Saat kita membahas prospek industri makanan dan minuman di tengah pandemi, ibaratnya kita sedang melihat gajah besar masuk ke dalam rumah kita.
Covid-19 yang diumpamakan gajah itu gak cuma masuk rumah kita. Gajah itu duduk manis di pangkuan kita, bahkan mengibas-ngibaskan belalainya di wajah kita. Mustahil kalo kita sebagai konsumen, juga pelaku industri fast moving consumer goods (FMCG) pura-pura mengabaikan kehadirannya.
Perusahaan-perusahaan FMCG, khususnya yang melantai di pasar modal satu per satu saya lihat mulai merilis kinerja akhir tahun 2020 nih. Contohnya laporan keuangan Mayora yang merupakan salah satu raksasa industri makanan dan minuman di Tanah Air.
Emiten barang konsumer dengan kode saham MYOR ini terus mencatat pertumbuhan penjualan. Sampai kuartal II-2020 saja realisasi penjualan MYOR tumbuh 6,01 persen dibanding kuartal I-2020.
Penjualan perusahaan sepanjang kuartal III-2020 tumbuh 13,96 persen dibanding kuartal II-2020. Semuanya semakin sempurna ketika Mayora meraih ASEAN Business Award (ABA), sebuah penghargaan berskala internasional. Penghargaan ini diberikan kepada perusahaan-perusahaan di Kawasan Asia Tenggara yang dinilai berhasil membangun bisnis dan memperkuat posisi di berbagai sektor industri.
Bisnis Makanan Minuman 2021
Dunia memasuki tahun kedua pandemi. Krisis ekonomi telah membombardir beberapa sektor, meningkatkan aktivitas bisnis sektor lain, dan memunculkan sektor-sektor baru yang prospektif.
Di sektor makanan dan minuman, permintaan (demand) masyarakat bertambah dari awalnya sekadar layanan pesan antar makanan jadi, bertambah menjadi makanan segar dan makanan dalam kemasan, termasuk makanan ringan dan camilan yang expired date-nya relatif lama. Ini karena hampir seluruh aktivitas kita lakukan dari rumah.
Pengalaman saya sendiri, saya sempat ikutan panic buying saat awal-awal pandemi. Lingkungan di luar rumah saya kok mendadak rasanya seperti neraka. Tetangga-tetangga saya mulai dirawat karena positif Covid-19.
Saya merasa saya harus mencukupkan semua kebutuhan keluarga di rumah. Saya datang ke toko grosir, atau berbelanja online semua kebutuhan pokok untuk stok 1-2 minggu ke depan.
Beras, minyak goreng, telur, air galon, buah dan sayur, frozen food, gula dan garam, bumbu dapur, tak ketinggalan makanan kering dan camilan, seperti biskuit, roti, permen, keripik kentang, susu, dan minuman segar.
Kenapa panic buying?
Saya hanya ingin keluarga saya tetap nyaman selama masa karantina di rumah. Apalagi virus corona ini terus bermutasi.
Saya yakin bukan cuma saya yang melakukannya, tapi masyarakat kita pada umumnya. Wajar jika pengeluaran yang tadinya dialokasikan untuk transportasi ke kantor atau nongkrong di luar, sebagian dialihkan ke belanja makanan online.
Tren ini membuat perusahaan-perusahaan FMSC tak ketinggalan memperkuat official store-nya di berbagai platform penjualan online (e-commerce). PT Mayora Indah Tbk misalnya membangun home delivery service dengan memanfaatkan infrastruktur perusahaan di setiap area.
Kabar bahagia buat pelaku industri FMGC bahwa industri makanan dan minuman 2021 diprediksi tetap tumbuh 5-7 persen, meski masih di bawah capaian 2019 sebanyak delapan persen. Ini berdasarkan data Asosiasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI).
Pandemi Mengubah Perilaku Belanja Konsumen
Covid-19 mengubah perilaku konsumen di berbagai segmen. Siapa saja yang boleh kita temui? Apa yang kita lakukan agar tetap terhibur di rumah? Bagaimana supaya aktivitas kita bekerja dari rumah, juga aktivitas anak-anak kita yang bersekolah dari rumah bisa tetap nyaman?
Gak heran kalo konsumen akhirnya mengubah kebiasaan, mengubah prioritas dalam hal makanan dan minuman. Berikut adalah kesimpulan saya sendiri berdasarkan pengalaman pribadi.
