Jadi pengantin baru rasanya luar biasa. Beneran deh. Ada saat di mana dunia seperti cuma milik berdua. Ada saat semesta berpihak pada kita. Sang waktu pun sudi berhenti saat kita merasakan kebahagiaan hakiki.
Kalo pengantin baru menikah saat pandemi Covid-19 begini, apa rasanya masih sama?
Adik saya salah satu pasangan yang menikah saat pandemi Covid-19, tepatnya 5 April 2020. Saya dan suami yang waktu itu masih berada di Surabaya tak bisa datang langsung ke Bekasi, sebab aturan hanya membolehkan undangan hadir maksimal 20 orang, dari pihak mempelai pria juga wanita.
Sampai sekarang pun adik saya dan suaminya belum sempat bulan madu keluar lantaran kondisi masih belum pulih. Keduanya memilih menikmati hari-hari berdua di rumah, sembari sesekali jalan ke tempat nongkrong terdekat.
Enaknya Menikah Saat Pandemi
Ternyata ada enaknya loh menikah saat pandemi. Pasangan secara langsung punya banyak kesempatan mengenal satu sama lain. Keduanya menjalankan kehidupan pernikahan sepenuhnya dengan hanya fokus pada hari-hari berdua.
Covid-19 mendorong kita menghabiskan sebagian besar waktu di lingkungan yang sama dan orang yang sama setiap hari. Kabar baiknya pasangan baru menikah mendapat kesempatan dan waktu lebih untuk bersama.
Kabar buruknya pasangan harus membahas masalah-masalah yang mungkin sebelumnya enggan atau segan dibicarakan satu sama lain. Contoh gilanya nih.
“Mas, kamu kalo tidur, ngoroknya emang sekencang itu ya?”
“Mas, kentut kamu kok bau banget sih?”
“Dek, kalo ngupil dan motong kuku jangan di sembarang tempat dong.”
Nah, apa saja keuntungan menikah saat pandemi? Apa sih menariknya menikah saat pandemi?
1. Menghemat budget
Ini hanya perlu menggeser perspektif saja. Kita menikahi pasangan karena kita mencintainya. Oleh sebab itu pernikahan hendaknya fokus pada komitmen, bukan pesta besar dan resepsi mewah.
Pandemi membuat banyak pasangan membatalkan pesta pernikahan, menggantinya dengan seremonial sebatas dihadiri keluarga dan sahabat dekat. Ini yang dilakukan adik saya dan suaminya.
Undangan cetak yang tadinya hendak disebar umum, kini disampaikan melalui chat berantai. Adik saya dan suaminya mempersilakan undangan menyaksikan mereka di hari bahagia melalui streaming online.
Tentu saja pilihan ini sangat menghemat budget. Banyak biaya yang tadinya dialokasikan untuk sewa gedung, catering, fotografer, dan dekorasi pernikahan bisa disimpan untuk keperluan lain yang lebih penting.
2. Lebih mengenal pasangan setelah menikah
Seorang sahabat yang pernah pacaran 13 tahun sebelum menikah dengan orang sama yang menjadi istrinya sekarang mengatakan, meski mereka sudah mengenal satu sama lain selama belasan tahun, tetap saja kaget begitu berstatus suami istri. Ini karena pribadi asli pasangan sepenuhnya baru bisa terlihat setelah tinggal seatap.
Pengantin baru yang menikah saat pandemi otomatis sangat intensif berada di rumah, tidak seperti hari biasa di mana suami atau istri mungkin sama-sama bekerja, pagi hingga sore harus berada di kantor.
Pengantin yang menikah saat pandemi seolah diberi ‘hadiah’ oleh Tuhan untuk menyusun aktivitas dan kebiasaan hidup berumah tangga dari nol. Ini jelas tidak dimiliki oleh pasangan yang sudah lama menikah, kemudian terpaksa tinggal di rumah selama pandemi. Kelompok ini biasanya sering kagok.
Suami yang terbiasa ngantor, trus tiba-tiba 24 jam melihat istri di rumah. Ada aja masalah yang memicu perselisihan.
Istri juga demikian, sebab terbiasa melihat suaminya berangkat kerja jadi ikut uring-uringan. Yang biasanya hanya masak sekali sehari, kini harus menyajikan makanan tiga kali sehari. Belum lagi menemani anak #schoolfromhome yang tak kalah menguras emosi.
3. Mengajarkan komitmen di tengah duka
Pasangan yang menikah saat pandemi belajar setia berkomitmen dan saling menghargai satu sama lain. Mereka langsung ditempa masa-masa sulit, yaitu musim penularan Covid-19 yang akan membuktikan apakah pernikahan mereka bertahan atau tidak.
Pernikahan akan tumbuh lebih kuat ketika pasangan berhasil melalui hari-hari sulit dalam kehidupan rumah tangga.
Banyak orang kehilangan mata pencaharian. Banyak orang pendapatan finansialnya menurun selama pandemi. Pasangan baru belajar bahwa menikah itu harus siap kaya juga siap miskin.
Tahun penuh gejolak ini bisa saja disikapi pasangan dengan berpaling, menjauh, bahkan ada yang meminta berpisah dari pasangan karena alasan ekonomi.
4. Semakin termotivasi hidup sehat
Menikah bikin panjang umur loh. Saat menikah, kita terdorong hidup sehat karena ingin hidup lebih lama dengan pasangan. Apalagi pas pandemi begini, kesadaran menerapkan gaya hidup sehat semakin meningkat.
Biasanya pasangan baru menikah lebih serius menjaga kondisi tubuh dibanding para lajang alias jomblo. Ya bayangin aja, ada yang mengingatkan kita makan teratur, ada yang masakin, ada yang ngajak olah raga bareng, ada yang nyuruh rajin cuci tangan.
