkan berkenan tumbuh bersama masyarakat.
Leave a Comment