1. Konsumen semakin jarang berbelanja makanan dan minuman ke toko
Selama pandemi ini saya tuh kok merasa gampang stres kalo harus berbelanja ke toko, warung, mini market, apalagi supermarket. Stres itu akhirnya mendorong saya kalo bisa gak usah deh sering-sering belanja ke sana.
Akhirnya saya hanya belanja sekali dua minggu atau dua kali sebulan. Sekiranya seluruh konsumen berpikiran sama dengan saya, maka bisnis makanan segar tentu saja terancam. Pasalnya bahan makanan segar masa pakainya lebih singkat, rentan rusak, apalagi dalam dua minggu.
Di sisi lain bisnis makanan dalam kemasan, makanan kalengan, atau makanan yang masa pakainya lebih lama menjadi primadona.
Selama pandemi ini saya paling suka stok makanan kering dan camilan dari Mayora. Apalagi 2020 kemarin Mayora baru saja merilis lebih dari 10 produk baru, mulai dari Malkist Roma dengan varian rasa cappucino dan kelapa coklat, wafer Kalpa, Energen rasa kurma, dan kopi Gilus Mix.
Direktur Keuangan Mayora Indah, Hendrik Polisar, dilansir dari Bisnis Indonesia optimistis peluncuran produk-produk baru akan berkontribusi pada pertumbuhan kinerja penjualan perusahaan 5-10 persen tahun ini. Respons masyarakat terhadap produk-produk baru ini diproyeksikan cukup baik, sehingga bisa mendongkrak top line dan bottom line perusahaan kembali double digit.
2. Konsumen banyak membeli merek makanan alternatif
Awal-awal pandemi, konsumen sempat panic buying, yaitu menyiapkan stok makanan dalam waktu singkat dan jumlahnya banyak. Rantai pasok makanan dan minuman melonjak tiba-tiba, hingga akhirnya mengalami kehabisan stok.
Akibatnya apa? Ada dua hal yang mungkin terjadi. Pertama, konsumen akan berbelanja ke toko lain yang menyediakan barang yang dia butuhkan, tak peduli jaraknya jauh atau dekat dari rumah.
Kedua, konsumen akan membeli merek dan jenis makanan berbeda dari yang biasa dibeli. Contohnya nih, saya biasa membelikan anak saya Malkist Roma Coklat, tapi lantaran stoknya di toko dekat rumah saya gak ada, saya bisa saja membelikan anak saya biskuit yang mirip dengan Malkist Roma coklat, meski mereknya berbeda.
Stok habis adalah masalah utama yang dikeluhkan konsumen selama pandemi. Mayora memastikan ketersediaan produk tetap ada di pasaran, mulai dari pabrik, pusat distribusi, area sub-distributor, dan toko-toko mitra. Strategi perusahaan yang memproduksi camilan favorit keluarga saya, biskuit Roma ini menurut saya tepat sekali.
Saya pribadi gak berani jauh-jauh keluar rumah selama pandemi ini. Kalo ada kebutuhan mendesak, saya akan memprioritaskan belanja ke toko atau warung terdekat. Saya udah gak kepikiran buat shopping ke swalayan atau supermarket kalo di dekat rumah saya sendiri ada yang jualan.
3. Konsumen modern berbelanja di berbagai platform online
Konsumen konvensional seperti ibu atau mama mertua saya mungkin masih senang-senang aja belanja makanan segar atau makanan dalam kemasan melalui warung atau toko. Beda dengan konsumen modern seperti saya (cieee) yang sukanya berbelanja di berbagai platform online.
Memahami kehadiran konsumen modern, menemukan cara untuk melayani segmen ini secara khusus bisa mempertahankan perusahaan tetap kompetitif dan membuka peluang pertumbuhan di masa depan.
Konsumen modern biasanya membeli dalam jumlah banyak. Kenyamanan utama buat mereka adalah belanja hemat waktu, hemat tenaga, dan bebas stres.
Hari ini boleh jadi masyarakat kita masih belum merasa begitu aman dan nyaman berbelanja lagi ke toko. Oleh karenanya, hanya perusahaan yang mampu terus terhubung dengan konsumen melalui cara-cara virtual lah yang akan bertahan dan terus mencatat pertumbuhan.
Leave a Comment