Pria yang sering begadang sebelum menikah sekarang setelah menikah ada istri yang ngawasin dan ngajakin tidur lebih awal. Kalo masih bawel juga, ya siap-siap aja diomelin atau diambekin. Hehehe.
5. Gak perlu social distancing karena udah halal
Nah, ini dia nih manfaat paling joss kalo menikah pas pandemi. Kita gak perlu lagi terkena malarindu sama pacar karena harus absen dulu di malam minggu.
Kalo udah halal mah bebas, gak perlu social distancing sama istri atau suami sendiri. Bisa nempel terus kayak prangko.
Beda cerita sama pasangan yang belum menikah, harus jaga jarak. Apalagi kalo calon mertuanya galak, bisa-bisa pas mau ngapelin pacar, baru sampai pagar depan sudah diminta tunjukin hasil swab test terlebih dahulu.
Bukan Cuma Tubuh Saja yang Harus Sehat
Selama pandemi kita berada dalam survival mode atau mode bertahan hidup. Sebelum kita mengkhawatirkan kesehatan anak-anak kita, kesehatan suami atau istri kita, kebersihan rumah kita, kita harus mengkhawatirkan kesehatan diri dahulu.
Bukankah pramugari pesawat berpesan dalam kondisi genting kita harus mendahulukan masker oksigen untuk diri sendiri, baru orang lain?
Nah, masalahnya selama pandemi ini kita terlalu sibuk dengan kesehatan jasmani. Kita disiplin menjaga jarak, rajin cuci tangan, membersihkan rumah, menjaga anak-anak, memastikan suami juga sehat. Padahal, sehat itu banyak macamnya loh, gak cuma badan aja.
1. Kesehatan mental
Sebagian dari kita, khususnya pasangan baru menikah yang belum sempat berbulan madu secara mental mungkin merasa terisolasi. Seminggu dua minggu di rumah aja mungkin gak masalah. Namun, setelah itu? Pastinya bosan dong.
Perasaan seperti ini jika tak diatasi dengan baik bisa mengarah ke rasa kesepian, depresi, bahkan bisa memicu pertengkaran pasangan baru menikah.
Mungkin saja kita pernah merasa sendirian, meski ada pasangan. Namun, kita sadar gak? Sebetulnya masih banyak orang membutuhkan kita.
Dunia membutuhkan kita. Sebagai makhluk sosial kita sesama manusia saling membutuhkan satu sama lain, bahkan lebih dari sebelumnya.
Obat terbaik untuk rasa kesepian dan depresi selama pandemi adalah melakukan sesuatu bermanfaat bagi orang lain. Jadi, siapa yang membutuhkan kita sekarang?
Apakah kita berkenan menawarkan bantuan pada tetangga yang mungkin terserang Covid-19 sehingga gak bisa keluar rumah membeli kebutuhan sehari-hari?
Apakah kita bersedia menyumbang energi kita membagikan makan siang gratis untuk abang ojol yang karena keadaan harus tetap berjibaku mencari orderan di luar sana?
Apakah kita berkenan menyedekahkan sebagian penghasilan untuk membantu tetangga atau orang-orang yang secara ekonomi tidak mampu, baru di-PHK, tapi tetap harus membiayai hidup keluarganya di rumah?
Percayalah, semua hal di atas membantu menyeimbangkan hidup kita, sehingga secara mental kita tetap sehat.
2. Kesehatan emosional
Saya ini orangnya sangat sadar diri, tapi sering lengah dalam mengelola emosi diri. Bisa jadi ini dipengaruhi kondisi saya, ibu anak tiga, dua di antaranya bayi kembar, dan salah satunya anak istimewa. Saya masih belajar beradaptasi dengan normal baru di tengah kondisi saya yang begini.
Ketika gelombang emosi datang, tak seharusnya kita membiarkan gelombang itu menunggangi emosi kita, kemudian meluapkan pada orang lain, misalnya marah pada suami dan anak.
Emosi sering kali mengalahkan logika. Ketika kita emosi, hal-hal yang pada dasarnya salah entah mengapa selalu tampak benar. Temukan cara untuk menahan emosi dan menyalurkan dengan cara benar.
3. Kesehatan spiritual
Kita perlu tetap terhubung dengan Dia yang menciptakan kita. Temukan sumber-sumber terbaik yang mendukung ini, misalnya mengikuti taklim online sekali seminggu, memperbaiki waktu shalat, memperbanyak baca Alquran, atau menggiatkan doa dan zikir.
Ada yang bilang, ketika kita merasa terus dikejar urusan dunia, maka satu-satunya cara mengimbanginya adalah memperbanyak urusan akhirat. Insya Allah segala hal yang bersifat pelik secara duniawi akan diselesaikan langsung oleh-Nya dengan cara tak terduga.
Yuk, kita cek secara kolektif, berapa sih suhu mental, emosional, dan spiritual kita saat ini? Apakah sudah sehat seperti sehatnya jasmani kita?
Banyak pasangan saat ini tengah berjuang menghadapi pasang surut rutinitas selama pandemi. Selama beberapa bulan terakhir kita benar-benar belajar merangkul satu sama lain untuk tetap positif menjalani hari demi hari.
Jadikan pandemi ini kesempatan bagi kita untuk terhubung kembali dengan pasangan, untuk mengenal mereka dengan cara baru, untuk memperbaiki hubungan yang mungkin sempat terguncang, dan tentunya untuk jatuh cinta lagi setiap hari. Tetap bahagia ya.
Leave a Comment