Banyak orang tua sulit bilang TIDAK pada anak-anaknya. Kejadian begini sangat umum sampai-sampai jadi dilema yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Orang tua zaman sekarang lebih sibuk dari orang tua zaman dulu. Sering kali mereka merasa bersalah lantaran tidak menghabiskan banyak waktu untuk anak di rumah.
Ujung-ujungnya ketika ada waktu lebih bersama anak, orang tua ingin melihat anak-anaknya bahagia. Ini membuat mereka permisif, membolehkan anak melakukan apa saja yang disukai tanpa tapi.
Pernah dengar istilah Discipline Deficit Disorder (DDD) gak?
Ini tuh sama kayak gangguan alias penyakit. Gejalanya antara lain anak jadi tidak sabaran, egois, tidak pernah puas akan sesuatu, berperilaku konsumtif sampai-sampai tidak terkendali.
Melihat gejala penyakit di atas, tugas orang tua zaman sekarang lebih sulit dari orang tua sebelumnya. Apalagi anak-anak zaman sekarang mudah dicuci otaknya dengan media, iklan, dan berbagai paparan teknologi.
Pentingnya Mengatakan TIDAK
Kadang kita merasa kok sepanjang hari terlampau sering mengatakan TIDAK pada anak. Sayangnya ketika kita coba menjelaskan pada anak alasannya, anak kita berubah menjadi bayi singa yang tetap menginginkan atau meminta apa yang dia mau. Anak tidak mau mendengar apapun alasan kita.
Nah, ketika kesabaran sudah memuncak, kita sebagai orang tua terjebak dalam dinamika di mana kita perlu menjelaskan lebih panjang dan lebih lebar pada anak. Sayangnya anak kebanyakan tetap tak mau mendengar, dan akhirnya kita menyerah hanya untuk menghindari pertengkaran dengan anak.
Begitu kita menyerah, tanpa disadari kita melatih anak membangkang pada aturan. Begitu kita bilang TIDAK, anak terus mengusik sampai kita menyerah, tanpa disadari anak belajar bahwa mengganggu orang tua berhasil membuat mereka menyerah.
Berikut pentingnya mengatakan TIDAK pada anak:
1. Anak belajar mengenal kecewa
Ketika anak bisa menerima jawaban TIDAK dari orang tuanya, di situ anak belajar tentang rasa kecewa dan membangun semangat diri. Jika kita terlalu menyayangi anak kita dengan mengIYAkan semua keinginannya, anak tak akan pernah berlatih menghadapi rasa kecewa.
Namun, ketika anak kita biarkan menghadapi dan mengatasi kekecewaaan itu, mereka sadar mereka perlu mencari solusi lain yang lebih baik. Mereka belajar pentingnya tekad dan kesabaran.
Jika apa-apa orang tua turun tangan, kita sebetulnya menggerogoti harga diri anak kita.
2. Anak mengelola disiplin diri
Disiplin diri adalah faktor penentu kesuksesan anak kita di masa depan. Disiplin diri dua kali lebih penting dari kecerdasan otak dalam menentukan keberhasilan anak di sekolah.
Anak-anak cerdas dan anak-anak pintar jumlahnya banyak banget. Namun, tidak semua memiliki disiplin diri yang kuat.
3. Mengajarkan anak menghormati aturan dan otoritas
Bagaimana mungkin anak kita patuh pada Tuhan-Nya jika dia tak belajar patuh pada kedua orang tuanya? Peran orang tua dalam hal ini bukan seperti sersan tantara yang sekadar memerintah, melainkan mengajarkan anak kita memahami peran dan perintah yang dilaksanakannya tersebut.
Setiap orang punya aturan dan otoritas masing-masing, terlebih orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya. Ketika anak tidak mau patuh pada aturan dan otoritas sejak dini, bayangkan, apa yang dia lakukan ketika nanti dewasa, punya kerjaan, tapi gak pernah mau melakukan apa yang dikatakan atasannya?
