Saat ini, ketika kita berada di tengah gemerlap dunia fashion modern yang bergerak cepat, ada arus balik yang membawa kita kembali ke akar budaya dan kearifan lokal. Sebuah revolusi diam-diam sedang terjadi, bukan melalui parade busana mewah di catwalk, tetapi di tangan para pengrajin yang menggali kembali metode pewarnaan alami dan upcycling.
Salah satu pelopor fashion berkelanjutan ini adalah Cinta Bumi Artisans, sebuah kolektif yang dipimpin oleh Novieta Tourisia. Mereka tidak hanya menciptakan pakaian, tetapi juga membangun sebuah gerakan. Dengan menggabungkan keahlian tradisional dan inovasi modern, mereka menawarkan alternatif fesyen yang lebih ramah lingkungan, lebih bermakna, dan tentu saja lebih berkelanjutan.
Novieta Tourisia: Wearable Poetry ala Cinta Bumi Artisans
Dunia fashion seharusnya lebih dari sekadar tren. Ia adalah sebuah pernyataan, sebuah kisah yang dapat dikenakan. Cinta Bumi Artisans memperkenalkan konsep Wearable Poetry, yaitu pakaian yang bukan hanya estetik, tetapi juga membawa nilai etis dan ekologis.
Dengan prinsip bahwa keberlanjutan bukan tentang kuantitas tetapi tentang kesadaran kolektif, mereka menghidupkan kembali kain-kain lama, mengolah limbah tekstil, dan memadukannya dengan pewarna alami dari tumbuhan.
Proses ini menghasilkan karya yang tidak hanya unik, tetapi juga mengurangi jejak lingkungan dari industri fesyen yang dikenal sebagai salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia.

Menghidupkan Kembali Teknik Pewarnaan Alami
Pewarna alami bukan sekadar soal estetika. Ia adalah bentuk penghormatan kepada alam dan budaya leluhur yang telah lama memahami bahwa warna bisa didapatkan tanpa harus merusak lingkungan.
Cinta Bumi Artisans menggunakan berbagai bahan alami seperti:
- Serat kain: Kapas warisan, serat nanas, cupro, dan bahkan kain kulit kayu.
- Sumber pewarna: Daun jambu, kayu secang, marigold, hingga limbah dapur.
- Teknik ecoprinting: Motif tumbuhan yang secara alami membekas pada kain.
Proses pewarnaan ecoprint-nya dilakukan dengan empat tahapan, mulai dari scouring, mordanting, ecoprinting, hingga finishing. Scouring adalah mencuci kain dengan sabun alami untuk membuka pori serat.
Mordanting adalah proses fiksasi agar warna menyerap lebih baik. Ecoprinting adalah mencetak motif alami dari daun dan bunga langsung ke kain. Terakhir, finishing adalah memberi waktu 5-7 hari sebelum pencucian pertama untuk hasil optimal.
Hasil akhirnya? Setiap potong pakaian menjadi karya seni unik yang menceritakan jejak alam dan keterampilan tangan para pengrajin.

Upcycling: Memberikan Kehidupan Kedua untuk Pakaian
Dalam dunia fashion yang dibanjiri pakaian murah, upcycling hadir sebagai solusi yang menyelamatkan. Daripada membuang pakaian yang dianggap usang, mengapa tidak memberinya kehidupan kedua?
Beberapa contoh karya upcycling dari Cinta Bumi Artisans, antara lain jumpsuit katun bekas dengan ecoprint daun jambu dan pewarna kulit buah jolawe dan crop top berbahan calico yang dicelup dengan marigold dan daun eucalyptus. Setiap potongan yang lahir dari upcycling ini tidak hanya mengurangi limbah tekstil tetapi juga memberikan identitas baru pada pakaian yang sebelumnya dianggap tak bernilai.
Cinta Bumi Artisans tidak sekadar menjual produk. Mereka juga mengedukasi masyarakat agar lebih sadar terhadap asal-usul pakaian mereka. Berbagai lokakarya digelar untuk mengajarkan teknik ecoprinting dan pewarnaan alami, pembuatan kain dari serat alami, dan konsep kebun pewarna alami sebagai pusat edukasi. Dengan berbagi pengetahuan ini, mereka berharap semakin banyak orang yang memilih fashion yang tidak hanya cantik tetapi juga bertanggung jawab.
