“Ya ampuuun, bosan bangettt. Kangen jalan-jalan sama anak-anak.” Ini adalah chat teman saya di sebuah grup whatsapp beberapa hari lalu.
Satu kesamaan saya dan dia adalah saya juga bosan. Namun, sedetik setelah saya membaca chatnya saya menyadari, bosan? Apa saya boleh bosan? Kapan terakhir kali saya punya waktu luang atau Me Day buat diri sendiri? Rasanya gak pernah lagi.
Saya adalah ibu dengan anak spesial. Hari-hari saya selama hampir lima bulan terakhir dihabiskan untuk putra saya, Rashif yang didiagnosis autism spectrum disorder (ASD) sejak usianya 18 bulan.
Saya harus menyuapi Rashif sarapan setelah subuh. Mengantarnya ke tempat terapi sebelum jam tujuh. Mendampinginya sambil memantau CCTV selama teaching session berlangsung hingga jam 4 sore. Sesampainya di rumah, saya lanjut bikin camilan reward yang akan dibawa ke tempat terapi keesokan hari.
Di rumah pun bukan berarti saya bebas tugas. Kadang Rashif tantrum, kadang dia manja banget, seringnya dia gak suka ditinggal sendiri, bahkan untuk wudhu ke kamar mandi pun saya seperti dikejar waktu.
Itu belum termasuk saya melakukan pekerjaan rumah, seperti membersihkan bekas tumpahan air atau remah makanannya. Itu belum termasuk melerai ketika Rashif dan Rangin berkelahi atau saling berebut mainan. Itu belum termasuk menghadapi tingkah si sulung, Kakak Mae (4 tahun) yang juga ingin diperhatikan. Selalu, gak ada hentinya, gak ada istirahatnya. Jelas, saya gak mungkin punya waktu untuk Me Day.
I Feel You
Saya ingin mengatakan beberapa hal ini untuk ibu di luar sana yang juga diamanahi Allah anak spesial. I feel you, buk!
1. Kita paling tahu anak kita melebihi siapapun
Kita adalah ibu yang paling tahu apa yang terbaik untuk anak kita. Kita lah ahlinya dalam hal menangani anak, misalnya ketika si kecil tantrum.
Bukan cuma itu, kita adalah manajer terbaik yang mengatur hari-hari anak kita setiap hari. Jadi, jangan mau didikte, apalagi diatur orang lain tentang kondisi anak kita.
Kita boleh saja mendengar pendapat orang lain terkait apa yang dialami anak kita. Kadang beberapa masukan cuma menebar benih keraguan di kepala.
“Ke dokter anu aja, gak perlu terapi, cukup minum suplemen aja.”
“Kasihan anak kamu masih bayi udah distop susu botolnya. Kan ada susu gluten-free.”
“Banyak amat dietnya? Ntar Rashif kurus loh.”
“Kamu terapi di sana? Dietnya ketat sekali dr Rudy KIDABA itu.”
Kalo udah ketemu sama teman yang gak satu frekuensi, biasanya saya cuma masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Saya sering-sering mengingatkan diri bahwa saya ibu Rashif. Feeling ibu selalu menuntun yang terbaik untuk anaknya. Keputusan ada di tangan saya, bukan mereka.
2. Jangan menyalahkan diri apalagi menghakimi
Jangan menilai dan membandingkan diri kita hanya karena status medsos teman. Setiap hari kita melihat Si A, Si B, Si C memosting foto terbaru anak-anak mereka yang usianya mungkin kurang lebih sama dengan anak kita.
Bedanya foto anak-anak mereka sedang tersenyum, bermain dengan riangnya, atau sedang mengerjakan tugas sekolah, sementara anak kita masih berkutat dengan terapi, dengan kartu-kartu ABA, latihan bicara, atau homeschooling di rumah.
Cemburu dan sakit di dada itu pasti ada. Namun, kita tahu kita juga bahagia dengan keluarga kita.
Jika kenyataan di luar sana terlalu berat buat kita, matikan akun Instagram itu. Deaktif kan sementara Facebook itu. Bergabunglah dengan komunitas orang tua yang kondisinya serupa dengan kita, kemudian dapatkan energi dari mereka.
Katakan pada diri, “Kita sudah melakukan yang terbaik dan akan terus memberikan yang terbaik untuk anak kita yang istimewa.”
3. Minta bantuan pada orang yang benar-benar bisa membantu
Saya tahu ibu dengan anak autisi sangat berhati-hati soal pengeluaran. Kita gak bisa sembarangan punya baby sitter, gak bisa terlalu banyak punya ART. Gimana pun biaya terapi, obat, dan penyembuhan untuk autisi itu gak murah, gak sekejap, harus berkelanjutan, setidaknya 2-3 tahun.
Namun, kita gak mungkin selamanya melakukan semua sendiri. Ibu bukan robot. Kalo kita butuh bantuan, orang pertama yang kita cari adalah suami.
Delegasikan beberapa pekerjaan rumah kepada suami, misalnya menjaga anak selama kita sibuk menyiapkan makanan dan camilan di dapur.
Kalo kita butuh saran, buka grup FB, komunitas, atau forum online orang tua dengan anak autisi. Kita bisa berbagi cerita, atau sekadar jadi silent reader mendengarkan pengalaman orang tua lain yang mungkin sama dengan kita. Jujur, itu bisa meringankan beban kita walau cuma beberapa menit saja.
4. Jaga diri dan tetap sehat gimana pun caranya
Saya pernah demam dua hari dan itu rasanya dua tahun. Saya kelelahan. Saya ingin sekali tidur seharian, bebas dari tugas menjaga Rashif sebentar saja. Namun, itu rasanya gak mungkin mengingat Rashif masih bayi, bahkan usianya belum dua tahun.
Ibu dari anak autisi seperti saya gak punya pilihan selain menjaga diri tetap sehat gimana pun caranya. Hal yang bisa kita lakukan hanyalah menurunkan standar.
Gak papa kok kalo kita gak sempat mandi dua kali sehari, atau pakai baju yang sama pagi sampai malam hari. Namun, ingat! Makannya tetap harus tiga kali sehari, dan jam tidurnya cukup di malam hari.
Qadarullah kalo ujung-ujungnya sakit juga, langsung gercep alias gerak cepat ke dokter. Dapatkan penanganan dan obat tepat, supaya kita lekas sembuh.
Jangan sok kuat dengan bilang, “Ah demam doang, paling besok juga sembuh.” Semakin lama kita sembuh, semakin amburadul suami dan anak-anak rumah.
Tahu gak apa kesamaan pandemi Flu Spanyol 1918 dan Flu Hong Kong 1968? Keduanya berakhir dan bisa disembuhkan.
Semua hal dalam hidup ini ada awal akhirnya. Pandemi Covid-19 ini, autisme ini yakinlah hanya bersifat sementara. Autisme itu bukan kutukan. Autism is curable. Autism is treatable. Percaya itu.
Ingatkan diri ketika kita merasa bosan dan lelah bahwa alasan kita bertahan sampai hari ini sebab anak kita sudah semakin dekat dengan kesembuhan. Jangan mau mengalah dengan waktu yang telah kita korbankan. Terus berjuang.
Leave a Comment