Kita mengikuti instruksi atasan karena jika tidak kita bisa kehilangan pekerjaan. Kita pasti ingin mempertahankan pekerjaan kita toh? Namun, jika atasan kita menyuruh kita melakukan sesuatu tidak etis, kita pun berani mengatakan TIDAK karena itu otoritas kita.
Bukan berarti di sini kita seperti robot yang mengikuti perintah atasan membabi buta. Kita mengikuti perintah atasan karena kita tahu sebuah sistem hanya akan berfungsi ketika ada yang memerintah dan ada yang menjalankan perintah. Secara bersamaan kita juga tahu alasan di balik kita melaksanakan perintah tersebut.
Tips Mengajarkan Anak Menerima Kata TIDAK
Mengucapkan kata YA buat saya sama pentingnya dengan mengucapkan kata TIDAK. Hal yang perlu kita pelajari adalah menghentikan semua negosiasi panjang dengan anak dan membuat anak bisa menerima kata TIDAK sebagai jawaban atas pertanyaannya.
Sebagai Muslim pun kadang kita lupa, lebih dari 500 kalimat dalam ayat Al-Quran menggunakan kata JANGAN. Pada satu ayat ada perintah tertulis, “Jangan menyekutukan Allah” Mengapa tidak ditulis saja, “Esakan lah Allah.” Kira-kira kenapa tuh?
Jawabannya sederhana, kata JANGAN atau TIDAK itu paling gampang dicerna oleh otak kita. Lalu, mengapa kita harus alergi dengan kata JANGAN atau TIDAK saat mendidik anak? Justru sikap kita yang abu-abu hanya menimbulkan syubhat atau keraguan.
TIDAK atau JANGAN dalam mendidik anak bisa bermakna positif dan bisa bermakna negatif. Membuang kata TIDAK atau JANGAN justru menjadikan anak kita manja dengan pilihan yang serba benar.
Anak-anak yang dibesarkan tanpa kata JANGAN atau TIDAK akan kehilangan rasa takut dan keterikatan dengan syariah atau hukum yang berlaku. Contoh sederhana deh, kelak dia akan cuek saja mana kala melihat temannya berbuat maksiat, misalnya pakai narkoba atau minum minuman keras. Mengapa? Karena hatinya bilang, “Itu pilihan mereka, yang penting saya tidak demikian.”
Kita perlu tahu kapan waktu yang pas mengatakan TIDAK. Ada banyak cara memberi tahu anak, tetapi tidak semuanya efektif dan berhasil.
Berikut tips mengajarkan anak menerima kata TIDAK:
1.Konsisten dengan ucapan
Satu hal yang saya pelajari adalah kita sebagai orang tua harus bersungguh-sungguh dengan jawaban YA atau TIDAK untuk anak kita. Belajar konsisten sedini mungkin.
Semakin dini kita menetapkan otoritas dengan tegas, semakin mudah bagi anak mengetahui bahwa TIDAK ya TIDAK, IYA ya IYA. Jangan terlalu sering berada di zona abu-abu, misalnya berlindung di balik kata MUNGKIN atau KITA LIHAT NANTI, kecuali memang kondisional.
Contohnya ketika anak minta jalan-jalan di taman, kita bisa mengatakan, “Kita lihat nanti, kalo cuaca bagus, sore kita ke taman. Kalo cuaca gak bagus, hujan misalnya, kita tidak ke taman.”
2. Bersiap menerima kata TIDAK juga
Anak usia sekolah sangat mungkin sewaktu-waktu berkata TIDAK ketika diminta orang tuanya melakukan sesuatu. Memberi anak kita yang sudah baligh hak untuk mengatakan TIDAK adalah kesempatan belajar pendidikan karakter yang penting.
Ini boleh saja berlaku jika anak mengatakan kata TIDAK dalam konteks yang sesuai. Contohnya nih, anak kita gak suka digelitiki, atau tidak suka ketika disuruh berbagi (sharing) mainan.
Kadang kita harus menghormati hak individu dan otonomi anak, sebagaimana yang diinginkan orang dewasa. Jangan sampai kita melihatnya sebagai satu bentuk pembangkangan atau penolakan terhadap orang tua.