Margaretha Mala: Srikandi Pelestari Tradisi Tenun Dayak Iban
Di sisi lain dunia fashion berkelanjutan, ada seorang perempuan tangguh yang berjuang agar warisan budaya tak hilang ditelan zaman. Ia adalah Margaretha Mala, seorang pengrajin sekaligus penjaga tradisi tenun Dayak Iban dari Dusun Sadap.
Tenun bagi suku Dayak Iban bukan hanya kain, tetapi sebuah identitas. Teknik yang diwariskan turun-temurun ini hampir punah akibat masuknya tekstil modern. Margaretha menyadari bahwa jika generasi muda tidak lagi belajar menenun, maka warisan ini akan hilang.
Dengan gigih, ia belajar dari para inai-inai (perempuan tua) yang masih menguasai keterampilan ini, lalu meneruskannya kepada anak-anak muda. Bagaimana caranya?
Salah satu keunikan kain tenun Dayak Iban adalah penggunaan pewarna alami yang berasal dari rengat padi untuk biru, mengkudu akar untuk merah, engkerebai untuk variasi warna lainnya, dan sebagainya.
Margaretha turut serta dalam program FORCLIME, mendukung budidaya tanaman pewarna alam di lahan seluas satu hektar. Dengan cara ini, pewarna alami dapat diperoleh tanpa merusak lingkungan.
Tak hanya menenun, Margaretha juga aktif dalam workshop pewarnaan alami dan peningkatan kualitas tenun, pengembangan kerajinan berbasis tenun dan pemasaran, dan menjadi fasilitator bagi para pengrajin di Dusun Sadap.

Dengan dukungan dari berbagai pelatihan, kain tenun Dayak Iban kini lebih mudah diterima pasar tanpa kehilangan nilai budayanya.
Margaretha juga terlibat dalam konservasi tanaman tradisional di kebun etnobotani Dusun Sadap, yang menjadi pusat pelestarian sumber daya alam untuk pewarna alami, tanaman obat, juga bahan kerajina.
Bahan pewarna alami, antara lain rengat padi, mengkudu, tengkawang, engkerebai, belian. Tanaman obat berupa pasak bumi, langsat, dan tengkawang.
Sebagian masyarakat juga membuat kebun untuk tumbuhan kayu pertukangan, seperti ulin, meranti merah, dan pohon dipterocarpaceae. Terakhir, bahan kerajinan berupa bemban, pandan, bambu. Masyarakat memanfaatkan kebun ini secara lestari, memastikan tanaman terus tumbuh untuk generasi mendatang.
Misi Melestarikan Budaya dan Alam
Tenun Dayak Iban bukan sekadar kain, tetapi sebuah warisan budaya yang sarat dengan mitos dan kepercayaan leluhur. Dalam tradisi suku Dayak Iban di Kalimantan, proses menenun bukan hanya keterampilan biasa, melainkan ritual yang memiliki nilai spiritual mendalam.
Setiap motif yang dituangkan dalam kain tenun dipercaya memiliki kekuatan magis, perlindungan, dan bahkan menjadi sarana komunikasi dengan roh leluhur.
Bagi suku Dayak Iban, kain tenun bukan hanya sekadar pakaian, tetapi juga memiliki peran sebagai penjaga jiwa. Banyak orang percaya bahwa kain tertentu bisa melindungi pemakainya dari roh jahat atau bahaya yang mengintai.
Itulah sebabnya, kain tenun sering digunakan dalam upacara adat, pernikahan, bahkan dalam perjalanan jauh untuk memastikan keselamatan seseorang. Berikut adalah beberapa kepercayaan terkait tenun masyarakat Dayak Iban.
Tenun Dayak Iban bukan kain sembarangan. Setiap motifnya memiliki cerita dan filosofi mendalam, bahkan ada yang bersifat sakral. Itulah sebabnya, tenun ini tidak boleh dijadikan alas kaki atau dipotong sembarangan. Motif-motif tertentu harus melalui ritual ketat sebelum bisa direproduksi kembali.
Namun, ada juga tenun sidan, kain yang bisa ditenun oleh pemula dan digunakan oleh siapa saja tanpa perlu ritual khusus.