3. Teriak jangan dibalas teriak
Anak sering marah ketika dibilang TIDAK. Sebagian tak butuh penjelasan dari orang tua. Mereka cuma berteriak menyampaikan apa yang mereka mau, sisanya bertingkah dan melampiaskan amarah dengan berbagai cara, seperti memukul-mukul lantai, melempar barang, atau merusak mainan.
Biasanya kalo sudah begini orang tua terpancing emosi membalas teriakan anak. Jadilah teriak dibalas teriak.
Ketika kita meneriaki anak, kita sesungguhnya berada di bawah level anak kita. Kita mengajarkan anak bersikap semakin agresif.
Balas ucapan anak dengan kata TIDAK bernada datar, bukan berteriak. Jelaskan konsekuensi apa yang anak terima ketika melanggar aturan. Ketika anak tetap melanggar, terapkan konsekuensi tersebut.
4. Pergi sementara meninggalkan anak
Anak bisa jadi tak henti-hentinya berdebat dengan kita. Ketika sudah tiba waktunya, kita boleh pergi meninggalkan anak sementara.
Pergi di sini adalah tidak bertatap muka sementara dengan anak. Biasanya sih kalo Mae udah telinga karet, gak bisa dibilangin, saya langsung melengos ke dapur, ke ruang setrika, atau masuk kamar. Pokoknya tidak melakukan kontak mata sementara dengannya.
Sikap ini boleh dilakukan ketika anak tetap gak mau mengerti alasan kita mengatakan TIDAK. Jangan pernah pergi sebelum kita menyampaikan alasan kita pada anak, supaya kita gak berutang apa-apa lagi pada mereka. Waktu ini bisa juga digunakan anak untuk menginstrospeksi diri.
5. Beri anak penjelasan ketika suasana sudah tenang
Mendidik anak itu pekerjaan orang tua seumur hidup. Ketika keadaan sudah tenang, duduklah di samping anak dan berikan penjelasan yang jelas dan singkat. Ini akan menjadi pengalaman belajar bagi anak.
Mengatakan, “Tidak, kamu gak boleh berenang tanpa pelampung” mungkin tidak diterima anak begitu saja. Cobalah sampaikan, “Tidak kamu gak boleh berenang tanpa pelampung karena kamu belum cukup kuat berenang lama. Nanti kamu tenggelam.”
Begitu anak kita memahami alasan di balik kata TIDAK tadi, kemungkinan besar dia gak bakal ngambil risiko berenang tanpa pelampung.
6. Selalu melarang kadang jadi bumerang
Terlalu sering melarang bisa jadi bumerang buat kita. Seiring bertambahnya usia, anak perlu diberi kebebasan bertahap sebagai tanda telah mendapatkan kepercayaan orang tua.
Tugas terberat orang tua sebenarnya adalah mengajari anak cara menerima batasan. Penting juga menawarkan alternatif permintaan anak.
Contohnya nih, ketika anak bilang, “Boleh gak aku main di taman lebih lama?” bisa kita jawab, “Kita udah kelamaan di taman. Sekarang gimana kalo kita pulang trus melukis. Kemarin ibu lihat kamu suka banget melukis.”
7. Berempati dengan bilang YA pada anak
Seimbangkan kata TIDAK dengan YA. Taktik ini mendorong anak memahami bahwa orang tuanya juga mengakui pilihan mereka dan apa yang mereka inginkan.
Contohnya nih, anak kita bilang, “Bun, boleh gak aku makan es krim?” Kita bisa menjawab, “Ya, boleh, tapi setelah makan siang ya. Gimana kalo kita makan siang dulu trus makan es krim sama-sama?”
Anak bukan robot yang bisa disetel sesuka hati. Saya percaya ketika orang tua menetapkan aturan dan batasan jelas pada anak, semua itu butuh waktu.
Anak tidak simsalabim mengubah perilaku mereka dalam semalam. Maka, bersabarlah. Pada akhirnya anak-anak kita akan berbalik dan merespons baik apa yang diajarkan orang tuanya.
Leave a Comment