Sayangnya, banyak orang Dayak Iban kini mulai meninggalkan tradisi menenun. Mereka lebih memilih memakai kain warisan tanpa memahami bagaimana proses pembuatannya. “Kami bisa saja menggunakan kain peninggalan nenek moyang, tapi kalau tidak tahu cara pembuatannya, nilai sakralnya pun bisa hilang,” ujar Margareta.
1. Dulu, Tenun adalah Prasyarat Menikah
Di masa lampau, seorang perempuan Dayak Iban tidak bisa sembarangan menikah. Sebelum menjadi istri, ia harus lulus ujian menenun.
“Menenun dulu bukan sekadar keterampilan, tapi bekal hidup,” kata Margareta.
Pada masa perang, perempuan harus memastikan laki-laki yang berangkat bertempur memiliki pakaian yang layak. Kain tenun juga menjadi pakaian sehari-hari untuk menutup aurat.
Menariknya, menenun adalah wilayah perempuan. Laki-laki Dayak Iban tidak boleh menenun. Mereka hanya bertugas mencari bahan dan membuat peralatan tenun. Sebuah aturan yang masih dipegang teguh hingga kini.
2. Adopsi Motif Sakral Butuh Restu Leluhur
Bagi Margareta dan komunitasnya, motif sakral tidak bisa begitu saja diadopsi. Ada ritual yang harus dilakukan, seperti memberi sesaji dan meminta izin leluhur.
“Kami pernah melihat motif indah dalam acara adat Gawai dan ingin mengadopsinya, tapi prosesnya tidak bisa instan,” jelasnya.
Kain sakral harus disimpan terlebih dahulu dan dibawa tidur. Jika si penenun mengalami mimpi buruk atau mendapat pertanda bahwa leluhur tidak memberikan izin, maka motif itu tak bisa diteruskan.
“Bahkan, kalau usiaku tidak sepadan dengan kain tersebut, aku tidak bisa menyerahkannya ke adopter baru. Ritual ini masih sangat kami perhatikan,” tambahnya.
3. Menenun Harus Berhenti saat Musim Tanam
Tradisi Dayak Iban juga mengatur kapan seorang perempuan boleh dan tidak boleh menenun. Saat musim tanam padi tiba, semua aktivitas menenun dihentikan.
“Tangan penenun tidak boleh menyentuh kain saat musim tanam padi berlangsung,” ungkap Margareta.
Barulah setelah panen dan diadakan upacara “Buang Pantai”, para penenun bisa kembali bekerja.
4. Nilai Kain Tak Sekadar Harga
Tenun Dayak Iban memiliki harga yang bervariasi, mulai dari Rp 300 ribu hingga Rp 15 juta, tergantung kompleksitas motifnya. Tapi bagi Margareta, nilai kain ini jauh lebih dari sekadar angka.
“Kain ini adalah nyawa tradisi kami. Selama ritual masih dijaga, maka ruh dalam setiap helai benang akan tetap hidup,” pungkasnya.
Bagi Margaretha, menenun adalah cara untuk melawan kepunahan budaya dan eksploitasi lingkungan. Dengan menggunakan pewarna alami, ia mengurangi pencemaran dari pewarna sintetis yang merusak ekosistem.
Dari tenunannya, lahirlah harapan bahwa budaya Dayak Iban tetap hidup. Kini, semakin banyak anak muda tertarik belajar menenun, memastikan warisan ini terus berlanjut.

Masa Depan Fesyen
Dunia fesyen sedang berubah. Konsumen semakin sadar akan asal-usul pakaian mereka dan dampaknya terhadap lingkungan. Gerakan yang diinisiasi oleh Novieta Tourisia dan Margaretha Mala membuktikan bahwa fesyen bisa tetap indah tanpa mengorbankan bumi.
Dengan memilih bahan alami, mengaplikasikan teknik pewarnaan tradisional, dan menerapkan konsep upcycling, kita bisa membangun industri yang lebih bertanggung jawab. Karena pada akhirnya, setiap pakaian yang kita kenakan adalah cerita, tentang bumi, budaya, dan bagaimana kita menjaganya.
Apakah kamu siap menjadi bagian dari revolusi fesyen yang lebih sadar dan berkelanjutan? Mari mulai dari lemari kita sendiri dan buat pilihan yang lebih baik untuk masa depan.***
Leave a Comment